Lima

668 Words
"Kalian berdua yang gila! Tega ya kalian khianati aku kayak gini, kalian malu, biarin, biarkan dunia melihat bagaimana jahatnya saudara kembarku yang main gila dengan pacarku! Silahkan, kalian yang melihat live ini menyaksikan dua gatal yang bersatu, tandai dua orang jahat ini." Baik Jelita maupun Juna keduanya seketika melotot mendengar fakta jika ponsel yang aku pegang tidak hanya merekam melainkan juga melakukan siaran langsung di instagramku yang sudah memiliki ribuan pengikut. Panik, tentu saja itu yang mereka rasakan, apalagi Juna, nama baiknya dipertaruhkan sekarang ini. Skandal bukanlah hal yang baik untuk kariernya. Kantornya adalah sebuah perusahaan bergengsi yang tidak akan mentolerir hal-hal memalukan seperti tindak senonoh yang tabu untuk masyarakat yang kental dengan adat ketimuran. Secara tidak langsung sikapku ini menyerang langsung ke titik vital Juna, sebuah pembalasan yang tidak basa-basi. "Buat kalian yang selama ini selalu nanyain kembaran cantikku, nih orangnya, cantik, kan? Saking cantiknya sampai pacarku sendiri nggak bisa loh nolak pesonanya sampai dibawa langsung ke atas ranjang, waaaaah Mami Papi pasti bangga sama kamu, Lit. Anak kesayangannya nggak cuma jadi benalu di rumah, tapi juga jadi p*****r tanpa dibayar!" Aku tersenyum kecil, puas rasanya mempermalukan kembaranku yang langsung mendapatkan banyak dukungan dari mereka yang menonton siaran langsung. Banyak cacian dan umpatan terlontar menyumpahi Jelita yang sudah sangat kelewatan, percayalah, ini sangat menghibur hatiku yang tengah terluka karena percayalah, hal seperti ini tidak akan aku dapatkan dapatkan dari keluargaku yang menuntutku untuk mengalah hanya karena statusku sebagai seorang adik. Hanya berbeda 7menit namun begitu banyak ketidakadilan aku rasakan di dalam hidup. Raut wajah memerah Jelita campuran dari malu dan marah adalah tontonan yang menakjubkan untukku yang selalu dipaksa mengalah. Ya, Jelita yang selalu merebut milikku dan merusak kebahagiaanku kali ini harus merasakan bagaimana sakitnya hatiku karena ulahnya. Jika aku hancur, maka dia pun juga harus hancur. Ada beberapa saat dua orang sinting ini membeku tidak bisa berkata-kata saking syoknya dengan kenekatanku, dan yang paling pertama menguasai adalah Jelita menjerit histeris ketakutan. "Jun, lihat si Wita. Dia malu-maluin aku tahu. Rebut hapenya. Jangan sampai bikin aku malu." Tentu saja sikapku yang mempermalukan selingkuhannya ini membuat Juna tidak terima, pria b******k yang bertelanjang d**a tersebut berusaha meraih ponselku, dan untuk sekarang aku benar-benar bersyukur karena aku perempuan yang mencintai olahraga, kini kegesitanku saat di kabin melayani banyak penumpang berhasil membuatku menghindar dari Juna. "Malu, heeeeh s****l. Masih punya rasa malu juga lo! Nggak puas ya lo selalu rusak kebahagiaan gue, nggak, kali ini aku nggak akan diam saja!" "Juwi, please jangan kayak gini, Yang. Ya Tuhan, dengerin aku dulu, kamu bisa hancurin karier aku kalau kayak gini. Ini semua nggak kayak yang kamu kira, Lita, dia yang godain aku, Yang." Bahkan sampai di detik terakhir pun Juna hanya memikirkan dirinya, dan seperti orang bodoh yang tidak belajar dari kesalahan, aku justru terdiam seperti orang bodoh. Air mataku menggenang, dan sungguh sekarang ini aku hampir menangis, susah payah aku menahan tangisanku karena aku tidak sudi memperlihatkan hatiku yang hancur di hadapan dua orang yang sudah menyakitiku ini. "Nggak kayak yang aku lihat kamu bilang?" Tanyaku pelan, kini aku benar-benar menurunkan ponselku, dan saat aku melihat kotak kue brownies yang ada di meja teras, rasa marah dan sakit hatiku bangkit lagi. Ternyata aku menghindari kejaran Juna sejauh ini, pantas saja Jelita tidak kunjung menghampiri jantannya ini karena dia tidak ingin penampilan telanjangnya menjadi tontonan. "Iya, ini nggak kayak yang kamu bayangin." Mendapati aku terdiam, Juna seolah mendapatkan angin segar, dengan terburu-buru dia berbicara menjelaskan apa yang sudah membuatnya merasa bisa aku maafkan. "Benar aku sudah tidur dengan Jelita, tapi Yang, kamu harus paham kalau aku lakuin ini karena kamu juga! Kamu nggak pernah ngertiin kebutuhan biologisku, dan kembaranmu datang godain aku. Kamu tahu, bahkan aku bayangin kamu waktu makeout sama dia." "Bullshit!" "Bener, Yang. Dia yang godain aku! Aku benar-benar khilaf." Kalian tahu, mendengar penjelasannya membuatku semakin muak kepadanya. Tidakkah Arjuna sadar betapa menjijikkannya dirinya ini. Kepalaku menoleh, menatap lurus ke belakang sana ke tempat Jelita berdiri. "Kamu dengar kan apa yang barusan cowok b******k bilang, dia cuma manfaatin kamu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD