Jam kuliahnya sudah habis. Tapi Nana masih setia berdiri di depan ruang dosen. Entah sudah berapa lama gadis itu disana. Menunggu seseorang keluar dari ruangan itu. Matanya menatap ke bawah. Menunduk dalam. Nana terdiam melamun. Jemari indahnya saling bertautan. Tidak bisa dipungkiri kini dirinya sedang gugup.
Gadis itu tersentak kaget saat mendengar suara pintu ruang dosen terbuka. Buru-buru Nana mendongak. Mata biru cantiknya langsung bertatapan dengan sepasang mata abu-abu milik seorang pria di depannya.
Nana menahan nafasnya. Mengamati benar-benar wajah pria itu. Meskipun tadi sudah terlalu banyak dia amati. Sejak awal hingga akhir pelajaran, mata Nana hanya fokus menatap wajah pria itu. Sampai-sampai semua materi yang disampaikan dosennya itu tidak dia tangkap sama sekali. Nana bergerak maju perlahan mendekati sosok tampan itu.
"Uncle....," lirihnya.
"Uncle El," panggilnya lagi.
Pria itu terdiam. Tidak menyahut sama sekali perkataan Nana. Dia hanya memandang Nana datar. Tidak ada ekspresi sama sekali. Sementara mata Nana sudah berkaca-kaca. Jemarinya yang lentik terulur untuk menyentuh wajah pria itu. Hampir saja Nana menyentuh pipinya saat sebuah cekalan menghentikan maksudnya.
"Uncle... ini Nana!" ucap Nana sangat pelan.
"Maaf... saya nggak kenal kamu! Tolong minggir!" ucap pria itu tegas. Dia mendorong Nana ke samping agar bisa lewat karena tubuh gadis itu menghalangi jalannya.
"Uncle... ini Nana! Uncle lupa sama Nana?" Nana memegangi tangan pria itu dengan erat. Menahannya agar tidak pergi. Tapi pria itu buru-buru menepisnya.
"Tolong jaga sikap kamu! Saya dosen disini! Jadi tolong hormati saya!" ucap pria itu dingin.
Nana terdiam di tempatnya berdiri. Sementara pria itu entah kemana. Meninggalkan Nana yang masih berdiri termanggu di depan ruang dosen. Nana syok mendapat penolakan dari pria itu. Tatapan tajamnya, nada dinginnya? Benarkah dia Pangerannya? Pangeran yang biasanya memberinya senyuman hangat. Pangerannya yang selalu memeluknya dengan sayang.
Nana menatap kosong ke depan. Apa mungkin dia salah orang? Apa dia orang lain? Orang lain yang kebetulan bernama sama seperti pangerannya? Memangnya ada berapa banyak orang bernama Mikael Anthonio Evans di dunia ini?
Nana menggeleng cepat. Tidak mungkin dia salah mengenali pangeran tercintanya? Bertahun-tahun Nana menatap wajahnya di foto saat akan tertidur. Bagaimana bisa dia lupa? Nana bahkan sudah hafal di luar kepala bagaimana bentuk wajahnya, bagaimana senyumnya, cara bicaranya? Lantas kenapa sifat El sangat berbeda? Dia seperti tidak mengenal Nana.
***
Tiba di rumah, Nana segera berjalan masuk ke kamarnya. Tapi suara mommynya membuat langkah gadis itu terhenti.
"Nana?" Ella berlari kecil menghampiri Nana yang berdiri di depan tangga, "Astaga! Nana gapapa kan, Sayang?" ucap Ella cemas.
Nana menggeleng pelan. "Nana gapapa, Mom. Emang kenapa?"
Ella mendesah lega. "Mommy khawatir sama kamu, Nak. Sejak siang Mommy telfon tapi Nana nggak angkat. Mommy cemas. Mommy pikir terjadi sesuatu sama kamu!" ujarnya.
"Nana baik-baik aja kok, Mom. Mommy kenapa telfon Nana?"
"Kamu tadi siang nggak dateng ke pentasnya Leyla."
Nana menepuk dahinya cepat. "Astaga, Mom! Nana lupa! Terus tadi siang gimana? Leyla nggak ngambek kan?"
