Pria itu baru saja akan melajukan mobilnya, namun sesuatu di kursi sisi kemudi menarik perhatiannya, ia melihat sweater milik Arra yang tertinggal di sana, tanpa berpikir panjang ia langsung mengambil sweater itu dan membuka mobilnya, dengan sweater itu ia memiliki alasan bertemu Arra kembali yang membuatnya tanpa sadar mengukir senyum, kau benar-benar gila Dean Keandre. Umpatnya dalam hati menyadari kekonyolannya yang seperti anak remaja sedang jatuh cinta, nyatanya dia sedang jatuh cinta kan? Hanya saja hatinya belum berani mengakui hingga ke tahap itu.
“Kak Dean,” panggilan itu menghentikan langkah Dean, ia melihat Bianca yang berlari kecil sambil tersenyum ke arahnya. “Apa kau ingin bertemu ?” Tanya gadis belia itu saat sudah mencapai Dean, Dean hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku ingin mengembalikan sweater kakakmu yang tertinggal,” alasan! Katakan saja kau ingin bertemu dengannya Dean Keandre, jika hanya ingin mengembalikan sweater kau bisa menitipkannya pada adiknya. Sisi hati Dean berbisik, namun pria itu memilih mengabaikannya dan melangkah beriringan bersama Bianca.
“Di mana kaumengenal kakakku?” Tanya Bianca memecah keheningan antara dirinya dengan Dean.
“Kami akan menjadi partner duet untuk acara kampus.” Bianca hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Dean.
“Bagaimana menurutmu, kakakku?”
“Aku baru mengenalnya tiga hari ini, tidak banyak aku mengetahui tentangnya,” tapi tiga hari ini cukup membuatku tertarik dengan kakakmu, batinnya melanjutkan.
Begitu tiba di depan rumahnya Bianca langsung menyuruh Dean masuk, ia membuka pintu itu pelan, diikuti Dean di belakang, namun keduanya langsung diam membatu melihat pemandangan di depannya.
Bianca yang sudah akan berteriak merasa lidahnya tiba-tiba kelu melihat bagaimana tangis pilu Arra yang tidak pernah ia dengar, bahkan tangisan kakaknya itu lebih mengiris hatinya daripada saat pertama kali ayahnya memukul kakaknya, setitik air mata jatuh membasahi pipinya, ia menangis dalam diam melihat bagaimana rapuhnya kakaknya yang sebenarnya, bagaimana sebenarnya hati kakaknya selama ini yang selalu berusaha baik-baik saja di depannya, dan air mata itu menetes semakin banyak dengan d**a yang ikut sesak melihat kesakitan yang dialami oleh kakaknya.
Dean terpaku, mendengarkan dengan seksama semua percakapan gadis itu, gadis yang tanpa sadar membuatnya tertarik, dua kali ia melihat gadis itu menangis hari ini, tadi siang ia hanya melihat gadis itu menangis tanpa suara dan Dean tahu gadis itu berusaha menahan kesedihannya, tapi malam ini, hatinya ikut tercubit dan napasnya tercekat melihat bagaimana Arra yang menangis sesenggukan begitu pilu, gadis itu tengah menumpahkan semua kesakitannya pada ibunya, dan Dean berharap suatu hari nanti ia yang akan menjadi tempat Arra bersandar dan ia yang akan menghapus air mata gadis itu, bahkan ia akan berusaha mencegah agar tidak ada air mata yang membasahi wajah dewi Arra, ia yang akan menjamin mata almond itu akan selalu memancarkan kebahagiaan, mata almond yang telah menariknya dalam pusaran perasaan yang sulit ia kendalikan.
Dean memegang bahu Bianca, ia tahu gadis itu sedang menahan tangisnya, tanpa suara ia membawa Bianca keluar dan begitu pintu yang tertutup tanpa suara Bianca langsung memeluk Dean dan menangis di d**a pria itu.
“Hikss hiks Kak Arra, dia dia ... .” Ujar Bianca dengan sesenggukan, Dean hanya mampu menenangkan gadis belia itu dengan mengusap punggungnya.
“Ssttt, kau menyayanginya kan? Maka dari itu kau harus menunjukkan senyummu Bianca,” Dean sudah melepaskan pelukannya dan menatap Bianca lembut, “Masuklah, berikan kakakmu senyuman dan pelukan,” Bianca mengangguk dan berlalu masuk, melalui tatapan matanya ia mengucapkan terima kasih pada Dean.
“Aku pulang.”Teriak Bianca begitu membuka pintu, berusaha menekan nyeri di dadanya, ia harus tersenyum untuk kakaknya. “Wahh apa yang Mommy dan Kak Arra bicarakan, serius sekali? Apa Kak Arra sedang mencurahkan hati tentang pria yang ia sukai Mommy?” Tanya Bianca yang kini menyela di tengah-tengah Daisy dan Arra.
“Ck, apa yang kau katakan.” Dengus Arra, gadis itu begitu pintar mengubah ekspresinya seolah ia sudah terlatih.
“Jika tidak, kenapa kau harus memeluk-meluk Mommy, kau sedang merajuk pada Mommy tentang pria itu kan? Ayo katakan padaku.” Ujar Bianca lagi dengan tatapan menuntut, sedangkan Arra langsung menjepit hidung adiknya itu dengan ibu jari dan telunjuknya, membuat Bianca berteriak dan langsung memeluk Daisy.
“Mommy, dia menyakitiku.” Nada merajuk dari Bianca yang masih mengusap-usap hidungnya membuat Daisy terkekeh.
“Sudah-sudah, kalian cepatlah mandi, Mommy akan menyiapkan makan malam.” Daisy menengahi dan segera beranjak dari sofa tersebut menuju dapur.
~*~
Dean kembali meninggalkan rumah Arra, namun kali ini perasaannya berbeda, jika tadi ia pergi dengan perasaan damai dan bahagia, kini perasaan sedih dan kalut yang mendominasi.
‘Sebenarnya seberapa banyak beban yang kau pikul Arrabela? Ayahmu yang tadi pagi? Keluarga
di restoran tadi dengan gadis yang memiliki duplikat wajahmu? Lalu apa lagi?’ Dean membatin, kenapa semakin hari semakin ia seolah tertarik untuk mengetahui kehidupan gadis itu, dan ia sendiri yang mendorong dirinya untuk masuk dalam lingkaran kehidupan gadis itu.
Dalam perjalanannya menuju mobil, di gang sempit itu Dean bertemu dengan pria yang tadi pagi menampar Arra, pria tua yang kini terlihat berjalan dengan terhuyung-huyung dan Dean tahu jika pria tua itu mabuk.
“Lihat saja jika malam ini anak itu tidak memberikanku uang, aku benar-benar akan menjual tubuhnya.” Racauan Ronald membuat Dean menghentikan langkahnya, dengan cepat ia menghampiri Ronald dan melayangkan tinjunya, orang tua seperti Ronald bagi Dean tidak perlu dihormati, orang tua jenis apa yang akan menjual anaknya sendiri, Ronald yang tidak siap menerima pukulan Dean langsung jatuh tersungkur dan memandang bengis Dean, sedangkan Dean menatapnya remeh dan kembali meninju wajah itu berkali-kali, setelahnya Dean bangkit, mengambil dompetnya dan melemparkan semua uangnya di hadapan Ronald.
“Obati lukamu Tuan, maaf menjadikanmu sasaran kemarahanku, kupikir uang itu lebih dari cukup untuk menebus tinjuku.” Ronald mendecih dan meludah, menatap tajam Dean, namun detik berikutnya ia tertawa dan langsung memunguti uang tersebut.
“Well tinjumu tidak cukup berarti bagiku, tapi aku akan tetap mengambil uangmu.” Ronald bangkit dan segera memunguti uang tersebut, “Sepertinya nasib baik masih berpihak padamu malam ini anak sial, karena aku tidak meminta uang padamu.” Ronald menggumam keras, membuat Dean yang masih berdiri di hadapannya mengepalkan tangannya dengan rahang mengeras.
Dean masih berdiri di tempatnya menatap tajam Ronald yang telah pergi menuju jalan raya dengan langkah sempoyongannya. Sial! Jika seperti ini terus ia tidak tahu kapan Ronald akan menyakiti Arra, ia harus segera mencari cara agar Ronald berhenti melukai Arra, membawa pria tua itu jauh dari kehidupan Arra.
~*~
Pagi ini Dean kembali ke jalan yang sama seperti kemarin, menunggu gadis yang telah mengganggu pikirannya akhir-akhir ini, persetan dengan perasaannya, ia hanya ingin semuanya mengalir apa adanya, perasaan yang ia pikir telah mati sejak seseorang yang ia nobatkan sebagai pemilik hatinya melukainya begitu dalam, sejak saat itu ia membenci wanita, tidak lagi mempercayai cinta, namun gadis itu seolah menjungkirbalikan pemikirannya selama ini, hanya dalam beberapa hari Arrabela mampu mengubah Dean perlahan-lahan.
Seulas senyum tercetak di bibir tebalnya saat matanya melihat gadis yang ditunggunya baru keluar bersama sang adik, ia segera keluar dari mobil dan menghampiri keduanya.
Arra hanya mengernyitkan keningnya melihat Dean yang berdiri di depannya, apa yang dilakukan pria itu sepagi ini di dekat rumahnya?
“Selamat pagi.” Bianca yang lebih dulu menyapa Dean, Dean tersenyum pada Bianca dan mengusap rambut gadis belia itu.
“Ayo, aku akan mengantar kalian, kebetulan eng ... tadi aku ada urusan di sini.” Arra menautkan alisnya mendengar jawaban Dean, jelas sekali pria itu berbohong, tapi untuk apa pria itu berbohong?
“Ayo Kak, kita ikut saja.” Belum juga Arra mengiyakan ucapan Bianca, gadis itu sudah menariknya menuju mobil Dean.
Keheningan menyelimuti keduanya setelah Bianca turun, Arra sendiri bingung ingin membicarakan apa dengan Dean, mood-nya masih begitu buruk karena mengingat semuanya.
“Terima kasih.”
“Ya?” Dean menolehkan kepalanya menatap Arra penuh pertanyaan, terima kasih untuk apa?
“Untuk kemarin yang telah kau lakukan.” Arra menjelaskan, pandangannya masih lurus ke depan, entah kenapa jantungnya bertalu keras, mendengar nada bicara Dean yang begitu lembut dan mengalun begitu indah di telinganya.
“Ya. kau punya hutang padaku Arrabela untuk ucapan terima kasihmu itu.” Dean menyeringai, sedangkan Arra menatapnya tidak percaya, pria yang menyebalkan tetap saja menyebalkan.
“Ooh iya, kau bilang ingin membicarakan Dies Natalies itu? Apa kau sudah memikirkan lagu apa yang akan kita bawakan?”
Arra hanya tersenyum berdosa pada Dean sambil menggelengkan kepalanya, semalam terlalu banyak yang ia pikirkan hingga tidak memikirkan tentang acara itu.
“Tema acaranya Love and Memories. Kau bisa merekomendasikan lagunya padaku jika ada yang ingin kau bawakan, aku belum menemukan lagu apa yang cocok terkait dengan tema itu.” Dean hanya menganggukkan kepalanya mendengar jawaban Arra, ia menatap gadis di sampingnya yang hanya menatap lurus ke depan, mata sendu itu membuat Dean dengan berani menggenggam tangan Arra, membuat gadis itu menatap Dean dalam.
“Sudah sampai, kau masih ingin bersamaku? Apa kita membolos saja dan menghabiskan waktu seharian?” Dean sekali lagi bertanya dengan nada lembut namun jahil di akhir, membuat Arra sejenak tenggelam dalam tatapan menenangkan milik Dean namun langsung mendengus kesal melihat seringai Dean.
“Terima kasih.” Arra segera beranjak dari mobil Dean, ia takut jika terlalu lama menatap pria itu ia akan tersesat, tersesat dalam pesona Dean yang menjerat hati setiap wanita.
~*~
Begitu banyak jenis senyum di dunia ini, namun yang paling menyakitkan adalah di saat kau tersenyum namun hatimu menangis berdarah-darah, tidak ada yang lebih menyakitkan saat keluarga yang ia rindukan bertahun-tahun justru menganggapnya telah mati.
Arra menghapus kasar air matanya saat kembali mengingat kenangan menyakitkan itu, setelah menyelesaikan kelasnya hari ini, ia langsung menuju kafe Mike, namun ia justru melihat mereka di salah satu butik tengah tertawa bahagia dengan sang anak yang mencoba gaun barunya, tidak pernahkah mereka memikirkan kehidupan anaknya yang lain yang mereka tinggalkan?
Arra memasuki kafe Mike dengan senyuman untuk menyapa pegawai lain dan juga beberapa pelanggan tetap di kafe itu yang sudah mengenalnya. Ia segera masuk ke dapur dan memulai pekerjaannya.
“Arra, semakin hari kau semakin cantik saja?” Goda Henry meniupkan tepung di telapak tangannya ke wajah Arra.
“Yakk! Henry, apa yang kau lakukan?” Arra terbatuk-batuk dan menatap tajam Henry, sedangkan pria itu hanya tertawa dan memberikan ciuman jarak jauh pada Arra.
“Arra, kemarilah sebentar, biar pekerjaanmu Henry yang meneruskan.” Ujar Mike begitu memasuki dapur.
“Ada apa, Mike?”
“Ada yang menyelenggarakan pesta ulang tahun di sini, ia ingin kau menyanyikan sebuah lagu, terakhir kali ia ke kafe ini dia begitu tertarik dengan suaramu, bisakah kau membantuku?” Tanya Mike yang langsung disetujui oleh Arra, jika untuk menarik pengunjung di kafe ini bukan masalah untuk Arra. Arra memang pernah beberapa kali mengisi acara di kafe Mike saat band tetap kafe itu berhalangan hadir.
“Ahh terima kasih Arra, kau memang membawa keberuntungan untuk kafeku. Nyanyikanlah lagu cinta, ia bilang ia juga ingin menyatakan perasaan pada kekasihnya hari ini.” Arra mengangguk sekali lagi, ia berjalan menuju panggung dan matanya tak sengaja melihat Dean yang tengah bercengkrama dengan ibunya di tempat favorit mereka, sepertinya mereka sering menghabiskan waktu bersama, Arra tidak menyangka jika pria seperti Dean begitu menyayangi ibunya, pria itu bahkan tidak malu menemani wanita tua itu di saat semua pria lebih memilih berkencan dengan kekasihnya.
Dean melihat gadis itu, gadis yang menjadi alasannya ke kafe ini menemani Fiona berjalan menuju panggung kecil yang memang ada di kafe tersebut, gadis itu mengambil gitar di sudut panggung.
“Hallo semuanya, aku Arrabela,” Arra memperkenalkan dirinya dengan senyuman yang disambut tepuk tangan riuh oleh pengunjung terutama di meja pojok yang dipenuhi oleh anak muda yang Arra taksir berada di tingkat akhir high school. “Aku di sini karena permintaan seseorang, selamat ulang tahun untuk Charlie, semoga Tuhan selalu memberkatimu.” Arra tersenyum sekali lagi dan mulai memetik senar gitarnya, menyanyikan lagu ulang tahun dengan tempo lambat di awal yang menjadi semakin cepat, riuh pengunjung yang ikut bernyanyi menambah suasana ramai di kafe tersebut membuat pria yang berada di spot terbaik untuk melihat penampilan Arra semakin melebarkan senyumnya.
“Kau benar-benar jatuh cinta padanya heum?” Tepukan di bahu Dean oleh Fiona menyentak pria itu, Dean segera mengalihkan tatapannya dari Arra membuat Fiona terkekeh ia berpindah dan duduk di samping pria itu, memeluk leher Dean dengan satu tangannya. “Astaga anakku benar-benar seperti remaja kasmaran.” Fiona terkekeh dan mengecup pipi Dean membuat Dean menatap kesal ibunya.
“Mommy! Jangan menciumku di tempat umum.” Dean berteriak kesal, apa yang akan dikatakan orang-orang jika melihat dirinya yang diperlakukan begitu manja oleh Fiona, namun Fiona justru semakin tertawa melihat wajah merengut Dean. Dalam hati wanita itu bersyukur karena beberapa hari ini ia kembali menemukan anaknya yang telah hilang dalam ekspresi selama bertahun-tahun, dan Fiona tahu jika Arra yang membawa dan menuntun Dean untuk kembali pada sifat aslinya yang sudah tenggelam selama bertahun-tahun dalam diri pria itu karena seorang wanita yang sangat Fiona benci hingga sekarang.
“Apa ada lagu yang ingin kau nyanyikan, Charlie?” Suara Arra menghentikan pertikaian kecil Dean dan Fiona.
“Ya , tapi aku ingin kau yang menyanyikannya, bagaimana dengan Your Call milik Secondhand Serenade?” Tanya Charlie antusias membuat Arra tersenyum, ia seperti melihat cerminan diri Bianca yang begitu ceria di diri Charlie.
Waiting for your call, i am sick
Call i am angry
Call i am desperate for your voice
Listening to the song we use to sing
In the car do you remember
Butterfly early summer
I’s playing on repeat
Just like when we would meet
Like when we would meet
Cause i was born ....
To tell you i love you ....
And i’m torn ....
To do what i have to ....
To make you mine, stay with me tonight
Semua pengunjung begitu terhanyut dalam lagu itu, Charlie yang sudah tau jika penampilan Arra selalu menghanyutkan ikut tersenyum, laki-laki itu maju ke atas panggung, akan bergabung bersama Arra menyanyikan lagu yang akan ia nyanyikan untuk seseorang yang spesial. Charlie menaiki panggung, mengambil mic dan melanjutkan lagu tersebut
Turn stripped and polished, i’m new, i’m fresh
I’m feeling so ambitious, you and me flesh to flesh
Cause every breath that you will take
While you are sitting next to me, will bring life into my deepest hopes
What’s your fantasy?
What’s your, what’s your .....
Pria itu kembali berjalan menuruni panggung menuju satu titik yang menjadi tujuannya pada gadis yang tengah menatapnya begitu fokus.
Cause i was born ....
To tell you i love you ....
And i’m torn ....
To do what i have to ....
To make you mine, stay with me tonight
Riuh tepuk tangan pengujung kembali menggema, teriakan akan aksi Charlie benar-benar membuat iri sebagian pengujung kafe, Arra hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan memutuskan untuk menuruni panggung setelah lagu selesai.
“Penampilanmu benar-benar memukau,” Mike mengacak-acak rambut Arra membuat gadis itu mendengus kesal.
“Aku tau, saat tidur pun aku memukau.” Arra dengan sombongnya terkekeh ke arah Mike dan lanjut masuk ke dapur.
“Arra, kau keren sekali.” Kini tatapan Henry yang berbinar saat melihat Arra memasuki dapur.
“Aku sudah ditakdirkan keren sejak lahir,” jawaban Arra membuat Henry mendengus kesal sedangkan Arra hanya terkekeh. “Cepat lanjutkan pekerjaanmu,”