Jeanny dan Wenny jengah akan sikap papa mereka yang tidak berubah, masih seperti dulu, berusaha menghasud supaya menjauhi mama mereka. Tentu saja keduanya tidak mau lagi berada dalam situasi yang membingungkan seperti sebelumnya, di mana hampir setiap hari ditanamkan kebencian oleh papa mereka tentang mama dan keluarga besar mama.
Sekarang sukar sekali mereka mempercayai Agung, karena hidup mereka kini jauh lebih baik dan sempurna. Meskipun tinggal jauh dari mama, mereka berdua tetap merasa sangat dekat dan bahagia dengan keadaan sekarang serta mendapat kasih sayang keluarga terdekat yang melimpah ruah. Kehadiran papa Agung membuat mereka kesal dan resah.
“Kalian berdua ini naif, persis mama kalian. Apa kalian tidak berpikir bahwa mama kalian pilih kasih, juga papi kalian yang kaya raya itu? Ha? Kalian nggak iri dengan adik-adik kalian yang hidup bergelimpangan harta dan kekayaan tanpa susah-susah mengurus dan merawat orang tua jompo?”
“Itu perbuatan yang mulia, Papa,” ujar Jeanny yang ingin sekali mengusir pikiran buruk papanya.
“Perbuatan mulia katamu? Mamamu tetap wanita jalang, dan adikmu Nevan adalah anak hasil luar nikah, itu perbuatan bejat.”
“Mama dan Papi sudah minta maaf dan ampun, Papa!” desis Wenny, tentu dia tidak terima mamanya disebut wanita rendahan.
Agung berdecak sinis. “Kalian sudah dirasuki mereka terlalu dalam.” Dia menggeleng tidak habis pikir dengan anak-anaknya yang jauh sangat berubah di matanya.
“Papa ke sini memiliki satu misi. Mama dan papi kesayangan kalian itu sama. Sama-sama meninggalkan jejak haram di atas bumi ini. Papa ingin kalian lebih baik sama papa saja, biar tidak terkena noda haram!”
“Papa!”
“Jangan sok bijak, Wenny. Asal kalian tahu, kalian sebenarnya punya seorang kakak, yang tidak lain adalah anak dari papi Damian, yang dia telantarkan selama ini. Papa nggak mau kalian ditelantarkan seperti kakak kalian itu!”
Wenny terdiam, juga Jeanny. Ingin kejelasan papanya lebih lanjut, Wenny dengan cepat berubah sikap, meminta maaf dan menangis. “Papa, maafkan aku.”
Jeanny melirik Wenny dan berpikir bahwa apa yang dilakukan Wenny tidak tulus, tapi dia dengan cepat pula berpikir bahwa Wenny memiliki alasan. Dia pun ikut-ikutan meminta maaf.
Agung memeluk Jeanny dan Wenny, sambil menitikkan air mata, membayangkan betapa sedih hidup keduanya di masa depan. Namun, beberapa saat kemudian, dia berhasil berhenti menangis.
“Papi Damian memiliki seorang anak perempuan dari seorang pelac*r. Dia sekarang ada di kota Jakarta. Kenapa Papa tahu akan hal ini? Papa mengenal pelac*r itu, yang tidak lain adalah teman bisnis baru tante Andita. Dua tahun lalu dia pernah bercerita bahwa dia memiliki anak cantik bernama Alana, hasil dari pertemuan kotornya dengan papi Demi. Kakak kalian itu mungkin usianya sekarang hampir sama dengan kamu, Wenny. Dia sedang kuliah di kampus terkenal sekarang.”
Wenny menghapus air matanya, dan bertanya, “Jadi … Papa kemari?”
“Papa selama dua tahun ini mengumpulkan banyak uang, kalo tidak ada kendala ingin mengajak kalian tinggal bersama di sini. Kalian tidak boleh dekat-dekat dengan orang-orang yang melakukan perbuatan haram dan mes*m. Papa khawatir dengan papi kalian itu yang bisa saja menodai kalian.”
Wenny dan Jeanny terhenyak, keduanya kembali memeluk Agung erat-erat. Mereka sangat takut apa yang diungkapkan papa mereka menjadi kenyataan.
Agung menghela napas panjang, wajahnya terlihat tenang, karena berpikir bahwa anak-anaknya ternyata masih mendengarnya.
“Alana….” Jeanny bergumam dengan bola mata mengerling. “Adalah kakakku juga?” tanyanya agak heran.
“Meskipun berbeda mama dan berbeda papa, tetap saja dia kakak kalian. Karena papi kalian yang kaya dan sok itu sudah menikah dengan mama kalian.”
Agung mengusap-usap kepala kedua anaknya penuh rasa sayang. “Kasihan dia, sejak lahir tidak diakui dan diabaikan. Nasibnya tidak jauh berbeda dari kamu berdua. Makanya papi Demi itu nggak mau kalian berdua tinggal bersamanya, dia hanya ingin menguasai harta kakek Poer, menguasai mama agar lebih menyayangi adik-adik kalian.”
Wenny mengangguk kecil, mengerti apa yang dijelaskan papanya. Ini berita yang sangat mengejutkan baginya, dan yakin mamanya yang pasti tidak mengetahuinya. “Apa mama tahu akan hal ini, Pa?”
Agung buru-buru menggeleng. “Haha, tentu dia nggak tahu, karena dia orang bodoh, mau saja dikuasai Damian … hm … dan kamu bisa menceritakannya kalo mau.”
Malam itu Jeanny dan Wenny menghabiskan waktu dengan papa mereka. Agung benar-benar memanfaatkan malam itu dengan membagikan informasi buruk tentang mama dan keluarga mamanya. Melihat anak-anaknya yang masih patuh kepadanya, Agung pun ke luar dari kamar dengan perasaan sangat lega malam itu.
Tampak Wenny menghela lega saat papanya ke luar dan berucap selamat tidur kepadanya.
“Kak, apa benar cerita papa tadi itu?” tanya Jeanny ketika Wenny rebah di atas kasur.
“Ck … kamu seperti nggak tahu papa saja. Bicaranya nggak bisa dipercaya.”
Jeanny mengernyitkan dahinya. “Tapi, ‘kok kakak sampe nangis-nangis begitu dan bilang maaf sama papa, itu artinya kakak percaya.”
“Kamu sendiri?” Wenny balik tanya.
Jeanny menggeleng ragu.
Wenny memiringkan posisi tubuhnya menghadap adiknya yang terlihat kebingungan. “Jeanny, adikku yang cantik dan sangat aku sayangi selama-lamanya. Papa itu memang nggak bisa dipercaya kata-katanya. Walaupun nasihatnya benar, jangan didengerin, karena setiap apa yang ke luar dari mulutnya tentang kehidupan keluarga mama dan Papi Demi, pasti berujung penghinaan dan menyuruh kita membenci. Aku tanya kamu, kamu milih orang yang nggak pernah mengajak kepada kebencian atau orang yang mengajak kepada kebencian dan memaksa?”
“Aku pilih yang nggak ajak-ajak benci, dan itu mama dan papi Demi, dan keluarga kakek Poer dan nenek Rahmah.”
“Adikku memang sangat pintar.”
“Terus kenapa Kakak minta maaf dan … apakah Kakak hanya berpura-pura?”
Wenny mengacak rambut Jeanny gemas. “Ya, kita tahu apa yang dikatakan papa itu bohong semua, tapi satu hal … yang menarik, yaitu Alana. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya dan apa benar dia anak papi Demi. Jangan-jangan hanya mengaku-aku saja. Apalagi sudah bersinggungan dengan papa, pasti papa akan manfaatkan keadaan ini.”
Jeanny tertarik dan kagum akan sikap Wenny yang ternyata sangat pandai membuat papa mereka mengira mereka sudah berpihak.
“Jadi, apa Kakak akan memberitahu mama soal ini?”
“Iya. Tapi menunggu waktu yang tepat. Sepertinya kita harus menambah malam di sini, atau … jika papa kembali ke Jakarta, aku ingin pergi bersamanya.”
“Aku ikut, Kak.”
“Hei, kamu harus kuliah. Lagi pula aku nggak senang-senang di Jakarta. Aku mau menyelidiki Alana.”
Jeanny cemberut dia sangat merindukan papi sambungnya.
“Jean. Aku lakukan ini demi keluarga kita. Bagaimanapun, papa benar soal kuliah, kamu harus selesai.”
Bersambung