6. Kecewa

1102 Words
"Pak ...." "Ayo! Kamu bisa cepat, enggak?" Bibir Arini terbuka untuk menyapa. Namun, belum selesai kalimatnya terucap, laki-laki yang dia juluki Dosen Killer itu sudah memotong. Arini mendengkus kesal. Jika saja Adi Bira Winata itu bukan dosennya, mungkin dia akan mengabaikan dan memilih untuk meneruskan berjalan kaki. Atau mungkin dia akan mengumpat emosi. Dia tidak butuh bantuan dari orang angkuh seperti itu. Siapa yang sudi menerima bantuan, jika ditawarkan dengan cara arogan? Kecuali jika memang terpaksa. "Baik, Pak." Mau tidak mau, kalimat itu yang akhirnya dia ucapkan. Arini meraih helm yang diulurkan Bira, mengenakannya, lalu naik ke jok belakang sepeda motor Dosen Killer itu. Sepeda motor melaju dengan tenang. Tidak ada percakapan sama sekali yang terjadi di antara Arini dan Bira. Arini penasaran, laki-laki di depannya tidak bertanya sama sekali kemana tujuannya. Memangnya dia akan dibawa kemana? Arini memilih untuk terus diam. Dia ingin melihat apakah Bira akan bertanya pada akhirnya nanti dan melupakan sisi arogannya. Akan tetapi, hingga cukup jauh perjalanan yang mereka tempuh, laki-laki itu tetap tidak bersuara. Pada persimpangan jalan raya dan jalan menuju lokasi bimbel, Bira membelokkan sepeda motornya. Dahi Arini mengernyit, merasa heran apa mungkin laki-laki itu tahu tujuannya? Akan tetapi, tahu dari mana? Arini menggeleng ringan, tidak mungkin Dosen Killer itu tahu. Mungkin saja memang tempat yang sedang dia tuju searah dengan jalan menuju bimbel. Sampai pada area gedung bimbel, Bira kembali membelokkan motor dan berhenti tepat di pelataran parkir. Arini semakin mengerutkan dahi. Jadi laki-laki itu memang tahu tujuannya? Atau dia sedang ada keperluan di bimbel ini? Apa jangan-jangan dia juga merupakan salah satu tenaga pengajar di sini? Atau malah salah satu pendiri atau pemilik? Arini bingung sendiri. "Sudah sampai. Cepat turun! Apa kamu mau saya antar sampai masuk kelas?" Suara ketus Bira menyadarkan Arini. "Eh, iya." Seketika dia geragapan, lalu bergegas melompat turun. Tangannya lekas melepas helm dan mengulurkannya pada Bira. "Terima kasih, Pak," ucapnya tulus. Seberapa pun mengesalkannya sikap Bira, laki-laki itu sudah membantunya hari ini. "Hmm." Bira hanya menyahut dengan gumaman. Air mukanya datar seperti biasa saat menanggapi ucapan terima kasih dari Arini. Matanya pun tidak menatap sama sekali pada mahasiswinya itu. Setelah meletakkan helm pada gantungan yang tersedia, dia segera berlalu meninggalkan Arini tanpa sepatah kata pun. Arini menatap punggung Dosen Killer tampan itu sambil menggeleng ringan. Benar-benar laki-laki membingungkan. Dikatakan jahat, tetapi mau membantu. Dikatakan baik, tetapi arogan dan ketus. Setelah Bira hilang di ujung jalan, Arini melangkah masuk. Oleh karena hari ini diantar Bira, dia masih memiliki banyak waktu sebelum jam masuk kelas. Dia berpikir untuk duduk pada kursi tunggu yang ada di lobi. Setelah menghenyakkan tubuhnya di atas kursi, Arini kembali menoleh ke arah jalan di mana tadi tubuh Bira menghilang. Satu pertanyaan menggelitik hatinya. Jadi Dosen Killer itu singgah ke tempat bimbel khusus untuk mengantar dirinya? Tahu dari mana jika dirinya memang ingin ke tempat ini? "Arini!" Tengah sibuk menerka-nerka, panggilan dari arah resepsionis membuyarkan pikiran Arini. Dia segera menoleh. Emi Winarti, perempuan berusia sekitar tiga puluhan tahun yang dia tahu bertugas mengurus kelas dan tenaga pengajar, tampak melambaikan tangan, memintanya untuk mendekat. "Ya, Kak?" Arini menyahut sopan. Tidak menunggu panggilan kedua kali, dia bergegas mendekat. "Arini ikut ke ruang saya sebentar, ya. Saya mau bicara." "Baik, Kak." Arini merasa hatinya berdebar tidak nyaman, berpikir apa mungkin dia melakukan kesalahan. Atau mungkin ada orang tua siswa yang komplain dengan cara mengajarnya semalam. Dia segera melangkah di belakang Emi, mengikuti perempuan itu menuju ruangannya. "Duduk, Rin." Emi menunjuk kursi yang ada di depan mejanya. Sementara dia sendiri menempati kursi berhadapan dengan Arini. "Terima kasih, Kak." Arini menghenyakkan tubuhnya perlahan ke atas kursi yang ditunjuk Emi. Rasa tidak nyaman masih merajai hatinya. "Arini sebenarnya sekarang semester berapa?" Emi memulai percakapan. Arini bisa menangkap, binar wajah Emi seperti menyirat kecewa dan tidak senang. Hatinya semakin berdebar tidak tenang. "Semester satu, Kak," sahut Arini pelan. "Semester satu?" "Iya." "Arini tahu, enggak, bahwa salah satu syarat untuk mengajar di sini, minimal sudah semester tiga?" "Tahu, Kak." "Lalu mengapa masih menerima tawaran kelas di sini?" Arini meneguk ludah yang tiba-tiba saja terasa serat. Benar firasat hatinya, ada sesuatu yang tidak beres. "Mmm ...." "Arini tahu, bahwa apa yang kamu lakukan ini sama saja dengan menipu pihak lembaga?" Belum sempat Arini menjelaskan, Emi sudah kembali bicara dengan kalimatnya. "Menipu?" Arini mengernyitkan dahi. Emosinya sedikit terpancing. Bukan dia yang datang meminta kelas, justru dia ditawari. Dia tidak pernah menyampaikan informasi palsu. Bagaimana mungkin dikatakan menipu? "Iya! Apalagi namanya kalau bukan menipu?" sahut Emi tegas. "Saya tidak pernah merasa memalsukan identitas, bagaimana mungkin dikatakan menipu?" tanya Arini berani. Dia tidak bisa ditekan, untuk suatu kesalahan yang tidak pernah dilakukan, "Saya tidak pernah mengaku jika sudah semester tiga." "Tapi kamu tahu aturan lembaga." "Yang saya tahu, aturan lembaga minimal semester tiga untuk tenaga pengajar tetap. Sementara saya hanya tenaga pengganti. Lagi pula, saya sebagai pengganti bukan menawarkan diri, tetapi diminta." "Sama saja mau diminta atau meminta!" "Jelas beda! Kalau diminta, seharusnya pihak lembaga sudah tahu dengan latar belakang tenaga pengganti, siap dengan segala kondisinya! Atau paling tidak pada pertemuan awal, bertanya dulu. Tidak asal setuju." "Kamu sudah salah, tetapi justru menyalahkan." Emi menatap Arini tidak suka. "Lalu bagaimana dengan pihak lembaga yang terkesan sesuka hati?" "Pokoknya mulai sekarang kamu tidak bisa menggantikan kelas Sri lagi. Saya sudah punya tenaga pengganti lain yang lebih memenuhi syarat." Arini tersenyum getir. Sekarang dia tahu pokok persoalannya. "Sebenarnya Kak Emi hanya ingin mengganti saya saja 'kan?" tanyanya pelan, "padahal cukup katakan saja secara gamblang. Tidak perlu sampai menuduh saya menipu. Saya pasti akan berbesar hati untuk berhenti. Tidak mungkin saya bersikeras untuk tetap bertahan." Arini beranjak, bersiap untuk pergi. Dia mengulas senyum ringan ketika melihat sikap Emi yang salah tingkah. Arini bisa menebak, Emi hanya mencari alasan untuk memberhentikan dirinya dan menggantikan dengan orang pilihannya sendiri. Semua itu mungkin hak prerogatif dia sebagai pengelola. Akan tetapi, menggunakan alasan yang dibuat-buat tidak bisa Arini terima. Yah, mungkin memang sudah jalannya. Sebelumnya Arini berpikir, menggantikan kelas Sri selama seminggu akan cukup lumayan menambah keuangannya. Namun, sepertinya belum rezeki. Ternyata benar, cara tercepat untuk kecewa adalah dengan berharap pada manusia. Sudah dua kali Arini membuktikannya. Pertama ketika dulu dia begitu berharap kepada Dani. Namun, laki-laki itu pergi. Sekarang dia begitu berharap kepada pihak bimbel untuk menambah keuangan, hasilnya lagi-lagi dia kecewa dan sakit hati. Hidup memang sering kali tidak semudah dan seindah yang direncanakan. Selalu ada suatu kejadian tak terduga yang Allah siapkan sebagai sandungan untuk menguji kesabaran, ketekunan, dan ketangguhan hati. Arini melangkah gontai keluar dari gedung bimbel. Baru saja datang, dia sudah harus pulang kembali. Tidak apa-apa, dia yakin suatu saat pasti akan ada hikmah dari kecewa yang dia alami saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD