Keluarga Bandung

1455 Words
“Ngapain kita ke Bandung, Pak?” Wajahnya panik. “Ada kerjaan disana?” “Kamu ketemu sama Ibu saya, terus ngaku sebagai pacar saya.” “Maksud bapak?” “Kamu udah angkat VC dia, Ibu saya ngira kamu pacar saya dan minta dikenalin. Kamu harus tanggung jawab.” Inara masih tidak paham. “Pak! Kita tinggal bilang aja yang sebenernya terjadi ‘kan? Apa susahnya?” “Kalau kamu gak ngaku sebagai pacar saya, nanti saya dipaksa nikah sama orang lain.” “Bagus lah. Jadi kita gak usah sandiwara.” Agra terkekeh. "Saya bakalan bilang ke orangtua kamu atas apa yang kamu lakukan selama ini." “Ashhhh!” Inara memegangi perutnya yang terasa sakit. “Jangan drama.” “Bapak saya mau pipisss!” Teriaknya. “Perut saya udah sakit! Mau pipis dulu! Ahhhh!” Tadi kaget jadi tidak dirasa, sekarang sudah diujung tanduk. “Sebentar.” “Bapak cepet! Ahhhh!” Suara Inara sangat mengganggu, Agra menginjak gas menuju rest area terdekat. Sekalian saja istirahat, Agra memesan beberapa makanan menunggu Inara kembali. Wajahnya terlihat murung ketika mendekati Agra. Baru juga Inara duduk, Agra langsung menjelaskan disertai ancaman kalau Inara tidak melakukannya maka Agra akan memberitahukan kedua orangtuanya tentang apa yang Inara lakukan diluar sana: mabuk dan pacaran. Juga Agra berniat pindah. “Bapak ngancam.” “Gak ngancam, ini demi keuntungan bersama. Saya gak diganggu Ibu lagi, dan kamu bisa tetap bebas tapi mendapat didikan dari saya.” “Itu ngancam pindah? Bukti bapak gak tanggung jawab.” “Kalau gak mau gak masalah. Saya juga gak akan simpan rahasia kamu. Biar di disiplinkan sama Pak Alvano langsung.” “Yaudah iyaaaa!” Teriak Inara sampai semua orang melihatnya. “Maaf maaf.” Kemudian menatap Agra. “Jadi gimana setting nya?” Agra menjelaskan pengaturan mereka nanti. Inara kenal dengan Agra saat Agra kunjungan ke kampus di Amerika dua tahun yang lalu. Kembali bertemu saat diperkenalkan oleh Alvano untuk diajari. Kemudian mulai dekat dan menaruh hati satu sama lain. “Jatuh cinta pada pandangan pertama gitu, Pak?” “Gituin aja.” Dengan memberitahukan Inara adalah anak pemimpin Yayasan, akan sulit kalau mereka menikah sebelum Inara lulus. “Okedeh. Tapi bapak harus janji rahasiain apa yang saya lakukan dibelakang mereka.” Agra mengulurkan tangannya. “Dan kamu gak boleh keliatan nakal di depan orangtua saya.” “Tetap jaga nama baik Yayasan.” tangan Inara menerima jabatan tangan itu. Bersamaan mereka mengayunkan tangan tanda kesepakatan. “Terus di Bandung gimana? saya gak bawa baju.” “Nanti beli. Biar gak lama juga di sana.” Agra menunjuk makanan di depannya. “Makan dulu.” Tidak sempat berucap karena Agra langsung mengangkat telpon. Inara makan sendirian sambil beberapa kali menarik ingus. Udara Bandung tidak bisa ditantang, Inara kalah dengan pakaian tipis ala anak Jakarta Selatan. Mana dia tidak membawa pakaian apapun. “Bapak mau kemana?” “Nelpon.” Bruk! “Pake itu.” Menjatuhkan jas di kepala Inara sebelum melangkah menjauh. “Cihhh untung aja enggak kena kuah soto,” Gumamnya kesal sambil memakai jas Agra yang kebesaran di tubuhnya. “Uhhh angettt…” **** Mobil itu sampai di Bandung jam setengah satu dini hari. Memasuki rumah bergaya belanda kuno dengan halaman yang luas di daerah Dago. Inara yang terlelap itu digendong oleh Agra. Ibu Sundari berlari ke beranda rumah melihat siapa yang dibawa oleh anaknya. “Jangan sekarang, Bu. Dia tidur, kasihan.” “Lagian aneh banget kamu ajak kesini jam segini.” Misuh-misuh sambil mengikuti anaknya. “Ya ampun cantik banget, kecil gitu wajahnya. Pantesan kamu gak mau dijodohin, typenya yang kayak gini.” “Udah tinggalin, Bu. Ayok.” “Heran ih kenapa jam segini kesininya.” “Dia ada kuliah, Agra juga ada perlu ke kampus di Bandung. Sekalian aja. Tolong kasih baju ke dia, gak bawa apapun.” Agra ke kamarnya setelah menempatkan Inara di kamar tamu. Inara sedikit kesal, padahal dirinya pura-pura tidur supaya tidak harus sandiwara dimalam hari. Sekarang Agra malah pergi meninggalkannya. Inara malah merasakan seseorang menatapnya, itu bukan setan ‘kan? “Ya Tuhan, tolong berikan kesabaran pada anak ini untuk menghadapi anakku. Biarkan dia menjadi menantuku.” Inara merasa miris, kasihan kan Agra sukanya batang. Biarkan saja si ibu berdoa sebagai pengantar tidur Inara. Akhirnya dia bangun di pagi hari sedikit lebih segar. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Ada setumpuk baju di lemari. Sepertinya masih baru untuknya. Inara pakai saja daripada menggunakan yang semalam. Airnya begitu dingin hingga Inara menggigil. Untung membawa bedak dan lipstik di tasnya. “Iya kayaknya belum bangun.” “Tadi ada suara air loh.” “Kaget gak ya tiba-tiba ada disini?” Ketika Inara menarik pintu… . “Aaaaaa!” BRUK! Anak-anak itu saling bertumpuk di depan kaki Inara. “Anak-anak nakal! Jangan ganggu Tante kalian!” “Aaaaaa ada Oma!” Mereka berempat berlari pergi meninggalkan Ibu Sundari yang mengangkat tinggi sapu. “Heheheh, Ibu sebenernya baik kok. Itu mereka mah nakal aja.” Langsung memasang wajah manis ketika ada Inara. “Kenalkan, Ibunya Agra, calon suami kamu.” Inara terkekeh pelan. Harus memberikan kesan bagus. “Saya Inara.” Mencium tangan sosok itu “Pak Agra ngajak kesini mendadak, jadi saya pinjem baju di lemari ya, Bu.” “Loh kok formal gitu, biasa aja. Anggap ibi sendiri.” Mengajak Inara berjalan ke dapur dan memintanya duduk dihadapan teh hangat disertai cookies. “Bentar, Ibu potongan dulu buahnya.” “Gak usah repot, Ibu.” “Repot apanya, Ibu denger dari Agra kalau kalian saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi karena kamu anak pemimpin Yayasan, jadi gak bisa langsung diajak nikah ya?” “Iya, maaf ya, Bu. Ini juga diem-diem di belakang orangtua. Papanya Inara agak…” “Kolot, pemarah sama possesive? Agra bilangnya gitu.” “Hehehe.” Inara terkekeh hambar. “Iya, Bu. Kalau mereka tahu hubungan kami, mungkin akan disuruh putus.” “Gak boleh! Agra udah kasih tau Ibu rencananya kok. Katanya dia mau buktiin ke kedua orangtua kamu bisa tenangkan lagi yayasan hingga bisa mempersunting kamu pas udah lulus. Setahun lagi kan?” Inara mengangguk dengan senyuman manis layaknya jatuh cinta saat Ibu Sundari memberikan sepiring buah. “Dimakan, Nak. Ini masih segar. Agra katanya mau keluar sebentar.” Bajingan sekali pria itu meninggalkannya disini dengan semua kebingungan harus mendengarkan cerita Ibu Sundari yang kesehariannya sebagai Ibu Rumah Tangga. Bahkan memiliki kebun kesayangan di belakang sana berupa sayur dan buah. Suara tawa 4 anak perempuan itu mengganggu Ibu Sundari. “Kesini kalian atau Oma gak akan nerima kalian disini lagi!” Mereka berempat keluar. Sekalian saja Ibu Sundari memperkenalkan, “Agra itu anak kedua dari 4 bersaudara. Ini anak dari adik-adiknya.” Yang paling besar kelas 3 SMP dan yang paling kecil baru 4 tahun. “Anak dari Kakak pertamanya tinggal di Amerika. Sedangkan Kakaknya sendiri… udah gak ada. Agra satu-satunya anak laki-laki yang tersisa.” “Turut berduka ya, Ibu.” “Gak papa, Ibu kuat. Dengan merawat kebun belakang punya si sulung, Ibu bisa bahagia.” Cucunya malah menggoda. “Oma pengen dipeluk sama Tante tuh, Tan.” “Heh! Berani-beraninya kalian! Sana belajar! Supirnya udah datang! Sekolah-sekolah!” ibu Sundari menggiring empat anak perempuan keluar. Inara tetap diam menatap mereka yang tadi sudah mencium tangannya. Keluarga ini mengingatkannya pada Kakek dan Neneknya yang ada di rumah sakit. Inara jadi sedih. “Loh, itu siapa?” Inara melihat ada pria berpakaian sembrawut datang ke kebun ibu Sundari. Tidak akan Inara biarkan kebun itu rusak apalagi peninggalan anak pertamanya. Disisi lain, Agra baru saja datang. Bersamanya dengan Ibu Sundari yang memastikan cucu-cucunya masuk mobil dan sekolah. “Kamu ini malah ninggalin Inara, temenin dia dulu lah. Takutnya dia belum nyaman disini. Mana keponakan kamu suka banget godain dia.” “Kan biar bisa cepet nikahin dia, harus bisa bantu Yayasan.” “Bener juga sih. Ayok masuklah, Inara lagi ngemil tuh. Cantik bangettt itu anak.” Ibu Sundari menggoyangkan tangan sang anak dengan antusias. “Loh? Dia kemana?” Agra melihatnya di halaman belakang. “Tuh,” Tunjuk nya dengan tatapan. Dari beranda halaman belakang, mereka bisa mendengar Inara berucap, “Ayok jangan kesini yok. Jangan rusak kebunnya. Nanti saya kasih kue. Mau?” Kemudian memberi isyarat untuk diikuti. “Eh, Ibu. Itu ada ODGJ masuk, kayaknya dia gak bahaya dan mau makan doang. Inara kasih kue aja ya.” Ibu Sundari tersenyum lembut. “Ibu lupa belum kenalin calon Ayah mertua kamu, penampilan dia emang kayak gitu. Seorang pelukis soalnya.” Agra terkekeh. “Denger tuh, Yah. Disangka ODGJ sama calon menantu. Cukur rambutnya kenapa sih.” “Iya, mau ayah cukur kok.” Inara panik, dia menatap Agra dengan mata berkaca-kaca minta pertolongan. “Kerja bagus, akhirnya Ayah mau potong rambut.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD