5. Kiriman Misterius

1015 Words
"Habis, Kak?" Usai jam kuliah terakhir, Arini bergegas menuju kantin kampus untuk memeriksa jualannya. Besar harapan jualannya habis sebab tadi dia melihat banyak mahasiswa yang menenteng plastik berisi lontong sambal, termasuk Vina. Para mahasiswa memang lebih suka jajanan mengenyangkan, sebab kebanyakan dari mereka perantau yang tidak sempat sarapan pagi. "Habis, Rin. Masih pagi sudah habis," sahut pengelola kantin. Wanita berusia sekitar tiga puluh tahun itu lantas mengambil wadah mika Arini, lalu mengulurkannya bersama uang bagi hasil penjualan. "Alhamdulillah." Arini berseru girang. Hari ini dia membuat lima puluh buah lontong sambal. Per buah harganya Rp 500,00. Berdasarkan kesepakatan, dari Rp 500,00 tersebut, Rp 400,00 masuk ke Arini, dan Rp 100,00 ke pengelola. Jadi, hasil penjualan Arini hari ini Rp 20.000,00. Sementara modal yang dia keluarkan hanya Rp 5.000,00. Keuntungan Rp 15.000,00 bisa dia gunakan untuk menyelesaikan laporan Fisika Dasar. Sementara modal akan disimpan untuk biaya bahan baku kembali. Sebenarnya uang kiriman Arma tempo hari masih bersisa setelah dia belikan berbagai perabot dan bahan modal. Akan tetapi, Arini harus menabung ketat. Dia tidak yakin akan mendapat kiriman biaya semester dan perpanjangan kos dari keluarganya. Ibunya bahkan tidak paham jika kuliah harus membayar uang semester. Sementara Aisyah sudah menegaskan sejak awal, jika dia hanya mampu memberi Rp 300.000,00 per bulan, tanpa embel-embel biaya lainnya. "Besok buat yang agak banyak, ya, Rin. Dua kali ini juga boleh. Sampai sore Insya Allah pasti habis. Tadi saja mahasiswa banyak yang kurang. Yang sudah beli, mau beli lagi tapi sudah habis. Mereka suka sambalmu, enak. Katanya pedas dan rasa yang lainnya juga pas. Tadi kakak juga sempat nyicip satu. Memang enak." "Masya Allah. Iya, Kak. Insya Allah besok saya antar dua kali ini. Terima kasih banyak, Kak." "Sama-sama." "Kalau begitu saya permisi, ya, Kak. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Arini bergegas pulang. Ada banyak hal yang harus dia kerjakan, mulai dari menggantikannya Sri mengajar bimbel, menyelesaikan laporan Fisika Dasar, membuat lontong dan sambal untuk bahan jualan esok hari, juga tugas mata kuliah lain yang juga menunggu. Tidak ada waktu untuknya bersantai. *** "Rin, ada yang cari kamu di depan." Arini baru selesai bersiap untuk pergi mengajar bimbel ketika pemilik kos menemuinya. "Siapa, Bu?" tanya Arini agak heran. Tidak banyak yang tahu alamat kosnya, kecuali teman-teman kuliah. Teman kuliah yang datang biasanya langsung menuju kamar. Berarti yang mencari kali ini orang baru atau laki-laki. Sebab, laki-laki tidak diijinkan untuk masuk. "Sepertinya karyawan toko. Mereka mengantar barang." "Karyawan toko?" Dahi Arini mengernyit. Toko mana yang mengantar barang? Dan barang apa? Dia merasa tidak pernah berbelanja. "Iya." Pemilik kos mengangguk. "Toko apa, Bu?" "Toko apa, ya? Ibu juga kurang memerhatikan. Memangnya kamu belanja di toko apa?" "Saya enggak ada belanja apa-apa, Bu." "Lho, benaran enggak ada belanja?" "Iya, Bu." "Wah, ibu juga enggak paham, Rin. Tapi, benar tadi mereka menanyakan nama kamu dan alamat ini. Lebih baik kamu temui saja." "Baik, Bu." Arini melirik jam di tangannya. Pukul dua siang kurang seperempat. Masih ada waktu sebelum mungkin dia akan berjalan menuju lokasi bimbel. Penuh tanya, dia melangkah menuju depan kos di mana orang yang mencarinya menunggu. "Kak Arini?" Seorang laki-laki dengan mengenakan seragam berlogo toko komputer menyapa ketika dia muncul. Mereka datang berdua. Karyawan yang satu berdiri di depan dua kotak barang di hadapannya. "Iya." Arini mengangguk. "Kami mau mengantar barang untuk, Kakak," terang orang itu. Kembali Arini mengernyitkan dahinya. Dia sama sekali tidak pernah datang ke toko itu. "Barang apa?" tanyanya bingung. "Laptop sama printer, Kak." Dahi Arini kian berkerut. Jangankan membeli dua barang itu, bahkan berencana saja dia belum berani. Laptop benar-benar merupakan barang mewah untuknya, bahkan di kalangan teman-temannya. Mereka yang tergolong berada, biasanya hanya menggunakan komputer meja yang harganya jauh lebih murah. "Laptop sama printer?" Arini mengulang ucapan karyawan itu. "Iya, Kak." "Tapi saya enggak merasa pesan." "Iya. Ini tadi yang pesan abangnya, Kak Arini." "Abang saya?" "Iya, Kak." "Namanya siapa?" "Nah, itu tadi kami lupa tanya namanya." "Saya enggak punya abang di sini." "Tapi ini benar, Kak Arini, 'kan?" Karyawan itu menunjukkan nota yang bertuliskan nama dan alamat customer yang dituju. Memang benar nama Arini tercantum di sana. Di kos ini, hanya dia satu-satunya penghuni yang bernama Arini. "Iya." Arini mengangguk. "Berarti benar, Kak. Kami enggak salah alamat." "Ciri-ciri orangnya seperti apa?" "Tinggi, Kak. Badannya tidak terlalu besar, tapi tegap." "Apa ada ciri khas?" "Enggak terlalu memerhatikan juga, sih, Kak. Tapi orangnya ganteng, putih." "Heh?" Arini mengernyitkan dahinya, merasa janggal karyawan yang notabene laki-laki itu memuji ketampanan laki-laki lain. Sementara karyawan itu terkekeh geli melihat ekspresi Arini. "Kak Arini terima saja. Mungkin nanti Abang yang pesan ini akan menghubungi untuk konfirmasi," lanjut karyawan di ujung kekehannya. Dari pada harus berdebat lebih lama, sementara dia harus berangkat mengajar bimbel, Arini mengangguk setuju. Dia mengijinkan kedua karyawan itu mengantar barang ke kamarnya. "Windows-nya sudah kami aktivasi, ya, Kak. Printer juga sudah kami instalkan. Tadi abangnya minta begitu," ucap kedua karyawan itu sebelum pamit pulang. "Iya. Terima kasih," sahut Arini. "Sama-sama." *** Setelah kedua karyawan itu berlalu, Arini melangkah menelusuri trotoar menuju arah lokasi bimbel. Tidak ada angkutan umum atau oplet yang menuju ke sana. Arini terpaksa berjalan kaki. Sebenarnya jika Arini meminta Vina untuk mengantar, pasti teman satu kelasnya itu bersedia. Hanya saja, Arini terlalu sungkan untuk merepotkan siapa pun. Kecuali jika memang kondisi benar-benar mendesak. Selama masih bisa diusahakan tanpa bantuan, maka dia akan melakukannya sendiri. Kota khatulistiwa memang terkenal dengan panasnya yang menyengat. Arini mengusap peluh yang mulai membasahi pelipisnya. Mungkin jika nanti jualannya semakin laris, dia perlu membeli sepeda untuk alat transportasi. Memang tidak banyak mahasiswa yang menggunakan sepeda. Di antara mereka bahkan mungkin ada yang gengsi. Namun, bagi Arini saat ini, yang paling penting kemudahan. Tidak peduli apa itu gengsi. Walaupun sepeda tidak secepat dan semudah sepeda motor, tetapi tetap lebih cepat dari berjalan kaki. Tengah fokus berjalan kaki, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti tepat di samping Arini. Pengemudi kuda besi itu menoleh, tangannya mengulurkan helm. "Naik," ucapnya datar memerintah. Arini terpaku, pengemudi itu laki-laki. Badannya tinggi, tidak terlalu besar, tetapi tegap. Meskipun rautnya selalu sinis dan ketus, tetapi Arini akui, dia tampan. Kulitnya juga putih. Persis ciri-ciri yang tadi disampaikan karyawan yang mengantar barang. Apakah dia yang ...? Ah, mustahil!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD