Chapter 8

2905 Words
 “Sepertinya dia menungumu Arra,” ujar Mike saat melihat Arra yang tengah bersiap-siap pulang, Arra mengikuti arah pandang Mike dan melihat Dean yang masih setia duduk di kafenya dengan secangkir americano dan waffle.                “Apa yang kau lakukan di sini? Kafe sudah hampir tutup.” Dean langsung berdiri dan menggenggam erat tangan Arra, melangkah meninggalkan kafe, Arra hanya mengikuti langkah pria itu.                “Bukankah kau bilang ingin membicarakan Dies Natalies?” Lagi-lagi alasan Dean menggunakan Dies Natalies untuk mengobrol bersama Arra.                “Ahh iya, karena temanya Love and memories bagaimana jika kita membagi tugas, aku yang akan mencari lagu dengan tema cinta dan kau kenangan? Bagaimana?”                “Jadi kita akan membawakan dua lagu?”                “Ya, rencananya begitu? Atau kau ingin tampil solo? Aku akan mengatakannya pada panitia jika kau benar-benar mau?”                “Cihh, dalam mimpimu Arrabela.” Dean mendengus kesal, membuat Arra mengerucutkan bibirnya.                “Ya sudah, besok lagunya sudah harus ada, oke? Aku harus pulang sekarang, Mommy dan Bianca pasti menungguku.” Arra beranjak namun Dean menahan pergelangan tangan gadis itu.                “Aku antar.” Tanpa mengucapkan apapun lagi ia segera menarik Arra menuju mobilnya, sekali lagi Arra dibuat bingung dengan tingkah Dean yang sangat berbeda dari yang ia tahu selama ini, tidak mungkin kan pria ini memiliki ketertarikan padanya? Arra masih cukup tau diri, siapa dirinya.                ‘Jangan memperlakukanku terlalu baik, karena aku takut, terlalu takut terjerat dalam pesonamu, hingga membuatku tidak tau caranya melepaskan diri darimu Dean,’ Batin Arra menatap pria yang tengah fokus pada kemudinya.   ~*~                “Ronald, kenapa kau seperti ini? Kau benar-benar berubah, kau bukan suami yang kukenal dulu.” Ini kali pertama Daisy berani mengatakan isi hatinya kepada Ronald. Ronald menatap Daisy tajam, dan mencengkram rahang wanita itu.                “Kau tanya kenapa aku seperti ini? Tanyakan pada keponakanmu yang sekarang menjadi anakmu itu. Karena dia semuanya berubah, dia yang membawa kutukan nasib buruk untuk kita.” Ronald melepaskan cengkraman di rahang Daisy dengan kasar.                “Berhenti mengatakan Arra kutukan, tidak ada anak yang membawa kutukan untuk orang tuanya, pikiranmu terlalu picik Ronald.” Daisy berteriak pada Ronald.                “Ooh iya? Jika dia bukan kutukan? Kenapa kakakmu itu membuang anaknya dan menyerahkannya pada kita? Karena apa? Karena dia memang kutukan untuk keluarganya, termasuk untukku, untuk kita. Kau lupa bagaimana kakakmu membuang anak itu tanpa perasaan? Jika saja kau tidak mengikuti kakakmu malam itu, mungkin anak itu sudah mati, tapi dengan bodohnya kau justru memungutnya dan membawanya dalam keluarga kita. Hingga nasib buruk bertubi-tubi menghampiri kita, perusahaanku yang bangkrut setelah kedatangannya, kau yang sakit, Bianca yang harus menderita karena harus mencari uang untuk sekolahnya di usianya yang masih muda, di saat anak-anak seusia dia menikmati masa remajanya. Dan semua hal buruk yang terjadi itu karena dia Daisy, karena dia!” Teriak Ronald tepat di depan wajah Daisy, Daisy seketika langsung menampar Ronald.                “Arra anakku, jangan pernah mengatakannya seperti itu lagi. Kau benar-benar manusia picik, Ronald.” Daisy meninggalkan Ronald dengan emosi yang memuncak, air mata wanita itu mengalir tanpa bisa dicegah, mendengar Arra dihina seperti itu.                Di balik pintu itu ada yang menangis dalam diam mendengar semua percakapan kedua orang tuanya yang sebenarnya adalah paman dan bibinya. Ia menekan dadanya keras-keras saat kenangan tujuh belas tahun yang lalu menghantam memorinya hingga menimbulkan kesakitan tak kasat mata yang begitu menyakitkan yang masih menjadi mimpi buruk baginya hingga kini.   ~*~                Arra memasuki gerbang kampus dengan hati yang hampa, setelah mendengar percakapan kedua orang tuanya kemarin, gadis itu kembali pergi mencari udara segar hingga tengah malam, namun perasaannya tetap saja tidak membaik hingga pagi ini.                Dari kejauhan saat gadis itu melangkah semakin dekat ke gerbang, ia melihat ‘mereka’ yang sepertinya sedang mengantar ‘anaknya’ seperti mengantar anak kecil dengan kedua orang tua lengkap yang mengantarnya ke sekolah, mungkinkah ia pindah kuliah di sini? Arra bertanya-tanya dalam hati, hatinya semakin sakit saat melihat bagaimana kedua orang itu mencium wajah anak gadisnya penuh cinta, hingga rangkulan di bahunya membuatnya tersentak, ia melihat Dean yang tersenyum begitu manis, merangkul bahunya dan mengajaknya untuk segera memasuki kelas, bahkan beberapa mahasiswa yang lewat juga menatap heran pada Dean, sejak kapan pria itu dekat dengan Arra dan sejak kapan tatapan pria itu begitu lembut dan bersahabat pada Arra? Semua itu berkecamuk di pikiran mahasiswa yang melihat bagaimana tatapan Dean yang begitu melindungi Arra.                Dean melihatnya saat ia dengan sengaja menunggu Arra di pintu gerbang, tatapan gadis itu yang sejak awal terlihat sendu bertambah pilu saat menatap ke satu objek, dan saat Dean mengikuti tatapan itu sekali lagi ia melihat gadis yang memiliki duplikat wajah Arra tengah bersama kedua orang tuanya, Dean kembali menatap pada Arra yang kini tengah memegangi dadanya, Dean tidak tahu apa yang terjadi dan kenapa keluarga kecil itu seolah menjadi sumber kesakitan Arra. Seharusnya Arra menjadi bagian dari mereka kan? Tidak mungkin Arra  bukan anak mereka jika wajah keduanya bagai pinang di belah dua, dan selama ini sejauh ia memperlajari ilmu pengetahuan tidak ada seseorang yang memiliki wajah sama terlahir dari rahim yang berbeda.                Dengan langkah pasti Dean menghampiri Arra, merangkul bahu gadis itu dan mendekapnya agar menghalangi pandangan Arra pada keluarga kecil yang terlihat bahagia itu, tapi nyatanya dirinya dan Arra memang harus melewati mereka untuk mencapai kelasnya.                Dean bisa melihat keterkejutan di mata gadis itu namun selain terkejut Dean juga tahu jika Arra tidak menolaknya, ia tahu gadis itu membutuhkan penopang untuk melewati mereka dan Dean akan dengan senang hati menjadi penopang dan sandaran gadis itu. Tidak ia pedulikan image yang selama ini ia bangun sebagai manusia dingin tak tersentuh, semuanya ia lepaskan begitu saja demi Arra, bahkan tatapan memuja para gadis yang bertambah berkali lipat hari ini melihat bagaimana sikap Dean yang bertindak seolah menjadi malaikat penolong untuk Arra semakin memberikan nilai positif untuk pria itu                “Arra,” panggilan lirih dari Abella masih bisa tertangkap oleh indera Dean, ia menatap gadis duplikat Arra itu, matanya memancarkan kerinduan mendalam, sedangkan kedua orang tua itu hanya diam mematung, hingga Dean merasa jika langkah Arra semakin cepat seolah menghindari mereka.                “Nahh sekarang masuklah ke kelasmu, belajar yang rajin nona.” Dean melepaskan rangkulan tangannya dan mengacak rambut Arra, membuat gadis itu mendengus kesal namun tidak protes. Saat Dean akan berbalik Arra menahan tangannya                “Terima kasih,” ujar Arra tulus membuat Dean tersenyum.                “Terima kasihku tidak gratis, tunggu saat aku menagihnya.” Dean sekali lagi tersenyum dan mengacak rambut Arra. Beberapa mahasiswi yang melihatnya hanya bisa  menatap Arra dengan tatapan mendamba berharap merekalah yang ada di posisi Arra.                Arra masih berdiri di depan pintu kelas, memegang kepalanya yang baru saja disentuh Dean, membuatnya tersenyum tanpa sadar, kenapa perasaannya semakin membuncah tak karuan terhadap Dean,                 ‘Kenapa dengan hatiku? Kenapa perasaan nyaman dan hangat dan ahh aku benar-benar sulit mengatakannya.’ Arra membatin, merasa benar-benar bahagia bisa mengenal Dean, ternyata pria itu tidak seburuk yang ia pikirkan.                “Heyy apa yang membuatmu senyum-senyum seperti orang bodoh di pagi hari?” Nana menepuk keras bahu Arra membuat gadis itu terlonjak dan menatap Nana kesal.                “Apa itu karena dia?” Nana memajukan dagunya ke arah Dean yang berjalan menjauh, “Jadi kau sudah berhasil membujuk pangeran es kampus kita untuk mengikuti acara kampus hmm?” Nana menyenggol bahu Arra.                “Ck, tentu saja, memang apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Arrabela.” Ujar Arra dengan sombongnya disertai kekehannya, membuat Nana mendengus kesal.                “Jadi apa yang kau katakan pada si batu es itu hingga ia mau bekerja sama denganmu?” Tanya Nana masih penasaran perihal Dean, Arra nampak berpikir kemudian tersenyum diikuti oleh Nana yang menatapnya dengan tatapan berbinar, seolah jawaban Arra adalah tiket yang mengantarkan ia menemukan pria tampan lain seperti Dean.                “Rahasia.” Bisik Arra di telinga Nana dan tertawa meninggalkan Nana yang menggeram kesal.                “Arrabela!” Teriak Nana dengan muka merah padam.   ~*~                “b******k. Jadi gadis itu yang berhasil menarik perhatian Dean.” Seorang gadis menggeram marah, mengepalkan tangannya kuat-kuat setelah mendengar desas-desus mahasiswa tentang apa yang terjadi pada Dean tadi di depan gerbang kampus, dirinya yang selama tiga tahun ini mencoba untuk menarik perhatian Dean selalu berakhir sia-sia, tapi gadis itu hanya dalam hitungan hari sudah mampu mengalihkan Dean. Sial!                Misha. Gadis itu segera mencari keberadaan Arra, Dean hanya miliknya dan tidak ada yang boleh mendekatinya, ia yang selama bertahun-tahun mencoba mendekati Dean, ia yang mencintai Dean selama bertahun-tahun dengan menanggalkan harga dirinya, mengemis cinta bahkan menjadi begitu murahan hanya agar Dean tertarik padanya tidak akan membiarkan siapa pun merebut Dean darinya, dan Arra sudah merusak semua perjuangannya selama bertahun-tahun.                “b******k. Aku harus memberimu peringatan Arrabela.” Misha berjalan menuju kelas Arra, bukan hal yang sulit untuk mengetahui semua informasi tentang Arra bagi Misha. Dia merupakan salah satu mahasiswi yang cukup terkenal karena orang tuanya yang berpengaruh.                “Ikut aku!.” Misha langsung menarik kasar tangan Arra saat gadis itu baru saja keluar kelas, Arra yang tidak siap hanya mengikutinya. Dia hanya tersenyum, saat mengetahui Misha membawanya ke toilet.                “Jauhi Dean! Jika kau masih ingin hidup tenang jauhi dia. Dia hanya milikku. Milikku.” Misha mencengkram rahang Arra membuat Arra meringis, namun Arra langsung menyentak tangan Misha.                “Milikmu? Milikmu? Hahahaha .... Kau yakin Misha?” Arra tertawa mengejek, saat masuk kelas ia sudah mendengar desas-desus tentang dirinya dan Dean dan Nana mengatakan informasi tentang gadis yang begitu terobesesi pada Dean, ia tidak menyangka jika Misha datang secepat ini padanya.                “b******k Kau!” Misha hampir saja melayangkan tangannya pada wajah Arra, namun Arra menahannya dan menatapnya tajam.                “Jangan pernah menyentuhku dengan tangan kotormu itu. Jika kau marah karena Dean dekat denganku maka tanyakan pada dirimu sendiri apa yang membuat kau begitu tidak menarik di mata Dean hingga ia tidak pernah melihatmu yang selalu menempel seperti permen karet padanya.” Arra menyentakkan kasar tangan Misha dan berlalu meninggalkan toilet.                ‘Sebenarnya apa yang ada di dipikiranmu Misha? Aku tidak sedekat itu dengan Dean, dan tidak ada alasan bagi pria itu untuk menyukaiku, jadi apa yang kau takutkan?’ Arra membatin, melamun sepanjang perjalanan, hingga sesuatu yang hangat melingkupi tangannya, ia mendongak dan menatap Dean yang kini menggengam tangannya dan tersenyum ke arahnya.                “Kau dari mana? Tadi aku ke kelasmu dan kau sudah tidak ada.” Tanya Dean lembut, nada suara yang akhir-akhir ini sering di dengar oleh Arra.                “Toilet,” ujar Arra singkat.                “Aku ingin kau menemaniku ke toko musik hari ini.” Arra menatap Dean lama membuat pria itu terkekeh. “Kau masih punya kesepakatan denganku jika kau lupa nona.” Dan Arra langsung menghela napas, ia hampir melupakan kesepakatan itu karena perlakuan Dean dua hari ini yang begitu tidak terduga.                “Baiklah. Ayo, masih ada tiga jam sebelum aku ke kafe.” Namun langkah Arra terhenti, tubuhnya menegang dan Dean bisa merasakan genggaman tangan wanita itu begitu erat.                “Arra,” panggilan lirih itu mengalihkan fokus Dean dari Arra dan detik selanjutnya ia merasa genggaman tangannya dengan Arra terlepas saat gadis yang memiliki duplikat wajah Arra itu memeluk Arra begitu erat, dan Dean bisa melihat jika Arra hanya mematung tanpa berniat membalas pelukan gadis itu.                “Kita tidak sedekat itu hingga kau bisa memelukku.” Suara dingin Arra yang baru pertama kali Dean dengar membuat tubuh Dean tersentak, ia merasa Arra lebih menakutkan dari pada dirinya saat menunjukkan sikap dinginnya. Arra menatap gadis itu dengan tatapan benci dan terluka, Dean bisa melihatnya dengan jelas, dan gadis yang Dean tahu bernama Abella yang baru hari ini menjadi mahasiswa Departement Vocal Music itu menatap Arra dengan tatapan tak kalah terluka dari Arra, saat Arra meninggalkannya begitu saja.                 “Aku merindukanmu Arra, maafkan aku.” Abella menatap nanar tubuh Arra yang semakin menjauh.                “Sebanyak apa rahasia yang kau punya Arrabela? Seberapa banyak luka yang kau miliki?” Dean masih mengikuti Arra, melihat bagaimana punggung rapuh wanita yang selalu berusaha terlihat kuat itu. “Aku ingin menjadi penawar lukamu yang akan menggantikan lukamu dengan kebahagiaan.” Dean membatin, mempercepat langkahnya untuk mencapai Arra, dan begitu langkahnya telah sejajar dengan Arra, tanpa ragu ia merangkul bahu gadis itu dan memeluknya dari samping.   ~*~                Sepanjang perjalanan menuju toko musik yang Dean lihat hanya ekspresi Arra yang tak terbaca, gadis itu tidak berbicara sejak tadi, ia seperti robot yang mengikuti kemana pun Dean membawanya, mungkin Arra tidak akan sadar jika Dean membawanya ke tepi jurang.                “Apa kau mau mati kepanasan di sini?” Suara Dean membuat Arra tersentak, ia melihat Dean yang keluar begitu saja, dengan sedikit kesal Arra ikut turun dan mengikuti Dean dari belakang.                “Apa yang mau kau beli?” Tanya Arra begitu mereka memasuki toko musik yang seketika membuat Arra takjub, desain interiornya begitu menarik, bahkan toko itu terlalu besar untuk ukuran toko musik, Arra tidak tau jika kotanya memiliki toko musik semewah ini.                “Memang jarang yang mengetahui toko musik ini, kebanyakan justru para turis yang berdatangan untuk membeli bahkan memesan alat musik sesuai desain keinginan mereka, jadi berhenti menatap ruangan ini seolah-olah dia lebih menarik dari pada aku.” Suara Dean menginterupsi Arra, membuat gadis itu menoleh dan mencibir pada Dean.                “Memang toko ini seribu kali lebih menarik dari dirimu yang menyebalkan.” Arra mendesis dan meninggalkan Dean, ia lebih tertarik dengan sisi di kiri ruangan yang terdapat begitu banyak desain gitar mengangumkan.                “Ya!! aku masih bisa mendengarmu.” Dean mengejar Arra dengan bersungut-sungut.                “Apa yang ingin kau beli?” Tanya Arra saat Dean sudah berada di sampingnya.                “Gitar mungkin,” Dean menggidikkan bahunya acuh dan mulai melihat-lihat gitar tersebut.                “Kau bisa bermain gitar?” Tanya Arra menautkan alisnya.                “Ck, kau terlalu meremehkanku nona, aku bahkan bisa memainkan hampir semua alat musik modern.” Dean menyombongkan diri, membuat Arra lagi-lagi mendengus, memang sombong sudah sangat mendarah daging dalam diri Dean. “Kemari,” Dean melambaikan tangannya, meminta gadis yang kini berdiri sekitar dua meter darinya untuk mendekat.                Dean menarik kursi di dekatnya, meminta Arra untuk duduk di hadapannya, kini mereka duduk berhadapan dengan Dean yang memegang gitar dan menatap Arra intens, membuat Arra mengernyit namun tatapan Dean yang seperti itu mampu membuat dadanya berdesir.                “Apa?” Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Arra, lidahnya terasa kelu entah apa penyebabnya, namun saat suara Dean dan petikan gitar memasuki indra pendengarannya saat itu juga ia percaya jika suara itu adalah yang terbaik yang pernah ia dengar sepanjang hidupnya.   If you ever find yourself stuck in the middle of the sea I'll sail the world to find you If you ever find yourself lost in the dark and you can't see I'll be the light to guide you We find out what we're made of When we are called to help our friends in need                Tatapan Dean yang begitu lembut membuat Arra terhanyut, ia merasa memiliki tempat bersandar untuk semua masalah yang seolah mencekiknya setiap waktu, Dean begitu ... ahh bahkan pria itu lebih dari baik bagi Arra, dan Arra menyukai semua yang ada dalam diri Dean, pria itu secara tidak langsung membuat Arra semakin jatuh ke dalam pesonanya dengan semua perlakuan lembutnya.   You can count on me like 1, 2, 3 I'll be there And I know when I need it I can count on you like 4, 3, 2 You'll be there 'Cause that's what friends are supposed to do, oh yeah Oh, oh yeah, yeah                Dean menatap Arra dengan senyuman tulus yang jarang ia berikan pada orang lain, entah apa yang ada dipikiran pria itu hingga ia mau bersusah payah agar membuat gadis itu terhibur, dan secara tidak langsung mengatakan jika Arra memiliki dirinya yang selalu siap kapan pun gadis itu membutuhkannya lewat lagu milik Bruno Mars tersebut, bahkan seumur hidup saat dulu dirinya masih menjalin hubungan dengan kekasihnya, pria itu tidak pernah semanis ini, ia cenderung banyak menuntut dan justru kekasihnya lah yang selalu membuatnya senang, namun dengan Arra, Dean selalu memutar otak untuk membuat gadis itu tertawa, seolah senyum Arra adalah hal yang mahal dan berharga hingga ia harus melakukan cara-cara ekstrim yang tidak pernah ia bayangkan,tidak pernah dalam kamus hidupnya melakukan hal-hal semanis itu.   You'll always have my shoulder when you cry I'll never let go, never say goodbye You know... You can count on me like 1, 2, 3 I'll be there And I know when I need it I can count on you like 4, 3, 2 You'll be there Cause that's what friends are supposed to do, oh yeah                Dean mengakhiri lagunya dengan senyum, ia meletakan kembali gitar berwarna coklat tua tersebut, dan menggenggam tangan Arra, membuat hati Arra semakin berdetak tak terkendali.                “Aku tidak tau seberapa menariknya dirimu hingga membuatku selalu penasaran tentangmu, bahkan dalam waktu empat hari ini aku mengenalmu aku tidak bisa mengendalikan perasaanku untuk ingin mengetahui tentangmu, ingin melindungimu dan ingin menjadi satu-satunya tempat untukku bersandar, Arra, aku tidak tahu sepelik apa masalahmu, tapi melihatmu terluka membuatku ikut terluka dan aku tidak tau kenapa perasaanku semakin tak terkendali saat bersamamu, jadi mulai sekarang kumohon, selalu ingat jika kau memiliki aku sebagai teman, aku akan selalu ada untukmu dan seandainya saja perasaanku ini berkembang lebih jauh, biarkan aku tetap di sampingmu, biarkan perasaan kita mengalir apa adanya, kau bisa membagi bebanmu dan kau harus ingat jika kau memiliku sekarang,”                Pancaran mata Dean yang begitu tulus membuat Arra berkaca-kaca, ia tidak menyangka Dean begitu peduli padanya, bahkan pria itu begitu tulus menawarkan dirinya, perlahan Arra menganggukkan kepalanya bersamaan dengan setetes air mata yang membasahi wajah cantiknya, membuat Dean langsung merengkuh tubuh Arra dalam dekapannya memberikan rasa nyaman pada gadis itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD