Suasana lobby hotel malam itu benar-benar ramai. Tamu-tamu mulai berdatangan untuk merayakan hari pernikahan El dengan Sarah. Diantara kemeriahan pesta juga kegembiraan yang tersebar, seorang gadis berusia limabelas tahun memandang nanar pasangan pengantin yang saling pandang dengan mata berbinar.
Gadis itu meneteskan air matanya melihat kebahagiaan pria yang sangat dia cintai. Yang kini sudah memiliki jalan hidupnya sendiri. Meskipun masih belasan tahun, tapi dia juga wanita yang bisa jatuh hati, tidak bisa luput dari yang namanya cinta. Biarpun cintanya tidak layak.
Katakan dia gila karena jatuh cinta pada seorang pria dewasa yang usianya hampir dua kali usianya. Tapi jika Yang Maha Kuasa sudah memberikan anugerah itu padanya, dia pun tidak sanggup menolak.
Gadis itu menunduk dalam-dalam. Hatinya hancur sudah. Harapannya pupus sudah. Dia tau jika cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun keyakinannya, suatu hari nanti cintanya akan terbalas.
Malam itu, adalah malam terakhir Nana melihat wajah El. Karena setelahnya gadis itu mendapat kabar jika El pindah ke Amerika. Entah di Amerika yang mana. Yang pasti, pria itu bersama istrinya, Sarah meninggalkan Sydney setelah hari pernikahan mereka.
Nana mendorong kuat tubuh El yang menindih tubuhnya. Sementara pria itu masih terus menciuminya. Nana berusaha menjauhkan wajahnya dari El.
Nana memukul d**a El berkali-kali hingga pria itu terbatuk. Nana menendang tubuh El dengan kencang. Dan pria itu pun terguling ke bawah. Cepat-cepat Nana keluar dari mobil dan berlari menuju ke mobilnya sendiri.
***
"Nana!"
Nana terlonjak kaget saat tiba-tiba Clarissa ada di belakangnya. Nana mengelus dadanya pelan. Melotot pada Clarissa yang hampir saja membuat jantungnya copot.
"Dari mana lo? Gue nyariin tau!" omel Clarissa.
Nana memberengut. Menatap kesal Clarisa. "Lo yang darimana? Gue nunggu lo hampir dua jam! Dan ini udah tengah malem. Kalo sampe Daddy tau gue nggak ada di kamar-"
Nana menghela nafas pendek. Menggeleng lemah. "Entah apa jadinya gue sekarang," lirihnya.
Clarissa mencembikkan bibirnya. "Ya sorry, gue kan juga susah nyari Ferdian di dalem. Rame banget git," kesalnya.
"Terus ketemu?" Clarissa menggeleng.
"Lah kok bisa? Emang lo yakin Ferdian kesini?" tanya Nana.
"Katanya sih, gitu."
"Katanya?"
Clarissa kembali mengangguk. "Kata siapa?" tanya Nana.
"Helena."
Nana menepuk dahinya pelan. Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Astaga, Clar. Lo kan tau kalo Helen itu tukang gosip. Masih lo percaya aja, sih!" geram Nana.
Clarissa mengendikkan bahunya. "Ya bisa aja kan dia nggak bohong pas bilang Ferdian lagi kesini sama cewek."
Nana berdecak kesal. "Terus sekarang gimana? Nggak ketemu kan? Berarti apa? Helen itu bohong!" seru Nana jengkel.
Clarissa mendengus pelan. "Iya kali," ucapnya singkat.
Nana melotot. "Astaga! Ternyata malem ini gue nekat keluar rumah cuma buat nemenin elo ke Club nggak jelas gini!" omel Nana.
Clarisa mengerucutkan bibirnya. "Ya sorry Na," ucapnya penuh sesal.
"Ya udah sekarang pulang! Dan inget nggak ada ya acara kayak gini lagi! Lo tau, gue tadi pas mau masuk nyusulin elo, gue dikira mau ke arena bermain sama itu penjaga yang di depan. Gila nggak, tuh!" oceh Nana.
Gadis itu masuk ke dalam mobilnya diikuti Clarissa. Nana mulai menghidupkan mesin mobil. Kemudian menjalankannya keluar dari tempat parkir club.
Clarissa langsung menyemburkan tawanya. Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal. Apalagi melihat wajah kesal Nana saat bercerita. Clarissa memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tertawa.
Nana melirik jengkel Clarissa yang masih tidak henti menertawakannya. "Terus aja ketawa! Puas-puasin deh. Ntar gue tabrakin ini mobil baru tau rasa, lo!" ancamnya.
Clarissa sontak berhenti tertawa. Gadis itu menatap Nana sambil cemberut. "Ya ampun, kejam banget lo Na! Gue belum kawin kali! Masa udah lo ajak bunuh diri aja!"
"Salah sendiri ngeselin!" sentak Nana.
"Sorry, deh. Eh ngomong-ngomong lo tadi darimana, sih? Kok kayak ketakutan gitu?" tanya Clarissa.
Nana terdiam. Gadis itu mencengkeram erat setir mobil karena gugup. Jangan sampai Clarisa tau.
"Eng- elo gue turunin depan komplek aja, ya. Sorry gue nggak bisa masuk. Udah malem banget. Gue takut Daddy tau gue nggak di rumah," ujarnya mengalihkan perhatian.
Untungnya Clarissa menyetujuinya. Nana menghela nafas lega saat gadis itu tidak berniat bertanya lebih lanjut. Sekilas Nana kembali pada El. Bagaimana nasib pria itu selanjutnya? Apakah ada orang yang mau mengantarnya pulang. pria itu kan sedang mabuk berat. Jadi tidak mungkin kalau dia bisa menyetir sendiri. Mengingat El ada rasa kesal dalam hatinya. Seenaknya El menganggapnya Sarah. Sampai menciuminya membabi buta seperti itu.
Secinta apapun dia pada El, tetap saja Nana tidak rela dianggap sebagai orang lain. Apalagi hanya sebagai pelampiasan. Tapi tunggu, tadi El bilang jangan tinggalkan aku lagi. Apa mungkin Sarah meninggalkannya? Meninggalkan kemana? Nana kini jadi penasaran. Besok dia harus mencari tau tentang semua itu.
***
Nana tiba di kampus dengan wajah lesu. Karena sedang tidak enak hati, Nana memutuskan untuk pergi ke kantin. Dalam pikirannya berputar kejadian semalam dimana El menciumnya.
Nana memegangi bibirnya. Gadis itu bahkan maih bisa merasakan bibir El di bibirnya. Sumpah demi apa seumur hidupnya Nana tidak pernah bermimpi dicium olehnya.
Bohong kalau semalam Nana bilang tidak menyukainya. Dadanya berdebar kencang saat El menciumnya. Tapi Nana tidak mau El menciumnya karena menganggapnya Sarah.
Nana terdiam sejenak. Dia teringat niatnya semalam untuk menyelidiki El. Gadis itu pun beranjak dari duduknya. Bergegas pergi ke ruang dosen. Nana menuju ke ruangan El. Ruangan pria itu terpisah dengan dosen lainnya. Dengan kata lain, El mendapat ruangan sendiri.
Nana celingukan di depan pintu. Melihat-lihat situasi cukup amankah jika dia masuk ke dalamnya. Jangan sampai ada yang tau. Karena dia bisa kena masalah. Perlahan Nana melangkah masuk. Di depan meja kerja El, terpampang foto El bersama Sarah. Nana ingat itu foto mereka sekitar lima tahun lalu. Di hari pernikahan mereka.
Nana beranjak membuka laci meja kerja El. Memeriksa barangkali ada petunjuk mengenai pria itu dan juga Sarah.
"Sudah menemukan apa yang kamu cari, Princess?"
Nana membalikkan tubuhnya. Dan gadis itu membeku seketika. Nana tidak berani bergerak. Karena di hadapannya berdiri sesosok makhluk yang lebih mengerikan dari monster.
Nana membatu di tempatnya berdiri. Gadis itu tidak bergerak sama sekali. Matanya terpaku pada sosok El yang menatapnya tajam. Tangannya bersindekap di d**a. Memandang Nana dari atas ke bawah.
Nana yang diperhatikan pun merasa risih. Gadis itu membuang wajahnya ke arah lain. Nana mendadak gugup saat El mendekatinya. Pria itu menarik kursi kerjanya yang terletak tak jauh dari sana mendekat ke arahnya. Dengan santainya El duduk di hadapan Nana yang berdiri kaku.
El menatapnya lekat. "Apa seperti ini cara Aliandra Adrian mendidik putri kecilnya? Masuk tanpa ijin ke ruang dosen dan mengobrak-abrik laci kerjanya. Mencari entah apa?" sindir El.
Mata Nana membulat. Jadi El mengingatnya? Gadis itu senang bukan kepalang. Nana beranjak mendekati El.
"Uncle..."
"Apa yang kamu cari?" ucap El dingin. Menghentikan Nana yang akan mendekat padanya. Nana menelan ludahnya kelu.
"Uncle, maaf..."
Pandangan El makin tajam menusuknya. "Apa yang ingin kamu tau? Hidup saya tidak ada yang menarik untuk kamu ketahui. Bukankah semalam kamu sudah membuktikannya?" ucap El lirih.
Nana terdiam. Menatap El yang juga sedang menatapnya. Nana menggeleng pelan. "Maaf, bukan maksud aku-"
"Jika kamu tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa kamu, jauhi saya!" sela El.
Nana menatap El tak percaya. Apa El baru saja mengancamnya? Sungguh sekarang Nana tidak lagi bisa mengenali pria di hadapannya ini.
Gadis itu menggeleng pelan. "Uncle..." lirihnya.
El tiba-tiba berdiri. Memalingkan wajahnya ke samping. Berjalan menuju pintu dan membukanya dengan kasar. "Keluar!"
Nana terdiam, menatap El takut.
"Keluar!" kali ini El berucap kencang. Membuat Nana langsung berjalan menuju pintu. El langsung menutup pintu dengan kencang. Membuat Nana terkejut bukan main. Gadis itu termanggu di depan ruangan El.
Dia tidak menyangka. Sungguh tidak pernah ada di dalam bayangannya El akan berubah se-drastis ini. El yang sekarang begitu mengerikan. Dia bahkan tidak menyapanya. El berubah. Sangat. El yang sekarang sudah seperti monster.
Nana pun memutuskan untuk menuju ke kelasnya. Karena sebentar lagi dia ada kuliah. Tanpa Nana ketahui, di dalam sana El sedang duduk melamun di meja kerjanya. Memikirkan entah apa.
***
Nana membaringkan tubuhnya perlahan di atas ranjangnya. Gadis itu mendesah lelah. Nana memejamkan matanya. Seluruh tubuhnya rasanya remuk. Seharian di kampus. Setelah itu ke toko buku untuk membelikan buku pesanan Noah.
Tak lama pintu kamarnya terbuka. Noah masuk tanpa permisi. Kemudian ikut merebahkan tubuhnya di samping Nana. Nana menoleh sekilas. Lalu kembali menutup matanya.
"Kak..." panggil Noah.
"Hm" Jawab Nana tanpa membuka mata.
"Mau nanya dong."
"Bayar!"
Noah berdecak. "Ish... kakak gitu, sih. Aku serius, tau!" ujarnya kesal.
Nana mendesah pelan. Membuka matanya malas. Gadis itu membalik tubuhnya hingga menghadap pada adik laki-lakinya itu.
"Nanya apaan?" ucap Nana.
"Jangan matematika lagi. Kakak kuliah jurusan sastra inggris. Jadi nggak ngerti cara ngitung sin cos dan temen-temennya!"
"Buruan, No. Kakak ngantuk ini!" lanjutnya.
Noah berdecak. Nana ini seperti mommynya saja. Orang belum bicara, dia sudah nyerocos kemana-mana. Anak itu terdiam. Noah terlihat ragu sebenarnya. Hanya saja rasa penasaran sudah mendominasi pikirannya sejak tadi. Dan dia tidak tau harus bertanya pada siapa lagi jika bukan pada Nana.
"Soal-"
"Dih... dibilangin jangan tanya pelajaran!"
"Entar dulu, Kak. Orang belum selesai ngomong juga!" ujar Noah kesal.
Lama-lama Nana sama menyebalkannya dengan Mommynya. "Nyebelin, deh. Untung gue sayang." Gerutu Noah. Kalau tidak mungkin Noah akan menukar-tambahkan kakaknya dengan Iphone terbaru.
Nana menahan tawanya mendengar gerutuan Noah. Gadis itu sedikit terhibur melihat wajah kesal adiknya itu. Noah menghela nafas panjang sebelum mulai berbicara.
"Kakak tau nggak, cinta itu gimana?" tanyanya pelan.
Nana membulatkan matanya. Gadis itu memandangi Noah lekat-lekat. Membuat yang dipandangi merasa jengah. Noah segera memalingkan wajahnya. Nana memeriksa kening Noah. Menyamakan suhu tubuh Noah dengannya. Noah cepat-cepat menepis tangan Nana. Anak itu cemberut pada kakaknya.
"Kakak apaan sih!" kesalnya.
Nana tertawa. "Ya abis kamu, sih. Nggak ada angin nggak ada ujan. Tiba-tiba tanya masalah cinta. Kamu pasti lagi jatuh cinta. Iya kan?" godanya.
Noah menunduk. Pipinya bersemu. Nana terkikik. Adiknya yang biasa bandel, jail, dan seringnya memasang wajah songongnya itu. Kini terlihat malu-malu seperti anak perempuan.
Nana menepuk-nepuk kepala Noah pelan. Gadis itu tersenyum tipis pada Noah. "Jatuh cinta itu nggak ada salahnya, Boy. Itu wajar. Kamu nggak perlu malu," ucapnya lembut.
Noah menoleh pada Nana. Memandang kakak perempuannya itu dengan senyuman tipis.
"Emangnya kamu lagi jatuh cinta sama siapa sih?" tanya Nana menyelidik.
Noah menggeleng. "Apaan. Orang cuma tanya doang, kok!" ucapnya salah tingkah.
Nana terkekeh geli. "Iya iya. Kakak kan cuma tanya, Boy!" ucapnya.
Noah mendesah, "Noah masih belum pantes buat jatuh cinta, Kak. Noah kan baru empatbelas tahun," ujarnya lirih.
"Emang kalo mau cinta sama orang harus nunggu umur berapa? Kakak juga pas seusia kamu udah jatuh cinta, No!" ucap Nana.
Noah menatap kakaknya tak percaya, "Iya?"
Nana mengangguk. "Sama siapa?" tanya Noah.
Nana tersenyum tipis. "Ada deh. Dia cinta pertama dan terakhirya kakak," jawabnya.
Noah balas tersenyum. "Noah kira, kakak cinta sesama jenis," celetuknya.
Nana mendelik. Gadis itu menjitak kepala adiknya. "Enak aja! Kakak normal, tau!" sungutnya.
Noah terbahak. "Kan Noah nggak tau, Kak. Abisnya kakak nggak pernah pacaran, sih!" ledeknya.
"Bukan nggak pernah pacaran, Noah. Tapi nggak boleh sama Daddy!" ucap Nana kesal.
"Emang ada cowok yang kakak taksir?"
Nana terdiam. Mana ada pria yang pernah dia sukai selain El. Tidak ada. Hanya El yang memenuhi hatinya. Sejak dulu hingga kini. Nana tidak bisa menyukai orang lain lagi.
Karena bagi Nana, El adalah poros dunianya.
Nana mengusap kepala Noah yang berada di sampingnya. Gadis itu tersenyum tipis pada Noah.
"Cinta itu anugerah, Noah! Jangan pernah takut untuk jatuh cinta. Meski kamu harus merasakan sakit karenanya."
Sama seperti dirinya yang rela merasakan sakit karena mencintai seorang pria beristri. Memendam perasaannya seorang diri. Dan berharap rasa cintanya tidak akan pernah pudar sampai kapanpun meskipun cintanya adalah kesalahan.
***
Nana buru-buru memalingkan wajahnya saat matanya bertemu pandang dengan bola mata abu-abu milik seorang pria yang sedang mengajar di kelasnya saat itu. Gadis itu berpura-pura mencatat penjelasan dosennya itu.
Saat merasa pria itu tak lagi menatapnya, Nana kembali memandanginya. Meneliti penampilan dosen yang berdiri di depan kelasnya. Memberi pelajaran dengan suara tegas dan lantangnya.
Sejak awal pelajaran, Nana terus saja memperhatikannya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia tidak menyadari jika tindakannya itu membuat jengah sang obyek. Pria itu tau jika diperhatikan oleh Nana diam-diam.
Namun dia berusaha tidak menggubrisnya. Sama seperti saat dia tidak menggubris tatapan liar para wanita saat melihatnya. Namun ini berbeda. Dia tidak bisa, tidak sanggup mengacuhkan tatapan gadis itu. Karena pria itu merasa tatapan itu berbeda dari yang lain.
Yang justru tertarik dengan peristiwa curi pandang itu justru dirinya sendiri. Hal itu cukup mengacaukan konsentrasinya. Sehingga El merasa lelah. Pria itu menghentikan pelajarannya. Kebetulan waktu mengajarnya juga tinggal sepuluh menit lagi.
El mundur menuju meja dosen. Merapikan buku-bukunya. Kemudian pria itu berjalan maju ke depan meja Nana. Menatap Nana sekilas sembari berbicara pelan. "Miss Raina, ke ruangan saya setelah ini!" ujarnya sebelum berpamitan keluar kelas.
Nana termanggu di tempat duduknya. Gadis itu kaget bukan kepalang saat diminta El ikut ke ruangannya. Nana tersentak saat Clarissa menyenggol lengannya. Gadis itu menatap Nana curiga. "Ada urusan apa Mr Evans minta lo ke ruangannya?"
Nana mengendikkan bahunya. "Tau! Gue aja bingung kenapa disuruh ikut."
Mata Clarissa menyipit seolah tak percaya dengan jawaban Nana. "Lo nggak ada apa-apa sama Mr Evans kan?" tuduhnya.
Kemudian gadis itu mengaduh saat Nana memukul kepalanya dengan buku. Nana menatap Clarissa garang. Sedang Clarissa langsung nyengir.
"Sembarangan lo!" sergah Nana.
"Hehe... kirain Na. Kan gue cuma nanya gitu doang sih!" balasnya dengan bibir manyun.
Nana mendengus. Tidak menggubrisnya lebih lanjut. Gadis itu memilih membereskan barang-barangnya. Nana melirik Clarissa yang masih manyun.
"Gue ke ruangan Mr Evans ya! Sekalian pulang. Lo ngga usah nungguin gue!" ujarnya kemudian meninggalkan Clarissa yang tersenyum kecut karena tidak dihiraukan olehnya.
***
"Masuk!"
Nana mendorong pintu kayu di depannya setelah mendapat ijin dari si pemilik ruangan. Dengan sedikit ragu, gadis itu berjalan menghampiri meja kerja El. Pria itu terlihat sibuk mengerjakan sesuatu.
"Mr Evans..." lirihnya.
"Duduk!" sahut El dengan cepat.
Nana mengangguk kaku. Kemudian menuruti kata-kata El. Gadis itu duduk di kursi tepat di depan meja kerja El. Dan langsung berhadapan dengannya. Nana sedikit menahan nafasnya saat matanya bertemu dengan mata tajam El.
"Miss Raina, bisa kamu jelaskan! Kenapa sepanjang kelas saya, kamu tidak fokus? Dan terus menatap saya? Apa ada yang salah dengan saya?" ujar El.
Nana menggeleng kaku. Dia sedikit takut melihat tatapan tajam El juga nada bicaranya yang dingin dan tegas. Gadis itu menunduk. "Nggak, Uncle. Bukan maksud Nana kayak gitu," balasnya lirih.
"Ini kampus, Miss Raina! Tolong hormati saya!" tegurnya.
Nana mendongak. Matanya menatap sendu pria itu. Mencari-cari sedikit saja rasa sayang yang dulu sering El berikan padanya. Gadis itu tidak tau apa yang terjadi dengan El sehingga dia bisa berubah seperti itu.
"Uncle bener-bener nggak inget sama aku? Dulu kita sangat dekat. Sekarang kenapa Uncle seolah nggak kenal sama aku?"
El menghela nafas panjang. Pria itu membuang pandangannya ke samping. Enggan melihat wajah memelas Nana. Takut dia akan mudah luluh karena kedua mata birunya. Berusaha menekan perasaannya, El kembali berucap.
"Dulu itu sudah menjadi bagian dari masa lalu. Sekarang saya cuma dosen kamu. Nggak lebih, mengerti?" balasnya.
Nana menggeleng lirih. Tidak menyangka waktu lima tahun sanggup merubah pribadi seorang Mikhael Anthonio Evans yang dulu begitu menyayanginya.
"Uncle..."
"Kamu boleh keluar!" seru El dingin. Pria itu kembali menunduk untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Nana menatap nanar pria itu. Sungguh dia tidak lagi mengenali El yang sekarang. Dia tidak tau apa salahnya sampai El bersikap seperti itu padanya. Dengan langkah gontai, Nana berjalan meninggalkan ruangan El.
***
Nana yang sedang fokus membaca n****+ sambil menikmati jus stroberi kesukaannya di kantin mendadak dikejutkan oleh sebuah tepukan di pundaknya oleh seseorang.
"Hai, Na!"
Nana menoleh dan kaget saat melihat seorang pemuda di dekatnya. "Mike? Hai, lama nggak ketemu."
Mike tersenyum tipis. "Lagi ngapain?" tanyanya.
"Lagi baca aja," jawab Nana sambil menunjukkan novelnya.
Mike mengangguk. "Oh iya, Mike. Gue minta maaf kalo sikap Daddy gue waktu itu nggak baik sama lo. Gue bener-bener minta maaf," ujar Nana penuh sesal.
Mike tersenyum tipis. "It's ok, Na. Gue gapapa, kok," balasnya.
"Sorry banget ya, Mike. Gue nggak enak banget sama lo!"
"Gapapa, Na. Nggak usah terlalu dipikirin!"
Nana tersenyum. "Thank's, Mike. Lo baik banget," puji Nana.
Mike hanya tersenyum. "Oh iya, lo ada waktu nggak ntar? Jalan yuk! Gue bosen di rumah. Banyak tugas. Pusing gue, Na. Pengen jalan."
Nana terdiam. Sebenarnya dia tidak ingin kemana-mana. Nana tidak berniat membuat masalah lagi dengan Aliandra. Mengingat Daddynya sedang dalam mood buruk. Bisa-bisa Nana kena marah lagi. Tapi dia juga merasa tidak enak pada Mike untuk menolak. Jadi gadis itu pun mengangguk. Mengiyakan ajakan jalan Mike.
Sore itu, Nana dan Mike nonton bioskop. Mereka berdua menonton film kartun yang sangat ingin ditonton Nana sejak minggu lalu. Tapi karena jadwal kuliahnya yang begitu penuh, gadis itu pun tidak sempat menontonnya.
Hari sudah malam saat Nana dan Mike keluar dari gedung bioskop. Tadinya Nana sudah akan langsung pulang. Tapi Mike menahannya.
Pemuda itu mengajak Nana untuk makan terlebih dahulu. Dan lagi-lagi Nana tidak mampu menolak kebaikan Mike.
"Lo pesenin gue ya, Mike! Samain aja sama lo! Gue ke toilet bentar," pesan Nana pada Mike.
Pemuda itu mengangguk. Kemudian Nana pun berlalu ke toilet. Meninggalkan Mike yang diam-diam mengeluarkan sebotol kecil serbuk dari kantongnya. Pemuda itu menyeringai. Di otaknya sudah tersusun rencana jahat untuk Nana. Dia harus mendapatkan gadis itu.
Bagaimana pun caranya. Hampir setengah jam berlalu. Nana pun sudah kembali dari toilet. Makanannya sudah tersaji di meja.
"Lama banget, Na. Gue sampe lumutan tau. Untung nggak gue sikat semua ini makanan!" ujar Mike.
Nana mengerucutkan bibirnya, "Jahat banget lo, Mike. Mau ngabisin makanan gue."
Mike tertawa. "Ya udah buruan makan!" suruhnya.
Nana pun makan dengan lahap. Gadis itu tidak menaruh curiga sedikitpun pada makanan yang dimakannya. Hingga saat setelah makanan itu habis, Mike mengajaknya pulang.
Nana merasa kepalanya pusing. Jalannya tertatih. Nana tidak kuat lagi berjalan. Akhirnya gadis itu terjatuh pingsan. Mike yang ada di sebelahya langsung menggendong Nana menuju ke mobilnya.
Belum sempat mike memasukkan Nana ke dalam mobil, sebuah tangan kekar menahan tangannya.
"Berikan dia pada saya!" Sebuah suara berat menghentikan aktifitasnya.
Mike terkejut melihat si pemilik suara. "Mr Evans?" ucapnya kaget.
"Berikan dia!" ucap El dengan tegas.
Mike mengernyit. "Kenapa saya harus memberikan teman saya pada anda, Sir?" ucapnya ketus.
"Jangan banyak bicara! Kamu kira saya nggak tau maksud jahat kamu pada dia!"
Mike mendengus mengejek. "Memangnya apa yang anda tau?" sinisnya.
"Jangan paksa saya untuk nekat, Mike Yuriswan! Apa kamu mau saya bikin kamu mendekam di penjara seperti ayah kamu yang koruptor itu?" bentak El mulai tidak sabar.
Mike membatu. Skakmat. Kartunya sudah dipegang oleh El. Selama ini tidak ada seorang pun yang tau jika ayahnya di penjara karena kasus korupsi. Karena sejak ayahnya dipenjara, Mike memutuskan untuk pindah keluat kota dan mengganti namanya menjadi Mike Baskoro, mengikuti nama ibunya.
Dengan tidak sabar, El merebut paksa Nana dari tangan Mike. El menggendongnya. Pria itu menatap tajam Mike seolah ingin sekali membunuhnya lewat tatapannya itu.
"Saya peringatkan. Jangan pernah lagi kamu sentuh dia! Jangan dekati dia lagi. Kalau kamu tidak ingin kepala dan badanmu terpisah satu sama lain!" ancam El. Pria itu buru-buru membawa Nana masuk ke mobilnya. Membiarkan si pecundang itu membatu di tempatnya berdiri.