Ketika Waktu Mulai Bergerak ~~

952 Words
Dalam sebuah walk in Closet yang sangat besar, berjajar berbagai pilihan jas dan kemeja bermacam-macam warna. Rio mengambil salah satu kemeja berwarna putih dari gantungan lalu memakainya, ia pun kemudian memilih setelan jas berwarna navy yang dipadukan dengan dasi selaras bermotif salur putih. Rio membuka laci ke dua dan memilih salah satu jam tangan koleksinya, tetapi tatapannya terhenti pada salah satu jam tangan berwarna hitam dengan pinggiran sisinya berwarna gold, jam biasa di antara jajaran jam-jam mahal milik Rio. Pria itu mengambil jam tangan tersebut dengan tatapan menerawang. Jam tangan itu adalah pemberian Kiran saat mereka sedang bertukar kado di anniversary mereka tahun lalu. Mata Rio mulai berkaca-kaca mengingat kembali kenangannya bersama Kiran. Pria itu memejamkan matanya sesaat, lalu menaruh kembali jam tersebut, mengambil jam tangan Montblancnya dan bergegas keluar dari walk in closet. Antoni dan Naya nampak sudah siap di ruang tengah, menunggu Rio yang sedang berjalan menuruni anak tangga dengan wajah yang sangat datar. Tanpa senyum, tanpa rasa bahagia sedikit pun, berjalan melewati kedua orangtuanya yang menatap padanya dengan tatapan iba. "Pah ...." lirih Naya. Antoni seketika merangkul Naya dan mengusap lembut lengan wanita paruh baya di sampingnya itu.  "Ayo kita berangkat," ajak Antoni. *** Di gedung aula rumah sakit, kini sudah dipenuh oleh para wartawan dan petinggi-petinggi penting yang hadir dalam pelantikkan para dokter ahli bedah, bahkan menteri kesehatan beserta istrinya juga datang untuk menghadiri acara tersebut. Seorang MC naik ke atas podium dan memberikan kata sambutannya. Seluruh orang yang hadir, bertepuk tangan kala MC mulai menyambut direktur utama Kalandra hospital. "Selamat siang. Saya Antoni Kalandra berdiri disini untuk mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya pada para lulusan dokter muda terbaik, atas prestasi yang telah kalian raih. Saya datang hari ini bermaksud memberikan penghargaan untuk para dokter muda ahli beda. Kita akan persilahkan dokter-dokter muda kita untuk naik ke atas podium," ujar Antoni. Kurang lebih delapan dokter ahli bedah berjalan satu persatu menaiki podium dan berdiri berjajar disana. Antoni mendekat diikuti seorang sekretaris yang membawa sebuah nampan berisi sneli, nametag dan sertifikat di atasnya, dimulai dari Ahli bedah Umum, spesialist Ortopedi, spesialist Urologi, Bedah torak, Vaskular dan Kardiak, Bedah jantung, dan terakhir Ahli Bedah Syaraf. Antonio memberikan sebuah sneli lengkap dengan nametag identitas sang dokter dan sebuah sertifikat kedokteran, menjabat tangan mereka satu persatu hingga angkirnya tiba pada Rio. Antoni menatap bangga pada anak semata wayangnya itu, walaupun Rio hanya menatapnya datar, namun Antoni tetap tersenyum padanya dan memasangkan sneli pada tubuh anaknya itu. "Papah bangga sama kamu, Rio," bisiknya. Antonio kembali berjalan ke podium. "Selamat untuk para dokter-dokter muda kita," Suara gemuruh tepuk tangan para tamu yang hadir silih berganti, disahuti oleh suara jepretan keras kamera dari para wartawan yang hadir untuk mengabadikan beberapa moment berharga. "Dan dimulai hari ini, Dokter Alterio akan menjabat Direktur Kalandra Hospital yang bertempat di Bandung," lanjut Antoni. Pernyataan dari Antoni membuat para wartawan semakin gencar mengambil foto Rio yang kini sedang menatap sang Ayah dengan tatapan tak percaya. Rio hanya bisa membalas dengan senyuman yang kaku sambil terus menatap Antoni. 'Drama apa ini?' gerutu batinnya. *** "Pah, kok gak bilang dulu sama Rio sih? Jangan ngambil keputusan secara sepihak kaya gini dong, Pah," cecar Rio kesal. Kini mereka berada di ruang Antoni, hanya mereka berdua. Antoni duduk di sofa dan diikuti Rio yang duduk di sisi lainnya, saling berhadapan satu sama lain. "Bobby sudah tidak bisa Papah percaya untuk memegang rumah sakit kita di Bandung karena korupsi yang sudah dia lakukan dengan orang-orang di belakangnya. Lalu siapa lagi yang bisa papah percaya selain kamu? Anak papah sendiri. Papah yakin kamu bisa, Rio," jelas Antoni. "Tapi pah, Rio belum siap," tolak Rio. "Kamu tidak akan siap jika kamu menolak untuk memulai semuanya, Rio," tegas Antoni. "Pah!!!" "Segera kemasi barang-barangmu Rio. Kamu harus segera ke Bandung hari ini. Para pegawaimu sudah menunggu disana," titah Antoni. Rio sudah tidak mungkin bisa menolak perintah Ayahnya. Pria itu pun menghela napas dalam-dalam lalu bergegas keluar tanpa berpamitan pada siapapun, bahkan acara pelantikan pun masih berlangsung. Antoni hanya mendesah pajang melihat tingkah Rio yang sangat berubah dari sebelumnya. "Jika takdirmu masih ada dengan Kiran, sampai ujung dunia pun, kalian pasti akan kembali bertemu," gumamnya. *** 2 Tahun Kemudian...  Seorang pasien kecelakaan lalu lintas baru saja diturunkan dari mobil ambulan 119 oleh dua petugas dan segera dibawa masuk ke ruang UGD. Mereka memindahkan pasien tersebut ke atas brankar rumah sakit untuk segera di tindak lanjuti. Pasien dengan luka yang cukup parah itu, kesadaran dan saturasi oksigennya terus menurun, Rama bergegas melakukan intubasi dan memasangkan sebuah ambu oksigen agar suplai oksigen ke paru-paru kembali normal. "Bagaimana tanda vitalnya sekarang?" tanya Rama. "Kembali stabil, dok," jawab Fany salah seorang perawat disana. Rama menghela napas lega. "Lakukan CT-Scan secepatnya." "Baik dok," jawab Fany. Rama berjalan keluar dari ruang perawatan dan melepas sarung tangan latek yang digunakannya. Tiba-tiba telepon di meja reseptionis kembali berdering. Seorang perawat bernama Sesil mengangkat gagang telepon tersebut dan menerima panggilan. "Baik," ujarnya lalu menutup telepon. Rama menatap Sesil dengan tatapan penuh tanya. "Pasien kecelakaan?" tanya Rama. Sesil menggelengkan kepala. "Seorang wanita yang pingsan di tempat kerja," jawab Sesil. Rama mengangguk dan kembali mengecek keadaan pasiennya yang sedang melakukan perawaan melalui komputer di Ugd. "Tapi ... kesadarannya terus menurun," lanjut Sesil. Rama menghentikan kegiatannya, dan beralih menatap Sesil. "Mereka menemukan obat penahan rasa sakit di dalam tasnya, dan sepertinya dia membelinya tanpa menggunakan resep dokter," jelas Sesil. Rio yang sedang berjalan mendengar penjelasan Sesil dan menghentikan langkahnya. Rama menunduk memberi hormat diikuti Sesil dan para perawat lainnya. "Kapan pasien itu tiba?" tanya Rio. Tepat saat itu terdengar suara ambulan berhenti di depan pintu UGD, Rio dan Rama bergegas keluar untuk melihat keadaan pasien yang baru saja tiba itu. Satu orang pertugas membukakan pintu belakang dan satu orang lagi mendorong dari dalam. "Bagaimana tanda vitalnya?" tanya Rio yang baru keluar dari pintu masuk. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika tatapannya terjatuh pada wanita yang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar. Rio berusaha tak mempercayai penglihatannya, dan dirinya seakan menolak keyakinannya jika pasien yang terbaring tersebut adalah seseorang yang sangat ia kenal. "Kiran ...." lirih Rio tak jelas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD