Agung Bram Wicaksono tersenyum bahagia melihat kedatangan dua anak perempuan yang amat dirindukannya. Sudah bertahun-tahun sejak pertikaiannya dengan Nirmala dan keluarganya, juga dengan Damian, Agung tidak pernah bertemu Jeanny dan Wenny. Hari ini, dia akhirnya kembali berdekatan dengan anak-anaknya, bahkan bisa memeluk erat keduanya.
Wenny jadi iba melihat penampakan papanya sekarang, jauh lebih kurus dan kulit serta wajah yang kurang terawat. Tidak seperti sebelumnya, papanya itu begitu gagah dengan kulit yang bersih, juga tubuhnya yang tegap. Begitu pula dengan Jeanny, dia malah menangisi keadaan papanya.
“Anak-anak Papa memang cantik-cantik. Nggak salah keturunan Papa,” ucap Agung di depan kedua anaknya dengan matanya yang berbinar-binar.
“Tante Andita nggak diajak, Pa?” tanya Wenny yang tiba-tiba menanyakan istri papanya.
“Besok atau lusa akan menyusul ke mari. Dia masih sibuk kerja di perusahaan,” jawab Agung. Dia lalu menyuruh Laras, adiknya, untuk menyiapkan makan dan minum untuk kedua putrinya.
Tak lama kemudian, muncul kakek dan nenek mereka. Wenny dan Jeanny langsung menyerbu keduanya dan memberi pelukan hangat. Hubungan Wenny dan Jeanny dengan kedua orangtua papanya cukup dekat. Terutama dengan ayah Agung, yang beberapa kali mengunjungi Poernama selama ini, sekadar menjenguk besan dan cucunya, bahkan sering memberi hasil panen sawah dan kebunnya untuk Poernama dan juga memberi pakaian ke Jeanny dan Wenny.
“Apa kabar mama Nirmala, Wenny?” tanya kakek Mardi dengan sikap ramahnya.
“Baik, Kek,” jawab Wenny, sekilas melihat papanya yang bahkan tidak menanyakan mamanya, namun dia tetap berusaha bersikap baik dan sopan.
“Kakek dan nenek nanti malam mau ke sana, khawatir nanti mama kamu keburu pulang ke Jakarta,” sela nenek Atik.
“Minggu depan rencananya mama pulang, Nek. Jadi nggak perlu buru-buru,” ujar Wenny sambil memeluk erat neneknya.
“O, kalo begitu syukurlah. Ayo, makan dulu,” ajak nenek Atik.
Sambil merangkul kedua anaknya yang sudah cukup dewasa, Agung mengarahkan mereka berdua ke dapur dan duduk di dekatnya.
“Wah, makasih, Bibi Laras. Banyak banget masaknya ini,” ucap Jeanny yang terkagum-kagum dengan penampakan beragam makanan di atas meja.
“Iya, karena dibilang mau menginap, Bibi sengaja masak banyak,” tanggap Laras dengan senyum senangnya. Dia langsung sigap melayani kedua keponakannya, mengambilkan nasi dan lauk pauk, juga menuangkan minuman untuk keduanya.
“Aku kok nggak dilayani,” oceh Agung setelah kedua anaknya sudah dilayani adiknya. Laras baru saja duduk saat dia mengoceh.
Menghela napas pendek dengan wajah jengkel, Laras beranjak dari duduk, mengambilkan makanan untuk kakaknya.
Tampak semua saling pandang, tidak terkecuali Wenny dan Jeanny yang saling lirik, menyadari ketidaksukaan di wajah bibi Laras saat melayani papa mereka.
“Papa kalian berencana akan tinggal di sini,” mulai Mardi dengan suara beratnya.
Wenny dan Jeanny terdiam, kunyahan mulut mereka langsung memelan, seolah ingin mendengar penjelasan kakek Mardi selanjutnya dengan seksama.
“Iya. Jadi kalian berdua bisa berdekatan dengan Papa, dan Papa yang akan mengurus kalian berdua.” Tangan Agung merangkul bahu Jeanny dan Wenny.
Mardi tersenyum kecut, sebenarnya dia kurang menyukai kedatangan anaknya ke tanah Pekalongan, dia yakin pasti ada rencana yang masih dirahasiakan. Tapi, dia tidak berdaya karena bagaimanapun Agung adalah papa dari Jeanny dan Wenny, dua cucunya yang cantik dan pintar. Dia menatap wajah sendu dua cucunya dan mengerti ketidaksukaan mereka terhadap papa mereka.
***
Seakan ingin menuntaskan kerinduan yang mendalam terhadap kedua anaknya, Agung mendatangi kamar Jeanny dan Wenny, yang sebelumnya sudah disiapkan Laras.
“Papa kangen kalian,” ucap Agung yang kembali merangkul erat Jeanny dan Wenny sekaligus. “Kalian apa nggak kangen Papa? Apa karena Papa miskin dan nggak punya uang?” tanyanya sedikit merengek.
“Nggak, Pa. Bukan itu, aku masih trauma dengan apa yang Papa perbuat dulu terhadap Mama, aku masih ingat Papa marahin mama dan berteriak bilang bahwa mama wanita rendahan. Aku nggak mau punya masalah dengan Papa,” ungkap Wenny jujur. Wenny adalah gadis yang tidak bisa menutup-nutupi perasaannya di depan orang yang tidak dia sukai.
Agung berdecak kecil. “Kamu sama saja dengan mama kamu, Wenny. Papa dengar kamu putus kuliah, apa benar itu?” tanya Agung kemudian.
Wenny menghela napas panjang. “Iya, Pa.”
“Apa kata Papa, kamu memang persis mama kamu, bak pinang dibelah dua, nggak fisik saja, tapi juga perangai kamu. Kuliah itu sangat penting untuk masa depan. Mama dulu seumuran kamu juga memilih putus kuliah dan menikah.”
Jeanny tertawa menyeringai. “Mama putus kuliah karena menikah … ‘kan nikahnya dengan Papa, artinya Papa nggak dukung mama,” sinisnya.
“Bukan begitu ceritanya, Sayang. Papa dulu dipaksa menikah dengan mama kamu, dan mama kamu yang ganjen dan cinta sama papa itu putus dari kuliah, dan itu keputusan yang bodoh. Padahal Papa tetap menyuruhnya kuliah setelah menikah.”
Wenny menatap kesal papanya. “Sampai kapan sih Papa berhenti menghina mama? Bilang ganjen, bodoh. Papa saja kuliah sampai ke luar negeri, tapi Papa nggak liat diri Papa sekarang?” cecar Wenny dan didukung Jeanny dengan senyum kemenangan. Dia senang kakaknya memiliki kekuatan menentang.
Agung terdiam, dan wajahnya sedikit berubah. Tidak menyangka perubahan anaknya yang semakin pandai menentang.
“Kamu di ajarin siapa merendahkan orang tua seperti itu, Wenny? Mama dan kakek Poer?”
“Ya dari Papa. Siapa lagi?” balas Wenny sengit.
Yes, batin Jeanny. Dia melirik sinis papanya.
“Kamu sebaiknya teruskan kuliah sampai selesai. Kakek kamu, ‘kan tanahnya masih banyak sekali, belum papa sambung kamu itu yang perusahaannya nggak terhitung itu. Masa sih nggak bisa biayain kuliah? Pelit sekali,” decak Agung sinis.
“Memang Papa mau bayaran kuliah kita?” cecar Jeanny yang kesal melihat papanya yang terus saja menyalahkan keluarga mamanya.
“Ya, bahkan Papa bisa saja berhutang demi masa depan kedua anak Papa.” Agung beralih ke Jeanny dan berkata, “Kamu juga, jangan sampai ambil keputusan seperti kakakmu ini, DO dan benar-benar nggak mau nerusin kuliahnya. Kamu masih mahasiswa aktif, ‘kan?”
“Ya,” jawab Jeanny. Dia adalah mahasiswa perguruan tinggi swasta kota Pekalongan.
Agung berdecak sinis lagi. “Apalah kuliah di kota kecil. Seharusnya kamu kuliah jauh di Amerika atau Eropa. Kamu jangan mau dicekoki dengan keadaan, disuruh merawat kakek nenek. Apa itu?”
“Papa lebih baik nggak usah datang ke sini kalo masih saja rewel. Urus saja hidup Papa. Kek bener aja,” decak Wenny yang semakin kesal. Baginya semua orang berhak menentukan pilihan menjalani hidup, seperti dirinya, memilih putus kuliah karena dia lebih menyukai bekerja di kantor perusahaan kakeknya di bawah manajemen papi Damian. Dia ingin lebih fokus bekerja, dan sudah punya rencana ke depan, tetap merawat kakek dan nenek, menemani hari-hari tua mereka.
Bersambung