Lemah, Letih, Gendong dong!

1659 Words
Sampai pagi tiba, Inara masih merasa hangat. Kali ini diberikan oleh matahari yang sudah terbit masuk ke celah tirai. Jam berapa ini?! “Ihhh Oma mau pamitan dulu sama Tante!” “Jangan! Dia lagi gak enak badan! Sana kalian berangkat sekolah!” Teriak Ibu Sundari langsung membuat Inara bangun. Dia bergegas keluar, ini pasti sudah siang. Arga bilang mereka akan berangkat pagi hari. “Ihhh Tante kayak singa! Hahahahaha!” Malah tawa yang menyambutnya saat membuka pintu. “Tante kayak mbak hantu rambutnya! Hahahaha!” Inara memegang rambutnya yang berantakan. “Jangan ngomong gitu sama Tante kalian!” “Gak papa, Ibu. Inara baru bangun, rambutnya emang kayak gini. Sebentar ya.” Inara hendak membereskan dulu rambutnya. Ini gara-gara tidak memakai haircare, Inara tidak membawa alat kecantikannya saat datang kesini. “Tenang, Nara. Kan dibeliin banyak barang sama Pak Agra. Jangan marah-marah mulu ya,” Ucapnya pada diri sendiri. “Kalian jangan lari! Minta maaf dulu sama Tante kalian!” Teriak Ibu Sundari. Inara menyadari dirinya tidak terlalu mahir mendekatkan diri pada anak-anak. Buktinya saja keponakan Agra terus mengejeknya. Kenapa pula rambutnya bau air liur, padahal Inara tidak ngiler. Saat Inara keluar kamar dalam keadaan sudah mandi, hanya ada pembantu yang sedang beres-beres. “Non mau sarapan?” “Kemana yang lainnya, Bi?” “Itu lagi pada di depan.” Ada ayah mertuanya yang sedang melukis, Inara tidak mau mengganggunya. Terfokus pada Agra yang terlihat memarahi keponakannya sampai 4 anak perempuan itu berbalik menuju Inara. ibu Sundari di belakang mereka. Mau apa ini? “Tante, kamu minta maaf ya.” “Hah?” Inara bingung. “Iya gak papa.” “Tuh kata Tante gak papa.” Adjie ikut bersuara. “Yang bener dong minta maafnya kalian ini.” Yang paling besar mewakili. “Maaf ngetawain tante mulu ya. Nanti hati-hati di perjalanannya, sering-sering kesini ya.” Kemudian mencium tangan Inara secara bergantian. Inara berdehem merasa canggung bahkan setelah anak-anak itu pergi naik mobil. “Inara ayok sarapan dulu, Sayang. Ayok. Udah baikan sekarang flu nya?” “Mendingan kok, Bu. Ini udah gak ada dahaknya lagi.” “Tetep harus minum herbal. Ayo sarapan juga.” Ibu Sundari memastikan Inara makan semuanya. Banyak sekali makananan di piring. “Ininya juga makan, bagus loh buat kulit. Ayok makan.” Inara terus memaksakan diri menelan, segan untuk menolak. Saat Arga datang, Inara langsung melotot meminta bantuan lewat bahasa tubuh. Agra malah masuk begitu saja ke kamarnya bahkan setelah mereka bertatapan. “Ini makan lagi, Nak. Ayok makan ayok.” “Hehehe iya, Bu.” “Sebentar ya, Ibu mau cek dulu kebun buah di belakang.” Inara menghela napasnya dalam melihat makanan yang masih menumpuk. “Eh?” Agra mengambilnya. “Jangan terlalu banyak makan, nanti sepanjang jalan malah tidur.” “Dari tadi saya kode bapak loh tapi gak peka-peka.” “Ayok pamitan ke Ibu. Kita langsung berangkat sekarang.” “Bentar belum minum. Seret ih.” Inara buru-buru mengikuti Agra. Ibu Sundari sedang memerintahkan pelayan memetik buah dan sayur segar. “Eh, kenapa pada nyusul?” “Mau berangkat sekarang. Agra ada meeting nanti.” “Ihhh nanti dulu, ini ada sayur sama buah seger. Orangtua Inara harus tau kita ini keluarga keren tanam sayur buah sendiri.” Sebelum Agra bicara, Ibu Sundari menutup mulutnya. “Kalau mau cepet, kamu bantu petikin sayur di samping rumah. Sana.” “Pwahhh! Ini apaan sih?! Bau tanah.” Agra berjalan ke samping rumah menuju kran. “Sekalian petik kacang panjang disana. Cepetan!” Agra menurut dengan wajah menahan kesal. “Ibu, kalau disini apa aja yang dipetik? Biar Inara aja ya.” “Oh boleh, Sayangku. Ambil apapun yang kamu mau ya. Ibu mau siapin bungkusan packingnya dulu kalau gitu. Biarin Arga disana dulu ya.” “Iya, Bu.” “Awas jangan biarin Agra kesini. Suruh dia petik yang banyak.” Akhirnya Inara ditinggalkan sendirian. Baguslah dia bisa memetik buah dan sayur seperti yang dilakukan oleh Agra sekarang. Drrtttt! Drrtttt! Astaga! Keenan menelponnya, Inara langsung mengangkatnya. “Hallo, Sayang? Aku kangen banget sama kamu. Kemana aja kamu sih?” Di waktu yang sama, Ibu Sundari kembali untuk mengambil sayur yang tadi dia petik. “Kangen banget sama kamu, Sayangku. Berharap jarak diantara kita segera menipis. Hiks… aku gak tahan jauh-jauh dari kamu.” Menoleh pada Arga yang juga sedang menelpon. Ibu Sundari mendekat ke arah sana. “Sabar, saya masih petik sayur. Saya akan segera kesana. Bisa gak kamu beresin dulu kerjaan itu?” Arga bertanya pada ajudannya. Ibu Sundari terkekeh. “Yaudah sana, gak usah petik sayur. Biar ibu aja.” Menatap Agra yang pergi dengan kebingungan. “Biasanya disiplinkan anak,” Ucap Adjie yang berdiri di samping rumah. “Kenapa dia gak beresin kerjaannya?” “Dia lagi jatuh cinta. Biarin aja.” Senyuman Ibu Sundari mengembang. **** “Uhuk! Uhuk!” “Kenapa kamu masih batuk?” “Ekhem! Orang ini cuma gatel tenggorokan aja.” Mereka di jalan tol menuju ke Jakarta. Tangan Inara meraih air, tenggorokannya terasa kering. Jalanan yang mulus membuatnya duduk bersila dengan santai di dalam audi hitam tersebut. BRUK! “Aaaaaaa!” BYUR! Air botol tumpah mengenai baju Inara saat Agra menghindar kecelakaan beruntung di depannya. Inara shock, menengok ke belakang. Melihat ada kobaran api membakar mobil yang menabrak pembatas. “Kamu gak papa?” “Kaget, Pak,” Ucapnya masih bergetar. “Itu… ada yang kebakar di mobil, Pak. Saya denger mereka teriak.” “Gak usah liatin terus.” Tangan Agra meraih dagu Inara untuk melihat ke depan lagi. “Baju kamu basah. Rest area masih jauh. Pake jaket saya.” “Hah?” Inara malah membuka kancing bajunya memperlihatkan dalaman berwarna merah. “Kenapa kamu buka baju disini?” “Dibelakang penuh sama barang. Saya gak mau ditimpa pake jaket dalam keadaan basah.” “Kan ada tissue bisa kamu keringin dulu.” “Emangnya kenapa?” Bertanya dengan wajah polosnya. Toh Inara tidak masalah, Agra kan tidak suka perempuan. Dia lebih banyak memikirkan kecelakaan tersebut. “Ekhemm!” “Bapak kalau mau batuk gak usah ditahan, saya gak akan ketawain kok.” “Gak.” Agra segera menuju rest area terdekat melihat keadaan Inara yang lebih banyak diam. “Tunggu disini.” “Heem.” Duduk di salah satu resto, Inara akan makan apa saja yang dipesankan Agra. Mungkin mood Inara akan naik setelah dia mengirimkan pesan pada sang pacar. Tadi mereka menelpon, Keenan minta maaf kalau dirinya sangat sibuk dan akan segera kembali ke Indonesia secepatnya. Ayng: Sayang, maaf kayaknya aku gak jadi bulan depan ke Indonesia. Mau ada penelitian yang lainnya. Aku ikut. Inara semakin tidak mood saja, kali ini Agra sampai melihat wajahnya yang menahan tangisan. “Kenapa kamu?” “Gak papa, Pak. Uhuk! Uhuk!” “Makan dulu.” Inara tidak terlalu bernafsu, dia makan beberapa siap saja. “Udah kenyang,” Ucapnya. “Makan lagi.” “Udah ah.” “Saya udah beliin es krim sama waffle cokelat masa gak kamu makan.” Inara menatap wajah Agra yang tampak kesal. “Tapi saya kenyang.” Tidak ada tenaga untuk berdebat, bahunya lemas sekali. Sendok disodorkan padanya, Agra menyuapkan makanan saat Inara baru membuka mulut. “Hmmm…” Bergumam tidak jelas sambil mengunyah. “Makan lagi. Makan, buka mulutnya.” Begitu saja terus, Inara menerima suapan secara paksa dari Agra. Tapi enak juga rasa makanannya. *** “Loh? Udah sampai, Pak?” “Ke dokter dulu. Saya harus pastikan kamu sehat kembali ke kedua orangtua kamu.” Inara segera mengikuti langkah Agra, ternyata mereka sudah sampai di Jakarta. “Ibu Inara?” “Iya, dia mau diperiksa,” Ucap Agra yang sudah membuat janji sebelumnya. Langsung dipersilahkan masuk, disambut oleh seorang wanita yang tersenyum pada Agra Inara mengerutkan keningnya, apa dia naksir pada pria ini? Kasihan sekali, Agra kan gay. “Keluhannya gimana aja?” Tanya dokter itu sambil memeriksa Inara. Kali ini Inara menjelaskan apa yang dia rasakan, termasuk jantungnya yang berdetak kencang akibat Keenan membatalkan janjinya pulang. “Jadi gimana, Dok? Gak bahaya kan ya?” “Gak bahaya, cuma kanker stadium 5 aja.” “Hah?!” Agra menanggapi dengan santai. “Gak otopsi aja sekalian?” Dokter wanita itu tertawa. “Hahaha bercanda, dia masuk angin aja. Butuh perhatian juga dari pasangannya. Lain kali tolong jaga ya, Pak Agra.” Inara diam mematung, ternyata mereka saling kenal? “Saya teman sekolahnya Agra dulu, agak kaget dia bawa cewek kesini.” “Kasih obat yang bagus. Vitamin banyakin biar gak lemes.” “Okeyyy.” Dokter Nindi dan Agra malah membahas tentang reunian yang akan mereka lakukan di akhir tahun ini. Inara serasa tidak ada sampai dokter menyerahkan obat. “Semoga cepat sembuh ya. Kalau ada apa-apa bilang sama Agra, manfaatin dia.” “Hehehe, iya, Bu Dok.” Agra merangkul Inara saat keluar dari dokter. “Perasaan udah gak di Bandung deh, Pak. Kenapa masih rangkul saya?” “Dia cukup deket sama Ibu. Biar laporan juga.” “Oalahhh, bagian dari skenario toh.” Inara memutar bola matanya malas. “Bapak langsung ke kampus?” “Iya, kamu dianterin dulu ke apartemen kan?” Inara mengangguk. “Kalau masih lemes gak usah ke kampus.” “Ngampus ah takut ketinggalan.” Menjawab dengan lesu tingkat tinggi, Inara tampak jelas tidak bersemangat di wajahnya. Agra meminta satpam untuk membawakan barang Inara, dia tidak ikut turun karena akan ke kampus. Namun melihat langkah Inara yang gontai, kemudian duduk sejenak, lalu diam lagi. Seperti zombie! Itu sangat mengganggu Agra. Pria itu keluar dari mobilnya melangkah mendekat pada Inara yang kini bersandar pada tiang. “Bapak mau ke apartemen dulu?” “Iya, kenapa?” Inara merentangkan tangannya tanpa tahu malu. “Gendong?” “Ck.” Wajahnya tampak tidak ikhlas, tapi tetap saja menerima uluran tangan Inara. “Kalau ada penggemar saya, kamu bakalan habis sama mereka di hate.” “Gak papa kan ada bapak,” Ucapnya bersandar di bahu Agra. Dia rinduuuuuu dengan pacarnya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD