Chapter 8 : Annoyed Man

1646 Words
El memicingkan mata. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan tempatnya kini. Dan dia pun langsung lega saat mendapati dirinya sedang berada di apartemennya sendiri. Dengan perlahan, pria itu mencoba bangkit dan duduk. Menggeser tubuhnya ke belakang. Bersandar di sandaran ranjang. El memijit kepalanya yang terasa pening karena terlalu banyak minum. Semalam dia memang seperti orang gila. Minum alkohol tak tanggung-tanggung. Mengguyur kerongkongannya dengan minuman memabukkan itu tanpa henti. Untungnya saat mabuk semalam dia tidak main perempuan. Ya sudah cukup lama El tidak lagi melakukan ONS dengan para wanita yang ditemuinya di club malam. Terakhir saat dia bertemu Nana di club malam waktu itu. Yang berakhir dengan kegagalan. Entah kenapa El kehilangan moodnya untuk mencari kesenangan dari para wanita di luar sana. Tidak ada sedikitpun pikiran untuk bermain wanita lagi di benaknya meskipun dia masih seringkali minum di club. Pikirannya sudah terisi penuh oleh Nana. Hanya satu nama yang membuatnya frustrasi. Pusing setengah mati. Galau, resah tak berujung. Sial, batinnya. Kenapa bocah itu bisa mempengaruhinya begitu dalam. El tidak habis pikir. Nana membuatnya tidak lagi bisa menikmati dunianya. Bocah itu benar-benar... entahlah bagaimana El harus mengatakannya. El melirik jam dinding yang tergantung di tembok kamarnya. Pukul setengah tujuh. Dengan malas-malasan pria itu bangkit. Menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya sebelum berangkat ke kampus. *** El membanting buku-buku miliknya ke atas meja kerjanya dengan kasar. Nafasnya memburu menandakan pria itu sedang emosi. Mengusap wajahnya kasar, El berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Sudah sejak pagi moodnya tidak baik. Dan kini makin bertambah buruk saat mendengar kabar jika Nana sudah punya pacar. Sepuluh menit yang lalu, saat dia sedang ada di dalam mobil menuju kampus, Ella menghubunginya. Wanita itu menelepon El. Menanyakan perihal aktifitas Nana di kampus. Pertama-tama El masih baik-baik saja. Tapi selanjutnya saat El mendengar Ella menanyakan perihal pacar Nana, pria itu langsung emosi. Bahkan Ella saja sampai terkena amukannya. Padahal seumur hidupnya El tidak pernah berbicara keras sedikit saja pada wanita itu. Sedikit rasa penyesalan muncul di hati El setelah memarahi Ella tadi. Tapi kan itu salah Ella sendiri. Kenapa dia memanas-manasi El. Mendesah kasar, pria itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa empuk yang berada di dekat meja kerjanya. El mengacak rambutnya frustrasi. Bingung. Kenapa juga dia bisa sekacau ini. Memangnya ada yang salah jika Nana punya pacar? Dia kan sudah besar. Bukan anak kecil lagi. Wajar jika dia punya pacar. Tapi siapakah pria yang sudah berhasil mencuri hati bocah cantik itu. El menggeram marah. Matanya nyalang menatap jam dinding. Dia harus segera beranjak. Lima menit lagi dia ada jadwal mengajar. Kenapa harus ada jadwal hari ini sih, batinnya kesal. Boleh tidak sih sebenarnya dia tidak usah mengajar saja hari ini? Moodnya benar-benar buruk. Dengan emosi, El mengambil buku-bukunya yang berantakan di atas meja. Membawanya dengan tangan kanannya. "Ini kenapa lagi bisa ada tong sampah disini sih!" geramnya. Kakinya menendang tong sampah di dekat meja kerjanya dengan kencang. Karena dianggap mengganggu jalannya. Hingga membuat tong sampah itu terguling dan isinya berceceran. El keluar dari ruangannya dengan dengan wajah masamnya. Entah kepada siapa muka merengutnya itu ditujukan. Karena sepanjang jalan menuju kelas dia tidak sedikitpun tersenyum seperti biasa. Bahkan dia mengacuhkan sapaan dari para mahasiswa yang mengenalnya. *** Nana mengeluarkan buku modul miliknya dengan muka masam. Dia kesal karena sejak kemarin dia terus menjadi sasaran kemarahan Aliandra. Entah apa yang terjadi dengan daddynya itu. Setelah pembicaraan mengenai pernikahan kemarin, Aliandra jadi uring-uringan. Entah sudah berapa kali dia marah sejak kemarin. Tak terhitung. Ada saja yang dibuat masalah. Mulai dari masalah Nana yang kelupaan mematikan televisi, lalu saat piring yang jatuh hingga pecah karena dia mencuci piring sambil bercanda dengan Noah. Tadi pagi Nana kena marah lagi karena Aliandra tidak bisa menemukan kaos kakinya. Padahal itu kan bukan salah Nana. Salah Ella yang lupa meletakkan kaos kaki Aliandra. Tapi mana mungkin Aliandra berani marah pada Ella. Bisa tidur di ruang tamu seminggu dia. Jadilah Nana yang disuruh mencarikan kaos kaki itu. Saat Nana tidak bisa menemukannya, dia malah kena omel Aliandra. Duh, benar-benar sial nasibnya itu. Punya daddy kok ya gitu banget sih, batin Nana kesal. Tak lama kemudian muncul Clarissa dari luar kelas. Gadis itu langsung mengambil tempat duduk di sebelah Nana. Clarissa membuka tasnya. Mengeluarkan buku dan juga pulpen dari dalamnya setelah menyapa Nana terlebih dahulu. Dan hanya dibalas deheman singkat oleh Nana. Beberapa saat kemudian El masuk ke dalam kelas. Seluruh suara yang sedari tadi berisik mengganggu langsung lenyap seketika. Clarissa menyenggol pelan lengan Nana di dekatnya. "Muka bos lo asem banget, Na. Dia lagi ada masalah ya?" tanyanya. Nana mengendikkan bahunya pelan. Ogah menatap El dan mengurusi masalahnya. Masalahnya sendiri sudah banyak dan dia tidak ingin menambahnya lagi. "Bos? Gue cuma asistennya kali." Clarissa tersenyum kecut. "Ya kan bisa dibilang bos elo, Na. Tuh liat! Mukanya ampun deh! Kok jadi serem gitu sih? Ada masalah kali dia ya!" cerocosnya. "Tau, gue bukan Maknya," ketus Nana. Clarissa berdecak. "Tapi kan lo asistennya, Na. Barangkali lo tau gitu dia kenapa!" Nana mendengus. Tidak menggubris perkataan Clarissa. Gadis itu bersiap mendengarkan pelajaran El. Nana mengernyit saat matanya bertemu dengan bola mata abu-abu El. Tatapan tajam pria itu menusuk matanya. Nana jadi takut sendiri melihat El yang seperti itu. Kenapa juga El tiba-tiba berekspresi seperti itu? Bukannya kemarin masih baik-baik saja? Meskipun agak menyebalkan sih. Nana menelan ludahnya kaku. Gadis itu memutuskan untuk menunduk menghindari tatapan El. Berpura-pura membaca bukunya. Sepanjang El mengajar, pria itu terus menatap Nana. Dan Nana malah terus menunduk. Pura-pura membaca dan mencatat. Takut untuk mendongak. Gadis itu pun akhirnya bisa mendesah lega saat jam kuliahnya berakhir. Nana curi-curi pandang pada El yang tengah merapikan buku-bukunya. Wajah pria itu sudah tidak seseram tadi. Clarissa menyenggol lengan Nana. "Lo bikin salah sama Mr Evans ya?" tanyanya berbisik. Nana menggeleng. "Nggak! Orang gue nggak ngapa-ngapain kok!" elaknya. Clarissa menyipitkan matanya. Menatap Nana curiga. Gadis itu mengamati ekpresi Nana yang terlihat gugup. "Beneran? Lo nggak bohong kan?" selidiknya. Nana mengetok kepala Clarissa dengan pulpennya. "Nggak percayaan banget, ih!" ujarnya sebal. Clarissa mengerucutkan bibirnya seraya mengusap-usap bekas kekejaman Nana di kepalanya. "Ya sorry, Na. Habisnya Mr Evans liatin lo kayak mau nelen lo idup-idup gitu. Kali aja lo bikin salah jadi dia marah sampe segitunya." Nana ganti melirik pada El bertepatan saat El juga menatapnya. Keduanya terdiam. Entah apa ini hanya perasaannya saja atau bagaimana. Nana melihat tatapan sedih dan... kecewa di mata El. Namun tak berapa lama kemudian pria itu memalingkan wajahnya. Bersamaan dengan dia mengucapkan salam pada seisi kelas. Nana memandangi punggung El yang mulai menjauh dari pandangannya. Kemudian hilang sepenuhnya saat dia berbelok keluar kelas. *** Clarissa menaruh mangkuk berisi mie ayam di meja yang ditempati Nana. Gadis itu langsung duduk dengan semangat dan menarik mangkuk itu lebih dekat dengannya. Menuang saos dan kecap sebanyak mungkin membuat Nana yang ada di depannya bergidik. "Gimana rasanya tuh. Warnanya sampe item gitu," celetuk Nana. Clarissa meringis. "Enak kok, Na. Lo mau nyoba?" tawarnya. Nana menggeleng cepat. Liatnya aja udah mual. Gimana mau nyoba? Clarissa terkikik melihat ekspresi ngeri Nana melihat mangkuk mie ayamnya. "Eh katanya nyokap lo hamil lagi ya, Na?" ujar Clarissa di sela-sela menikmati makanannya. Nana menggeleng pelan. Menyeruput capuccinonya dengan santai. "Nggak, kok. Kata siapa lo?" "Kata nyokap gue. Bokap lo sendiri yang bilang. Kata nyokap gue, bokap lo kayaknya seneng banget pas tau nyokap lo hamil lagi," ujar Clarissa. Nana terkikik.n"Tadinya iya. Nyokap gue nunjukin tanda-tanda orang hamil. Eh ternyata setelah diperiksa dia sakit maag," balasnya. Clarissa ikut terkikik. "Haha. Kasian banget bokap lo ya. Udah berharap banget tuh!" celetuknya. Nana mengangguk. "Tau si Daddy. Pengen nambah anak mulu. Padahal Mommy gue udah nolak. Malah Mommy nyuruh gue nikah aja biar bisa kasih cucu," ucap Nana sembari tertawa. Clarissa menepuk dahi Nana kencang. "Harusnya itu ya lo aminin ucapan nyokap lo! Biar lo bisa cepet kawin. Terus kasih cucu buat mereka! Ini malah diketawain! Durhaka lo!" cibir Clarissa. Nana nyengir. Memperlihatkan giginya yang cantik. "Kata Daddy gue nggak boleh nikah dulu." Clarissa mendengus. "Halah, itu mah biasa. Semua bapak juga pasti bilang gitu. Mereka itu sebenernya nggak mau kehilangan anak ceweknya." Nana mengendikkan bahunya. "Taulah, Clar. Gue juga nggak ada angan-angan mau nikah muda, kok. Kecuali yang nikahin gue..." kalimatnya terhenti. "Siapa?" tanya Clarissa penasaran karena Nana tidak melanjutkan ucapannya. Kecuali yang nikahin gue Mikael Anthonio Evans, batin Nana. "Kecuali yang nikahin gue Aliando." jawab Nana asal. Nana meringis karena dahinya disentil Clarissa dengan kencang. Nana bersungut-sungut memegangi dahinya yang terasa sakit. Sementara Clarissa tertawa renyah melihat muka manyun sahabatnya. "Jahat ih!" gerutu Nana. "Habisnya lo yang dibayangin artis mulu!" Nana terkikik. Sesaat kemudian gadis itu tersentak karena bahunya ditepuk oleh seseorang. Janu meringis pada Nana. Kemudian duduk di samping Clarissa. Berhadapan dengan Nana. "Ada Mbak asisten nih! Nganggur ya, Mbak?" godanya pada Nana. Nana mencembikkan bibirnya. Menatap sebal pada Janu. "Ngeledek?" ketusnya. Janu mengangguk. "Emang," jawabnya sambil tertawa. Nana mencubit lengan Janu dengan kencang. "Nyebelin!" ujarnya ngambek. Janu kembali menggoda Nana. Pemuda itu benar-benar jail. Dia suka sekali melihat Nana cemberut dan kesal. Apalagi Clarissa ikutan menimpali. Membuat Nana makin kesal. Tak mereka sadari jika saat ini ada orang yang sudah kebakaran jenggot. Mengepalkan tangannya emosi melihat keakraban mereka. Apalagi tangan Janu dengan lancangnya berani mencubit pipi Nana. Mengusap rambut panjangnya. El menggebrak meja kerjanya dengan kencang. Hingga membuat tablet yang dia gunakan untuk memata-matai Nana terjatuh dan menghantam lantai. Bunyi gadget yang pecah menjadi beberapa bagian itu begitu menyeramkan. Tapi lebih menyeramkan lagi ekspresi El saat ini. Dengan cepat pria itu mengambil ponselnya. Menekan panggilan cepat nomer 1 di ponselnya. Matanya menatap nyalang ponsel tak berdosa itu. Menunggu jawaban dari orang di seberang sana. "Hallo si-" "Ke ruangan saya sekarang!" ujar El membentak. "Saya masih di-" "Saya nggak mau tau! Ke ruangan saya sekarang atau nilai E!" ancamnya sebelum Nana sempat bicara. Kemudian El memutus sambungan teleponnya. Melempar ponselnya ke sofa. El mengusap wajahnya frustrasi. Menghadapi Nana selalu membuatnya emosi. Gadis itu benar-benar menyebalkan. Tidak bisa apa dia membuat dia tenang sedikit saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD