Chapter 6

3284 Words
Entah apa yang ada di pikiran pria itu hingga pagi ini ia sudah berada di kawasan komplek itu, netranya terus menatap gang kecil berharap seseorang yang ditunggunya segera muncul, ia juga tidak tahu kenapa dengan reflek tubuhnya justru melajukan mobilnya ke komplek itu bukan ke kampus, gadis itu sudah benar-benar mengacaukan pikirannya.                Arra berjalan dengan santai menyusuri gang sempit yang akan mengantarkannya ke jalan raya, tubuhnya yang sejak tadi rileks tiba-tiba membeku saat melihat seseorang yang ia hindari sejak semalam menatapnya dengan tatapan iblis, Arra menggigit bibirnya kencang, melihat gelagat Ronald yang menatapnya intens dari atas sampai bawah, ayahnya tidak mungkin akan menepati ucapannya semalam kan? Tentang menjual dirinya? Ingatkan ia untuk membunuh pria itu jika Ronald benar-benar akan melakukannya atau dirinya yang akan bunuh diri.                “Daddy....” Ujar Arra lirih mencengkram coat coklat yang ia kenakan hari ini. Ronald masih tersenyum menakutkan, membuat Arra menciut di tempatnya, namun mata gadis itu jeli untuk mencari titik terkecil agar dirinya bisa kabur, dan saat ia melihat Ronald menghidupkan korek api untuk menyulut rokoknya, ia berlari secepat kilat, setidaknya ia harus keluar dari gang yang selalu terlihat sepi bahkan saat bumi terang itu.                Namun tepat di depan supermarket sisi gang yang langsung menghubungkan dengan jalan raya Ronald berhasil menangkapnya, menjambak rambut Arra dan menampar wajah gadis itu.                “Kau pikir kau bisa kabur dariku?! Jika kau tidak bisa menjadi mesin pencetak uang lagi, aku yang akan membuatmu menjadi mesin pencetak uang dengan caraku sendiri.” Sekali lagi Ronald menampar Arra hingga gadis itu tersungkur ke belakang.                “Daddy!! Berhenti menyakiti Kak Arra.” Bianca langsung merentangkan tangannya seolah menjadi tameng untuk Arra saat Ronald berniat akan memukul gadis itu lagi, Bianca tahu ayahnya tidak mungkin memukulnya dan ibunya, sekasar apapun ia saat berbicara Ronald tidak pernah memukul dirinya dan ibunya, pria itu hanya akan menggunakan kekerasan pada Arra. Tadi sebelum berangkat sekolah dirinya mampir dahulu ke supermarket dan ia yang melihat ayahnya memukuli kakaknya lagi langsung berlari.                “Dia bukan kakakmu, untuk apa kau melindunginya?” Ronald mendecih, dan tanpa pria itu sadari jika ucapannya sangat menyakiti Arra, bukan hanya menyakiti tapi juga membuka luka lama gadis itu.                “Dia tetap kakakku Daddy, kau jahat, kau kejam.” Bianca sudah berlinang air mata, dan gadis itu langsung menarik Arra menjauh dari Ronald, Ronald hanya mengumpat kesal melihat anaknya membawa pergi tambang emasnya.                Di dalam mobil Audi A6 itu Dean melihat bagaimana Arra yang berlari ketakutan dikejar oleh seorang pria paruh baya bahkan pria itu menamparnya, ia hendak turun namun seorang gadis belia yang semalam memeluknya muncul dan mencoba melindungi kakaknya itu sebelum akhirnya berlari menuju halte, Dean terus mengikuti langkah kedua gadis itu yang kini telah masuk ke sebuah bus, hatinya bergemuruh saat melihat bagaimana Arra yang ditampar oleh pria paruh baya yang Dean yakini sebagai ayah gadis itu.   ~*~                Dean memakirkan mobilnya dengan cepat dan langsung berlari ke gerbang kampus, ia tadi sengaja mempercepat laju mobilnya agar tiba lebih dulu dari bus yang ditumpangi Arra, beberapa mahasiswa yang melihat Dean sedikit heran, apalagi saat melihat pria itu yang langsung menarik Arra saat Arra baru saja turun dari bus.                “Apa yang kau lakukan?!.” Arra setengah berteriak, namun Dean tidak mempedulikannya dan terus membawa gadis itu menuju tempat parkir. “Dean Keandre. Lepaskan!!.” Arra masih meronta dan Dean melepaskan gadis itu saat tiba di parkiran, menatap Arra dengan tatapan yang sulit diartikan, gadis itu hanya diam menunggu Dean mengatakan sesuatu.                Dean diam menatap Arra yang kembali mengenakan masker hari ini, membuat perasaan aneh itu kembali timbul di benak Dean, perasaan seolah-olah ia tidak terima jika gadis itu terluka, takut, khawatir dan membenci orang yang menyebabkan gadis itu seperti ini.                “Jika tidak ada yang ingin kau katakan aku pergi.” Arra tahu bukan saatnya ia membicarakan Dies Natalies saat ini, ia akan mencari cara agar Dean mau bergabung walau ia sendiri tidak yakin cara apa yang bisa memecahkan kepala batu pria itu.                “Ayo kita buat kesepakatan.” Ucapan Dean yang terdengar tegas dan dingin seperti biasanya menghentikan langkah Arra, gadis itu berbalik dan menatap Dean, menunggu Dean melanjutkan ucapannya. “Aku akan mengikuti acara konyolmu itu asalkan kau mengikuti semua perintahku mulai sekarang hingga acara itu berlangsung.”                Arra mengerjapkan matanya mencoba mencerna ucapan Dean, pendengarannya tidak salah kan jika pria itu setuju mengikuti Dies Natalies? Tunggu. Tunggu, Arra menyadari satu hal setelah pria itu setuju untuk ikut Dies Natalies.                “Kau memintaku menjadi pesuruhmu? Ini bukan drama jika perlu kuingatkan Dean Keandre. Dan aku tidak bersedia menjadi pesuruhmu.” Arra sudah akan meninggalkan pria itu, namun lagi-lagi Dean menahan lengannya.                “Siapa yang mengatakan kau akan menjadi pesuruhku, singkirkan pemikiran drama queen-mu itu, aku memintamu menuruti semua permintaanku dan itu semua jauh dari kata pesuruh, pikirkan ini baik-baik Arrabela, aku tidak akan mengikuti acara bodoh itu jika kau menolak syaratku, kau tau kan seberapa besar pengaruhku di acara itu? Sponsor, penonton, wartawan, nama besar universitas kita juga menjadi taruhannya. Pikirkan baik-baik, aku menunggumu di sini saat selesai kelas, saat itulah aku ingin mendengar jawaban ya darimu.” Dean tersenyum menyeringai membuat Arra menatapnya kesal dan menghempaskan tangan pria itu begitu saja.   ~*~                Arra mengumpat sepanjang jalan menuju parkiran, sejak tadi ponselnya terus saja berdering, bahkan gadis itu terpaksa izin keluar saat kelas masih berlangsung karena telepon dari nomor yang menghancurkan mood-nya seketika, entah dari mana Dean bisa mendapatkan nomor ponselnya, Arra yakin bagi Dean mencari nomor teleponnya semudah menjentikkan jari.                Setelah mengetahui jika itu nomor Dean gadis itu memilih mengabaikannya, namun pesan-pesan Dean yang dikirim berulang-ulang membuat Arra mendesah frustasi, pria itu selalu mengirim pesan yang sama bahkan sudah puluhan kali hanya dengan sebuah kalimat –Ke parkiran. Sekarang.-                Arra bahkan terus memikirkan semua perkataan Dean dan mempertimbangkannya, banyak pesan yang masuk dari anggota eksekutif lain yang menanyakan bagaimana perkembangan misinya, gadis itu seolah ditekan dari semua sisi dengan tugasnya, dan tawaran Dean tadi pagi benar-benar sulit ia tolak walaupun ia sepenuh hati menolak ide gila pria itu, tapi teman-temannya berharap besar padanya dan Arra tidak memiliki ruang gerak untuk menolak kesepakatan dengan Dean itu.                “Melihat wajah kesalmu berarti kau setuju dengan kesepakatan ini. Ikut aku, ini perintah pertama dariku!” Dean tersenyum menyeringai membuat Arra membulatkan matanya saat pria itu langsung menariknya untuk memasuki mobil.                “Yakk!! Aku bahkan belum menyuarakan persetujuanku, kenapa kau selalu bersikap otoriter hah?!” Arra berteriak di dalam mobil, tidak ia pedulikan wajahnya yang terasa ngilu saat dirinya membuka mulut terlalu lebar.                “Apa kau punya pilihan untuk menolak? Bahkan tanpa kau bersuara di keningmu sudah tertulis jika kau tidak bisa menolakku.” Dean tersenyum kecil, membuat Arra tertegun, ini yang kedua kalinya ia melihat Dean tersenyum, kemarin saat ia secara tak sengaja melihat pria itu tengah bercengkrama bersama keluarganya, dan sekarang, hari ini ia kembali melihat senyum semanis permen kapas itu. Sial. Baru tiga hari ia bertemu dan mengenal Dean kenapa kerja jantungnya semakin menggila saja.   ~*~                “Kenapa kau membawaku kemari?” Arra lagi-lagi mengernyit saat melihat mobil Dean membawanya ke salah satu rumah sakit.                “Kau masih terluka dan harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut jika kau lupa Nona, itu perintah pertamaku. Ayo masuk.” Dean sekali lagi menyeret Arra membawa gadis itu ke ruangan Helena yang merupakan salah satu dokter di sana.                “Ooh kau sudah datang Dean?” Helena beranjak dari duduknya, ia tersenyum melihat kedatangan Arra dan Dean.                “Hai Arra,” Helena tersenyum ramah membuat Arra ikut tersenyum. “Kau bisa berbaring di sana dan aku akan memeriksamu.” Helena menunjuk brankar di sisi kiri dan Dean langsung menarik Arra untuk berbaring, dalam hati pria itu berdoa jika tidak ada luka dalam pada diri Arra, hal terakhir yang ia minta tulus dari hatinya untuk saat ini adalah kesehatan Arra dan ia tidak tahu kenapa ia harus berdoa untuk gadis yang baru dikenalnya tiga hari ini.                “Aku baik-baik saja, apa yang kau lakukan?” Arra menahan tangan Dean yang sudah memaksa Arra untuk berbaring di ranjang pesakitan itu, membuat Dean melotot kesal, gadis di depannya ini sudah keterlaluan mengabaikan kesehatan.                “Kau lupa kesepakatan kita? Lakukan apa yang aku ucapkan.” Arra mendecak kesal dan menatap Dean malas, namun raut wajahnya berubah saat Helena menghampirinya dengan stetoskop dan peralatan lainnya, membuat Arra mau tidak mau mengikuti semua prosedur pemeriksaan itu.                “Bagaimana ?” Arra menatap Dean bertanya-tanya, kini mereka berdua duduk di hadapan Helena setelah Arra selesai menjalankan pemeriksaan.                “Kenapa aku merasa menghadapi seorang suami yang sangat mengkhawatirkan istrinya?” Helena menautkan alisnya menatap Dean, karena ini pertama kalinya ia melihat Dean menggunakan kembali perasaannya yang telah lama mati pada seorang gadis.                “Cukup jawab pertanyaanku, aku tidak menyuruhmu berkomentar.” Helena mencibir mendengar nada ketus Dean.                “Baik-baik saja, tidak ada luka yang serius, kau cukup mengoleskan krim obat yang aku resepkan Arrabela.” Helena tersenyum pada Arra dan Arra mengangguk sebagai ucapan terima kasih, di sampingnya Dean diam-diam bernapas lega dan tersenyum kecil.   ~*~                “Kau mau ke mana setelah ini?” Tanya Dean saat mereka keluar dari rumah sakit.                “Kafe. Aku bekerja di sana.”                “Baiklah, aku akan mengatarmu.” Ujar Dean ringan membuat Arra menatapnya dengan tatapan bertanya untuk yang kesekian kalinya hari ini, pria itu tidak terbentur sesuatu atau salah makan kan? Kenapa sikapnya berubah 180 derajat?                “Tidak perlu. Aku bisa sendiri, jadi silahkan nikmati harimu Dean Keandre, dan tolong jawab ini! Kau tidak mengalami semacam gangguan bipolar kan? Kau benar-benar berbeda dari yang kemarin.” Arra memicingkan matanya membuat Dean justru tertawa.                “Ucapanku adalah hal yang harus kau patuhi jika kau lupa, dan aku sehat secara fisik dan mental. Ayo.” Dean langsung mendorong Arra untuk masuk ke mobilnya, pria itu tersenyum saat memutari mobil menuju sisi kemudi, teringat dengan ucapan Arra tadi. Bipolar? Dirinya? Mungkin ia akan memeriksakan dirinya setelah ini karena mengalami emosi yang tidak stabil, hidupnya yang hitam putih berubah dalam hitungan hari karena gadis itu.   ~*~                “Dean, apa yang kau lakukan di sini dengan Arra?” Sapaan itu terdengar saat keduanya memasuki kafe, Dean tersenyum dan menghampiri ibunya.                “Aku ingin makan cake cokelat di sini, apa Mommy sudah memesannya?” Tanya Dean memeluk Fiona dari samping.                “Ooh Arra kau sudah datang? Kemari, buatkan Nyonya ini cake cokelat seperti biasa.” Mike memberi instruksi dan Arra mengangguk, membungkukkan badannya pada Fiona dan berpamitan menuju dapur, sedangkan Fiona dan Dean masih mencerna semuanya.                “Jadi selama ini dia yang membuatkan cake cokelat kesukaan kami?” Pertanyaan Fiona juga mewakili Dean dan Mike hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.                “Ya Nyonya, untuk minuman kalian ingin memesan apa? Silahkan mencari meja dan kami akan mengantarkan pesanan anda.”                “Green tea dan americano saja.” Ujar Fiona menarik Dean dan duduk di salah satu meja kafe.                “Ternyata dunia sesempit ini, sepertinya takdir berpihak padamu dan Arra ya Dean,” Ujar Fiona memukul bahu Dean, wajahnya masih menunjukkan keterkejutan yang sangat kentara, sedangkan Dean mengaduh karena Fiona yang memukulnya cukup kuat, walau sudah berusia setengah abad, jangan tanyakan bagaimana kekuatan wanita itu jika sudah memukul anaknya.   ~*~                 Gadis itu mengantarkan pesanan Dean dan Fiona, namun langkahnya terhenti saat melihat orang-orang yang ia rindukan sekaligus membuatnya kecewa, dengan tatapan yang campur aduk itu ia terus menuju meja Dean, namun tatapannya tidak pernah lepas dari ketiga manusia yang masih belum menyadari kehadirannya, luka lama itu timbul lagi, membuat dadanya sesak dan matanya memanas.                Dean masih sibuk bercengkrama dengan Fiona hingga suara nyaring dari kaca dan lantai yang beradu membuatnya terperanjat, di sana ia melihat Arra yang menjatuhkan nampannya, gadis itu bahkan jatuh terduduk dengan wajah yang menunduk, Dean langsung menghampirinya dan melihat Arra yang masih mematung, telapak tangan gadis itu terkena pecahan kaca namun gadis itu tidak bergeming dan tetap mematung,  saat Arra mendongakkan wajahnya yang Dean tangkap adalah tatapan rindu dan terluka, Dean mengikuti arah pandang Arra yang tertuju pada sepasang suami istri dan anak gadis mereka, namun yang membuat Dean terkejut adalah wajah gadis itu yang .... Dean menatap lagi ke arah Arra dan ke arah gadis itu. Sama. Tidak ada celah perbedaan sedikit pun kecuali model rambut, membuat Dean menatap Arra lama, hingga ia menyadari ada setetes air mata yang baru saja jatuh dari kelopak mata indah itu, membuat hati Dean seperti diremas.                “Mommy .... Daddy ...” Gumaman lirih Arra yang sarat luka menyentak Dean, ia kembali melihat pada mereka yang kini justru pria dan wanitanya memalingkan wajah, membuat kesakitan itu semakin tercetak jelas di wajah Arra. Dean segera menggendong Arra dan keluar dari kafe itu.                “Mommy, Daddy, ada apa? Kenapa wajah kalian tegang dan pucat begitu?” Tanya seorang gadis yang memiliki wajah bak dewi itu, riasan natural di wajahnya membuat ia terlihat semakin sempurna.                “Ahh bukan apa-apa Abella, kau ingin pesan apa?” Sang wanita paruh baya langsung merubah ekspresinya dan mengambil daftar menu yang disodorkan waiter kepadanya.   ~*~                Arra hanya diam saat Dean menggendongnya, ia melingkarkan tangannya di leher pria itu dan menyandarkan kepalanya di d**a bidang Dean yang terasa begitu nyaman, Arra bahkan tidak peduli Dean akan membawanya kemana, yang ia tahu pria itu memilih berjalan sambil menggendongnya dari pada menggunakan mobilnya.                Dean tahu Arra masih menangis dalam diam, ia merasakan kemejanya yang basah, namun ia membiarkannya, bahkan pria yang tidak pernah terlihat berjalan dengan seorang gadis itu kini tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang menatap penuh spekulasi ke arahnya, yang Dean pikirkan saat ini adalah menjauhkan gadis itu dari sumber kesakitannya.                “Tunggu di sini, jangan kemana-mana, ucapanku adalah perintah. Ingat kesepakatan kita.” Dean menurunkan Arra saat keduanya tiba di taman, setelah mengucapkan hal itu Dean meninggalkan Arra yang masih mematung dengan wajah sembabnya.                Arra menghempaskan tubuhnya di kursi taman, menatap punggung Dean yang semakin mengecil, ia pikir kesepakatan yang dibuat pria itu untuk menyusahkannya, ternyata ... Arra tersenyum tipis saat sadar jika pria itu peduli padanya dan entah mengapa membuat perasaannya menghangat.                Gadis itu tersentak dan langsung membuka matanya saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh telapak tangannya, ia melihat Dean yang berjongkok di depannya dan membersihkan lukanya dengan alkohol.                “Kau bodoh sekali, meja sebesar itu tidak kau lihat.” Dean masih fokus mengobati tangan Arra yang terluka, walau ucapannya pedas namun Arra tidak merasa kesal sama sekali.                “Aku memang bodoh.” Ujar Arra kembali menyenderkan bahunya di kursi taman, kembali mengingat kejadian tadi saat dirinya bertemu dengan mereka, selama ini ia selalu memikirkan mereka setiap harinya, memupuk rindu yang semakin hari semakin menumpuk hingga ia tidak bisa membendungnya lagi, apakah mereka memikirkan dirinya seperti dia memikirkan mereka?                ‘Tidak mungkin mereka memikirkanmu sedangkan dulu mereka meninggalkanmu, kau memang bodoh Arrabela.’ Bisik hati kecil Arra membuat gadis itu tersenyum miris.                Dean terus memperhatikan bagaimana ekspresi gadis itu, banyak pertanyaan yang juga berkecamuk di otaknya, bahkan baru tadi pagi ia mendapati fakta bagaimana kehidupan gadis itu dan hubungannya yang buruk dengan ayahnya, dan siang ini ia justru dikejutkan dengan seseorang yang memiliki duplikat wajah Arra.                Dean kembali teringat pertemuan pertamanya dengan gadis itu, ia pikir kehidupan gadis itu jauh dari masalah mengingat bagaimana ekspresifnya Arra dan gigihnya gadis itu membuat dirinya untuk ikut Dies Natalies, ia berpikir jika Arra adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan karena terus mengganggu dirinya, melakukan hal yang tidak berguna dan hanya mencari perhatiannya saja, ternyata semua pemikirannya ditampik keras dengan semua fakta yang baru ia dapatkan.                “Ayo. Aku lapar dan kau harus ikut.” Dean langsung menarik tangan Arra dan membawa gadis itu kembali ke kafe untuk mengambil mobilnya sekaligus meminta izin pada Mike agar Arra diliburkan hari ini.   ~*~                “Aku akan mengantarmu sampai rumah.”                Dean langsung menggengam tangan Arra dan membawa gadis itu menuju rumahnya yang harus melewati gang sempit, setelah makan siang tadi ia mengajak Arra ke suatu tempat, sebenarnya tidak ada tujuan Dean ke sana, namun karena melihat bagaimana wajah Arra yang tidak seceria biasanya membuat pria itu langsung mengajak Arra ke sana dengan alasan ingin membeli titipa untuk Fiona karena permintaan Fiona tadi malam tidak terlaksana saat Dean bertemu Arra dan gadis itu tiba-tiba saja pingsan di pelukannya. Arra yang merasa bersalah akhirnya menemani Dean, dan lagi pula semua ucapan pria itu adalah perintah untuknya yang berlaku hingga Dies Natalies kan? Jadi tidak ada alasan untuknya menolak.                Arra sekali lagi merasakan kehangatan dari perlakuan Dean, tangan pria itu yang menggenggamnya erat membuatnya merasa nyaman sekaligus terlindungi, sepanjang perjalanan ia mencuri pandang ke arah Dean.                “Terima kasih.” Arra melepaskan tautan tangannya dengan Dean saat tiba di depan rumah, Dean hanya mengangguk dan menyuruh gadis itu secepatnya masuk. “Besok aku akan membicarakan untuk Dies Natalies ya.”                “Ya.” Ujar pria itu singkat dan dan mendorong pelan tubuh gadis itu untuk segera masuk, setelah pintu di depannya tertutup Dean melangkah menjauh masih dengan menatap telapak tangannya yang baru saja menggenggam tangan gadis itu dan selanjutnya ia membawa telapak tangan itu ke wajahnya dengan senyum yang terus merekah sepanjang jalan.   ~*~                Begitu pintu tertutup ia melihat Daisy yang tengah merajut di ruang tamu, seketika air matanya kembali menyeruak, wanita yang menyayanginya setulus hati itu bahkan lebih baik dari mereka, wanita yang selalu ada untuknya bahkan saat titik terendah hidupnya, wanita yang menjadi pelitanya, ibunya yang sangat ia cintai itu, mengingat semua hal yang telah ia dan Daisy lalui membuat Arra langsung berlari dan memeluk Daisy erat, menangis lagi di bahu wanita itu sama seperti yang ia lakukan saat remaja.                “Mommy,” dengan suara sengaunya ia semakin erat mendekap Daisy, membuat Daisy terkejut, tidak pernah Arra menangis, terakhir kali melihat Arra menangis saat Ronald pertama kali memukul gadis itu.                “Ada apa sayang? Siapa yang menyakitimu? Apa Daddy?” Daisy mengusap bahu Arra saat anak gadisnya semakin terisak, ia yakin ada sesuatu yang terjadi pada anaknya.                “Tidak apa-apa Mommy, aku hanya merasa sangat merindukanmu. Aku mencintaimu Mommy.” Arra semakin menyerukkan kepalanya pada leher Daisy. Daisy hanya mampu mengusap bahu gadis itu dengan gerakan teratur, menunggu Arra untuk mau bercerita.                “Mommy,” panggil Arra lirih, dirinya kini duduk di sisi Daisy dan menyandarkan kepalanya pada bahu wanita paruh baya itu. “Aku bertemu dengan mereka, mereka telah kembali Mommy,” mata gadis itu kembali memanas, Daisy menegang, tahu siapa yang di maksud oleh Arra, jadi akhirnya mereka memutuskan untuk kembali?                “Kenapa aku merasakan sesak luar biasa saat bertemu mereka Mommy? Rasa sakitnya benar-benar menusukku.” Arra terisak lagi membuat Daisy ikut menangis, ia memeluk Arra dari samping dan menenangkan anaknya itu.                “Tidak apa-apa, ada Mommy di sini sayang, kau memiliki Mommy.”                “Apa aku setidak berharga itu? Hingga mereka memperlakukanku seperti ini? Bahkan tadi ... bahkan saat pertama kalinya kita kembali bertemu setelah bertahun-tahun mereka tidak mau menatapku Mommy, hiks sakit sekali di sini.” Arra semakin terisak kencang, memukul-mukul dadanya yang kembali terasa menghimpit hingga ia sulit bernapas.                “Sayang, sayang dengarkan Mommy, tidak perlu memikirkan mereka lagi, kau punya Mommy dan Bianca, apa itu tidak cukup untukmu? Jangan menyakiti dirimu sendiri sayang, Mommy akan sedih mengetahuinya.” Daisy mencium puncak kepala Arra dan ikut menangis bersama anak gadisnya.                ‘Tidak bisakah kau mengambil satu bagian dari banyak kesakitan yang dialami anakku Tuhan?’ Daisy membatin, menangis dalam diam. Mengingat semua hal yang telah ia lewati bersama Arra selama bertahun-tahun. Hal yang didominasi oleh tangis semenjak gadis yang seharusnya menikmati masa kanak-kanaknya justru harus menerima siksaan dari sang ayah karena alasan konyol.                “Mommy, apa aku memang tidak pantas bahagia?” Arra terisak dengan nada pilunya, membuat Daisy semakin mendekap gadis itu penuh kasih.                “Tidak sayang, kau berhak, sangat berhak, mungkin Tuhan masih ingin mengujimu agar kau menjadi pribadi yang lebih kuat. Percayalah, setiap hal yang terjadi pasti ada maksud baik dari Tuhan,” Daisy menciumi puncak kepala Arra, mengusap punggung gadis itu dengan gerakan teratur untuk menenangkan anak gadisnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD