"Kamu temannya Zevannya yang malam itu, kan?" Adrian memastikan.
"Iya, Pak. Saya temannya bu bos. Teman sekaligus sekretarisnya. Bapak ngapain di sini?" tanya Nasya penasaran. Seolah harapannya untuk membantu Zevannya dengan Adrian terjawab.
"Oh, kamu sekretarisnya Zeva. Saya lagi cek kebun teh punya almarhum ayah saya. Kamu sendiri sedang apa di sini? Sendirian?" Pertanyaan Adrian seolah dia ingin bertanya apakah dirinya ada di sana bersama Zevannya atau tidak. Walaupun tidak diungkapkan, Nasya tahu itu.
"Saya lagi liburan, Pak. Mumpung libur kantor lumayan panjang. Saya tidak sendirian, sih. Ada bu bos di villa. Kalau Bapak pas lagi santai, bisa mampir ke sana, Pak. Siapa tahu Bapak mau ketemu sama bu bos." Nasya sengaja mengompori Adrian. Dia ingin lelaki itu berusaha untuk dekat dengan atasannya.
"Oh ya? Oke, lain kali saya mampir, ya. Soalnya saya baru sampai di sini. Masih banyak perkebunan yang belum saya cek."
"Begitu ya, Pak? Ya sudah, selamat berkeliling, Pak Saya juga mau pergi ke warung untuk membeli bahan makanan."
"Tunggu. Saya boleh minta kontak kamu? Saya akan banyak menanyakan tentang Zeva nanti. Kalau ada kontak kamu, saya tidak akan bingung lagi.'
"Kenapa Bapak nggak minta nomor bu bos saja?"
"Tidak. Saya rasa lebih aman punya kontak kamu. Tolong rahasiakan kalau kamu bertemu saya, ya? Saya tidak mau membuat dia tidak nyaman. Ini ponsel saya, tolong kamu tulis nomor ponsel kamu di sini."
"Oke, Pak. Siap. Sebentar, saya ketik dulu nomornya."
Nasya mengambil alih ponsel Adrian, dan menuliskan nomornya di sana. Setelah itu dia berpamitan dengan Adrian, dan melanjutkan perjalanannya ke warung.
"Kebetulan yang tak terduga. Semoga kita bisa bertemu secara tidak sengaja, Zeva. Saya ingin sekali melihat wajah kamu. Rasa rindu ini menyiksa saya. Apalagi setelah apa yang kita lakukan malam itu. Hampir setiap malam saya mimpi tentang kita. Seandainya saja kamu tidak membenci saya, saya pasti akan mengajak kamu rujuk kembali. Saya masih sangat mencintai kamu, Zevannya."
Batin Adrian berkecamuk. Sekarang dia tengah menatap ke arah hamparan kebun teh yang ada di hadapannya. Seandainya saja sekarang dia tengah bersama Zevannya, pasti semua akan lebih indah. Sepuluh tahun berpisah dengan wanita itu ternyata tidak mampu menghapus rasa cintanya sedikit pun.
"Adakah kesempatan kedua untuk kita, Zevannya? Saya sungguh berharap Tuhan mendengarkan apa yang saya harapkan setiap hari selama sepuluh tahun ini. Saya hanya ingin satu, kembali menikahimu, dan menjadikan kamu milik saya, sampai kematian yang memisahkan kita. Bolehkah saya berharap seperti itu, Zeva?"
Kembali bersama Zevannya merupakan impian terbesar Adrian. Dia ingin wanita itu kembali dimilikinya. Tapi sepertinya semesta belum mengizinkannya untuk itu. Dia masih harus bersabar, dan entah sampai kapan dia harus bersabar.
"Melihat bunga melati membuat saya teringat kamu, Zeva. Kamu suka sekali minum teh dengan banyak bunga melati di dalamnya. Katamu, meminum teh melati bisa membuat kamu bahagia. Kapan kita minum teh bersama lagi, Sayang? Kita sudah terpisah sepuluh tahun, seharusnya sekarang kita bisa, bukan? Hah! Saya terlalu banyak berharap. Kamu bahkan tidak antusias bertemu saya lagi. Saya hanyalah seorang lelaki jahat di mata kamu. Kamu selalu bilang kalau saya ini penghianat. Padahal, sekalipun saya tidak pernah menduakan kamu. Bahkan setelah berpisah pun, saya tidak pernah membiarkan wanita manapun menginjakkan kaki di rumah kita. Apa kamu masih meragukan kesetiaanku, Ze?"
***
"Ini hanya mi instan, tapi menurut saya, mi buatan kamu selalu tidak pernah gagal. Ini enak banget, Nasya." Zevannya memberikan pujian untuk mi kuah buatan sang sekretaris.
Menurut Zevannya, Nasya memang ahli dalam memasak mi instan. Dia sudah mencoba berkali-kali di rumah dengan merk, dan rasa mi yang sama, tetapi hasilnya tetap berbeda.
"Bu Bos terlalu memuji. Seperti yang Bu Bos katakan, ini hanya mi instan. Jadi saya rasa tidak mungkin bisa seistimewa itu."
"Saya serius dengan yang saya katakan, Nasya. Ah, saya hampir lupa bilang, besok pagi saya mungkin akan mengasah kemampuan fotografi saya. Kebetulan saat beberes tadi saya menemukan kamera pemberian seseorang. Saya yakin, view di sini bagus. Jadi besok kalau kamu tidak menemukan saya pagi-pagi, jangan panik."
"Saya tidak akan kepo soal siapa seseorang yang ngasih Bu Bos kamera, tapi sepertinya saya tahu dia siapa. Baiklah, kalau memang besok pagi Bu Bos mau jalan-jalan. Jangan lupa pakai jaket, Bu Bos. Saya tidak mau Bu Bos kenapa-napa."
"Iya-iya. Kamu benar-benar bawel seperti ibu saya, Nasya."
"Saya di sini memang harus menggantikan peran ibunya Bu Bos. Soalnya kalau sampai Ibu kenapa-napa, saya pasti akan diomeli habis-habisan sama tante Dahlia."
Nasya memang sahabat, dan partner kerja yang baik. Zevannya beruntung mendapatkan seseorang seperti Nasya sebagai orang terdekatnya. Gadis itu seringkali menjadi tempatnya berkeluh-kesah.
"Baiklah, terima kasih banyak, Nasya."
Tiba-tiba saja nada pesan masuk terdengar. Nasya segera melirik ke arah layar ponselnya. Ada pesan dari nomor baru. Nasya yakin kalau itu Adrian, mantan suami Zevannya. Dengan segera, dia membaca pesan yang dikirimkan oleh lelaki itu.
+62857989888
"Ini saya, Adrian. Tolong jangan simpan kontak saya dengan nama asli saya, supaya Zeva tidak curiga. Sekarang dia sedang apa? Saya sangat ingin mengetahuinya."
Nasya tersenyum gemas saat membaca pesan dari Adrian. Tidak salah lagi dugaannya, Adrian memang masih memiliki rasa yang besar untuk Zevannya. Tugasnya hanyalah membuat keduanya bertemu, dan mengungkapkan isi hati mereka masing-masing.
"Bu bos sedang makan mi kuah, pak Adrian. Dia bilang, besok pagi-pagi akan keluar ke area perkebunan untuk mengambil beberapa foto. Saya tidak yakin kalau saya bisa bangun pagi untuk menemani bu bos. Bisakah saya meminta tolong pada Bapak untuk memantau? Kalau pak Adrian tidak sibuk."
Sebenarnya bisa saja Nasya menemani Zevannya untuk bangun pagi, dan jalan-jalan. Hanya saja Nasya ingin memberikan kesempatan untuk Adrian supaya bisa memiliki waktu berdua dengan bosnya. Dia tahu pasti, Zevannya sebenarnya juga ingin bertemu Adrian, hanya saja wanita itu terlalu gengsi untuk mengakui.
+6257989888
"Besok saya tidak sibuk. Soal itu, serahkan saja pada saya. Saya pasti akan menjaga Zeva dengan baik. Zevannya tidak boleh terlalu sering makan mi instan. Nanti saya akan mengirimkan orang untuk mengantar bahan makanan ke villa tempat kalian menginap. Satu lagi, tolong jangan memasak terlalu pedas. Lambung Zevannya terkadang bermasalah karena itu."
"Ya ampun, perhatian banget, sih." Nasya menyeletuk tanpa sadar. Zevannya yang semula sedang menikmati makanannya langsung menoleh ke arah Nasya.
"Kamu berkirim pesan dengan siapa? Sepertinya asyik sekali," komentar Zevannya kemudian.
"Ahaha, iya Bu Bos. Saya lagi berkirim pesan sama cowok yang romantis sekali. Membaca setiap pesan darinya membuat hati saya jadi tidak karuan," jawab Nasya dengan gaya centilnya.
"Kamu ini! Jangan mudah percaya sama laki-laki, Nasya. Mulut mereka selalu saja manis di awal, tetapi akhirnya hanya akan meninggalkan luka. Apalagi kalian baru kenal." Zevannya memperingati.
"Baik Bu Bos. Tapi untuk yang satu ini saya percaya. Dia memang benar-benar manis. Pokoknya dia laki-laki idaman sekali. Rasanya saya jadi ingin merasakan dicintai sama dia." Nasya berucap sambil tersenyum. Dia membayangkan kalau Adrian kembali menjadi suami Zevannya. Hanya membayangkan mereka bersama saja sudah membuat Nasya sebahagia itu.
"Terserah kamu, Nasya. Satu pesan saya, tetap waspada. Laki-laki seringkali bertingkah seperti anak kucing yang manja, tetapi sebenarnya mereka harimau yang siap menerkam kapan saja."