Ella menggeleng pelan. Wanita itu berdecak. "Nana pelupa ih! Ya udah hampir ngambek dia. Untungnya Noah dateng. Tau deh tumben anak itu mau pas Mommy suruh kesana!"
Nana meringis. Seharian setelah kejadian itu, Nana memilih duduk diam di dalam kantin. Memesan jus stroberi yang entah sudah berapa gelas dia habiskan tadi.
"Leyla sekarang dimana, Mom?" tanya Nana.
"Lagi dikamar kamu tuh! Katanya mau nungguin kamu pulang. Mau marahin kamu!" ucap Ella agak geli di bagian terakhirnya.
Nana terkikik. Lalu mengangguk. "Ya udah. Nana ke kamar dulu ya, Mom," pamitnya.
Kemudian gadis itu pun buru-buru masuk ke kamarnya. Nana tersenyum geli melihat Leyla sedang tertidur pulas di atas ranjangnya. Sambil memeluk boneka teddy bear miliknya yang dibelikan Aliandra saat dia masih kecil yang sama dengan boneka Mommynya.
Nana menarik selimut untuk menutupi tubuh Leyla yang mungil di atas tempat tidurnya yang berukuran besar. Mengecup kening bocah itu dengan lembut. Kemudian Nana memutuskan untuk mandi terlebih dahulu dan berganti baju. Sebelum nanti Leyla bangun dan mengomelinya dengan ekspresi menggemaskannya.
Gadis itu hampir terlonjak kaget saat dia baru keluar dari kamar mandi dan Noah sudah berdiri di depannya. Gadis itu menggeram marah.
"Noah...!" serunya pelan.
Noah terkekeh. Kemudian beranjak ke arah tempat tidur. Merebahkan diri di samping Leyla yang masih terlelap dengan cantiknya. Noah memeluk tubuh mungil adik bungsunya. Memberikan kehangatan pada Leyla. Sesekali Noah mencium kepala Leyla dengan pelan.
"Noah... jangan diganggu! Biar tidur anak itu! Kasian..." seru Nana pada Noah.
Noah mendengus. "Kasian Leyla apa kakak? Bilang aja Kakak takut dimarahin Leyla kan?" cibirnya.
Nana berdecak. Kemudian mengacuhkan ucapan Noah. Gadis itu menuju ke meja riasnya. Mengeringkan rambutnya yang basah karena habis keramas. Tak lama kemudian, suara rengekan Leyla terdengar. Nana menoleh. Mendapati Noah sedang iseng mengambil boneka yang tadi dipeluk oleh Leyla.
Nana beranjak mendekat ke arah ranjang. Mengambil tempat duduk di samping Leyla yang kini sudah terbangun sempurna. Nana merapikan rambut Leyla yang berantakan. Tanpa aba-aba, gadis itu mencubit p****t Noah yang sedang merangkul tubuh Leyla. Hingga bocah itu merengek melepaskan diri karena tidak mau dipeluk Noah.
Leyla memeluk tubuh Nana. Menenggelamkan wajahnya di d**a Nana. Noah berdecak melihat Nana yang kini memeluk adik bungsunya. "Leyla sama abang Noah aja!" bujuk Noah.
Leyla menggeleng. Bocah itu kembali merengek saat lagi-lagi Noah menjahilinya dengan memainkan rambut lurusnya.
"Abang keluar!" usir Leyla pada Noah.
"Ih... Leyla jahat banget sama Abang! Mentang-mentang udah ada Kakak Nana, Abang diusir-usir. Tadi aja siapa coba yang duluan dateng ke pentas Leyla sebelum Daddy?" ucap Noah dengan cemberut.
Leyla terdiam. Benar juga yang dibilang Noah. Bocah itu melirik Nana sambil cemberut. "Kakak Nana keluar!" serunya.
"Lah? Kok Kakak Nana yang keluar? Kan ini kamarnya Kakak Nana?" ucap Nana kaget.
Noah tertawa geli melihat wajah menggemaskan adiknya. "Iya bener. Kan ini kamarnya Kakak Nana! Harusnya Leyla yang keluar!" ledek Noah.
Leyla merengek-rengek. Bocah itu mulai menangis. Nana buru-buru memeluknya agar bocah itu berhenti menangis. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar Nana terbuka. Ella masuk ke dalam dengan tergesa-gesa. "Anak Mommy nangis, ya?" serunya tiba-tiba.
Noah langsung memasang cengirannya, "Nah kan, Maknya dateng!" celetuknya asal yang langsung dipelototi oleh Ella. Wanita itu berjalan dengan cepat ke arah Noah. Menjewer telinga Noah hingga anak itu mengaduh minta ampun.
"Ah... sakit, Mom. Ampun...! Ampun Mommy!"
Nana dan Leyla tertawa terkekeh melihat Noah yang belingsatan berusaha menghindari kelincahan tangan mommynya itu.
"Terus Mom! Jewer Abang Noah sampe kapok, Mom!" teriak Leyla menyemangati.
Noah melotot pada Leyla. Bocah itu pun langsung berlindung di pelukan Nana sambil terus tertawa.
"Leyla! Tolong Abang Noah! Leyla, tolong!" pinta Noah menggapai-gapai tubuh Leyla.
Bocah itu menjerit-jerit histeris menghindar dari Noah dan semakin merangsek ke dalam pelukan Nana yang tertawa terpingkal melihat tingkah kedua adiknya.
***
Seorang pria berdiri kaku di depan sebuah bingkai besar foto pernikahan di hadapannya. Matanya yang tajam menatap lurus pada pigura tersebut. Wajahnya terlihat dingin dan bengis penuh emosi. Kemudian tiba-tiba dia tertawa terbahak sendiri. Seperti orang gila. Begitu bersemangatnya dia tertawa, sampai-sampai dia memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tertawa.
Hingga lama kemudian tawanya perlahan berhenti. Pria itu menatap kosong foto pernikahannya dengan mantan istrinya, Sarah. Wanita yang dia nikahi lima tahun lalu. Yang dengan teganya menghianatinya. Disaat dia sudah mencintainya sepenuh hati, tapi apa yang dia dapatkan.
Bergerak maju perlahan menuju nakas, pria itu mengambil sebuah vas bunga. Kemudian tanpa ragu-ragu, dilemparkannya vas itu ke arah bingkai foto yang sedari tadi dia pandangi. Bunyi pertemuan kedua benda berbeda kepadatan itu membuat bunyi nyaring. Juga rontokan beling yang jatuh mengenai lantai cukup menyakitkan telinga. Namun pria itu seolah tidak terpengaruh sama sekali. Dia tetap bergeming di tempatnya berdiri.
Pandangannya lurus ke arah bingkai tak beraturan karena kacanya sudah berhamburan itu. Matanya tak henti memandang wajah cantik yang sudah membuatnya patah hati. Bukan patah hati saja. Wanita itu sudah membunuh hatinya. Melenyapkan segala perasaan yang dimiliki pria malang itu.
Membuatnya hidup layaknya di neraka. Setiap hari dia habiskan di club. Demi melupakan penderitaannya. Membuatnya tidak lagi percaya akan cinta.
Sesaar kemudian dia berbalik. Beranjak menjauh dari pigura itu. Berjalan perlahan keluar kamar. Memijit pelipisnya pelan, pria itu mengambil kunci mobil di atas meja ruang tamu. Sepertinya malam ini dia harus kembali menghabiskan waktunya di club. Dia yakin minuman pasti bisa membuatnya lebih tenang.
***
Clarissa W. Atmaja : Na. Temenin gue ke StarClub yuk!
Mata Nana mendelik membaca chat dari Clarissa. Gadis itu menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Clarissa. Bisa-bisanya dia mengajaknya ke Club?
Me : Gila lo, Clar! Bisa digantung bokap gue kalo sampe gue berani nginjekin kaki disana!
Nana bergidik ngeri. Jangankan menginjakkan kaki disana. Berpikiran kesana pun tidak pernah terlintas sekalipun di dalam otaknya. Bisa dikubur hidup-hidup oleh Daddynya nanti.
Clarissa W. Atmaja : Please, Na. Lo cuma anterin sampe tempat parkir aja! Gue lagi buntutin Ferdian! Dan di rumah gue lagi nggak ada mobil.
Clarissa W. Atmaja : Na, pleaseee... kali ini aja!
Me : Ogah! Gue mau belajar!
Clarissa W. Atmaja : Ya elah, Na. Belajar terus sih. Kan lo udah pinter. Sekali-sekali nggak usah belajar, gitu!
Clarissa W. Atmaja : Na...
Clarissa W. Atmaja : Nana cantik... pujaan hatiku... my love forever...
Me : Nggak!
Clarissa W. Atmaja : Ih, si Nana mah gitu. Sekali doang, Na. Pleaseee....
Clarissa W. Atmaja : Ntar kalo lo diomelin Papa Aliandra, biar gue bantu ngomong!
Me : Heh, gila! Sejak kapan Daddy gue jadi bokap lo!
Clarissa W. Atmaja : Hehe... ya kali ntar bokap lo mau kawin lagi gitu, Na. Ntar jodohin sama nyokap gue aja!
Me : Sarap!
Clarissa W. Atmaja : Nana... please lah, Na. Gue ngambek nih!
Me : Bodo!
Clarissa W. Atmaja : Nana jahat! Hiks..
Nana melempar ponselnya ke atas ranjang. Sementara gadis itu kembali fokus membaca modul miliknya. Tak lama, ponselnya berdering. Buru-buru Nana mengambil ponselnya. Duduk di tepian ranjang. Mengangkat telepon dari Clarissa.
"Nana, please dong. Kali ini aja, Na. Gue janji habis ini gue bakal turutin semua yang lo mau! Sumpah!"
Nana berdecak. Memang gadis tengik ini tidak akan pernah berhenti sebelum keinginannya tercapai.
"Ini udah malem, Clar. Besok aja lah. Kan lo masih bisa ketemu Ferdian di kampus."
"Tapi gue mau mergokin sendiri Ferdian jalan sama cewek. Jadi gue bisa langsung nolak dia pas dia nembak gue!"
"Lah emang dia mau nembak lo? Pede banget, Neng?"
"Aaa... Nana mah gitu. Ayolah Na! Bentar doang kok!"
Nana mendesah lirih. Akhirnya gadis itu pun menyetujui permintaan Clarissa untuk menemaninya ke Club.
***
Nana menyapukan pandangannya di sekitar halaman StarClub. Cukup ramai juga tempat itu ternyata. Baru kali ini Nana melihat tempat itu.
"Nana, gue turun ya! Elo cukup di dalam mobil. Inget! Jangan kemana-mana. Tunggu gue balik. Kalo ada orang ngetuk kaca minta dibuka, jangan dibukain! Dan jangan hilang, oke? Ntar gue bingung gimana ngomong ke Papa kalo lo ilang!" pesan Clarissa panjang lebar pada Nana sebelum turun dari mobil.
Nana tersenyum kecut. Mengabaikan perkataan Clarissa. Dan lebih memilih memainkan ponselnya. Hampir satu jam berlalu, tapi Clarissa tidak juga kembali. Nana pun menjadi gelisah. Dia takut sahabatnya kenapa-kenapa.
Nana sendiri sudah berpikiran buruk sejak beberapa menit yang lalu gadis itu melihat dua laki-laki yang keluar dari sana dengan sempoyongan. Dia yakin mereka sedang mabuk. Karena itu, Nana bersembunyi di dalam mobil.
Gadis itu benar-benar ketakutan. Di tidak pernah melihat hal-hal seperti itu sebelumnya. Nana memutuskan turun dari mobil karena lama dia menunggu tapi Clarissa belum turun juga. Nana berjalan perlahan menuju pintu masuk club. Dari depan pintu saja, suara musik dari dalam club terdengar kencang. Nana jadi membatin jika nanti dia masuk kesana mungkin gendang telinganya akan pecah.
Di depan pintu, dua orang pria bertubuh besar menghalangi jalan Nana. "Mau kemana, Dek?" tanya salah seorang penjaga yang berkepala botak.
"Ma-mau c-cari temen saya, Pak." Jawab Nana terbata.
"Temen Adek dimana?" tanya pria satunya.
"Ada d-di dalem, Pak."
Pria itu meneliti Nana dari atas ke bawah. Merasa heran melihat penampilan Nana yang tidak wajar untuk pergi ke club. Bagaimana tidak, rambut Nana yang panjang itu dicepol berantakan. Gadis itu memakai baju tidur bergambar spongebob berwarna kuning cerah. Belum lagi sendal boneka yang dia pakai.
"Adek salah kali. Barangkali teman Adek masuk ke sebelah. Arena bermain anak-anak itu disana, Dek. Deretan tempat ini yang paling pojok!" tunjuk pria itu pada Nana.
Nana melongo. Menatap dua pria itu. Memangnya dia seperti anak-anak apa? Dia sudah duapuluh tahun. Dia tinggi dan cantik. Apa dua pria ini sakit jiwa? Menyuruhnya ke arena bermain anak-anak?
Hey to the low... ini namanya merendahkan harga diri, batin Nana. Baru saja Nana ingin membantah perkatan dua pria tadi, tapi lidahnya mendadak kelu saat melihat seseorang yang dikenalnya keluar dari pintu club dengan sempoyongan dibantu oleh seorang wanita berbaju minim.
Detak jantung Nana serasa berhenti saat melihat El memeluk wanita di sampingnya dengan posesif. Sesekali mencium bibirnya. Nana membeku. Sebelum dua pria penjaga club tadi mengagetkannya, "Dek... woy! Dek... ngapain masih disini?"
Nana tersentak. Gadis itu pun tersadar dan langsung beranjak menjauh dari sana dengan mata berkaca-kaca. Diikuti pandangan bingung dari kedua pria tadi. Nana segera menuju ke tempat parkir. Dia ingin kembali ke mobilnya saja. Menunggu Clarissa di dalam mobil. Tapi langkahnya terhenti karena sesuatu hal yang menarik perhatiannya.
Gadis itu berjalan mendekati sebuah mobil sport hitam yang terparkir tidak jauh dari sana. Nana mendekap mulutnya dengan kedua tangannya. Saat melihat adegan layak sensor di hadapannya.
Seorang pria dan wanita tengah b******u di jok belakang mobil hitam tersebut. Nana mendelik tak percaya apalagi saat mengenali pria dan wanita itu adalah El dan teman wanitanya tadi.
Nana menangis dalam diam melihat bagaimana El dan wanita itu dengan tanpa ragu saling mencium. Dia tidak percaya Uncle El yang dipujanya berkelakuan seperti itu. Apa yang terjadi pada El sebenarnya? Apa yang tidak Nana ketahui tentang pangerannya itu selama bertahun-tahun berpisah.
Sebuah langkah besar terdengar dari arah belakang Nana. Seorang pria bertubuh besar dan tinggi berjalan tergesa menuju dua orang yang sedang mabuk itu. Pria itu menarik kasar sang wanita hingga wanita itu terjungkal ke belakang. Jatuh mengenai aspal. Pria itu mencengkeram rambut wanita itu kuat.
"Urusan kita masih belum selesai! Lo nggak bisa main sama dia sekarang!" bentaknya pada si wanita. Kemudian, pria tadi menyeret tubuh sang wanita kembali masuk ke dalam club. Nana menangis terisak. Perlahan, dia berjalan mendekati mobil hitam dimana El dan wanita tadi bermesraan.
Dilihatnya kini El dengan baju yang berantakan tengah berbaring tak sadarkan diri di jok belakang mobil. Nana terlihat melihat keadaan El. Gadis itu menyentuh tangan El yang terasa hangat. Masih sama seperti dulu. Nana mencoba menggoyangkannya pelan. Memanggil-manggil nama pria itu.
"Uncle.... Uncle sadar. Ini Nana. Uncle El..." ujarnya.
Terdengar geraman halus dari bibir pria itu, "Sarah... Sarah..."
Nana makin mendekatinya. Mengusap pipi El yang basah terkena air mata yang keluar dari kedua matanya saat pria itu memanggil nama istrinya.
"Sarah... bisa-bisanya kamu begitu, Sar! Jadi kayak gini balasan kamu?" gumam El.
Nana mengelap kedua pipi El dengan lembut. Mencoba menyadarkan pria itu. Tiba-tiba mata El yang tadinya tertutup kini terbuka lebar. "Sarah? Sarah... it is you, Sweetheart?" ujar El lirih.
"Uncle-" belum sempat Nana mengatakan sesuatu, El keburu menariknya. Mendekap Nana erat. Lalu membalikkan posisi mereka menjadi menindih gadis itu.
"I miss you so much, Sarah." Ucap El sebelum mencium bibir Nana dengan rakus.