“Jangan berani sentuh dia. Pacar saya gak kesurupan, dia lagi flu,” Ucap Agra mendahului sang dukun untuk memeluk Inara. Perempuan itu langsung menyembunyikan wajahnya di daada Agra. “Inara demam, kalau mau ritual jangan ganggu dia. Makan malam juga dibawa ke kamarnya.”
Inara kaget saat Agra menggendongnya kembali ke kamar.
“Bapak ih diliatin banyak or-UGHOK! Hueeeee maluuu!”
“Jangan ditelen lagi makanya. Keluarin.”
Inara menggeleng karena terlalu malu melakukannya. Dia duduk di bibir ranjang menatap Agra yang mengeluarkan obat. “Minum biar demamnya turun.”
“Hhhhh.. Bandung dingin banget, Pak. Saya gak tahan.”
“Lusa kita pulang.”
“Orangtua saya dikasih tau gak kalau kita ke Bandung?”
“Tau, bahkan mereka tahu kamu nginep di rumah orangtua saya.” Agra memastikan dulu Inara minum obat. Setelahnya perempuan itu bergeser mendekat pada Agra. “Ngapain kamu?”
“Akting jadi pacar yang baik,” Ucapnya bersandar di punggung Agra kemudian memeluknya dari belakang. Terserah lah, Agra hangat melebihi selimut. “Malu, Pak. Disangka setan sama jin.”
Tidak lama kemudian Ibu Sundari masuk dengan anak ketiganya yang membawa nampan. “Kalian jangan ikut masuk. Keluar sana keluar!” Teriaknya pada keempat cucu perempuan yang ingin ikut masuk. “Aduhhh Inara lagi peluk Agra. Masih demam, Sayang?”
“Enggak, Ibu,” Ucapnya dengan suara pelan.
“Gak usah malu, dulu Ibu juga pernah batuk pas lagi acara. Malah dikira diluar hujan, padahal panas banget. Makan dulu ya, abis itu istirahat.”
Kali ini Inara benar-benar sakit. Dia makan pun disuapin oleh Agra. Ibu Sundari mengizinkan mereka satu ruangan asal pintu sedikit dibuka supaya tidak terjadi apa-apa.
“Mau langsung tidur?”
“Iya, kamar bapak yang ada dimana?”
“Depan, deket ruang tamu disana.”
“Saya lihat bapak keluar dari deket ruang keluarga.”
“Itu ruang kerja saya. Tidur dulu, nanti baru saya tinggal.”
Hidung Inara bahkan sudah mampet, akhirnya dia terlelap malam itu. Tidurnya juga tidak nyenyak, Inara merasa melihat sosok yang duduk di sofa. Mirip Agra yang sedang menunggunya. Saat yang ketiga kalinya, Inara membuka mata dan tidak melihat siapa-siapa.
Rasa haus menggerogoti, air yang ada di nakas terasa kurang. Inara keluar dari kamar mencari air. Setelahnya, Inara duduk lama menatap keluar jendela. Apa memang ada setan di rumah ini sampai dilakukan pengusiran?
“Uhuk! Uhuk!” Inara menutup mulutnya berusaha untuk tidak berisik. Minuman buatan Ibu Sundari tadi mampu membuat dahaknya encer, Inara berusaha membuatnya sambil memikirkan minuman apa itu.
“Nyari apa, Neng?”
“Eh, Ayah. Mau bikin… teh yang kayak Ibu.”
Pria itu masih penuh dengan cat di tangannya. Mencuci tangannya dulu dan membuatkan minuman untuk Inara tanpa berkata apa-apa.
“Ayah, gak papa sama Inara aja.”
“Gak papa,” Ucap pria itu dengan santai. “Arga itu gak lahir dari keluarga pewaris. Ayah cuma pelukis, gak ada yang bisa Ayah warisin ke dia kecuali tanggung jawab. Ketika dia sudah memilih kamu, maka artinya dia akan melakukan apapun yang bikin kamu nyaman.” Sambil memberikan teh hangat pada Inara. “Jadi kalau kamu berharap harta dari Agra, dompetnya kosong. Gak ada yang bisa kamu curi dari sakunya.”
Inara terkekeh mendengar itu, bingung harus merespon seperti apa. Apalagi Adjie memastikan dirinya meminum itu dengan tatapan. Sebelum akhirnya melangkah menuju kamarnya. “Agra, calon istri kamu bangun sekarang. Kata Ayah juga tetep tungguin,” Ucapnya saat melewati ruang kerja Agra.
Pria itu keluar tidak lama kemudian. “Bapak belum tidur?”
“Kenapa kamu masih kelayapan?” Malah bertanya balik. Kemudian menggendong Inara ke kamar. Perempuan itu menghela napas, sepertinya akan terbiasa dengan Agra yang tiba-tiba menggendong nya.
***
Nyatanya semalam Inara bisa tidur karena Agra yang mengancamnya. Rasa hangat membuatnya terlelap, demamnya turun dan dahaknya sudah mencair. Ibu Sundari memastikan Inara makan di pagi hari beserta jamu buatannya. “Gak usah malu gitu. Anak-anak sama yang lainnya pada pulang kok, kesini lagi nanti malem. Tapi kamu jangan jadi minder.”
Gimana Inara tidak minder, ketika ada cucu bungsu Ibu Sundari yang berkata, “Tante masih ada jin nya?” Yang berhasil membuat Inara serangan jantung.
“Hari ini mau disini sama Ibu kan?”
“Um, mau ke kampus di Bandung ikut Pak Agra, Bu. Inara belum ngerjain tugas.”
“Ehhh minta Agra aja yang kerjain.”
“Ihh jangan, nanti orangtua Inara tahu.”
“Oh iya, bisa kacau sih. Emang Agra udah tau?”
Tiba-tiba saja pria itu ada di depan pintu. “Tahu apa?”
“Saya ada tugas, Pak. Mau ke perpustakaan. Bapak katanya mau ke kampus disini kan? Ikutttt…,” Ucapnya dengan manja sambil membuka tangannya manja.
“Ihhh lucunya.” Ibu Sundari mencubit pipi Inara. Kemudian menatap Agra tajam. “Ajak dan jaga dia jangan sampai pulang dari sini sakit. Cepetan!”
Inara tersenyum mendapatkan dukungan. Akhirnya bisa keluar dari rumah, Inara takut kalau membahas tentang dahak lagi. Untung saja mereka akan pulang besok pagi, jadi sandiwara sudah berakhir. Inara kembali fokus pada kuliah dan dengan bebas menelpon pacarnya.
“Bapak lama gak nanti di rektorat nya?”
“Gak tau. Kamu nunggu di perpustakaan?”
“Iyaa, nanti bapak jemput kesini ya.”
“Jangan ilang. Kalau lapar, beli makanan. Jangan nunggu pingsan.” Sambil memberikan uang beberapa lembar ratusan ribu membuat Inara membulatkan matanya kaget.
Pergi ke perpustakaan dengan riang Apalagi memakai baju baru dari Arga juga. Inara ingin menjadi yang terbaik di kelasnya, malu kalau ketahuan nilai bagus dari Amerika itu hasil menyogok. Jadi Inara mencari buku demi buku yang sesuai dengan kebutuhannya.
Sampai langkah kaki Inara membawanya ke gudang bagian belakang. Dia tidak sadar itu gudang karena buku tuanya tertata rapi. Serasa menemukan harta karun, Inara membaca sambil berdiri. Memisahkan mana buku yang akan diambilnya di meja.
Brak! Pintu tertutup angin kencang. Inara santai saja sampai dia sadar pintu tersebut susah dibuka. “Tolonggg! Tolonggg!” Teriaknya. Ruangan ini ada di palinggggg belakang perpustakaan. Jarang ada orang sampai kesini.
Tas inara ditinggalkan di meja depan, dia tidak bisa menelpon siapapun. Ada satu jendela kecil di belakang gudang. Inara mencoba membukanya dengan susah payah. Tapi hasilnya tidak ada sampai kukunya memerah juga.
Agra menyelesaikan pembicaraan itu sampai sore hari. Dirinya sampai diajak keluar kampus untuk menemui seseorang. Tidak lupa mengirimkan pesan pada Inara, tapi sepertinya perempuan itu tenggelam dalam buku sampai tidak membalas pesannya.
Sore hari, baru kembali ke kampus. Agra ke perpustakaan untuk mencari Inara. Malah mendengar dua penjaga perpustakaan yang sedang bicara,
“Ini tasnya disini. Tapi orangnya gak ada.”
“Cek CCTV ternyata rusak. Gimana ini? Apa orangnya keluar?”
Agra langsung mendekat. “Itu tas anak didik saya. Dimana dia?”
“Sejak tadi siang disini, Pak.”
Agra memeriksa ponselnya, Inara belum membuka pesannya. “Dia pasti disini.” Agra mencarinya ke belakang diikuti penjaga perpustakaan yang ikut mencarinya. “Ini ruangan apa? Udah buka kesini?”
“Itu gudang, Pak. Biasanya kami tutup.”
“Buka dulu, siapa tahu dia disini.” Agra bahkan meminta kuncinya sendiri. Dia membukanya dan menghela napas lega melihat Inara terlelap disana. Ada tumpukan buku di meja, Agra yakin itu yang hendak dibacanya. “Tolong siapkan buku ini akan saya bawa pulang.”
“Baik, Bapak.” segera pergi.
Ada sisa air mata Inara yang kering, wajahnya tampak lelah juga. Dimata Agra terlihat lucu sampai dia ingin mengerjai nya dengan, “Inaraaaaa…,” Memanggilnya dengan nada seram. “Inarahhhhhhh…”
“Hah?! Hah? Hah?” Inara menoleh ke kanan dan ke kiri. “Hiks… hiks.. Mama takuttt… hiks…”
“Hei, hei, saya disini. Saya disini,” Ucap Agra langsung menyadari candaannya berlebihan.
Inara langsung mendekap pria itu saat melihatnya. Menangis meraung melepaskan rasa takutnya. Inara lebih tenang saat rambut dan punggungnya dielus halus dengan kalimat, “Gak papa, ada saya disini, Inara. Gak papa ya.” Kemudian menggedongnya di depan.
Kaki Inara melingkar di pinggang Agra, kepalanya bersandar pada bahu tegap si pria. “Bawa buku itu ke mobil saya.”
“Baik, Pak.”
Inara menyembunyikan wajahnya saat Agra keluar perpustakaan dan kemungkinan ada mahasiswa yang melihat.
Perempuan itu meringkuk layaknya bayi, memeluk erat Agra supaya tidak menjatuhkannya. Begitu rapat sampai lama-lama terasa panas, dan Inara merasakan sesuatu yang mengganjal cukup besar dibawah sana. Apa itu?
***
Saat mereka tiba di rumah, tidak ada siapapun kecuali pembantu yang mengatakan, “Semuanya lagi ke rumah Ibu Tati, suaminya meninggal katanya, Pak.”
“Anak-anak juga kayaknya gak tidur disini ya?”
“Sepertinya iya. Itu Neng Inara kenapa?” menatap wanita yang masih ada dalam gendongan Agra.
“Gak papa, lagi badmood aja.” Agra meniup puncak kepala Inara sampai perempuan itu mengadah memperlihatkan wajah sinis nya. “Mau makan malam disini atau dikamar?”
“Disini aja.”
Agra pun mendudukan nya di kursi, membuat Inara langsung merasa kedinginan sampai menyedot ingusnya lagi. “Pake ini.” Agra membuka jasnya lagi. “Bi, makan malam buat saya sama Inara.”
“Sebentar ya, Pak Agra.”
Dibuatkan nya oleh pembantu itu, Inara melahap nya cukup banyak karena kelaparan. Agra tidak bicara apapun lagi setelah menasehati nya di mobil untuk lebih berhati-hati.
“Saya mau izin nginep di rumah ibu malam ini ya, Pak Agra. Ibu saya sakit.”
“Boleh, bi. Pulang aja.”
Namun itu hanya menyisakan Agra dan Inara di rumah, karena satpam ada diluar. Setelah makan, Agra membuatkan teh jahe supaya Inara tidak demam lagi. “Langsung ke kamar buat tidur. Besok kita berangkat subuh.”
“Bapak mau kemana?”
“Ruang kerja. Ada yang harus saya kerjain.”
“Butuh bantuan saya gak, Pak?”
“Gak, beresin aja tugas kamu. Awas kalau gak dapet nilai A.”
Diancam seperti itu malah membuat Inara gugup dan tidak bisa mengerjakan soal. Akhirnya dia diam saja di atas ranjang merasa bosan. Sampai hujan turun dan mulai ada kilat, Inara langsung berlari ke tempat kerja Agra. “Takut ada petir,” Cicitnya
Agra menatap tajam mengusir.
“Saya janji gak akan ngapa-ngapain,” Ucapnya memilih berbaring di atas karpet bulu dekat meja kerja Agra. “Mau tiduran aja disini.” Yang akhirnya membuat Inara ketiduran
Dia terbangun saat kaget mendengar suara tawa dari tengah rumah. Begitu ramai sampai menyadarkan Inara kalau Ibu Sundari, Pak Adjie dan keempat cucu perempuannya tidur di depan televisi
“Jangan berisik, Tante kalian lagi tidur dikamarnya.”
“Loh, tadi kamelnya kosong pas lihat,” Ucap si bungsu. “Tadi ade buka kamalnya.”
“Udah jangan aneh-aneh lagi sampe Oma harus manggil dukun. Kalian diem nonton TV jangan ganggu Tante kalian.”
Padahal Inara ada di ruang kerja di depan ruang televisi. Jika dia keluar, maka seluruh anggota keluarga sudah pasti melihatnya. “Bapak?” Lahh, Agra belum tidur. “Mereka ada diluar? Saya gimana pindah ke kamarnya?”
“Pake pintu.”
“Ihhh, Pak…” Agra tidak paham apa yang Inara takutkan. “Saya khawatir mereka mikir yang enggak-enggak. Mana sekarang saya mau buang air kecil ih, Pak.”
“Disana ada kamar mandi.”
Inara langsung berlari ke tempat Agra menunjuk dengan tatapan. Kamar mandi kecil yang ada dalam ruangan sangat menolong. Namun, baju Inara malah kena air hingga basah cukup banyak. “Anghhhh…,” rengeknya keluar kamar mandi. “Bapak, baju saya basah.”
“Sana ganti. Kenapa kamu gak kunjung keluar? Hujan udah selesai.”
“Saya malu dan takut mereka mikir enggak-enggak. Besok subuh aja saya pindahnya.” Inara membaringkan tubuh di tempat sebelumnya. “Uhuk! Uhuk! Baju yang basah membuatnya tersiksa juga. “Bapak ada baju ganti gak?”
“Astaga.” Agra membuka kaosnya dan memberikannya pada Inara. Perempuan itu sampai berkedip melihat tubuh Agra yang atletis, mana berdiri di depannya lagi. “Itu kaos bapak.”
“Mau dipake atau enggak?”
“Mau!” Inara langsung menggantinya di kamar mandi. “Saya tidur disini aja. Bapak juga kerjanya sampai pagi. Jadi biar setahu mereka, kita udah tidur.” Mengingat di ruang kerja ini tidak ada tempat sembunyi untuk Inara
Agra tidak menjawab dan tetap fokus pada laptopnya. Dari tempat Inara berbaring, dia bisa melihat sibuknya pria itu. Wajahnya terpahat sempurna dan tampak panas dengan bagian atas tanpa baju. Inara menelan salivanya kasar.
Rasa dingin masih mendominasi, Inara terbatuk beberapa kali. “Astagaaaa.”
“Ma… uhuk! Maaf, Pak. Saya masih di- Eh?” Kaget saat Agra tiba-tiba berbaring di sampingnya kemudian menarik Inara ke dalam dekapan.
“Tidur cepetan.”
Inara diam sejenak sebelum akhirnya bernapas lega, dia menyamankan diri dalam panasnya tubuh Agra dan akhirnya mulai memejamkan mata tanpa batuk lagi. “Kurang erat peluknya, Pak,” Rengeknya sebelum terlelap.
“Kamu pengek kalau saya peluk kenceng, Inara.”