Enam

630 Words
"Kamu dengar kan apa yang barusan cowok b******k bilang, dia cuma manfaatin kamu!" Jelita, wanita cantik yang wajahnya serupa denganku, seorang yang seharusnya dekat denganku lebih dari pada orang lain tersebut justru orang paling jahat dalam hidupku. Bukan hanya kali ini, namun sebelum-sebelumnya pun dia selalu mengusik hubunganku dengan mantan kekasihku. Aku tidak tahu bagaimana caranya Jelita menggoda mereka, namun pada akhirnya aku hanya akan ditinggalkan dan menjadi makhluk menyedihkan yang melihat kekasihku beralih menjadi pacar adik kembarku. Aku mencoba bersabar dengan semua ulah Jelita ini, pernah sekali aku mengadukan sikap Jelita pada Papi dan Mami namun orangtuaku justru membela Jelita, orangtuaku selalu mengatakan jika sebagai kakak aku harus mengalah segalanya dari adikku, dan saat itulah puncak kecewaku. Hal yang membuatku memilih untuk berlama-lama untuk staycation di setiap ada flight daripada terburu-buru pulang dan muak mendapati Jelita menjajah hidupku. Kalian tahu, aku seperti bayang-bayang dalam hidup kembaranku. Tidak terlihat, dan terinjak-injak, tidak peduli seberapa keras aku berusaha melarikkan diri tetap saja aku tidak bisa melepaskan diri darinya. Alih-alih tersinggung dengan kenyataan jika dia hanya dipermainkan oleh Juna, Jelita justru tersenyum sinis, sungguh raut wajah yang sangat kontras dibandingkan dengan Juna yang panik, pria yang sudah bersamaku selama 1,5 tahun ini rupanya tidak rela jika aku harus memutuskanku. Terpergok tengah berbuat m***m dengan saudaraku sendiri rupanya membuatnya merasa bersalah kepadaku. Terlihat jelas sekali jika Juna berusaha melepaskan diri dari lilitan tangan Jelita. "Ya ampun Kakak kembarku yang cantik dan bergaya kek sosialita, kamu itu bodoh apa bloon, sih? Setelah semua yang kamu lihat dan kamu dengar menurutmu Juna serius dengan ucapannya barusan? Dia cuma kasihan sama kamu, Wit! Ya kan, Babe?" Jelita dan sikap tidak tahunya yang mendarah daging. Kami kembar identik namun sikap kami kontras 180•. Apalagi saat melihat tulisan kue ulang tahun yang ada diatas meja, tawa Jelita mengudara sarat akan ejekan yang sangat memuakkan sebelum akhirnya dia kembali menatapku. "Juna itu terlalu baik buat ngomong frontal kalau dia sudah nggak berminat sama sekali buat lanjutin hubungan kalian. Dia bilang aku godain dia, tapi nyatanya dia juga tergoda, kan? Dia lebih puas sama aku, kan? Lucu sekali, kamu minta Juna buat buru-buru lamar kamu sementara disini....." tangan berjemari lentik itu menyentuh perut ratanya, dan seketika pemikiran ngeri itu singgah di dalam kepalaku, hal yang langsung membuat Juna menunduk tidak berani melihat ke arahku lagi. Pria yang sebelumnya memohon kepadaku untuk menjelaskan segalanya tersebut nyatanya b******n ulung. "...... disini ada keponakanmu, Wit. Anakku dan Juna. Hanya tinggal soal waktu buat Juna mutusin kamu dan nikahin aku, ya kan, Babe! Jangan diam saja dan buat kakak kembarku ini berharap lebih jauh sama kamu, lihat sendiri kan kamu tulisan kuenya! Segera lamar aku, boleh ngetawain kamu nggak sih, Wit." Berulangkali aku dikecewakan oleh saudara kembarku sendiri, aku kira aku sudah kebal dengan rasa sakitnya namun ternyata tetap saja aku terluka, rasanya seperti ada belati yang menusuk-nusuk jantungku dengan cara yang amat sangat menyakitkan bahkan tidak memberiku kesempatan untuk bernafas sedikit pun. Kenapa? Kenapa mereka berdua tega sekali melukaiku seperti ini? Aku tidak pernah melakukan kesalahan kepada mereka. Bergantian aku menatap dengan nanar pada Juna dan juga Jelita, meneliti dengan seksama dua orang yang tidak akan aku maafkan seumur hidupku karena luka yang terlalu dalam yang sudah mereka goreskan. Ada banyak orang tidak tahu diri di dalam hidupku, lantas kenapa harus Jelita? Kenapa harus kamu, Saudari kembarku? Kurang mengalah apa aku sama kamu? Seandainya saja Jelita memiliki secuil hati nurani ingin aku bertanya kepadanya semua pertanyaan ini, sayangnya Jelita adalah wujud iblis dalam penampilan eloknya. Kini, aku sudah tidak peduli akan kenyataan aku berbagi darah dengannya, dia sudah melampaui batas. "Mati saja kamu, Lit......." Selama ini aku selalu bersabar, tapi sekarang Jelita harus merasakan kesakitanku atas pengkhianatan dan penghinaan yang dia lakukan. Setiap kata yang dia ucapkan untuk menyakitiku harus dibayar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD