Chapter 1 : First Love

1726 Words
Nana duduk melamun sendirian di kamarnya. Suara ponsel yang terus-menerus berdering tidak membuat gadis itu tersadar. Gadis itu termenung, bingung, hatinya tengah gundah. Dulu saat meninggalkan rumah, dia memang berniat untuk melupakan El. Namun dia sama sekali tidak menyangka jika ternyata melupakan El akan semudah ini. Dengan cintanya yang begitu besar buat El, sejak bertahun-tahun lalu, sama sekali dia tidak membayangkan cinta yang dia pendam begitu dalam akan berakhir secepat itu. Nana pernah berharap suatu hari nanti dapat membuang El dari hatinya. Dia memang menginginkan untuk tidak lagi mencintai pria itu. Dan saat hari itu datang, Nana dilanda kegalauan. Karena kini saat melihat El, dia sudah tidak merasakan apa-apa lagi. *** "Nana, nanti sekalian kamu antar Noah sambil berangkat ke kampus, ya! Daddy ada rapat pagi ini." Aliandra melahap roti lapis buatan Ella dengan terburu-buru. Kemudian meneguk kopinya hingga setengah. Nana hanya mengacungkan ibu jarinya tanda setuju. Sedangkan Aliandra buru-buru beranjak dari tempat duduknya. Menciumi pipi anaknya satu persatu. Tentu saja Leyla yang mendapat bagian ciuman terbanyak dari Daddynya. Noah buru-buru memprotes saat Aliandra akan meninggalkan mereka. "Daddy apaan coba? Noah kan biasa bawa motor sendiri, Dad!" kesalnya. "Daddy nggak terima bantahan, Noah. Sayang, aku berangkat dulu ya!" Pria itu mencium pipi istrinya. "Hati-hati, Dad. Jangan lupa nanti siang ke sekolah Leyla!" ucap Ella. Aliandra mengangguk sekilas kemudian melambai pada keluarganya. Bibir Noah mengerucut. Dia memang sudah tidak diperbolehkan membawa motor lagi oleh Daddynya. Dia sedang dihukum karena membuat masalah lagi di sekolah. "Hati-hati, Dad!" Si kecil Leyla melambai pada Aliandra, memberikan kissbye pada Daddynya itu. Aliandra tersenyum dan membalas kissbye dari Leyla. Kemudian berjalan dengan cepat menuju pintu. "Nana, nanti siang ikut liat pentasnya Leyla kan?" tanya Ella pada Nana. "Pasti dong, Mom. Buat Princess Leyla apa sih yang nggak?" goda Nana pada Leyla. Bocah itu terkikik menutup mulutnya dengan tangan. Terlihat malu-malu dan begitu menggemaskan. "Kalo gitu nanti Nana mampir ya ke toko roti punya teman Mommy. Yang Mommy pernah tunjukin ke kamu waktu itu. Buat ambil pesenan kue Mommy." "Tumben Mommy nggak bikin kue sendiri? Biasanya Mommy paling rajin bikin kue?" "Mommy banyak kerjaan hari ini, Sayang. Jadi mommy pesen di toko teman Mommy aja. Buat dikasih ke gurunya Leyla." Nana mengangguk. Kemudian meneguk tehnya. Gadis itu pun beranjak dari duduknya. "Nana berangkat ya, Mom. Ayo Boy kita berangkat!" ajaknya pada Noah. Noah terlihat ogah-ogahan. Anak itu berdiri dengan malas. Nana mencium pipi Mommynya. Lalu mencium pipi Leyla lama. Hingga bocah itu merengek. "Nana... ini masih pagi. Jangan bikin Adik kamu nangis!" kata Ella gemas. Nana tertawa. Kemudian mencium pipi Leyla sekali lagi. Membuat bocah itu cemberut. Noah mendatangi Ella Mencium punggung tangannya dengan malas. Kemudian mencium pipinya sekilas. "Berangkat, Mom," pamitnya. "Hati-hati sayang!" pesan Ella pada putranya. Noah mengangguk. Kemudian mendekati Leyla. Meminta bocah itu mencium pipi kiri dan kanannya. Noah melambai pada Ella dan Leyla. Kemudian beranjak mengekori Nana keluar rumah. "Mommy, Abang Noah ngambek ya?" tanya Leyla pada Mommynya. Mommynya mengendikkan bahu sekilas. Dia tersenyum pada putri kecilnya itu. "Biasanya kalo Leyla cium, Abang Noah langsung senyum." Mommynya tertawa. "Berarti Leyla ciumnya kurang. Coba deh, nanti ciumnya lebih banyak. Pasti Abang Noah langsung senyum," ujarnya. Leyla langsung tersenyum senang. "Iya deh. Ntar Leyla cium Abang yang baaannnyaaakk banget. Biar Abang Noah senyum terus kayak Leyla," kata bocah itu antusias. Mommynya lagi-lagi tertawa karena Leyla. Anak ini benar-benar bisa membuat orang senang melihatnya. Untungnya anak terakhirnya ini begitu penurut dan manis. Dia tidak bisa membayangkan jika Leyla jadi seperti Noah. Entah bagaimana nasibnya. "Ayo Princess, kita berangkat. Keburu telat ke sekolah!" ajaknya pada Leyla. Bocah itu pun langsung bersemangat turun dari kursi dan mengekori Ella berjalan keluar rumah setelah mengambil tasnya terlebih dahulu. *** Noah mencium punggung tangan Nana begitu mobil yang mereka kendarai berhenti di depan gerbang sekolahnya. Anak itu melepas sabuk pengaman. Kemudian membuka pintu mobil. "Noah, Princess Kodok kamu tuh!" seru Nana saat Noah akan keluar dari mobil. Noah mendengus pelan. Anak itu memutar bola matanya malas. Nana tertawa melihatnya. "Heh, ga boleh gitu sama calon istri!" goda Nana. "Kakak!" seru Noah kesal. Tawa Nana meledak. Diikuti bibir Noah yang sudah sepanjang tol Jagorawi. Nana keluar dari mobil. Melambai pada Cassie yang lewat di depannya. "Hai adik ipar, baru berangkat?" sapanya. Gadis itu terlihat malu-malu pada Nana. Cassie sebenarnya sangat cantik. Hanya saja dandanannya begitu culun. Pantas saja Noah sering mengerjainya. "E-em i-iya, Kak," jawab Cassie terbata. "Selamat belajar, calon istrinya Noah. Semangat ya! Kan satu kelas sama tunangannya," goda Nana. Cassie tersipu malu. Gadis itu menunduk dalam. "Du-duluan kak," pamitnya. Nana tertawa kemudian mengangguk. Menggeleng pelan. Gadis itu mendesah pelan melihat sosok Cassie yang berjalan memasuki sekolahnya. Seminggu yang lalu, Noah dan Cassie resmi bertunangan. Tentu saja acaranya tertutup. Hanya keluarga inti saja yang tau. Nana tidak habis mengerti kenapa daddynya bisa mengambil keputusan se-ekstrim itu untuk Noah. Tapi entahlah, seaneh apapun rencana daddynya, Nana yakin daddynya itu pasti melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya. Nana pun akhirnya kembali masuk ke mobilnya. Bergegas memacu kendaraannya menuju kampusnya. Jam pertama hari ini bersama Miss Clara. Dosen paling galak di kampusnya. Namanya sama seperti Nana. Hanya saja menurut teman-temannya, penampakan wanita itu berbeda seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengannya. Wanita itu tidak seberapa cantik. Hanya saja wajahnya tertutup make up tebal dan menyala. Hingga rasanya Nana bisa melihatnya di tempat gelap. Belum lagi sepatu hak tingginya yang tingginya sudah seperti monas, gincu merah menyala, rambut panjangnya digerai. Kadang sok ditambah jepitan bunga yang membuat Nana geli. Karena jepitannya mirip punya Leyla di rumah. Begitu sampai di kampus, Nana sudah disambut oleh Clarissa yang berwajah semanis gula. Gadis itu tersenyum sumringah melihat kedatangan Nana. "Lo baru ditembak Ferdian ya, Clar? Manis banget senyumnya!" tegur Nana pada gadis itu. Clarissa terkekeh. "Ya elah elo, Na. Baru tau senyum gue manis?" ucapnya genit seraya mengedipkan sebelah matanya pada Nana. Nana bergidik geli. Tanpa berniat meladeni perkataan sahabatnya, gadis itu menaruh tasnya di meja. Lalu duduk di kursi samping Clarissa. "Kok tumben sih Miss Clara belum dateng. Biasanya tuh orang rajin banget," tanya Nana. "Lah, elo belum tau ya? Kan Miss Clara ngambil cuti beberapa bulan. Dan kita hari ini udah mulai diajar sama dosen pengganti." Nana hanya berdehem menanggapi ucapan Clarissa. "Eh ,Na. Lo tau nggak?" "Nggak." Clarissa berdecak. "Ish... si Nana! Orang belum ngomong juga!" omelnya. "Nggak usah ngomong! Gue nggak berniat dengerin. Omongan lo isinya gosip semua!" tandas Nana membuat Clarissa langsung cemberut. "Ya elah, Na. Elo sih gitu... ngomongnya asal nyeplos aja! Mana bener lagi. Ngeselin!" Dalam hati Nana tertawa melihat wajah Clarissa yang berubah masam. "Makanya belajar ngomong yang bener. Elo kebanyakan gosipnya. Jadi gue males dengerin omongan Lo, kan!" "Yang ini gue serius, Nana! Sumpah kali ini gue ga gosip. Gue berani jamin ini omongan gue seribu persen bener deh! Suwer!" ujar Clarissa. Nana memutar bola matanya malas. "Oh ya? Emang ada apaan?" balasnya malas. "Dosen penggantinya kembaran lo itu, beuh... cakep bener. Orangnya ganteng, tinggi, gagah, cool. Pokoknya bikin kita ngiler deh kalo ketemu dia." Tak lama gadis itu meringis karena tanpa aba-aba sebuah tangan menjitak kepalanya. "Nana!" seru Carissa marah. "Itu balesan buat lo! Enak aja ngatain gue kembarannya Miss Clara! Monyet Ragunan juga tau kali, kalo gue lebih segala-galanya dari dosen genit itu!" Nana tak terima karena disamakan dengan Miss Clara. Clarissa nyengir. Berbalik merayu Nana, "Jangan marah dong, Na. Kan itu cuma perumpamaan doang. Hehe..." Nana mendengus lalu membuka modul miliknya. "Udah sana lo! Jangan ganggu gue! Gue mau belajar. Biar bisa lulus lebih cepet! Enek gue lama-lama sekelas sama lo!" Clarissa memajukan bibirnya mendengar ucapan Nana. "Sombong, lo! Gue sumpahin lo kena hukum dosen ntar!" "Let's see..." balas Nana cuek. Tak berapa lama kemudian, suasana kelas Nana berubah hening. Diiringi suara sepatu melangkah masuk ke dalam kelas. "Na... na..." ucap Clarissa lirih. Nana terdiam. Matanya masih sibuk menjelajah modul di atas meja. Tidak menyadari kondisi kelas yang mendadak hening tanpa suara sedikitpun. "Selamat pagi, semua! Mulai hari ini saya akan mengajar disini menggantikan Miss Clara yang sedang cuti." Sebuah suara maskulin memecah keheningan. Nana mendongak. Menatap pada sang pemilik suara. Namun gagal karena tertutupi oleh kepala temannya yang lebih tinggi darinya. Gadis itu ganti memutar matanya ke seluruh penjuru kelas. Nana kebingungan melihat teman satu kelasnya terbengong menatap sosok yang berdiri di depan kelasnya. Mereka menatap dosen pengganti Miss Clara tanpa kedip. Dengan mulut terbuka lebar. Nana bergidik melihat wajah mengerikan mereka. Dia membatin, kenapa dia sampai bisa memiliki teman-teman seperti mereka. "Oke, class. Perkenalkan nama saya-" Sang dosen pengganti itu menuliskan namanya di papan tulis. "Kalian bisa memanggil saya-" Kembali dia menuliskan nama panggilanya di papan tulis. "Dan saya akan mengajar hingga beberapa bulan ke depan sampai jatah cuti Miss Clara habis. Dan beliau bisa kembali mengajar." "Baik. Sekarang kita mulai pelajaran. Tolong buka modul milik kalian Bab 11!" ucap sang dosen. Nana langsung memutar duduknya kembali ke depan saat mendengar pelajaran akan segera dimulai. Gadis itu ganti fokus pada materi di modulnya. "Materi ini sepertinya sudah dijelaskan oleh Miss Clara, right?" Beberapa siswa mengangguk tapi masih dengan memasang wajah bodohnya. Nana menggeleng pelan. Sebenarnya apa yang membuat teman-temannya seperti itu? "Saya minta kamu untuk maju ke depan!" suruh sang dosen pada gadis yang duduk tepat di depan Nana tadi. "Saya, Sir?" "Iya kamu. Siapa nama kamu?" "Hanna." "Oke Hanna, silahkan maju! Bantu saya untuk menjelaskan materi pada teman-teman kamu!" suruh dosen itu pada Hanna. Gadis itu pun beranjak dari duduknya. Maju ke depan kelas. Bertepatan dengan itu, Nana mendongak. Niatnya untuk melihat Hanna yang sedang berdiri di depan kelas tiba-tiba terhenti. Pandangannya yang tadi tertutupi kehadiran Hanna di depannya kini terlihat jelas. Gadis itu termanggu. Nana diam membatu. Melihat sosok pria yang kini berdiri di depan kelasnya. Di samping Hanna yang sedang menuliskan entah apa di papan tulis. Mata Nana fokus pada satu titik. Satu obyek yang mampu membuat wajahnya pias. Dia disana, berdiri di depan Nana. Dengan wajah yang masih sama seperti bertahun-tahun lalu. Tampan. Hanya saja kini wajahnya nampak sedikit lebih dewasa. Badannya tinggi dan gagah. Makin berisi dibanding beberapa tahun lalu. Nana menatapnya tanpa kedip. Dan saat tanpa sengaja mata pria itu menangkap tatapannya, keduanya sama-sama membatu. Lama keduanya saling bertatapan. Hingga akhirnya pria itu lebih dahulu memutus kontak mata, mengalihkan pandangan kembali pada teman Nana yang sedang menjelaskan materi di depan kelas. Dada Nana berdebar keras. hatinya berdesir-desir. Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Tapi pesona pria itu masih mampu membuatnya kembali merasa seperti pertama kali jatuh hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD