Tujuh

714 Words
Kalian tahu apa yang aku lakukan! Kujambak rambut panjang yang tercurly dengan apik meski kini basah dengan keringat, seluruh tenaga aku kerahkan, seperti orang yang kesetanan aku menamparnya bolak-balik tidak peduli Jelita yang berusaha membalasku ditengah rasa kesakitannya. "Kurang mengalah apa hah aku sama kamu! Aku tanya sekarang, seumur hidup segala hal yang aku inginkan sudah kamu ambil dan aku diam saja. Sekarang dengan tidak tahu malunya kamu mengatakan hal ini kepadaku, hah! Katakan, apa salahku!" "Salahmu kenapa harus lahir bersamaaan denganku! Aku membencimu Juwita! Aku membencimu, akan aku rebut semua hal yang kamu miliki! Lihat. Aku selalu berhasil, bukan?! Tidak akan ada yang mau memilihmu! Hahahaha, jambak aku, tampar aku! Setelah ini Papi sama Mami yang akan menendangmu!" "Nggak akan aku biarin kamu bisa pulang ke rumah, aku matiin sekalian manusia tidak tahu diri sepertimu!" Tidak, aku tidak hanya sekedar menggertak. Beralih dari menjambak rambutnya, aku benar-benar mencekik manusia yang serup denganku ini, cekikanku benar-benar kuat karena aku memang berniat untuk menghabisinya, mata indah dengan bulu mata lentik itu melotot disertai dengan tangannya yang menggapaiku untuk berbalik melukaiku, sayangnya rasa sakit hatiku terlalu besar hingga segala hal yang Jelita lakukan sama sekali tidak mempengaruhiku, mungkin aku akan berhasil, Jelita benar-benar mati di tanganku namun aku lupa jika ada orang lainnya di antara kami. Pria t***l yang sempat menjadi prioritasku selama 1,5 tahun tersebut rupanya sempat mematung tidak menyangka jika kami akan saling bunuh sebelum akhirnya dia bergerak menarik tanganku dengan kuat bahkan sampai aku nyaris terjengkang jika saja keseimbanganku tidak bagus. Semuanya terjadi begitu cepat, aku bisa mendengar Juna menyebutku gila dan detik berikutnya aku sempat melihat tangan besar itu terayun, nyaris saja menghantam wajahku jika saja tidak ada orang lainnya yang menarikku dan menghalau tangan Juna tersebut. "Jangan pernah memukul wanita, Dude!!" Aku terkesiap mendapati suara berat yang terdengar dari pemilik punggung tegap yang kini menyembunyikanku dibalik punggungnya. Bisa aku lihat jika Juna meradang, rahang itu mengeras menunjukkan kemarahan bercampur rasa malunya atas teguran dari pria yang ternyata adalah tetangga depan rumah yang tidak lain adalah si Kacamata yang menolak permintaanku tadi. "Anda yang jangan ikut campur urusan saya, dokter Kaliandra, ini urusan pribadi saya. Lagi pula mata Anda tidak buta kan buat lihat jika perempuan gila yang Anda sembunyikan dibalik tubuh Anda hampir membunuh kembarannya sendiri yang tengah hamil." Penuh amarah Juna menunjukku, untuk sekilas pria bernama Kaliandra ini melirikku seakan bertanya apa benar aku hampir membunuh kembaranku yang menangis sembari memegang lengan Juna, hanya sekejap Kaliandra menatapku sebelum detik berikutnya dia menghadapi Arjuna kembali. "Urusan saya jika Anda sebagai pria berani menampar wanita di depan saya, apapun alasannya." Terdengar jelas bagaimana Pak dokter satu ini menekankan kalimatnya penuh dengan ancaman. Sayangnya Juna yang sudah terpepet rasa malu sama sekali tidak mau mengalah. Alih-alih tersadar atas teguran yang diberikan oleh seorang Tetangga, dia justru membusungkan dadanya menantang. "Saya tidak pernah mengusik hidup Anda selama bertahun-tahun kita bertetangga. Jadi sekarang lebih baik anda pergi daripada mengurus urusan saya dengan pacar saya! Pergi, jangan menceramahi saya atau......." "Atau apa, hah???" Tantang dokter Kaliandra balik. "Anda mau apakan saya? Mau menampar saya seperti yang Anda ingin lakukan kepada pacar Anda yang sudah Anda khianati dengan kembarannya sendiri? Ayoooo, siapa yang takut." Disingsingkannya lengan kemeja hitam panjang tersebut, dan siapa yang menyangka jika dibalik tubuh jangkung seorang dokter Kaliandra yang sekilas tampak tidak menarik justru tersimpan tangan liat penuh dengan otot. Astaga, bahkan disaat seperti ini pun aku bisa gagal fokus berpikir yang tidak-tidak. Aku terlalu syok karena tidak menyangka ada yang membelaku hingga otakku terasa geser beberapa senti dari tempatnya. Juna yang sebelumnya begitu petantang-petenteng kini benar-benar menciut, dan tidak cukup hanya ditegur oleh tetangga depan rumahnya, kini datang segerombolan warga yang membuat Juna semakin dibuat pucat oleh ngeri karena malu. Astaga, aku benar-benar ingin tertawa sekarang ini, disaat Juna sibuk membela selingkuhannya warga rupanya datang untuk menggerebek dirinya, fix sudah pasti ada salah satu warga komplek yang masuk liveku barusan dan langsung melaporkannya ke pihak RT. "Mas Juna, bisa-bisanya ya Mas berbuat m***m di komplek ini. Biadab, mencoreng nama baik komplek!" Aaaahhhh sepertinya hari ini adalah hari ulang tahun tidak terlupakan untuk Juna, dua orang yang baru saja merengguk indahnya dosa dan juga mengkhianatiku kini mendapatkan karma secara tunai. Dipermalukan dihadapan warga komplek menjelang malam, issssssshhhh, sampai anak cucu pun nggak akan terlupakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD