10. What Is Wrong With Us?

1708 Words
Suara tangisan itu membawa Azura melangkah mendekat. Seingatnya Papanya belum kembali. Lalu siapa yang ada di rumahnya? “Kak Rifki..” panggil Azura ragu-ragu ketika mendorong pintu kamar. Ternyata memang Rifki yang ada di sana, terduduk di lantai bersandar pada tempat tidur. “Kakak kenapa?!” Azura terkejut melihat kondisi sepupunya itu. Ia bergegas mengejar Rifki. Ia tak menemukan mobil Rifki di depan, jadi tak tahu kalau Rifki ada di rumahnya. Azura makin bingung dan juga khawatir saat melihat wajah dan mata Rifki yang basah. “Ra..” “Kakak kenapa? Ada yang sakit?” Rifki menatap adik sepupunya itu. Ia kemudian memegangi dadanya. “Sakit banget di sini, Ra. Sakit banget..” Azura tentu saja bingung. Tak pernah ia melihat Rifki seperti ini. Rifki yang Azura kenal adalah pria yang cerdas, tak ribet, tak banyak bicara dan juga tangguh. Ini pertama kali Azura melihat pria itu bersimbah air mata. “Kita ke rumah sakit ya.. ayo..” Rifki menggeleng. “Nggak bisa, Ra. Nggak akan bisa sembuh sampai kapanpun. Sakitnya akan ada di sini terus..” Azura terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Akhirnya ia hanya bisa memeluk abang sepupunya itu. … Yasa menatap layar ponselnya. Pria itu menghembuskan napas pelan. Ia akhirnya menekan tombol power lalu masukan ponselnya ke kantong celana. Yasa urungkan niatnya menghubungi Shaneen. Yasa baru kembali ke rumah saat jam sudah menunjuk di angka 11 malam. Tadi dia bertemu dengan teman-temannya. Yasa meletakan ponselnya di atas meja kemudian hilang ke kamar mandi. Saat Yasa keluar kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh dibalut handuk, ponselnya berdering. “Hiro?” Yasa langsung menjawab panggilan itu. “Halo..” “Maaf Tuan Yasa, anda di mana?” “Di rumah. Ada apa?” Yasa memeriksa jam. Sudah jam 12 malam. “Apa bisa ke rumah sakit? Nona Shaneen masuk rumah sakit..” “Shaneen?! Oke.” Yasa langsung memakai bajunya tanpa pikir panjang. Ia melaju mobilnya membelah jalan raya. Hiro mengangkat tangannya. Yasa kemudian langsung menghampiri asisten calon istrinya itu. “Mana Shaneen?” “Di dalam.” Yasa mengetuk dua kali kemudian masuk. Di dalam ada Sasilia dan juga Xylona. “Eh Yasa, kapan sampai?” Sasilia terkejut dengan kehadiran calon menantunya itu. “Baru aja, Tante. Shaneen gimana?” “Demam dia. Duh maaf ya ngerepotin Yasa udah malam nyamperin ke sini..” “Nggak apa-apa, Tante. Kebetulan tadi lagi di sekitar sini..” Xylona memandangi calon iparnya itu dengan senyum misterius. “Ayo Mami sama Papi pulang aja, biar dianter sama Noah. Aku yang bakal jaga di sini,” Xylona kembali meyakinkan ibu mertuanya itu. “Tapi—“ “Nggak apa-apa, Tante. Aku juga bakal jaga di sini. Tante istirahat aja..” Yasa menambahkan. Xylona tersenyum. “Aku telfon Noah dulu..” Xylona segera menelfon suaminya yang tadi mencari minum dengan Arkan. Tak lama Noah dan Arkan kembali. Awalnya Arkan ragu meninggalkan sang putri. Tapi Xylona meyakinkan kalau Shaneen akan baik-baik saja. Quin juga sudah datang menjenguk adik sepupunya itu. Arkan dan Sasilia akhirnya pulang diantar oleh Hiro. Noah, Xylona dan Yasa tinggal di rumah sakit menunggu Shaneen. Kini hanya ada Yasa saja di dalam ruangan bersama Shaneen yang tidur. Xylona dan Noah keluar untuk mencari makanan. Sepertinya Xylona sedang ingin makan sesuatu. Yasa menarik kursi ke dekat tempat tidur. Shaneen terlihat nyenyak dalam tidurnya. Selang infus terpasang. Entah sejak kapan Shaneen demam. Kemarin Yasa bertemu gadis itu Shaneen terlihat sangat sehat. “Kamu sadar nggak kalau muka kamu kayak bayi kalau lagi tidur gini?” Yasa tersenyum. “Rasanya susah buat percaya kalau wajah ini yang selalu marah-marah. Muka kayak bayi tapi temperamen kamu horor banget..” Yasa masih memandangi lurus wajah Shaneen. Yasa teringat awal mula ia dan Shaneen ada dalam situasi ini. Entah dari mana ide itu datang. Di antara semua gadis yang ada, Yasa tak tahu kenapa ia malah menyeret Shaneen ke dalam hidupnya. Tapi idenya memang ampuh. Terbukti orang tuanya langsung menyerah menjodohkannya begitu ia membawa Shaneen. “Orang tua aku suka banget sama kamu. Aku nggak tau apa yang mereka suka dari kamu, Shaneen..” Yasa menarik napas dalam. “Rivi..” Shaneen tiba-tiba meracau. “Rivi..” “Shaneen..” Yasa refleks menangkap tangan Shaneen yang bergerak gelisah. “Rivi..” Yasa akhirnya menggenggam tangan Shaneen barulah gadis itu diam dan kembali tenang. Hembusan napas yang semula memburu juga sudah kembali normal. Sepertinya Shaneen mimpi buruk. Tapi siapa Rivi? … Shaneen membuka mata. Ia mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar sadar. “Yasa?” Panggil gadis itu setengah tak percaya. Si pemilik nama menoleh. “Kamu udah bangun?” Di sofa Xylona dan Noah tampak tengah tidur dalam kondisi Xylona dirangkul oleh sang suami. “Ini jam berapa?” “Jam 3..” “Lo ngapain di sini?” Shaneen bangkit. Yasa membantu. “Kamu butuh sesuatu?” “Tolong ambilin minum..” Yasa mengulurkan gelas berisi air putih. “Hiro nelfon aku, ngasih tau kamu masuk rumah sakit. Makanya aku ke sini..” Yasa tiba-tiba menempelkan punggung tangannya ke dahi Shaneen. Gadis itu sontak termagu. “Udah nggak panas. Masih pusing?” Shaneen menggeleng. Ia masih shock dengan apa yang terjadi. “Lo-lo ke sini karena ditelfon Hiro?” Yasa mengangguk. Shaneen tak ingin percaya, tapi Yasa memang ada di depannya. Sungguh? “Jadi lo dari tadi di sini?” Shaneen menelan ludah. “Nungguin gue?” Yasa mengangguk tanpa ragu. “Kenapa?” Kening Yasa mengerut. “Apanya yang kenapa?” “Lo ke sini. Gue tau kita mau nikah, tapi, tapi lo nggak perlu sampai ngelakuin sejauh ini. Nggak perlu terlalu baik sama gue..” Yasa tersenyum simpul. “Kamu mikirnya kejauhan. Aku cuma nungguin kamu yang lagi demam, nggak donorin ginjal supaya kamu tetap hidup..” Shaneen sama sekali tak tertawa dengan candaan Yasa. Wajar kan kalau Shaneen terkejut dengan keberadaan Yasa tengah malam di dalam kamar rawatnya? Apa yang Yasa lakukan? Menungguinya? Sungguh? “Gue serius, Yasa..” “Aku juga serius. Aku cuma nungguin kamu, bukan sesuatu yang besar..” ya, hal kecil di mata Yasa. Tapi itu sepertinya bukan hal kecil di mata Shaneen. “Gue nggak mau tau soal masa lalu dan hidup lo, tapi kali ini gue mau tanya, apa lo selalu gini ke cewek-cewek lo sebelumnya? Nungguin mereka waktu sakit?” Yasa menaikkan alisnya sesaat, lalu menggeleng dengan santai. “Nggak.” Alis Shaneen terangkat. “Kamu yang pertama aku tungguin gini. Nggak bisa dibilang aku juga sih, tuh ada kakak sama kakak ipar kamu juga di sini..” Shaneen hembuskan napas pelan. Ia sama sekali tak menaruh perhatian pada keberadaan Noah dan Xylona. Karena bukan itu masalahnya. Tak peduli Yasa sendiri atau punya teman, tetap saja pada kenyataannya pria itu menunggu kan? “Masih jam 3. Kamu tidur lagi. Istirahat biar cepat pulih..” Shaneen kembali memandangi Yasa dan tatapan keduanya bertemu di satu titik. “Oh iya, ada yang mau aku kasih tau sama kamu. Ini soal tanggal pernikahan. It’s okay kalau tanggalnya diundur. Nggak perlu dipercepat. Kasih aja Elina sama Kael nikah duluan..” Shaneen masih belum merespon. “Gimana? Nggak masalah kan?” Shaneen menarik napas dalam. “Terserah. Gue ikut aja.” Yasa mengangguk. Pria itu kemudian sibuk berkutat dengan ponselnya. Shaneen tak tahu apa yang ada di dalam benda pipih itu. Yang jelas Yasa tampak fokus sekali. Mungkin ada yang sangat penting di sana. Ya, mungkin. … Setelah perundingan, akhirnya Yasa dan Shaneen mengalah. Elina dan Kael akan menikah lebih dulu. Shaneen tak tahu alasan kenapa Yasa akhirnya memilih untuk memundurkan pernikahan mereka. Shaneen juga tak bertanya alasannya. “Oke, langsung dikirim aja..” ucap Shaneen setelah membubuhkan tanda tangannya di atas berkas. “Baik. Saya permisi, Bu.” “Hm..” Shaneen kembali fokus pada komputernya. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir ia bertemu Yasa. Pertemuan terakhir mereka adalah pertemuan dengan Kael dan Elina tentang tanggal pernikahan. Setelah hari itu Shaneen tak bertemu Yasa lagi. Pria itu juga tak menghubungi Shaneen. Yasa seperti hilang ditelan bumi. “Maaf Bos, mau makan siang di mana?” Hiro datang membuyarkan lamunan Shaneen. Gadis itu hembuskan napas pelan. Ia hampir lupa jam makan siang. “Makan di luar aja..” “Baik, Bos.” Shaneen mematikan komputer kemudian bangkit. Ia dan Hiro meninggalkan ruangan. Tak ada obrolan apapun selain masalah pekerjaan. Shaneen tengah mendengarkan penjelasan Hiro saat matanya menangkap dua sosok tengah memasuki restoran tempat ia sedang makan bersama Hiro. Yasa dan Nata, lagi? Shaneen hembuskan napas pelan. Suapannya tertahan. Hiro yang menyadari perubahan raut pada wajah sang Bos lantas ikut menoleh ke arah tadi Shaneen melihat. “Tuan Yasa..” Shaneen menarik napas dalam. “Lanjut. Tadi kamu ngomong apa?” Hiro memperhatikan Shaneen sebentar, ragu untuk melanjutkan penjelasannya. Tapi akhirnya Hiro lanjutkan penjelasannya. “Oke. Saya nggak ada masalah soal itu. Tapi saya mau lihat dulu data trendnya..” Hiro mengangguk. Shaneen meneguk habis sisa air putih dingin di dalam gelas. Shaneen memandangi layar ponselnya yang tak menunjukkan tanda-tanda ada pesan atau panggilan masuk. Ya, Shaneen menunggu pesan atau panggilan dari Yasa. Tapi sampai beberapa menit menunggu hal itu tak kunjung ia dapatkan. “Ayo..” Shaneen bangkit. Ia meninggalkan restoran setelah melakukan p********n. … “Saya mau ke panti, kamu kalau mau pulang nggak apa-apa..” “Nggak, Bos. Saya antar ke sana..” “Oke.” Shaneen hendak masuk ke dalam mobil saat ponselnya bergetar. “Halo, Mi..” Shaneen masuk kemudian Hiro menekan pedal gas. “Mamanya Yasa? Kapan?” Shaneen melihat jam tangannya. “Malam kan? Oke..” Shaneen mengirim pesan pada Arshavina kalau dia tak jadi datang malam ini ke rumah sepupunya itu karena ia harus bertemu dengan Mama Yasa. Shaneen tak tahu kenapa tiba-tiba Mama Yasa ingin bertemu dengannya. Kenapa pula harus melewati Maminya? Tak bisakah Mama Yasa menghubunginya secara langsung? Datang ke panti benar-benar memperbaiki mood Shaneen. Bertemu Lila dan bertemu dengan anak-anak panti lainnya. Shaneen suka melihat senyum dan tawa di wajah mereka. Oleh karena itu Shaneen tak pernah lupa untuk membawakan oleh-oleh baik berupa makanan atau mainan. Shaneen tersenyum melihat Lila yang tengah bermain dengan riang bersama teman-temannya. Tiba-tiba perkataan Rifki berkelebat di dalam kepalanya. “Jika kecelakaan itu tak terjadi, maka dia sudah sebesar Lila sekarang..” Shaneen tersenyum kecut. “Ya, harusnya Rivi udah sebesar Lila sekarang..” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD