Acara makan malam berlangsung hangat. Shaneen membaur dengan baik bersama teman-teman Yasa. Harus Yasa akui kalau Shaneen benar-benar tak bisa diprediksi. Tapi untuk malam ini Yasa cukup berterima kasih. Siapa yang tak kenal arogansi seorang Shaneen, kan? Yasa pikir tadi Shaneen akan bersikap sangat arogan di depan teman-temannya. Siapa sangka justru sebaliknya.
"Kata orang-orang Shaneen sombong banget. Tapi kayaknya dugaan itu salah besar, ya? Buktinya Shaneen ramah banget gini. Asyik juga diajak ngobrol.." itulah komentar-komentar teman-teman Yasa tadi. Luar biasa memang. Entah Shaneen memang ramah atau dia hanya berpura-pura di depan teman-teman Yasa.
Pria itu sebenarnya sudah mempersiapkan diri tadi kalau-kalau Shaneen bertengkar dengan teman-temannya. Tapi, dugaan Yasa salah.
"Thanks ya."
Shaneen menoleh. "What for?"
Kini hanya ada mereka berdua saja di meja. Teman-teman Yasa sudah pulang.
"Kamu bersikap sangat ramah sama temen-temen aku."
"Oh.. gue nggak jutek sama semua orang. Gue jutek ke orang-orang yang nggak gue suka." Shaneen menaikkan sebelah alisnya pada Yasa saat mengatakan kalimat 'orang yang nggak gue suka'. Rasanya seperti kalimat itu ditujukan untuk Yasa.
"Thanks," ucap Yasa sekali lagi. Tapi kali ini bentuk sarkasme.
Yasa memeriksa jam tangannya. "Kamu mau ke mana habis ini?"
"Balik. Capek gue." Shaneen memijit dahinya. Kepalanya memang agak pusing seharian ini. Penyebabnya adalah pria di sampingnya ini.
"Shaneen."
"Hm."
"Kenapa kita nggak damai aja?"
"Apa maksud lo?"
"Kamu—baik—kayak—gini."
Shaneen menatap Yasa tajam. "Nggak usah ngelunjak lo. Udah bagus gue ramah sama temen-temen lo. Jangan minta lebih."
"Kamu bener-bener nunjukin kalau kamu nikah sama aku tuh terpaksa."
"Lah lo pikir?" Shaneen memutar bola mata kesal.
"Terus kenapa nggak mau waktu aku ajuin kontrak?"
"Mending nggak usah nikah sekalian."
Yasa menghela napas. "Terus kamu bakal bikin aku tersiksa seumur hidup sama kamu?"
Shaneen tak langsung menjawab. Ia tiba-tiba memutar posisi duduknya menghadap Yasa. "Lo bener-bener minta gue hajar ya?" tanya gadis itu ketus. "Yang minta dan maksa nikah siapa? Lo apa gue?"
Yasa tak menjawab karena jawabannya sudah jelas dia.
"Kalau lo nggak mau ya gampang, tinggal batalin. Mumpung belum ijab qabul nih."
Yasa menatap calon istrinya itu dengan sangat tenang. "Siapa yang matahin hati kamu? Cowok itu?"
"b*****t!" Shaneen memaki. "Sekali lagi lo nyebut itu gue bikin nyesel beneran lo seumur hidup."
"Jadi kamu memutuskan nggak bakal jatuh cinta lagi seumur hidup?" Yasa masih terlihat santai.
"Bukan urusan lo. Tapi who knows. Kali aja ntar gue jatuh cinta sama lo. Walau lo bukan tipe gue banget." Bagian kalimat jatuh cinta itu jelas bentuk cemooh Shaneen pada Yasa. Mereka berdua bagai dua kutub berbeda. Jelas tak akan pernah bertemu.
"Kamu yang nggak bakal tahan seumur hidup sama aku. Aku bahkan nggak yakin kamu bisa bertahan selama satu tahun."
"Kenapa? Lo ada kelainan?" Olok Shaneen.
"Aku nggak ada kelainan. Tapi kamu nggak akan tahan hidup sama aku."
"Lo udah janji ya nggak bakal larang-larang gue mau ngelakuin apapun." Shaneen langsung was-was.
"Bukan soal itu. Tenang aja, aku nggak suka ingkar janji."
"Terus kenapa lo yakin banget gue nggak bakal tahan? Karena nggak cinta? Sorry, tapi gue bukan penganut nikah harus ada cinta. Banyak kok orang yang berhasil pernikahannya tanpa cinta. Lo juga lumayan ganteng. Jadi nggak rugi-rugi banget gue nikah sama lo." Shaneen ini memang ceplas-ceplos. Ini salah satu kelebihan yang Shaneen punya. Walau kadang ceplas-ceplosnya ini bisa membuat masalah besar.
"Tapi aku sebaliknya," ujar Yasa.
Shaneen menaikkan alisnya. "Terus ngapain maksa nikah sama gue?" Shaneen menghela napas. "Lo nikah cuma mau menghindari Nata kan? Mending cari cewek lain yang mau diajak nikah kontrak. Gue kasih lo kesempatan buat pergi." Shaneen melipat tangannya di d**a.
Yasa menatap lurus gadis di depannya itu. Takjub? Iya. Tapi bukan karena kecantikan Shaneen. Yasa merasa kalau Shaneen ini—aneh? Tapi bukan dalam artian yang buruk. Siapa yang tak akan mengakui kecantikan Shaneen. Gadis itu bisa dibilang punya kecantikan jauh di atas rata-rata. Tapi bukan itu poin utamanya. Jika hanya cantik, banyak wanita cantik di dunia ini. Tapi Shaneen ini berbeda.
Sejauh ini saja setidaknya Yasa tahu kalau ada 3 pria yang sudah lama mengejar Shaneen. Mereka bahkan dengan berani mendatangi Arkan dan Sasilia. Lalu apa yang dilihat para pria itu dari Shaneen? Padahal Shaneen ini terkenal sangat sombong. Bahkan bukan sombong lagi, tapi sudah di level angkuh. Tapi kenapa orang-orang itu masih begitu gigih menginginkan Shaneen?
Kaya? Tidak. Sebab 3 pria ini juga bukan orang sembarangan.
Cantik? Tidak. Ada banyak gadis cantik yang lemah lembut dan penurut. Para pria biasanya lebih suka dengan perempuan yang penurut.
Lalu apa? Kelebihan Shaneen hanya dua itu saja kan?
"Lo masih cinta sama Nata?"
Yasa tak menjawab.
Shaneen tertawa pelan. "Lucu banget lo. Nggak paham gue konsep hidup lo apaan. Kalau masih cinta ya nikah sama dia. Ngapain malah nikahin orang lain?"
"Kamu nggak perlu tau alasannya apa."
"Terserah. Gue juga nggak pengen tau. Udah gue mau balik." Shaneen bangkit dari kursi. Yasa pun ikut bangkit.
"Aku anter."
"Hm." Shaneen malas berdebat. Dia sudah lelah. Lagipula tadi dia sudah meminta supirnya pulang dan tak menunggunya sebab Shaneen tahu acara makan malam ini akan lama. Dia memang sudah berniat menjadi ramah pada teman-teman Yasa malam ini.
Keduanya meninggalkan meja. Saat melintasi area restoran, siapa sangka Shaneen bertemu dengan dua orang yang tak ia harapkan ia temukan di sini. Raut wajah Shaneen sempat berubah meski hanya sesaat.
“Hai Shaneen..”
Shaneen tersenyum sekilas. “Hai.”
Pandangan Shaneen beralih pada Rifki yang tengah menatapnya.
“Ini calon suami kamu, ya? Hai, kenalin aku Jeisya, temannya Shaneen.” Wanita itu mengulurkan tangannya.
“Yasa..”
“Iya aku tau nama kamu. Soalnya lewat terus informasinya di beranda i********: aku..” wanita itu tersenyum manis.
“Oh iya, ini Rifki, suami aku..” Jeisya mengenalkan Rifki pada Yasa.
Kedua pria itu bersalaman. Keduanya saling tatap untuk beberapa waktu.
“Udah mau pulang ya? Sayang ya tadi kita nggak ketemu. Lain kali kita harus dinner bareng. Double date?” Jeisya memandang Shaneen.
Yasa tiba-tiba meraih tangan Shaneen, menggenggam tangan itu.
“Ya sure.” Yasa yang memberikan jawaban.
Ke empat orang itu berpisah. Yasa dan Shaneen berlalu lebih dulu. Shaneen menarik tangannya begitu ia sudah dekat dengan mobil Yasa.
“Lo nggak perlu ngelakuin itu tadi.”
“Kenapa? Takut Rifki cemburu?”
“Dia nggak cemburu. Gue yang malu.” Shaneen langsung masuk ke dalam mobil. Yasa mengikuti.
“Apa maksud kamu malu?”
“Lo nggak liat mukanya Jeisya? Dia puas banget ngeliat gue. Lo tau nggak? Itu yang dia mau dari dulu. Gue terlihat menyedihkan di mata dia.”
“Kenapa kamu mikir gitu?” tanya Yasa bingung.
“Lo nggak perlu tau.”
“Jelasin ke aku. Jeisya nggak terlihat—“
“Lo nggak kenal dia. Gue yang kenal. Gue yang tau dia gimana. Yang lo lakui tadi nggak bikin gue jadi lebih baik. Tapi bikin gue terlihat lebih menyedihkan.”
Yasa menyipitkan matanya. “Jeisya tau kamu suka sama Rifki?”
“Yasa!” Shaneen meledak.
“Ya itu masalahnya,” ujar Yasa.
“Lo udah janji sama gue nggak bakal bahas itu! Cepet banget lo ingkar janji.” Shaneen meraih handle pintu, bersiap keluar. Tapi Yasa dengan cepat menahan Shaneen.
“Lepas!”
“Kamu nggak akan ke mana-mana.” Yasa panik. Ia terkejut dengan reaksi Shaneen. Yasa lupa kalau Shaneen ini bukan perempuan biasa.
“Lepas gue bilang!”
Yasa mengunci pintu.
“b******k lo! b*****t!”
“Iya maki aja sampe kamu puas.” Yasa merasa tenang setelah mengunci pintu. Biar saja Shaneen mengamuk.
Sesaat kemudian Shaneen bungkam. Ia menolak menatap Yasa.
“Oke. Aku minta maaf,” ucap Yasa akhirnya. Ia tahu ia yang salah. Ini perjanjian dasar mereka. Sudah dua kali Yasa melanggarnya.
Keduanya akhirnya sama-sama diam. Yasa menatap lurus ke depan. Shaneen pun sama. Bedanya Shaneen sedang marah sementara Yasa menunggu Shaneen yang sedang marah.
“Anterin gue pulang.”
Yasa menarik napas dalam. Ia menyalakan mesin mobil kemudian melaju membelah jalan raya.
…
Shaneen melempar tasnya kemudian merebahkan diri di kasur.
“Jeisya b*****t!”
Shaneen mengeram marah. “Shaneen, kendaliin diri lo. Lo udah janji nggak bakal nyebut nama dia lagi. Sadar Shaneen! Sadar!” Shaneen beranjak ke kamar mandi kemudian mencuci wajahnya.
Begitu selesai mencuci mukanya, Shaneen bersiap mengganti baju. Tapi dering ponsel menarik perhatiannya. Melihat nomor Yasa di layar membuat kening Shaneen mengerut.
“Hal—“
“Selamat malam dengan Mbak Shaneen.” Suara perempuan.
“Iya. Ini siapa?” Shaneen memeriksa lagi, memastikan kalau itu memang nomor Yasa.
“Kami dari rumah sakit. Yang punya hape kecelakaan dan ini nomor panggilan terakhir di daftar panggilan. Jadi kami menghubungi Mbak Shaneen.”
“Apa?! Kecelakaan?! Rumah sakit mana?” Shaneen mengambil kunci mobil kemudian melaju mobilnya menuju rumah sakit. Ia tak memikirkan apapun lagi.
Setelah mendapat informasi, Shaneen bergegas mencari Yasa. IGD. Shaneen menyisir area IGD.
“Yas—“ kalimat itu terputus begitu Shaneen melihat ada Nata di bangsal Yasa. Nata berdiri di samping brankar, dengan satu tangan di bahu Yasa.
Ekspresi khawatir di wajah Shaneen hilang seketika. Ia menatap Yasa dan Nata datar. Sangat datar. Yasa terlihat baik-baik saja. Hanya dahinya yang diperban. Dan juga tangan kanan yang sedang dibalut perban oleh perawat.
Menyesal Shaneen berlari ke sini tadi. Harusnya ia tak perlu khawatir karena Nata ada di rumah sakit ini.
Perawat berlalu setelah memasangkan arm-sling pada Yasa. Oke, sepertinya tangan kanan Yasa patah.
“Thanks,” ucap Shaneen pada Nata dengan penekanan. Nata masih diam. Agaknya ia tak mengerti maksud terima kasih yang Shaneen ucapkan.
“Makasih udah jagain calon suami gue,” tambah Shaneen akhirnya. “Lo bisa balik kerja.” Karena Nata tak kunjung paham, Shaneen terpaksa mengatakan kalimat itu.
Tersinggung? Tentu saja Nata tersinggung.
“Semoga cepat sehat ya. Kalau ada apa-apa telfon aku.” Nata berlalu.
Shaneen menaikkan sebelah alisnya. “Ngapain pasien patah tangan nelfon psikolog?” Tanya Shaneen sarkas.
“Udah,” ucap Yasa pelan. “Kamu sama siapa ke sini?”
“Jin Tomang.” Shaneen menatap Yasa kesal. “Capek aja gue lari ke sini cuma buat liat lo mesra-mesraan sama mantan pacar dan mantan calon istri lo.”
“Kamu nggak bisa ya agak lembut dikit sama orang yang lagi sakit?”
“Jangan harap.”
“Cemburu?”
“Mau gue patahin juga tangan kiri lo?”
Yasa tertawa. Tadi kepalanya pusing tapi berkat Shaneen kepalanya bertambah pusing.
“Mau ngapain?”
“Nelfon orang tua lo.”
“Aghh!” Yasa meringis karena refleks hendak merebut ponsel Shaneen.
“Lo nih udah gede, jangan macam anak kecil. Ceroboh banget..”
“Nggak usah telfon orang tua aku.”
“Gue nggak mau ya nungguin lo.”
“Iya.”
Tapi akhirnya Shaneen tetap menunggui Yasa di rumah sakit sampai pagi. Saat Yasa terbangun, wajah pertama yang dilihatnya setelah membuka mata adalah wajah Shaneen—untuk pertama kali.
“Apa ini pemandangan yang akan aku lihat setiap pagi?”
Dan Shaneen memang cantik.
***