Dua

641 Words
"Mana bawa mobil lagi. Bukannya satu jam yang lalu Mbak Juwita baru saja masuk ke dalam sama Mas Juna barengan satu mobil? Kapan keluarnya, Mbak? Jangan bikin saya takut ahhh Mbak." Genggaman tanganku pada kotak kue mengerat, ada rasa marah yang sangat luar biasa menjalar di tubuhku saat aku sudah bisa menebak apa yang tengah terjadi sekarang. Entah untuk keberapa juta kalinya, kebahagiaan yang aku kira sudah bisa aku genggam dengan erat nyatanya harus rusak karena ulah orang yang sama. Selama ini aku penyuka stroberi, tidak pernah secuilpun aku menyukai coklat seperti-nya. Tapi kenapa dia selalu menginginkan stroberi yang aku miliki, bukan untuk dia nikmati namun sekadar merebutnya agar aku tidak bahagia. Namun yang terjadi sekarang bukan tentang coklat dan stroberi semata. Perlahan aku mengulas senyumku. Bersandiwara di hadapan dunia adalah salah satu keahlianku. Sungguh, berusaha tetap kuat dan berpura-pura baik-baik saja di hadapan orang lain sementara hati kita hancur adalah hal yang sangat menguras energi, aku sudah tahu ada hal buruk yang akan aku dapatkan, namun aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Pasti tadi Juna sama kembaran saya, Pak Pardi. Jangan takut, saya bukan hantu, kok." Selorohku mencoba mencairkan suasana. Dan bisa aku tebak petugas keamanan ini terkejut mendengar jika aku memiliki kembaran. Ya, baik Pak Pardi dan kalian yang akan mengikuti kisahku, semua yang terjadi dalam hidupku berawal dari aku yang memiliki saudara sedarah yang memiliki rupa persis denganku, namun percayalah, dalam kehidupan ini aku sungguh berharap aku tidak pernah dilahirkan bersamaan dengan wanita bernama Jelita Rembulan tersebut. Perempuan yang selalu menjadi sumber masalah utama dalam hidupku. "Mbak Juwita punya kembaran? Jadi kembaran Mbak yang tadi sama Mas Juna?" Raut wajah terkejut di wajah tua tersebut seketika berubah menjadi raut wajah penuh tanya sekaligus kasihan. Sepertinya Pak Pardi sudah bisa menarik kesimpulan apa yang tengah terjadi, "Tapi Mbak tahu kan kalau kembaran Mbak pergi sama pacar, Mbak?! Duuuh, Ya Allah ini mulut, maaf ya Mbak, mulut orang tua ini sering......" "Nggak apa-apa, Pak. Pak Pardi benar kok, saya nggak tahu kalau kembaran saya pergi sama pacar saya." Kutepuk bahu pria paruh baya tersebut sembari tersenyum, agar beliau tidak perlu merasa bersalah padaku, "terimakasih ya Pak. Kalau Bapak nggak ngasih tahu mungkin saya bisa kena serangan jantung nanti lihat pemandangan di sana." Tanpa menunggu jawaban dari Pak Pardi aku berlalu, niatku untuk memberikan kejutan kepada Juna rupanya membuatku sendiri yang terkejut. Benar ya, kebusukan memang tidak bisa disembunyikan. Kecurangan sebaik apapun akan terungkap dengan sendirinya. "Mbak Juwita, jangan berprasangka buruk dulu. Siapa tahu mereka nggak ngapa-ngapain!" Aku berbalik mengangkat tanganku pada Pak Pardi sembari tertawa sarkas. "Iya Pak, tenang saja! Saya positif thinking mereka lagi main congklak di belakang saya, kok!" Hahaha, lucu sekali Pak Satpam ini saat memintaku untuk berpikiran positif, ya kali dua orang bertemu diam-diam dibalik pacar mereka nggak ngapa-ngapain. Jangan tanya bagaimana perasaanku sekarang, karena rasa marah, kecewa, dan muak sudah campur aduk menjadi satu hingga rasanya d**a dan kepalaku serasa ingin meledak. Entah untuk keberapa kalinya kebahagiaanku kembali dihancurkan oleh Jelita, kembaranku sendiri. Kebuka ponselku dan dengan segera aku menekan tombol panggil pada nama Juna yang aku berikan emotikon love, hal yang memualkan dan membuatku ingin muntah, aku sangat penasaran sampai sejauh mana sandiwara ini bisa dimainkan oleh pacar dan juga kembaranku. "Halo, tumben telpon jam segini, Yang." Tidak perlu waktu lama, panggilan itu terangkat, hal yang sangat mengagumkan untuk seorang yang tengah berselingkuh, namun nada suara Juna yang seolah terengah-engah menegaskan pemikiran liar yang muncul di kepalaku. Aku bukan seorang yang naif. "Memangnya kenapa? Nggak boleh telepon pacar sendiri. Lagian kamu lagi ngapain, kok ngos-ngosan!" Percayalah, aku bukan seorang yang suka berbasa-basi, dan saat akhirnya langkah kakiku sampai di depan rumah Juna, tempat yang aku kira akan menjadi istana untuk kami berdua, pria b******k itu menjawab dengan santainya. "Iya nih Yang, aku ada di gym sekarang. Udah dulu ya. Sambung nanti habis olahraga akunya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD