Apa yang Inara lakukan itu terpatri di ingatannya. Papa mertuanya sampai langsung pergi ke tukang cukur. Sedangkan Inara dibawa oleh Agra ke salah satu Yayasan Pendidikan terbesar di Bandung, niatnya untuk menemui seseorang dan sharing terkait sistem mereka.
Gedung Yayasannya berada di Lembang, udara dingin yang membuat Inara menggigil. Dari tadi dia hanya mendengarkan, sambil meminum teh hangat.
Pembicaraan Agra dan rekannya sangat berat, Inara kadang tidak paham beberapa hal.
“Terima kasih atas waktunya, Pak.”
“Sama-sama. Perlu kamu ketahui Satyo yang jadi dewan pengawas di kamu adalah orang yang kami hindari kalau mau berinvestasi. Kamu harus pintar mengenali karakter seseorang.”
“Mustahil untuk saya menyingkirkannya.”
Ada salah satu pembelot yang mencuci otak anggota dewan pengawas Yayasan di Bramawijaya. Menyebabkan perpecahan dan meminta Alvano turun saja digantikan dengan orang pilihan mereka.
“Papa saya bisa bertahan gak ya, Pak?” Tanya Inara saat mereka berjalan menuju mobil.
“Makannya kamu jangan bikin dia pusing. Jangan hambat saya juga dengan tingkah tingkahmu itu.”
“Emang saya gimana? Orang gak gimana-gimana. Hatchimmmm!” Agra menariknya ke dalam rangkulan. “Ihhh bapak ngapain?! Modus ya?”
“Diem, kamu harus terbiasa sama hal kayak gini di depan orangtua saya. Jangan keliatan canggung.”
Kalau dipikir, hangat juga. Inara ingat kalau Agra ini gay, yasudah sekalian saja mendekatkan diri mencari kehangatan. “Hatchimm! Bandung emang sedingin ini ya, Pak?”
“Sekarang gak terlalu dingin, gak kayak dulu.”
“Nanti mampir ke store baju deh, saya mau beli beberapa.”
Inara hendak melanjutkan percakapan mereka setelah masuk mobil. Namun ada hal yang menarik perhatiannya, yaitu pesan dari sang Papa.
Papa Sayang: Nak, uang jajan bulan ini dikurangi setengahnya dulu ya. Bulan depan Papa ganti dua kali lipat ya, Sayangku
Menimbulkan spekulasi negatif di otak Inara. Jangan-jangan Papanya mulai kekurangan uang, artinya dia harus berhemat. “Pak, gak jadi ke toko baju deh. Pulang aja, Ibu ngajak bikin makan malem bareng katanya.”
“Mampir aja, gak lama juga.”
“Gak jadi, Pak. Ih gak jadi.” Inara terlalu malu mengatakan alasannya, makin panik saat mobil sudah berhenti dan Agra masuk duluan. Pria itu memilih beberapa pakaian membuat Inara panik. “Bapak dibilangin gak jadi.”
“Ini gaya-gaya yang disukai sama Ibu saya.” Sambil menumpuk pakaian jadi banyak. Bagaimana Inara bisa membayarnya nanti?! “Bapak gak usah, Pak. Bapak. Saya sukanya cuma satu. Yang ini aja.”
Agra tidak mendengarkan. Sampai waktunya membayar, Inara panas dingin hendak pingsan saat nominal disebutkan. Sialannn! Ini butik ternama. “Totalnya jadi 326juta rupiah. Mau debit atau kredit?”
“Debit aja.” Agra memberikan kartunya dan membayar semua. Inara masih melongo disana.
“Nah, pake salah satunya.”
“Ini….. Saya nanti harus ganti ke bapak?”
“Kamu mau ganti ke saya? Atau mau nurutin perintah saya terus ini jadi gratis?”
“Deal jadi gratis. Awas kalau nagih.” Langsung berlari membawa satu pakaian yang dipilihkan Agra.
***
“Hatchimm! Hatchimm!”
“Jangan bersin mulu nanti ada ingus kena baju, mana baju baru.” Agra nyinyir.
“Ya gak bisa ditahan. Orang saya belum terbiasa sama udara Bandung.” Wajah Inara jadi tegang melihat pria tua yang sedang melukis di halaman depan. Kini lebih rapi, bahkan memakai baju pangsit Sunda. Kepalanya memakai iket, cocok dengan Ibu Sundari yang memang suka memakai kebaya kutu baru. Keluarga ini sangat menjunjung tinggi seni dilihat dari rumah dan patung yang ada di depannya. Beserta ukiran di dinding.
“Inara, cepetan.”
Inara dari tadi berdiri diam. “Pak, saya malu sama Ayahnya bapak. Gimana dong?”
“Biasa aja dia tuh, malah lagi lukis.”
Ibu Sundari langsung berlari melihat kedatangan Inara. “Sayangnya Ibu sini, Nak. Ayok kita masak buat makan malam.”
“Nyuruh pembantu aja, kan kita bayar mereka. Inara suruh istirahat,” Ucap Adjie: Ayahnya Agra.
“Yaudah deh, kita ngemil yuk. Siapin makanannya sambil liatin calon mertua kamu ngelukis.” Menarik tangan Inara yang hendak bicara dengan Adjie. “Nanti aja ngomongnya, orang Ayah mertua kamunya juga gak papa.”
Agra mengikuti dulu untuk membisikan kata, “Harus keliatan saling jatuh cinta nanti.” Pada Inara yang sedang memotong semangka.
“Ehh ehhh! Awas! Jangan peped Inara disini! Keluar!” Ibu Sundari membawa melon hendak melemparnya pada Agra kalau pria itu tidak kunjung keluar
Sesuai kesepakatan mereka, Inara berperan menjadi kekasih yang manis dan jatuh cinta. Duduk di dekat Agra dan memberikan satu gelas es buah beserta pudding. “Buat bapak.”
“Manggilnya masih bapak nih?”
“Biarin aja, Bu. Nanti keceplosan kalau manggil yang lain,” Ucap Agra.
“Ayah seneng kalian jatuh cinta pada pandangan pertama, apalagi langsung saling berbagi perasaan. Pesan ayah cuma satu, jangan sampai ketahuan sama orangtua Inara. Kamu buktikan dulu bisa jaga Yayasan, baru lamar Inara habis beres kuliah. Jadi double kill! Inara lulus, kamu beres tempur. Oke?”
Inara mengangguk gugup. “Yah, minta maaf ya.”
“Minta maaf? Ayah gak punya.”
“Hah?”
“Gak usah bahas itu, Inara. Ayah saya gak keberatan potong rambut, kami juga tergolong gak liat lagi kutu gelayutan di rambutnya,” Ucap Agra merangkul Inara.
“Tuh coba minta ke mereka, siapa tahu punya.” Inara menoleh ke arah tatapan calon mertuanya. 4 anak perempuan kembali datang dengan orangtuanya, mereka terlihat antusias melihat Inara.
“Halooo!”
“Jangan nakut-nakutin Inara.” Agra merangkul Inara.
Perempuan ini diperkenalkan pada dua anak perempuan Ibu Sundari; Bunga dan Dahlia. Dengan dua anak Bunga; Tiany, Silva. Dua anak Dahlia; Kalila dan Haura.
Mereka malah berkumpul di dekat Inara sambil berebut waktu bicara, membuat Inara semakin merapatkan tubuhnya pada Agra.
“Tante liat ini!” Teriak Haura berumur 5 tahun memperlihatkan kodok di tangannya.
“Aaaa!” Inara langsung menyembunyikan wajahnya di pelukan Agra.
“Ade jangan gitu!” Ibu Sundari melemparkan kodok itu. “Aduh, Inara maaf ya. Cucu Ibu kadang gak punya otak. Udah gak ada kok, Sayang. Lepas pelukannya, nanti Agra malah keenakan.”
“Malah kesenengan dia tuh.”
“Anget ya, Bang?”
Dua adik perempuannya menggoda. Inara segera melepaskan pelukan.
“Ihhhhh ada inguss baju Om Agra!” Teriak bocah itu lagi menunjuk bekas Inara menenggalamkan wajah.
Inara segera menyentuh bagian bawah hidungnya yang mengalirkan lendir hangat. Diaaa maluuuuuu!
***
Efek udara dingin ternyata tidak main-main. Setelah kejadian tadi, Inara pamit mandi. Masih tetap malu meskipun Ibu Sundari memakluminya. Mana nanti makan malam bersama.
Inara tadinya hendak pergi membuat makan malam juga, tapi kepalanya sakit, dingin kembali menyerbu. Sepertinya dia akan flu. Tidak tahan sampai berbaring enggan bergerak. Masih sempat mendengar kalimat, “Biarin aja tidur, kasihan kecapean dia semalem datang dini hari.” Dari Ibu Sundari.
Inara pun terlelap dengan nyamannya. Dia bermimpi Agra mengusap rambutnya dan menggenggam tangannya yang dingin. Namun sepertinya mustahil, saat Inara bangun tidak ada siapapun.
“Shiit!” Umpat nya melihat jam menunjukan pukul lima sore hari. Dia bergegas keluar dan kaget melihat seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga, semua menatap padanya termasuk pria berpakaian serba biru dengan rambut gondrong dan berkumis. “Maaf.”
“Sini, Nak. Sini.” Ibu Sundari mengajak Inara masuk ke karpet. “Si Dahlia bawa dukun, katanya Haura sering lihat penampakan disini. Jadi mau dibersihin ini rumah.”
“Hah? Iya?” Inara kaget, Jangan-jangan yang tadi mengusap rambutnya juga hantu. “Pak Agra kemana, Bu?”
“Keluar dulu, gak tau mau beli apa itu anak.”
Inara yang tadinya pusing pun langsung fokus pada pria tua yang sedang menyebarkan asap menyan disekeliling rumah sambil jampi-jampi. Asap itu malah mengundang keinginan Inara untuk batuk.
‘Nggak, nggak. Jangan batuk. Ada dahaknya anjiiirrr!” Inara bisa merasakan asin di tenggorokan. Kalau saja dia batuk, pasti akan bersuara keras.
Tangannya mengepal menahan diri di tengah keluarga.
“Saya merasakan ada sosok jin hitam disekitar sini yang sering ganggu anak-anak. Jin nya kuat sekali!” Ucapnya menggebu-gebu menatap Ibu Sundari.
“Lantas apa yang harus kami lakukan? Cepat usir!”
“Sebentar.” Matanya kembali terpejam meraba-raba udara. Sosok itu jadi pusat perhatian kecuali Inara yang kini mengepalkan kedua tangannya. Batuk yang ditahan, dia tidak bisa keluar karpet pula karena Ibu Sundari merangkulnya erat.
“Saya merasakan energy yang kuat disini!”
“Inara sayang, tubuh kamu bergetar. Kenapa?”
“UGHOOOKK!” akhirnya mengeluarkan suara seperti banteng mengamuk.
“Hati-hati! Jin nya masuk tubuh Neng Ini!”
Membuat semua orang memberi jarak kaget.
Inara panik saat dukun itu mendekat hendak memegang kepalanya. “HMMMPPHHHHHH! HMPPPHHH!” Berteriak dengan mulut tertutup berusaha meminta bantuan Agra yang baru tiba. Matanya melotot hampir keluar, Inara takut mengeluarkan suara dahak lagi kalau membuka mulut.
“Sepertinya jin ini suka sama Mas ini!” dukun itu antusias.
“UGHOOKKK!” Nah kan baru juga Inara membuka mulutnya saja.
“Jin nya mengamuk! Awas semuanya!”
“UGHOOKKK!”