"Memangnya kenapa? Nggak boleh telepon pacar sendiri. Lagian kamu lagi ngapain, kok ngos-ngosan!"
"............"
"Iya nih Yang, aku ada di gym sekarang. Udah dulu ya. Sambung nanti habis olahraga akunya."
Tanpa menunggu aku menjawab apapun telepon itu akhirnya terputus. Lucu sekali mendengar Juna mengatakan tengah berolahraga sementara mobil Pajero yang selama ini menjadi kebanggaannya dan selalu dia katakan sebagai mobil reward atas pencapaian kariernya yang sudah mapan justru terparkir tepat di depan mataku.
Aku tersenyum kecil, rasa sedih itu aku rasakan namun lebih banyak rasa muak dan jengah atas kebohongan yang ada di depan mataku. Segala janji manis Juna berputar kembali di kepalaku dan itu membuatku hampir mual dan muntah. Ternyata semua pria yang ada di sekelilingku sama saja. Sama-sama b******k, tipe kucing yang sudah ada daging salmon di rumah namun memilih bangkai tikus di tempat sampah.
Menyesal rasanya aku buru-buru pulang demi merayakan ulang tahunnya, menyesal juga aku sudah membelikannya sebuah jam tangan seharga 15 juta jika pada akhirnya aku hanya di baduti seperti ini. Tidak, jika ada yang mengira aku akan menangis tersedu-sedu meratapi kebohongan yang ada di depan mata, maka itu adalah kesalahan besar. Aku sama sekali tidak sudi menangis untuk pria macam Juna seberharga apapun dia sebelumnya untukku.
Perlahan aku menghela nafas, mengumpulkan kesabaran yang teramat besar agar aku tidak langsung membunuh pacar dan saudari kembarku. Akhirnya setelah aku memantapkan diri, aku memutuskan untuk melangkah mendekat masuk ke dalam rumah tanpa pagar tersebut, di dalam tasku ada kunci duplikat rumah minimalis tersebut, dan sungguh ini memudahkan segalanya untuk membongkar dua ulat bulu yang tidak tahu diri tersebut.
Aku hampir saja membuka pintu rumah yang terlihat sunyi tanpa penghuni dari luar tersebut namun sebuah ide melintas saat suara motor terdengar dari belakangku. Seorang tetangga Juna yang aku kenali sebagai seorang dokter karena pernah sekali kami berbicara saat membeli bakso keliling, pulang ke rumah dengan motor maticnya.
Pria bernama Kaliandra tersebut menatapku sekilas, khas dirinya yang acuh sebelum akhirnya dia melangkah untuk masuk. Semuanya terjadi begitu cepat, sinkronasi otak dan kakiku yang terbalut highheels tinggi tersebut bergerak cepat mengejarnya yang langsung saja membuat seorang dokter Kaliandra terperanjat. Pria berkacamata tersebut menatapku ngeri namun aku segera menjelaskan dalam satu kalimat panjang tanpa penolakan sama sekali.
"Bantu aku pegangi hape buat gerebek pacar sama kembaranku yang lagi main gila di dalam sana! Cuma pegang hape aja buat rekam sebagai bukti, please!"
Ya, kalimat sepanjang itu aku ucapkan dalam sekali tarikan nafas, wangi rumah sakit yang khas tercium samar dari kemeja yang aku pegang tersebut ajaibnya bisa sedikit meredakan kekesalanku. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku memiliki firasat jika pria berkacamata ini akan bersedia menolongku.
Sayangnya dugaanku salah karena perlahan dia melepaskan tanganku yang memegang kemejanya dan bersuara dengan sangat datar. "Maaf itu bukan urusan saya. Saya tidak ingin terlibat dalam masalah pribadi tetangga saya. Permisi, saya capek, saya mau istirahat."
Penolakan halus namun menyakitkan tersebut membuatku tersenyum kecut, ya pada akhirnya tidak akan ada yang membantuku. "Dasar tidak berperikemanusiaan, ternyata nggak cuma sok cool tapi dia benar-benar ansos tak punya hati." Batinku kesal.
Tanpa basa-basi sama sekali laki-laki bernama Kaliandra ini berlalu dari hadapanku. Tidak ingin merengek meminta bantuan untuk kedua kalinya aku pun kembali ke rumah pacarku yang sebentar lagi akan menjadi mantan. Kotak kue ulang tahun yang aku bawa kini tergeletak mengenaskan diatas meja teras yang kebetulan aku pilih di Ikea, dan tanpa berpikir panjang aku segera membuka pintu tersebut.
Suara klik pelan terdengar, sunyi menyambutku seolah tidak ada orang di dalam sana, namun saat aku melangkahkan kakiku, ujung sepatuku yang lancip menginjak sebuah kemeja warna baby blue, satu pemandangan menyedihkan mendapati pakaian berserakan di atas lantai dan juga sebuah tas tangan yang sangat familiar di depan mataku terlempar asal di kursi ruang tamu. Jantungku berdegup kencang saat kakiku melangkah ke tempat dimana aku tahu mereka berada. Desah samar itu tertangkap di telingaku semakin jelas ketika langkahku semakin dekat ke kamar utama. Dan seolah manusia tanpa moral yang dikuasai nafsunya, bahkan pintu itu tidak tertutup rapat saking terburunya mereka menuntaskan hajat nafsu binatang mereka.
Ya, dugaan dari awalku benar. Jelita, lagi dan lagi, kembaranku sendirilah yang merusak kebahagiaanku. Disela lenguhannya yang menjijikkan aku bisa mendengar namaku di sebut olehnya.
"Sudah aku bilang, kan? Aku lebih baik dari sisi manapun dibandingkan Juwita, dia tidak akan bisa memuaskanmu seperti aku melayanimu sekarang ini, Jun."
Kalian tahu, aku hampir muntah rasanya mendapati kembaranku ternyata tidak lebih dari seorang jalang yang menjajakan tubuhnya tanpa rasa malu sama sekali