PERTEMUAN TAK TERDUGA
“Ah!”
Zevannya terkejut saat tubuhnya menabrak seseorang. Dia yang terkena pengaruh obat tampak berusaha semaksimal mungkin untuk mengendalikan diri. Sementara seseorang yang ditabraknya justru tertegun, dan mengamati wajah Zevannya dengan seksama.
“Benar-benar dia?”
“Aduh, maaf, Pak. Teman saya sedang sakit, jadi dia agak sedikit sempoyongan.” Seorang wanita yang mendadak hadir di antara mereka segera meminta maaf. Wanita berambut lurus sebahu itu membungkukkan tubuhnya beberapa kali sebagai bentuk permintaan maaf.
“Tidak masalah. Kalau boleh, saya ingin bicara dengannya sebentar,” ucap lelaki itu tanpa menatap ke arah lain. Tatapan matanya hanya fokus ke Zevannya. Seakan wanita itu memiliki daya pikat yang sulit untuk ditolak.
“Jangan marahin teman saya, Pak. Dia benar-benar lagi tidak enak badan,” ujar wanita itu lagi dengan raut wajah ketakutan. Aura dominan dari si lelaki begitu kuat.
“Saya mengenal teman kamu, dia teman lama saya. Kamu tidak perlu khawatir.” Lelaki itu berusaha meyakinkan.
“Baik, Pak. Kalau begitu saya titip teman saya.” Wanita itu akhirnya merelakan Zevannya berinteraksi dengan lelaki yang mengaku sebagai temannya tersebut.
Dari setelan baju yang dikenakan oleh lelaki itu, wanita bernama Nasya itu yakin, kalau dia bukanlah lelaki sembarangan. Walaupun dia tahu ini pemikiran gila, tetapi Nasya berharap bos sekaligus sahabatnya itu segera bisa melupakan sang mantan. Siapa tahu lelaki yang baru saja mereka temui ini merupakan jodoh masa depan Zevannya, harapnya diam-diam.
Setelah sedikit berbasa-basi, Nasya pun melangkah pergi. Mereka memang baru bertemu, tetapi entah mengapa Nasya begitu yakin kalau lelaki itu tidak mungkin melakukan hal buruk terhadap Zevannya.
Zevannya sendiri tampaknya tidak peduli dengan kepergian Nasya. Dia terlihat terpesona dengan lelaki yang berdiri tidak jauh darinya. Naluri tubuhnya membawa wanita itu melangkah mendekati sang dominan. Tangannya terulur, dan membelai wajah lelaki itu tanpa permisi. Dia bisa merasakan bulu-bulu halus yang tumbuh rapi di rahang si lelaki.
“Kau sangat tampan, Tuan. Melihat wajahmu saja sudah membuatku b*******h. Bagaimana kalau kita menghabiskan malam ini berdua? Aku sudah sangat berpengalaman, dan kau pasti tiddak akan kecewa,” ucapnya setengah berbisik.
Obat perangsang dosis tinggi yang diberikan oleh Leon telah menghilangkan lebih dari setengah kewarasan Zevannya. Leon merupakan salah satu bawahan Zevannya yang sangat terobsesi dengan wanita itu. Malam ini dia berencana untuk membawa wanita itu ke atas ranjangnya dengan cara licik, tetapi rencananya gagal karena Nasya memergoki apa yang Leon lakukan.
“Kau yakin dengan apa yang kau ucapkan, Nona? Aku hanya takut kau menyesal esok pagi setelah apa yang kita lakukan,” bisik lelaki bernama Adrian itu.
Dia tahu pasti bagaimana sifat asli Zevannya. Selama mereka menikah dulu, wanita itu tidak pernah seagresif ini. Adrian tidak menyangka, rasa rindunya yang terpendam selama sepuluh tahun akhirnya bisa terlebur malam ini. Dia bisa melihat kembali wanita yang selama ini hanya bisa dia temui dalam mimpi. Adrian bersumpah, tidak akan melewatkan malam ini. Apalagi banyak mata lapar yang siap untuk memangsa Zevannya kapan saja.
“Aku bukan remaja lagi. Aku wanita dewasa yang sudah berpengalaman. Penyesalan hanya berlaku untuk remaja labil.” Zevannya tersenyum meremehkan. Permukaan ibu jarinya tengah sibuk mengelus bibir seksi Adrian. Tampaknya wanita itu tidak menyadari kalau yang ada di hadapannya merupakan mantan suaminya.
Zevannya bahkan dengan berani merapatkan tubuhnya ke tubuh Adrian. Jemarinya yang semula menjelajah area wajah lelaki itu pun berpindah ke area setelan jas, dan kemeja yang lelaki itu kenakan. Adrian bahkan memakai dasi. Tanpa aba-aba, Zevannya menarik dasi yang dikenakan oleh sang dominan, lalu menciumnya dengan gerakan tergesa.
“Bersabarlah sedikit, Nona. Aku akan membawamu pergi dari sini. Setelah itu, kau boleh menguasaiku sesuka hati,” ucap Adrian setelah berhasil melepaskan diri dari ciuman sang mantan. Dia segera menggendong wanita itu dengan gaya bridal. Langkahnya yang tampak begitu gagah membawa tubuh Zevannya keluar dari gedung tempat pesta ulang tahun perusahaannya berlangsung.
***
Adrian membawa pulang Zevannya ke rumah mereka. Lebih tepatnya, rumah yang pernah mereka tempati saat keduanya masih terikat pernikahan dulu. Selama ini, Adrian menempati rumah itu seorang diri. Tentu saja ada beberapa asisten, tukang kebun, dan juga sopir yang membantunya. Selama berpisah dengan Zevannya, belum ada satu wanita pun yang menginjakkan kaki di rumah mereka tersebut.
Orang tua Adrian, dan Zevannya dulunya bertetangga. Mereka akrab satu sama lain, begitu pula dengan anak-anak mereka. Hal itu menyebabkan kedua orang tua mereka sepakat untuk menjodohkan Adrian, dan Zevannya. Keduanya pun tidak ada penolakan. Sebenarnya, baik Adrian maupun Zevannya sama-sama memendam rasa. Hanya saja mereka tidak saling mengungkapkan satu sama lain.
Tidak berselang lama setelah pernikahan mereka, kedua orang tua Adrian meninggal dunia. Sebenarnya Adrian bukan anak tunggal, tetapi dia sudah terbiasa sendiri. Kakak kandungnya yang bernama Bastian sudah ikut kakeknya di Paris sejak kecil, dan menetap di sana. Lagipula, Bastian tidak pernah menganggap Adrian sebagai seorang adik. Dia lebih memilih menjadikan Adrian sebagai rival karena dendam masa lalu.
Perceraian Adrian, dan Zevannya terjadi juga disebabkan oleh ulah Bastian. Dendamnya yang begitu membara membuat lelaki itu berambisi menghancurkan sang adik dari berbagai sisi.
Adrian saat itu sangat hancur. Kehilangan Zevannya tanpa sempat memberikan penjelasan membuatnya begitu terpukul. Wanita itu bahkan langsung pergi ke luar negeri setelah meninggalkan sebuah surat perceraian yang sampai detik ini belum dia tandatangani. Malam ini, beban kerinduannya seakan sirna. Wanita yang dia rindukan telah berada dalam pelukannya.
Lelaki itu menepati kata-katanya. Dia membiarkan Zevannya melakukan apa yang dia inginkan. Walaupun dia sangat sadar, kalau wanita itu mau melakukan ini karena pengaruh obat. Meskipun begitu, Adrian tidak peduli. Dia hanya ingin melepaskan kerinduannya yang tak bisa terbendung lagi. Setiap sentuhan yang Zevannya berikan, dia membalasnya dengan sepenuh hati.
“Tebakanku tidak salah, kau benar-benar seksi.” Zevannya berucap sambil meraba tubuh lelaki yang telah dia lucuti pakaiannya. Bulu-bulu halus yang tumbuh di dadanya seolah membuat Zevannya semakin terbius.
Keduanya sudah sama-sama kacau. Bibir mereka basah, dan bengkak. Zevannya juga meninggalkan banyak jejak di leher Adrian. Wanita itu tidak terkendali, dan Adrian tampaknya tidak masalah dengan apa yang dilakukan oleh Zevannya.
“Kau menyukainya, Nona? Lakukan apa saja yang kau inginkan. Nikmati tubuhku sesuka hatimu.” Adrian berucap pasrah. Gairahnya juga sudah terbakar. Dia tidak bisa mengelak lagi.
Dengan senang hati Zevannya pun melancarkan aksinya. Dia melepaskan seluruh beban yang membuat tubuhnya tidak nyaman. Wanita itu memimpin permainan. Menyatukan tubuh mereka dalam buaian-buaian memabukkan. Malam itu menjadi malam panjang, dan melelahkan. Tapi kedua insan itu tampak sangat menikmati apa yang mereka lakukan. Semua selesai saat waktu sudah menunjukkan hampir jam tiga dini hari.
Zevannya terlelap dalam pelukan sang dominan. Selimut tebal membungkus mereka, dan melindungi keduanya dari jamahan pendingin ruangan. Malam ini merupakan malam terindah bagi Adrian setelah sekian lama. Dia bahkan merasa kalau ini jam tidur terbaiknya. Dia berharap itu bukan hanya sekedar mimpi. Sungguh, dia ingin bisa selamanya tidur sambil mendekap tubuh wanita yang dia cintai.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan lebih delapan belas menit. Zevannya yang semula tidur dengan damai di dalam pelukan mantan suaminya pun perlahan membuka mata. Dia merasa kepalanya sedikit pusing. Setelah kesadarannya terkumpul, wanita itu menerka-nerka ada di mana dirinya sekarang. Sentuhan sesama kulit tanpa penghalang membuatnya langsung menoleh ke arah seseorang yang masih tidur pulas di sampingnya.
Mata Zevannya langsung terbelalak. Seumur hidup, dia merasa ini merupakan kisah terkonyol yang pernah dialaminya. Zevannya tidur dengan mantan suaminya. Lelaki yang sangat dia cintai, sekaligus dia benci. Tubuh wanita itu merinding saat mengamati seberapa banyak bercak merah keunguan yang menghiasi leher Adrian. Rasanya, Zevannya ingin mengubur dirinya sekarang juga.
Wanita itu cepat-cepat duduk, sambil menarik ujung selimut untuk menutupi bagian tubuhnya. Dia berteriak histeris, menyesali kebodohan yang sudah dia lakukan. Membuat Adrian yang semula masih pulas ikut terbangun.
“Ka-kamu sudah bangun, Ze?” tanyanya sedikit panik.
“Kamu gila, Adrian! Kamu Gila! Kamu sudah tidak waras!” teriak Zevannya sekuat tenaga. Tatapan matanya yang tajam seakan menusuk Adrian. Dia memperlihatkan rasa bencinya pada lelaki itu.
“Semua sudah terjadi, Zevannya. Aku minta maaf,” ucap Adrian lembut.
Kelembutan yang masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Bahkan dari sorot matanya, tergambar jelas kilatan cinta di sana. Adrian tidak berubah, hanya situasi yang sudah berbeda.
“Maaf? Apa itu maaf yang sama seperti yang kamu ucapkan saat aku melihamu bersama wanita itu di ruang kerjamu? Menjijikkan! Setelah sepuluh tahun berlalu, apa kamu masih tidak puas setelah menghancurkan hidupku?” tanya Zevannya dengan wajah memerah berbalut amarah.
Luka sepuluh tahun yang lalu itu, masih terpampang jelas di hatinya. Dia tidak bisa melupakan bagaimana Adrian tengah memeluk seorang wanita di dalam ruang kerjanya saat Zevannya berniat mengajaknya makan siang bersama.
“Dengarkan aku dulu, Ze. Apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan juga hari ini, tidak sama seperti apa yang kamu pikirkan. Kita harus bicara.” Adrian berusaha menenangkan Zevannya.
“Aku tidak butuh penjelasanmu, Adrian! Setelah hari ini, jangan lagi kamu menampakkan wajahmu di hadapanku. Kita sudah selesai. Tidak ada lagi yang harus kita urus. Kali ini, aku masih memberimu kesempatan. Tapi sekali lagi kamu mengusik hidupku, aku tidak akan segan-segan membuat perhitungan!” ancam Zevannya dengan nada serius. Wanita itu kemudian meraih pakaiannya yang berserakan di lantai, memakainya secepat mungkin, dan bergegas keluar dari rumah itu.
Tentu saja Zevannya mengetahui setiap sudutnya dengan baik. Karena sepuluh tahun lalu, dia pernah tinggal di rumah itu.
Adrian masih berada di tempatnya. Lelaki itu menyugar rambutnya perlahan. Ternyata, setelah sepuluh tahun berlalu, rasa kecewa itu masih bersangkar di hati Zevannya.
“Sedikitpun aku tidak pernah mengkhianati kamu, Ze. Kamu satu-satunya wanita yang aku cintai di dunia ini. Tidak bisakah kamu mendengarkanku sedikit saja? Aku masih sangat mencintai kamu, Ze.”