Shaneen menghembuskan napas panjang. Dia benar-benar tak punya mood bertemu lagi dengan Rifki sekarang.
"Ca.." Rifki meraih tangan Shaneen.
"Lepas, Kak. Nanti ada yang lihat."
"Aku denger kamu sakit. Gimana kabar kamu?"
"Bukan urusan kamu."
"Kak Rifki!" Shaneen memberontak saat Rifki tiba-tiba memeluknya. Terakhir dipeluk Rifki, Shaneen demam.
"Shaneen.."
Rifki langsung mengurai pelukan. Shaneen menoleh ke sumber suara. Ia terkejut mendapati Yasa berdiri tak jauh darinya--tengah menatapnya lurus. Apa yang Yasa lakukan di sini? Bukannya tadi Yasa di restoran dengan Nata? Kenapa Yasa bisa ada di panti? Shaneen tak pernah cerita pada Yasa tentang panti ini.
Yasa melangkah mendekat. Ia meraih tangan Shaneen dan menggenggamnya membuat Shaneen terdiam bisu. Ia pandangi tangannya yang digenggam Yasa. Perlahan tubuhnya tertarik ke dekat Yasa. Rifki tampak bereaksi--mengerutkan kening dan menyipitkan mata.
"Kita bertemu lagi, Tuan Rifki," sapa Yasa dengan suara tenang.
"Ya," jawab Rifki pelan. Ia memandangi Shaneen sebentar. Di dalam kepalanya Rifki berpikir Shaneen sudah memberitahu Yasa tentang panti asuhan ini.
"Aku telfon kenapa nggak aktif? Hape kamu habis baterai lagi?" kini Yasa menujukan pertanyaannya pada Shaneen. Tatapannya tertuju lurus pada sang calon istri. Shaneen terlihat agak kacau dan Yasa melihatnya dengan jelas.
Lagipula Yasa sudah menebak kalau Shaneen dan Rifki bukan sekedar teman sekolah. Terlalu aneh melihat reaksi keduanya saat bertemu. Yasa tidak buta. Dia hanya tak membicarakannya.
"Hm," jawab Shaneen asal. Ponselnya entah di mana. Entah Yasa memang menelfon atau tidak.
"Saya mau bicara dengan Shaneen sebentar, nggak masalah kan Shaneen saya bawa?" Yasa menatap Rifki lagi.
Pria itu mengangguk pelan. Memang Rifki bisa apa? Tidak dihajar Yasa saja sudah bagus. Rifki tahu Yasa calon suami Shaneen, tapi Yasa tak tahu kan status Rifki apa dengan Shaneen. Jadi dilihat sekilas mata Yasa lebih berhak.
Shaneen menurut tanpa bertanya saat Yasa membawa ke arah pintu masuk panti asuhan.
"Kok lo ada di sini? Tau panti ini dari mana?"
Yasa tak menghentikan langkahnya. "Harusnya kamu tanya aku tau kamu di sini dari mana." Yasa melepaskan sepatunya dan Shaneen mengikuti. Keduanya masuk ke dalam panti asuhan.
"Siang, Bu.."
"Oh selamat siang.." Bu Ani melempar senyum ramah. Ia memandangi Shaneen dan Yasa dengan bingung.
"Saya Yasa yang tadi menelfon Ibu."
"Oh iya ya Nak Saya. Selamat datang.." sambut Bu Ani. "Silahkan duduk.."
"Terima kasih.." ketiganya kemudian duduk di sofa. "Seperti yang sudah saya katakan di telfon, saya datang ke sini ingin menjadi salah satu donatur di panti asuhan ini. Nggak cuma soal dana aja, tapi saya akan sering ke sini untuk melakukan kegiatan dengan anak-anak di sini."
"Wah alhamdulillah. Ibu seneng banget dengernya, Nak Yasa. Memang sejujurnya panti ini lumayan donaturnya. Alhamdulillah kami juga tidak pernah kekurangan. Tapi kegiatan yang dilakukan dengan anak-anak sebenarnya masih kurang. Anak-anak seusia ini kan nggak hanya butuh material saja, ya, mereka juga butuh kasih sayang dan dukungan. Ibu sangat berterima kasih sama Nak Yasa.."
Shaneen tak berkomentar. Ia benar-benar hanya menjadi pendengar. Bahkan saat Bu Ani mengucapkan terima kasih padanya, Shaneen pun hanya membalas dengan senyuman. Shaneen tak merasa Bu Ani perlu berterima kasih padanya karena ia tak tahu apa-apa. Bukan dia yang meminta Yasa datang. Shaneen juga bingung bagaimana Yasa tahu tentang panti asuhan ini.
"Sekarang jelasin. Ini semua apa?" Shaneen memaksa Yasa menghentikan langkah. Yasa sama sekali tak melepaskan genggamannya di tangan Shaneen.
"Kayak yang tadi aku bilang ke Bu Ani."
"Kenapa?"
"Apa?"
Shaneen hembuskan napas panjang. "Jangan berbelit-belit. To the point aja."
"Maksud kamu kenapa di sini?"
Shaneen mengangguk. Yasa menarik napas tenang. "Karena kamu di sini, makanya aku ke sini."
Sontak kening Shaneen mengerut. Ia tak paham.
"Aku tau kamu sering ke sini. Aku tau kamu udah lama berhubungan sama panti asuhan ini. Kalau kamu mau marah karena aku selidikin soal kamu, silakan. Tapi satu hal yang kamu harus tau, aku nggak punya niat buruk. Tapi kalau kamu tanya apa alasan utama aku milih panti ini karena kamu, jawabannya iya. Tapi setelah aku lihat secara detail, aku juga sesuai sama panti asuhan ini."
"Terus tau dari mana gue lagi di sini? Tadi gue lihat lo lagi sama Nata."
"Di restoran?"
Satu alis Shaneen terangkat. Apa itu artinya Yasa hanya bertemu Nata di restoran saja?
"Ya, aku lagi ada urusan sama dia, soal kegiatan di panti asuhan ini."
Shaneen menarik napas dalam. Ia menarik tangannya kemudian melipatnya di dada." Harus Nata?"
"Nggak sih. Tapi dia mau ya udah. Dia mengajukan diri dan aku nggak punya alasan buat nolak. Tapi," Yasa menjeda. "Kalau kamu nggak setuju, aku bisa ganti orang lain. Nggak susah nyari psikolog. Temen aku banyak. Temen kamu pasti juga banyak."
Shaneen terdiam.
"Kenapa harus keputusan gue? Itu urusan lo terserah lo."
"Aku ke sini karena kamu. Semuanya harus sesuai keputusan kamu."
Kening Shaneen mengerut lagi. "Lo ngelakuin ini buat apa? Gue pikir lo udah nggak interested sama gue."
"Maksudnya?"
"Lo ngejauh."
"Aku?"
"Ada orang lain?"
"Apa yang bikin kamu mikir gitu?" tanya Yasa tampak agak terkejut.
"Banyak hal."
"Apa?"
"Banyak."
"Ya, apa?"
"Tanggalnya diundur jauh banget. Bukan sekali gue lihat lo ketemu Nata dan ketawa bahagia sama dia."
Yasa memejamkan mata sesaat, lalu menghembuskan napas. Terlihat raut wajahnya menunjukkan ekspresi 'lagi?'.
"Jadi kamu kesel karena tanggal pernikahannya diundur jauh?"
"Gue nggak bilang gue kesel.." Shaneen melotot karena Yasa tiba-tiba menarik pinggangnya hingga tubuh mereka bertubrukan.
Yasa memeluk pinggang kecil Shaneen dengan erat. "Aku lagi diskusi sama Papa buat nyari jalan lain. Dan aku udah dapat jalannya. Tapi aku belum sempat kasih tau kamu karena masih ada yang harus aku kerjakan dan ya, kerjaan aku itu juga cukup penting. It's okay kalau kamu mau marah tapi aku nggak pernah punya pikiran menyepelekan soal pernikahan ini. Aku udah telfon-telfon kamu tapi nggak diangkat."
"Lo nelfon gue beneran?"
"Kamu pikir?"
Shaneen tak menjawab.
"Dan soal aku ketemu Nata dan ketawa bahagia," ujar Yasa sembari menekan kata ketawa bahagia, "Aku emang bahagia. Kamu nggak salah lihat. Tapi aku nggak ketawa bahagia karena Nata. Aku ketawa bahagia karena plan yang dia jelaskan. It's a really good activity for children. Aku excited dan itu bikin kamu salah paham."
Shaneen memutar bola mata. "Lo pikir gue cenayang bisa tau tanpa lo kasih tau?"
Yasa tertawa dan itu terlihat sangat manis. "Nggak. Kamu kan manusia modern. Tapi aku nggak tau kalau kamu mungkin punya sixth sense.."
"Nggak lucu."
"Udah lama banget aku nggak lihat kamu judes. Udah berapa lama kita nggak ketemu? Habis sakit kamu jadi makin judes ternyata.."
Shaneen menatap Yasa kesal.
"Tapi aku kaget."
"Apaan?"
Yasa mencebikkan bibirnya. "Kamu lihat aku sama Nata ketawa bahagia," lagi--menekan kata ketawa bahagia, "Tapi kamu nggak melakukan apapun. Aku pikir kamu bakal datang terus jambak rambut Nata, atau mungkin nyiram aku pakai air." Yasa mengedipkan sebelah matanya. Astaga, apa-apaan itu barusan?
Shaneen tak asing dengan flirting semacam ini. Tapi dia terkejut karena Yasa yang melakukannya. Ia pikir Yasa tak tahu bagaimana cara mengedipkan mata.
Yasa Hara Lantawi. Si bungsu Lantawi pandai flirting?
"Lo pikir gue segila itu?"
"Iya."
"Nggak bakal. Gue barbar juga ada tempatnya. Nggak banget karena cowok."
"Oh ya? Gimana kalau nanti kita udah nikah?"
"Itu lain cerita. Kalau udah nikah lo suami gue." Shaneen menarik napas dalam. Ia mulai terbiasa berada di dalam pelukan Yasa atau berada dalam jarak sedekat ini dengan Yasa. Istilahnya apa? Sedekat nadi? Ehemm
"Gue cuma mau bilang ini sama lo. Gue nggak mau berebutan laki-laki sama siapapun. Apalagi sampai berantem karena laki-laki. Gue lempeng bukan berarti gue nggak peduli. Kalau lo sama gue udah nikah, gua cuma mau lo sadar posisi lo dan gue juga akan sadar sama posisi gue."
Yasa mendengarkan dengan seksama. Ia bahkan tak melepaskan tatapannya dari wajah Shaneen. Lebih tepatnya dari bibir Shaneen yang sedang bergerak.
Tiba-tiba Yasa mengulurkan tangan, menyampirkan rambut yang menutupi pipi Shaneen ke belakang telinga.
"Aku tau. Aku nggak akan langgar soal itu."
Keduanya kemudian sama-sama terdiam.
"Yuk.." Yasa melepaskan pinggang Shaneen dan menggenggam kembali tangan Shaneen meninggalkan panti. Ini tempat umum. Yasa takut kelepasan.
"Jadi lo tau dari mana gue di sini?"
"Hiro. Aku telfon dia tadi."
"Hiro mana?" Shaneen mengedarkan pandangan dan tak menemukan keberadaan Hiro dan mobilnya. Seingatnya tadi Hiro bilang akan menunggu.
"Waktu datang aku suruh dia balik."
Yasa melaju mobilnya meninggalkan panti asuhan.
...
Shaneen baru saja selesai mandi. Ia belum mengenakan produk apapun pada wajahnya. Wajahnya masih sangat polos dan dia memang terlihat seperti bayi. Gadis itu menatap pantulan dirinya di kaca.
"Berasa kayak kurusan," ucapnya. Ia kemudian melangkah mencari timbangan. Shaneen lalu naik. "Beneran..." ia menghela napas. Shaneen tak menyangka persiapan pernikahan akan membuatnya turun berat badan. Padahal tak ada yang ia lakukan. Semuanya sudah beres dan ada yang mengurus. Ia terima bersih saja. Mama Yasa minta bertemu kemarin ternyata untuk memberikan Shaneen perhiasan. Ia meminta Shaneen memilih apa saja yang gadis itu inginkan dan jumlahnya tidaklah sedikit.
Shaneen kemudian memeriksa tanggal. Ia belum datang bulan padahal sudah lewat 3 hari dari tanggal seharusnya.
"Apa karena stres ya?" ia menerka. Dering ponsel menarik perhatian Shaneen. Ia mencari keberadaan benda pipih itu. Ternyata masih di dalam tas. Shaneen mengambilnya dan menemukan nama Yasa di layar tengah melakukan panggilan video. Kening Shaneen mengerut.
Ia menjawab tanpa pikir panjang. Shaneen lupa ia belum memakai riasan dan yang paling penting dia belum pakai baju. Hanya pakai handuk saja. Rambutnya yang basah juga hanya digulung handuk.
"Kenapa?" tanya Shaneen langsung begitu menjawab panggilan.
Yasa melotot dan wajahnya tampak agak memerah. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian berdehem pelan. Shaneen mengerutkan kening dengan reaksi Yasa. Sesaat kemudian Shaneen ikut terdiam, baru sadar kalau dia dalam kondisi 'half naked' alis sangat terbuka sekali. Tapi Shaneen tak bergerak. Rasanya akan sangat canggung dan aneh kalau dia tiba-tiba mematikan sambungan.
"Kenapa?" ulang Shaneen mencoba bersikap biasa. "Eh sebentar, kok kayaknya lokasi di belakang lo familiar banget. Itu kayak.. lo lagi di rumah gue ya?"
"Iya. Aku di depan."
"Sejak kapan?"
"Baru sampai."
"Astaga.." Shaneen melotot. "Kok nggak bilang mau datang?"
Yasa tersenyum. Seingatnya Shaneen Gomez tak begini. Ke mana perginya si barbar? Tapi bolehkah Yasa bilang dia suka Shaneen yang seperti ini? Manis. Apalagi wajah polos Shaneen setelah mandi terlihat sangat menggemaskan sekali.
"Ini aku udah bilang. Tapi sebenarnya tujuan utama ke sini bukan mau ketemu kamu. Tapi mau ketemu kamu juga."
"Ih aneh gue denger lo ngomong gitu. Udah dibukain pintu kan? Gue turun bentar lagi.."
"Okay.."
Shaneen meletakan ponsel di atas meja nakas, mencharger benda pipih itu. Selesai memakai baju dan makeup seadanya, Shaneen turun ke lantai dasar. Di sana Yasa tengah berbincang dengan Arkan dan Sasilia. Ketiganya terlihat serius.
"Loh kenapa belum siap?" tanya Sasilia.
"Emang mau ke mana?"
"Ini Yasa udah datang.."
"Dia nggak bilang mau pergi. Dia datang aja baru ngasih tau pas depan pintu," ujar Shaneen jujur. Sasilia melotot tapi Shaneen malah mengendikan bahu cuek. Kenyataannya memang begitu.
"Nggak apa-apa Tante. Gini aja udah cantik banget."
Shaneen memutar bola mata.
Sasilia tersenyum.
"Mau berangkat sekarang?"
Yasa mengangguk.
"Tunggu, mau ke mana dulu nih? Bajunya cuma gini.."
"Nggak apa-apa. Aku udah bilang cantik."
Dan coba tebak Yasa membawa Shaneen ke mana? Ya, ke vila yang Shaneen minta untuk dijadikan mahar. Semuanya sudah selesai dan 5 set vila itu sudah atas nama Shaneen.
Gila.
...
"Loh udah balik?" Sasilia mengerutkan kening menemukan Shaneen dan Yasa ada di taman samping dekat kolam tengah bersantai.
"Udah. Mami mau ke mana?"
"Keluar sama Papi. Nanti sekalian mau makan malam di rumah Bunda Risa. Ikut?"
"Nggak ah."
"Yaudah. Yasa jangan sungkan ya. Kalau mau sesuatu bilang aja sama Shaneen. Tante pergi dulu.."
"Hati-hati Mi.."
"Hati-hati Tante.."
Sasilia berlalu. Shaneen kembali meneguk minumannya. Tadi Yasa mengajaknya jalan-jalan. Tapi Shaneen sedang malas. Jadilah mereka quality time di rumah.
"Kenapa dulu lo mau pas disuruh balik ke Indonesia? Sebenarnya gue denger lo ngomong masih jelas banget Bahasa Indonesia lo nggak lancar."
"Udah waktunya balik, ya balik."
"Waktunya? Waktu apanya?"
"Ya waktunya. Aku emang nggak punya rencana mau menghabiskan seumur hidup di luar negeri. Ke sana cuma buat pendidikan dan cari pengalaman. Aku ngerasa udah cukup makanya aku balik."
"Simple banget lo mikir."
"Kebetulan bisa dibikin simple."
"Gue boleh nanya sesuatu?"
"Boleh." Yasa melipat tangannya di d**a.
"Lo ngerasa nggak Nata ada niat lain deketin lo? Jujur aja, gue nggak lihat Nata sesederhana itu."
"Terus kenapa nggak minta Nata diganti aja kalau emang nggak nyaman?"
"Gue nyoba mengesampingkan urusan pribadi sama kerjaan."
Yasa hembuskan napas pelan. "Tapi kamu sebenarnya nggak nyaman dengan keberadaan dia."
"Iya."
"Good karena kamu jujur. Aku nggak tau soal hati dan pikiran Nata. Bukan karena aku pura-pura nggak peka atau mau sok cuek, tapi emang karena aku nggak peduli. Dia punya niat ya terserah dia. Aku bisa apa? Dia nggak ngomong apa-apa. Kalau dia ngomong langsung aku bisa tegasin ke dia buat jauh. Tapi dia nggak pernah ungkit soal itu. Tiap ketemu kami murni bicara soal kerjaan."
Shaneen mendengarkan tanpa menyela. Apakah Shaneen berpikir terlalu jauh?
"Tapi itu hak kamu untuk ngerasa kayak gitu. Thanks karena udah ngasih tau aku apa yang kamu rasain dan pikirin. Aku ngerasa kamu bener-bener udah siap buat jadi istri aku?"
Shaneen menoleh dengan pelototan. Yasa tertawa. Shaneen geleng-geleng. Keduanya kemudian kembali bersantai, menikmati cuaca yang bagus dan minuman yang menyegarkan.
***