“Lo nggak tinggal sama orang tua lo ya?” Shaneen merapikan kemeja Yasa. Pria itu sudah boleh keluar rumah sakit pagi ini.
“Kenapa?” Yasa balik bertanya.
“Lo larang gue nelfon orang tua lo. Tapi ini lo mau balik ke rumah tetap aja orang tua lo bakal tau..”
“Ya udah pagi, nggak masalah. Kalau nelfon tadi malam mereka bakal kaget banget.”
Kening Shaneen mengerut. Ia tak paham konsep hidup pria di depannya ini.
“Terserah lo lah.” Shaneen mengekori Yasa meninggalkan kamar rumah sakit.
“Ca!”
Shaneen dan Yasa menghentikan langkah. Yang memanggil ternyata Yasmine.
“Min..”
“Loh kenapa, Yas?” tanya Yasmine terkejut.
“Ada insiden dikit,” jawab Yasa sembari tak lupa tersenyum. Yasmine jelas bukan Shaneen. Jadi Yasa tak perlu berpikir untuk tersenyum.
“Astaga. Sejak kapan di rumah sakit?”
“Tadi malam.”
“Kamu juga, Ca?”
“Juga apa? Juga kecelakaan apa juga di rumah sakit? tanya Shaneen.
“Dua-duanya.”
“Nggak kecelakaan, tapi udah di rumah sakit dari tadi malam. Nih nungguin orang nggak jelas ini.” Shaneen menoleh sebentar pada Yasa.
Yasmine melotot pada adik sepupunya itu. Tatapannya seolah memberi isyarat agar Shaneen lebih lembut dan lebih sopan sedikit. Tak hanya karena Yasa adalah calon suami Shaneen tapi juga karena pria itu lebih tua darinya.
“Kak Al mana?”
“Lagi sama Eiro di tempat Kak Quin. Yaudah sana balik. Hati-hati. Ini pake apa kalian baliknya?”
“Mobil aku,” jawab Shaneen.
Ketiganya berpisah. Yasa melirik Shaneen yang jalan di sebelahnya. Entah apa yang sedang Shaneen pikirkan.
“Yasa!”
Tak perlu melihat, Shaneen tahu itu suara siapa. Memang siapa lagi kalau bukan Nata?
“Udah mau balik ya?”
Yasa mengangguk.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
Hening.
Nata melirik Shaneen seolah memberi kode bahwa ia ingin bicara berdua saja dengan Yasa. Shaneen menarik napas pelan.
“Lo nggak lihat dia lagi sakit? Ngomongnya harus sekarang?”
Nata tampak terkejut. Sesaat kemudian wajahnya berubah merah, terlihat marah.
“Sepenting apa sampai lo nggak mau ngomong depan gue?”
Yasa meraih lengan Shaneen. “Masih pagi,” ucap pria itu pelan.
“Mau ngomong apa, Nat? Ngomong aja.” Yasa akhirnya menengahi. Ini masih sangat pagi. Mood Shaneen tak bisa ditebak. Yasa tak mau bertengkar dengan Shaneen seharian hanya karena masalah ini. Bukan karena takut Shaneen marah dan merajuk, tapi Yasa sedang tidak mood untuk banyak berpikir. Belum lagi nanti menghadapi Mamanya yang bawel karena melihat kondisinya ini.
“Hm get well soon ya,” ucap Nata.
“Anjir,” umpat Shaneen pelan. “Mau ngomong itu doang.”
“Kalau ada apa-apa telfon aku ya.”
Shaneen langsung menatap Nata lurus.
“Thanks, karena perhatian sama calon suami gue. Tapi lo nggak perlu khawatir sih. Keluarga gue banyak yang dokter. Kalau ada apa-apa gue sendiri yang bakal hubungi dokter. Lo bisa fokus buat ngerawat pasien-pasien lo. Gue tau psikolog tuh sibuk.”
Kembali Nata menatap Shaneen dengan kening mengerut dan mata tajam. Jelas ia tak suka pada Shaneen.
“Makasih,” ucap Yasa kemudian segera membawa Shaneen pergi. Jangan sampai ini berbuntut panjang.
Shaneen masuk ke dalam mobilnya disusul Yasa. Tadi Yasa pikir Shaneen akan mengamuk padanya saat sampai di mobil. Tapi Yasa salah. Shaneen langsung menyalakan mobil kemudian melaju mobilnya meninggalkan rumah sakit—tanpa mengatakan apapun lagi.
…
Seperti yang sudah diduga, orang tua Yasa terkejut. Mamanya langsung mencerca Yasa dengan berbagai pertanyaan yang tak satupun Yasa jawab karena sang Mama tak berhenti bicara.
“Shaneen nggak kenapa-kenapa kan?”
Shaneen menggeleng.
“Makanya Yasa udah berapa kali Mama bilang jangan kenceng-kenceng bawa mobilnya. Kamu ini bandel banget.”
“Maa, udah,” ucap Yasa akhirnya. “Aku mau istirahat. Kepala aku pusing jadi tambah pusing karena omelan Mama..”
Nyonya Lan mencibir. “Emang gini dia, susah dinasehatin,” Wanita itu mengadu pada sang calon menantu.
Shaneen merespon dengan tersenyum tipis. “Kalau gitu aku pamit dulu, Tante.”
“Loh, tunggu. Kenapa buru-buru? Ayo sarapan dulu..”
“Eh nggak usah, Tan. Aku—“
“Udah jangan malu-malu. Ayo. Hm atau sarapannya di kamar Yasa aja. Nanti Tante anter ke atas. Udah sana..” Nyonya Lan mendorong keduanya.
Shaneen kebingungan. Ingin menolak tapi terlambat. Akhirnya ia mengikuti langkah Yasa ke kamar pria itu.
Memasuki kamar Yasa yang pertama kali Shaneen lakukan adalah menyisir seluruh ruangan yang sangat besar itu. Kamarnya rapi dengan konsep yang hangat dan elegan. Shaneen mengangguk-angguk kecil.
“Ngapain nyokap lo nyuruh sarapan di kamar lo?”
Yasa yang sedang memperbaiki posisi arm-slingnya lantas menoleh. “Apa?” tanyanya balik.
“Nyokap lo, kenapa enteng banget nyuruh gue masuk kamar lo? Lo sering ya bawa cewek? Hm tapi nggak heran sih.” Shaneen menyisir Yasa dari atas ke bawah lalu kembali ke atas. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan ‘keliatan sih’.
Alis Yasa terangkat. “Apa maksud kamu? Aku nggak pernah bawa cewek masuk kamar.”
“Yakin lo? Nggak usah malu sama gue. Gue maklum kok. Lagian lo lama tinggal di luar negeri, jadi wajar.”
“Kamu juga lama tinggal di luar negeri?”
“Maksud lo apaan?”
“Maksud kamu tadi apa?”
Shaneen menatap Yasa. “Maksud lo gue nggak perawan?” Tanya gadis itu to the point.
“Bukan aku yang bilang.”
“Terus kenapa kalau gue udah nggak virgin?”
Yasa menatap calon istrinya itu. Keduanya beradu tatap saling menantang.
“Kamu udah nggak virgin?” tanya Yasa balik.
“Enggak,” jawab Shaneen enteng. “Kenapa? Nyesel? Atau mau bat—“
“Kamu tuh ya, apa-apa selalu aja arahnya ke sana. Enteng banget bilang batal.”
Shaneen mencebikkan bibirnya cuek. “Siapa tau. Cowok kan suka gitu. Sendirinya suka jajan sana-sini tapi maunya dapat cewek spek bidadari suci bersih.”
Yasa menghembuskan napas pelan. Ia kemudian membuka kancing kemejanya. Pria itu cukup kesulitan saat hendak membuka kemeja karena kondisi tangannya.
Shaneen menghela napas kemudian menghampiri. Tanpa mengatakan apa-apa ia bantu Yasa melepaskan kemeja.
“Lo nggak terlihat seperti orang yang suka olahraga. Tapi body lo not bad.”
Yasa tak menggubris. Diam lebih aman. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Nyonya Lan muncul di sana bersama ART-nya.
“Mama percaya Yasa sama Shaneen nggak bakal macam-macam sebelum nikah,” ucap wanita itu entah apa maksudnya. Ia tersenyum sangat manis.
“Ini ya sarapannya. Kalau butuh apa-apa panggil aja ya.”
“Makasih, Tante.”
“Sama-sama Sayang.”
Pintu kembali tertutup.
“Keren juga nyokap lo. Pantes Mami gue suka ngobrol sama nyokap lo.” Shaneen melangkah mundur. “Mau dibantu apa lagi?”
Yasa menggeleng. Pria itu berlalu ke kamar mandi. Tak lama ia kembali dengan wajah basah. Yasa menyeka sisa air di wajahnya dengan handuk kecil.
“Ayo sarapan.”
“Hm. Sebenarnya gue nggak laper. Tapi ya udahlah.” Shaneen dan Yasa menikmati sarapan dalam keheningan. Yasa makan dengan kondisi tubuh atas hanya ditutup handuk kecil. Tapi Shaneen terlihat tak terganggu sama sekali.
“Boleh aku nanya?” Yasa memecah keheningan.
“Hm.”
“Kenapa cewek-cewek banyak terobsesi punya badan kurus?”
Shaneen menoleh.
“Padahal nggak semua cowok suka cewek kurus.”
“Nah itu. Karena nggak semua cowok suka cewek kurus. Tapi populasi cowok yang menganggap cewek kurus itu cantik jumlahnya hampir 90%.”
Shaneen meneguk s**u di dalam gelas. “Tapi gue nggak gitu. Gue nggak peduli sama pikiran cowok-cowok. Hidup gue punya gue.”
“Iya karena kamu cantik dan punya semuanya.”
“Yap lo bener. Tapi kalaupun gue nggak cantik dan nggak punya semuanya gue nggak bakal mau juga disetir sama cowok. Gue bersyukur karena gue dikasih Tuhan muka cantik dan lahir di dalam keluarga berada. Itu nggak bisa dipungkiri. Gue emang dikasih banyak kelebihan sama Tuhan. Tapi bukan itu yang bikin gue pede. Banyak kok orang yang ada di posisi sama kayak gue tapi masih insecure. Lo tau kenapa?”
Yasa mendengarkan.
“Kurang bersyukur. Kalaupun gue nggak terlahir sebagai Shaneen Gomez, gue bakal tetap kayak gini. Hidup gue ya gue yang punya. Yang berhak merendahkan dan menjatuhkan gue cuma Tuhan. Yang pasti Tuhan nggak akan merendahkan gue. Paling dikasih ujian. Namanya juga hidup.”
Yasa menarik sedikit sudut bibirnya. “Apa kamu selalu sesantai ini menjalani hidup kamu?”
“Kata siapa gue santai?” Shaneen membalas tatapan Yasa. “Tenang bukan berarti gue santai. Udahlah. Gue nggak perlu jelasin sama lo gimana gue ngejalanin hidup gue.” Shaneen menyudahi sesi sarapannya.
“Gue gampang aja. Lo nggak ganggu gue, gue nggak bakal ganggu lo. Tapi orang-orang suka banget nyenggol gue.”
Yasa pun selesai dengan sesi sarapannya. “Aku nggak tau kamu ini jenis orang yang kayak apa. Kadang kamu kayaknya temperamen banget. Aku pikir kamu punya bad anger-issue. Tapi kadang kamu bersikap tenang banget.”
Shaneen kendikkan bahu. “Terserah lo kalau mau anggap gue punya anger-issue atau punya temperamen buruk. Itu hak lo buat menilai.” Shaneen menyisir lagi seluruh ruangan. “Kamar lo lumayan. Kalau gue tinggal di sini lo nggak masalah kan kamar lo gue rombak?”
“Terus villa kemarin buat apa?”
“Kali aja gue berubah pikiran mau tinggal sama keluarga lo.” Shaneen bangkit dari sofa. Ia menyusuri rak berisi buku-buku. Ia manggut-manggut. “Kalau aja penampilan lo nggak kayak gitu, gue bener-bener mikir kalau lo itu nerd.” Shaneen mengambil satu buku. “Ngapain lo punya buku kedokteran?”
“Iseng.”
“Lo pernah pengen jadi dokter?”
“Hm.”
Shaneen manggut-manggut. “Karena Nata?”
Yasa memutar bola matanya. Pria itu bangkit kemudian berlalu ke walking closet. Yasa keluar dengan handuk dan pakaian.
“Mau ngapain lo?”
“Mandi.”
“Yaudah mandi aja. Gue cabut dulu.” Shaneen mengembalikan buku itu ke tempatnya. Langkah Shaneen terhenti ketika mendengar Yasa meringis. Ia batalkan niatnya untuk pergi.
“Sini gue bantuin.”
“Bantuin apa?” Yasa melotot.
“Ya mandi. Lo tinggal pake celana pendek, ribet banget. Nggak nafsu juga gue liat lo.”
Shaneen mendorong Yasa masuk kamar mandi.
“Lagian habis nikah juga gue bakal lihat semuanya,” sambung Shaneen enteng.
Yasa melotot.
Biasanya pria yang bicara begini. Tapi ini? Hm, Yasa lupa lagi kalau ini adalah Shaneen Gomez.
***