"Bang ...."
Arini menyapa Roni, mahasiswa semester atas Program Studi Pendidikan Fisika yang saat itu memang sedang menunggunya di muka pintu laboratorium. Raut Arini sedikit pucat. Jujur saja, dia merasa agak gugup dan takut.
"Cepat, Rin. Ditunggu Pak Bira, tuh."
Roni menggerakkan kepalanya ke arah dalam laboratorium, menegaskan kepada Arini tentang keberadaan Dosen Killer yang sudah memanggilnya. Mata Roni menatap Arini prihatin. Dia tahu, seberapa sering Arini dimarahi oleh Bira tanpa alasan yang jelas.
"Aku salah apa lagi, sih, Bang?"
Arini bertanya dengan bibir bergetar. Bagaimana pun dia gentar dipanggil. Walaupun dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun.
Selama ini, walaupun sebenarnya dirinya tidak melakukan kesalahan, tetap saja di mata Bira, dia salah dan layak ditegur. Ancaman tidak lulus mata kuliah yang diampu, selalu menjadi senjata ampuh bagi Bira untuk menakuti Arini. Sementara, Fisika Dasar I merupakan prasyarat untuk mengambil Fisika Dasar II pada semester berikutnya. Tidak lulus Fisika Dasar I, tentu cukup merepotkan bagi Arini.
"Enggak tahu. Dia cuma suruh manggil kamu." Roni mengangkat kedua bahunya, "Ayo, cepat. Masuk saja. Nanti kalau lama, dia makin marah."
"Iya."
Arini mengangguk gentar. Di muka pintu laboratorium, dia menghela napas dalam terlebih dahulu untuk menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Setelah merasa cukup tenang, baru dia mengetuk pintu diikuti ucapan salam.
"Assalamualaikum, Pak. Selamat pagi."
Bira menoleh pada Arini tanpa ekspresi, menatap sebentar sebelum menjawab salam dengan nada datar.
"Waalaikumsalam. Masuk!" titahnya.
Arini mengangguk, walaupun tahu dosen di hadapannya tidak melihat sebab fokus menunduk sambil memerhatikan kertas-kertas yang ada di atas mejanya. Sampai di dekat meja dosen muda berusia sekitar 27 atau 28 tahun itu, Arini berdiri kikuk.
"Bapak memanggil saya?" tanyanya gugup.
"Hmm." Bira menyahut singkat tanpa mengubah posisinya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Bira yang awalnya fokus pada lembaran di atas meja, seketika mengangkat kepala dan menatap Arini tajam. Arini cukup terhenyak dan semakin gugup, merasa jika mungkin dirinya salah bicara.
"Memangnya kamu pikir bisa melakukan apa untuk saya?" Dosen di hadapannya bertanya arogan.
"Apa kamu merasa sudah memiliki kemampuan yang memadai untuk membantu saya?" lanjutnya ketus.
Arini terdiam, tidak bisa menjawab apapun. Dalam hati dia hanya merutuk, manusia di hadapannya itu sebenarnya punya masalah apa? Mengapa apapun yang dia ucapkan, selalu salah. Padahal, apa salahnya dengan pertanyaan yang dia lontarkan? Jika memang tidak ada yang bisa dia bantu, tinggal jawab tidak apa susahnya?
Tangan Bira lantas meraih salah satu berkas yang ada di atas mejanya, lalu meletakkannya kasar di depan Arini.
"Ini laporan kamu?" tanyanya ketus.
Arini menatap berkas itu lalu mengangguk perlahan.
"Iya, Pak," sahutnya pelan.
"Bikin laporan saja kamu tidak becus, berlagak bertanya apa saya butuh bantuan kamu?" Bira menatap Arini sinis diiringi senyum merendahkan.
"Tidak becus bagaimana, Pak?" Arini memberanikan diri untuk membalas tatapan Bira.
Dia sudah menyelesaikan laporan itu dengan sungguh-sungguh, membaca banyak referensi, dan membahas hasil yang diperoleh sesuai referensi itu.
Dia sangat yakin, jika pun ada kesalahan, itu tidak akan lebih dari sepuluh persen. Lalu tidak becus pada bagian mana?
Lagi pula, teman-teman anggota kelasnya yang lain menjadikan laporan miliknya sebagai acuan, mengapa mereka aman-aman saja?
"Mengapa laporan kamu tidak diketik? Bagaimana saya bisa membacanya dengan baik jika kamu tulis tangan begitu?"
Arini mengernyitkan dahinya. Jadi hanya perkara tulis tangan?
Bukankah sejak awal dia sudah bertanya apakah laporan boleh ditulis tangan dan dijawab boleh? Lagi pula, ini sudah laporan ke sekian kali, mengapa baru kali ini perkara ini dipermasalahkan?
Arini bukan tidak mau mengerjakan laporannya dengan cara diketik. Akan tetapi, dia tidak punya laptop atau komputer. Jika harus ke warnet, sewa Rp 3.000,00 per jam itu sangat berarti untuknya. Belum lagi biaya print yang Rp 500,00 per lembar. Satu laporan bisa belasan sampai dua puluhan lembar
Jika tulis tangan, Arini cukup membeli kertas HVS segara Rp 200,00 per lembar. Jauh lebih hemat.
"Bukankah memang diijinkan tulis tangan, Pak?" Arini membela diri.
"Siapa yang mengijinkan?"
"Waktu pertemuan pertama kali, asisten dosen menjelaskan boleh tulis tangan."
"Asisten dosen?"
"Iya, Pak."
"Lebih berwenang asisten dosen apa dosen?"
"Mmm, dosen, Pak." Arini menjawab lemah.
"Itu kamu tahu!"
"Tapi, laporan-laporan sebelumnya juga tulis tangan dan tidak apa-apa, Pak."
"Kata siapa tidak apa-apa? Saya harus bekerja keras membaca tulisan-tulisan kamu! Apa kamu tahu?"
"Bukankah tulisan saya rapi, Pak?" Arini bertanya hati-hati.
Tulisan Arini memang rapi. Tidak ada coretan sama sekali sebab dia mengerjakannya benar-benar konsentrasi dan hati-hati. Huruf yang digunakan juga huruf cetak yang jelas bentuknya. Jika dikatakan tidak bisa dibaca dengan baik, mengapa ujian dan tugas teorinya bisa?
"Percaya diri sekali kamu?" balas Bira sambil menatap Arini tidak suka, "kamu perbaiki dulu. Ketik yang rapi, baru dikumpulkan kalau mau dapat nilai." Ia menyodorkan laporan itu kepada Arini.
"Baik, Pak," sahut Arini lemah.
Dia meraih laporan itu perlahan. Bagaimana pun, mau tidak mau titah Bira harus dituruti.
"Kalau begitu, saya permisi," ucapnya kemudian.
"Hmm. Kumpulkan secepatnya!"
"Baik, Pak."
Arini segera membalikkan badan, lalu melangkah keluar. Air matanya hampir jatuh. Dia sudah berjuang maksimal menulis laporan itu, tetapi terpaksa harus diganti. Tidak hanya itu, biaya pun kini menjadi pikirannya.
"Sudah selesai?" Di depan pintu, ternyata Roni masih menunggu. Dia menatap penuh khawatir ketika Arini keluar.
"Abang, kok, masih di sini?" sahut Arini tidak semangat. Sebenarnya dia agak terkejut karena senior beda program dengannya itu masih ada di depan pintu laboratorium.
"Iya. Nungguin kamu."
"Abang enggak ada kuliah?"
"Ada, sih. Tapi enggak apa-apa terlambat sedikit. Abang sengaja nungguin kamu. Ada masalah apa?" Roni bertanya khawatir.
"Ini laporannya enggak boleh tulis tangan," terang Arini lemah sambil menunjukkan laporan di tangannya.
"Masa?" Roni bertanya tidak percaya.
"Iya. Padahal dulu kata, Abang, boleh."
"Ya, memang boleh. Lagi pula yang koreksi laporan itu 'kan kami, asisten praktikum. Bukan dosen."
"Masa?" Gantian Arini yang bertanya tidak percaya.
"Iyalah! Kami sudah di-briefing dan diberi rubrik untuk penilaian setiap laporan."
"Tapi kata Pak Bira ...."
"Roni!" Belum selesai Arini mengucapkan kalimat lengkapnya, Bira berdiri di muka pintu sambil menatap tegas.
"Ya, Pak?" Sambil sedikit berjengit kaget, Roni menyahut cepat.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Mmm .... Itu, Pak ...." Roni tampak gelagapan dan bingung untuk menjawab. Bahkan sikapnya seperti salah tingkah.
"Kamu ada jadwal asisten praktikum?"
"Enggak ada, Pak."
"Bukankah kamu ada jam kuliah?"
"Iya, Pak."
"Apa kuliah kamu bersama dia?" Bira melirik Arini sinis.
"Bukan, Pak."
"Lalu mengapa masih di sini?"
"Anu, Pak ...."
"Sebaiknya kamu lekas ke kelas!"
"Baik, Pak. Saya ke kelas sekarang." Roni bersiap meninggalkan laboratorium untuk menuju kelas di mana kuliahnya berlangsung.
"Ayo, Rin," ajaknya pada Arini.
"Apa kamu bodyguard dia sehingga harus mengajak dia juga?" Bira kembali bersuara ketus. Tatapannya tidak suka menghunjam pada Roni.
"Bukan, sih, Pak."
"Ya, kalau begitu lekas ke kelas kamu. Saya tahu kamu bahkan sudah terlambat."
"Baik, Pak." Roni melangkah tergesa meninggalkan Arini dan Bira.
Setelah Roni berlalu cukup jauh, Bira beralih menatap Arini yang terpaku bingung.
"Kamu selesaikan laporanmu dengan benar. Jangan hanya bisa tebar pesona," ucapnya sinis sebelum kembali masuk ke laboratorium, meninggalkan Arini yang semakin bingung.