05. Curious

1717 Words
"Mau pake baju yang mana?"  "Terserah." Yasa sibuk berkutat dengan ponselnya. Shaneen kemudian mengambil salah satu kemeja yang tergantung di sana. Pagi ini Yasa dan Shaneen persis sempurna seperti pasangan suami istri.  Tak hanya kemeja, Shaneen juga memilihkan dasi untuk calon suaminya itu. Gadis itu terlihat cukup mahir. Mungkin untuk masalah fashion Shaneen memang tak perlu diragukan. Tapi bagaimana gadis itu begitu lincah dalam menyiapkan semuanya seolah ia sudah berkali-kali melakukannya?  "Kamu kayaknya pinter banget masalah ini.." Yasa harus akui kalau selera Shaneen sangat bagus dan yang paling menjadi perhatian Yasa adalah Shaneen terlihat tak ragu sama sekali melakukan semua ini. Apakah dia memang sudah terbiasa atau Shaneen memang 'cerdas' saja?  "Hm," gadis itu hanya menjawab dengan gumaman pelan.  Yasa menaikkan sebelah alisnya. "Kalau aku nggak kenal kamu aku pasti bakal mikir kamu udah pernah nikah."  Gerak tangan Shaneen terhenti sesaat.  "Berisik ya lo pagi-pagi gini," sahut gadis itu akhirnya. Yasa terlihat tak tersinggung. Agaknya Yasa mulai terbiasa.  "Udah." Shaneen melangkah mundur. "Apalagi?"  "Nggak ada. Kamu tunggu di luar. Aku mau pakai celana."  "Hm." Shaneen meninggalkan walking closet. Yasa dengan usaha yang lumayan sulit, akhirnya berhasil mengenakan celananya. Tak mungkin kan dia minta bantuan Shaneen untuk ini?  Yasa selesai dan sudah terlihat rapi. Shaneen tengah menatap ponselnya dengan serius. Ia tak melakukan apa-apa, hanya menatap layar ponselnya dengan mata menyipit.  "Kenapa? Ada masalah?" tanya Yasa.  Shaneen mengangkat wajahnya. "Gue harus pergi nih. Lo udah selesai kan?"  Yasa mengangguk. Keduanya meninggalkan kamar Yasa bersamaan.  "Selamat pagi Bos, Nona Shaneen."  "Kamu balik diantar sama Haga aja. Ga, anter Shaneen pulang."  "Siap, Bos."  "Nggak usah," Shaneen menoleh pada Yasa. "Gue sendiri aja pake mobil gue. Lo butuh asisten lo kan buat ke kantor. Nggak mungkin lo nyetir dalam kondisi kayak gini. Gue cabut dulu. Sampein salam gue ke nyokap sama bokap lo ya." Shaneen melenggang pergi. Ia masih melihat layar ponselnya seolah apa yang ada di sana sangatlah penting.  "Bos," Haga membuyarkan lamunan sang Bos. "Mau langsung ke kantor?"  Yasa hembuskan napas pelan. "Iya. Yang saya minta kemarin udah ada?"  "Sudah, Bos.."  "Oke." Yasa pamit pada orang tuanya. Tak lupa ia beritahu kalau Shaneen sudah pergi karena perempuan itu ada urusan mendadak. Yasa meninggalkan kediaman orang tuanya.  ...  Shaneen masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan kemarin malam. Kini ia ada di panti asuhan dan bertemu dengan Rifki.  Ada seorang gadis kecil yang tengah menangis. Suara tangisnya terdengar sangat pilu sekali. "Udah, udah. Jangan nangis lagi." Shaneen memeluk sambil mengusap-usap punggung gadis kecil itu.  Rifki berjongkok hanya berjarak setengah meter dari tempat Shaneen berada.  "Udah jangan nangis lagi ya.." Shaneen mengusap air mata di pipi si gadis kecil kemudian kembali memeluk gadis kecil itu.  Shaneen akhirnya menggendong gadis kecil itu kemudian membawanya ke kursi. Rifki lalu menyusul, berjongkok di dekat kursi.  "Terus Ibu Ani ngomong apa?" tanya Shaneen pada Rifki.  "Bu Ani nggak bisa ngomong banyak. Cuma bilang kalau beliau masih mempertimbangkan."  Shaneen menghela napas. Dia terlihat kesal.  "Lila mau es krim nggak? Nanti Kak Shaneen beliin es krim mau?" ini cara terakhir Shaneen membujuk gadis kecil ini agar tak menangis. Tapi kali ini gadis bernama Lila ini sepertinya sangat sedih karena bujukan Shaneen tak terlihat berhasil. Lila masih mendekap Shaneen dengan wajah sedihnya dan air matanya masih mengalir.  "Atau kita beli cake? Lila ingat nggak kemarin bilang ke Kak Shaneen kalau Lila pengen cake strawberry?"  Lila akhirnya mengangkat wajahnya. Shaneen tersenyum kemudian menghapus sisa air mata di pipi Lila. Gadis itu akhirnya mengangguk.  "Oke, kita beli cake strawberry ya."  Rifki tersenyum. Ia usap rambut Lila penuh sayang.  "Bu Ani mana? Aku mau izin ajak Lila keluar sebentar.."  "Tadi di belakang."  "Kakak jagain Lila bentar ya, aku mau izin. Jangan kasih tau anak-anak yang lain, nanti mereka pada salah paham."  Rifki mengangguk. Shaneen masuk ke dalam panti, menuju ke dapur. Di sana ada Bu Ani, kepala panti dan beberapa pengurus lain.  "Shaneen, kapan datang?" Bu Ani tampak terkejut. Masalahnya ini masih sangat pagi untuk Shaneen datang berkunjung.  "Udah beberapa menit, Bu. Bu Ani, aku izin ajak Lila keluar sebentar ya."  Seketika Bu Ani paham masalahnya ada di mana. "Rifki nelfon Shaneen ya? Maafin Ibu ya karena ngerepotin Shaneen terus."  "Ibu nggak ngerepotin. Jangan ngomong gitu. Kan Shaneen udah berkali-kali bilang kalau semua yang di panti ini udah Shaneen anggap keluarga."  Bu Ani menatap Shaneen dengan mata berkaca-kaca. Masalahnya bukan sekali dua kali Bu Ani ataupun orang-orang di panti ini dibantu oleh Shaneen. Sudah tak terhitung lagi berapa kali. Shaneen kemudian pamit.  "Baik banget ya, Bu, Mbak Shaneen. Hm coba aja kalau dulu nggak pisah sama Mas Rifki, pasti--"  "Hush, jangan ngomong sembarangan," Bu Ani mengingatkan. "Jangan pernah ngomong soal ini lagi, udah berapa kali Ibu bilang?"  Bu Ani menghela napas, menatap ke arah Shaneen pergi tadi. Akhirnya yang bisa Bu Ani lakukan hanyalah berdoa untuk kebahagiaan kedua anak manusia itu.  Awalnya Shaneen hanya ingin mengajak Lila saja. Tapi akhirnya Rifki pun ikut bersama kedua gadis itu. Shaneen sesekali menoleh ke belakang memastikan kalau gadis berusia 3 tahun itu baik-baik saja di kursi belakang. Rifki menyetir dengan pandangan fokus tertuju ke depan. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.  "Ca.." Rifki memecah keheningan setelah beberapa menit berlalu.  "Hm." Tak pernah Shaneen menjadi sependiam ini dengan siapapun, kecuali dengan pria yang ada di sampingnya ini. Padahal dulu Shaneen paling banyak bicara pada pria ini. Tapi kini pria ini adalah orang yang paling sedikit mendengar suara Shaneen.  Rifki hendak membuka mulutnya lagi, tapi tak jadi karena dering ponsel Shaneen.  "Halo, Mi. Lagi di jalan. Kenapa? Hm, Yasa kecelakaan tadi malam. Cuma kecelakaan kecil aja, tangan kanannya patah. Iya aku balik agak siang. Kenapa?!" Shaneen menghela napas. "Kan udah kemarin. Kan aku bilang udah oke." Gadis itu diam, sepertinya mendengarkan ocehan Sasilia di seberang sana. "Iya, iya. Hmm. Bye. Love you too." Sambungan terputus.  Rifki sama sekali tak menoleh atau memandangi Shaneen. Pandangannya masih tertuju lurus ke jalan di depan sana. Shaneen akhirnya membuang pandangan ke luar jendela. Kembali, keduanya berakhir dibalut dalam kebisuan. Meski sebenarnya ada banyak sekali hal yang ingin disampaikan.  ...  Yasa sebenarnya tak ingin mengusik hidup Shaneen terlalu jauh. Selama Shaneen tak menimbulkan masalah untuknya maka itu sudah cukup bagi Yasa. Tapi sejak kemarin pikiran Yasa terganggu oleh calon istrinya itu. Yasa sudah mencoba abai. Tapi ia gagal. Shaneen masih berkeliaran di dalam kepalanya. Akhirnya Yasa meminta Haga mencari tahu beberapa hal tentang Shaneen.  "Pernah menikah?!" Kali ini Yasa benar-benar terkejut. Apa yang Haga katakan benar-benar berhasil membuatnya terapi shock. "Kamu nggak salah? Shaneen pernah menikah? Tapi saya nggak lihat ada berita apapun soal itu. Nggak mungkin nggak ada jejak digitalnya kalau dia pernah menikah.." Seorang Shaneen Gomez?  "Itu informasi yang saya dapatkan, Bos. Saya sudah mencari berita terkait itu, tapi memang tidak ada. Saya rasa semua datanya sudah dihapus, atau mungkin sebenarnya memang hal ini tak pernah dipublish."  "Maksud kamu?"  "Pernikahannya dirahasiakan dari publik. Hanya ada 2 kemungkinan itu saja. Mengingat besarnya power Gomez Group dan Airis Group, hal seperti ini bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Bahkan mudah untuk mereka."  Yasa masih tak percaya. Ia bergegas mengeluarkan ponsel kemudian menghubungi seseorang.  "Halo, Ma. Shaneen pernah nikah sebelum ini?"  Jawaban yang Yasa dapatkan adalah semprotan dari sang Mama. "Ngawur kamu! Kayaknya bukan tangan kamu yang patah. Tapi kepala kamu yang bermasalah. Shaneen itu masih muda banget."  Yasa menghela napas. Sepertinya dia bertanya pada orang yang salah.  "Ini menarik. Kamu selidiki masalah ini lebih lanjut. Saya mau dapat informasi detailnya. Apa dia benar-benar pernah menikah. Apa Gomez dan Airis menyembunyikan faktanya, atau sebenarnya Shaneen yang memang nggak ngasih tau siapapun soal ini."  "Baik, Bos."  Yasa memejamkan matanya. "Jangan ganggu saya. Bangunin kalau udah sampai di kantor aja."  "Baik, Bos," jawab Haga lagi. Pria itu fokus mengemudi.  Yasa membuka matanya. Ia tampak seperti tengah memikirkan sesuatu. "Apa dia benar-benar udah nggak virgin?" gumam Yasa.  ...  Shaneen sampai cukup terlambat karena tadi dia sempat tergelincir di kamar mandi. Untung saja tak ada cidera serius yang ia alami. Rapat berlangsung sangat serius sekali. Berkali-kali Shaneen menyela selama presentasi berlangsung. Dan pagi ini Shaneen memberikan komentar paling banyak dari yang pernah ia lakukan. Untung saja komentar yang ia berikan itu bukan sesuatu yang buruk, melainkan masukan. Selama ini para karyawan selalu dibuat sesak napas jika Shaneen sudah menyela saat presentasi berlangsung. Shaneen selalu tajam dalam memberikan komentarnya. Tapi hari ini dia cukup baik.  Shaneen mengetuk pintu kemudian masuk. Sasilia menyambut putrinya itu.  "Tadi Mami udah nelfon Mamanya Yasa, katanya tangan Yasa patah."  Shaneen menghembuskan napas panjang lalu menghempaskan pantatnya ke sofa. "Kan tadi udah aku bilang."  Sasilia menghampiri putrinya itu. "Opa nyaranin kamu untuk naik jadi Vice President."  Shaneen menghela napas. "Duh, Mi, jangan bahas ini dulu deh. Aku masih perlu banyak belajar. Belum ada apa-apanya aku dibandingin Pak Mario. Kalau aja Mami Airis bukan punya Mami, aku pasti bakal kasih dukungan penuh buat Pak Mario jadi Presiden Direktur."  Sasilia mencibir pada putrinya itu. Ia tahu Shaneen sarkas padanya. Tapi itu tak penting. Sebenarnya Shaneen sedang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar. Cepat atau lambat Shaneen akan mengambil tempat yang kini Sasilia duduki. Siapa lagi yang akan menempati posisi ini kalau bukan Shaneen? Noah? Jelas dia tak akan berpindah dari J-Group. Bisa perang habis-habisan Airis dan J-Group nanti. Caden? Hm, mana mau dokter satu itu direpotkan dengan urusan manajemen. Arkan dan Sasilia membahas masalah membangun rumah sakit saja tak didengarkan oleh Caden.  "Aku kerja di tempat Quin aja." Itulah jawaban yang selalu Caden berikan. Siapa yang bisa memaksanya? Bisa melihat mukanya saja sudah syukur.  Shaneen menatap lurus pada gelas di atas meja. Pikirannya sedang tak ada di sini. Ia teringat pada kejadian tadi pagi. Ia dan Rifki benar-benar tak bicara tadi di sepanjang perjalanan mereka. Bahkan saat makan kue dengan Lila pun keduanya tak mengobrol. Baik Shaneen maupun Rifki hanya menjawab saat Lila bertanya. Atau keduanya hanya bicara pada Lila saja.  Shaneen menghela napas. Bayangan masa lalu bersiap hendak berputar di dalam kepalanya. Tapi semuanya buyar karena panggilan Sasilia. Dengan berat hati Shaneen akhirnya bangkit. Ia meninggalkan ruangan bersama Sasilia. Nyonya Lantawi ingin bertemu membicarakan beberapa hal untuk pernikahan. Sebenarnya Shaneen tak punya banyak tenaga hari ini. Tapi mau bagaimana lagi. Tak mungkin juga dia menolak ajakan calon ibu mertuanya itu. Tiba-tiba Shaneen teringat akan sesuatu. Ada hal yang ingin ia tanyakan pada Mama Yasa itu nanti. Ingatkan Shaneen agar ia tak lupa bertanya.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD