“Tunggu! Kalian semua salah faham! Kami tidak melakukan, seperti apa yang kalian semua fikirkan!” Seru Tabah.
Ia menjauh dari atas badan Clara, lalu manarik tangan gadis itu untuk berdiri. Digesernya Clara, agar berdiri di belakang tubuhnya.
Tubuh Clara bergetar takut dengan apa yang akan menimpanya. Baru saja ia terlepas dari niat jahat orang suruhan Tabah dan sekarang ia harus berhadapan dengan masalah, yang jauh lebih serius.
Dan ini semua dikarenakan pria, seperti Tabah yang tidak berani menentang rencana pertunangan mereka secara langsung.
“Halah! Kalian hanya berkelit saja! Dan seandainya kami tidak datang tepat waktu, kalian pastinya sudah melakukana zina di rumah ini dan mengotori kampung kami!” teriak salah seorang yang datang untuk menangkap basah keduanya.
Pada akhirnnya, berdasarkan kesepakatan dari semua yang datang menggerebek Tabah dan Clara. Mereka berdua harus dibawa ke balai desa untuk mendapatkan hukuman.
Walaupun, Clara membenci Tabah, tetapi karena situasi yang dihadapinya pada saat ini membuat dirinya menggenggam jemari pria itu dengan erat.
Tabah yang tidak suka jemarinya digenggam clara melayangkan lirikan tajam ke arah gadis itu. Dengan pelan, karena tidak mau memancing perhatian dari mereka yang mengerubungi keduanya Tabah melepaskan genggaman jemari Clara.
Dalam hatinya Clara mengutuk Tabah yang telah berlaku kasar. Seandainya saja Tabah tidak bertindak bodoh dan ceroboh. Namun, semuanya sudah terlanjur.
Sekarang hanya bisa menunggu dengan jantung yang berdebar saja hukuman apakah yang akan diberikan kepada mereka berdua. Ia merasa lega, ketika mendengar mereka berdua tidak akan diarak keliling kampung dengan telanjang.
Mereka semua keluar dari rumah tersebut dengan berjalan kaki. Clara merasakan sakit, karena sendal yang dipakainya terlepas ketika ia berada di dalam rumah tersebut.
“Maukah kau berbaik hati, dengan meminjamkan sepatumu untukku!” Bisik Clara.
Tabah menatap ke bawah ke arah kaki dan Clara dan barulah ia menyadari, kalau gadis itu tidak memakai alas kaki.
“Bukannya tidak mau meminjamkan hanya saja kakiku juga tidak tahan terkena kerikil. Tahanlah, sebentar lagi kita juga akan sampai,” sahut Tabah dengan entengnya.
Tak berapa lama kemudian, mereka semua sampai di sebuah bangunan yang terletak di tempat terbuka. Dan, sepertinya itulah bangunan yang akan menjadi tempat mereka diadili.
Tabah dan Clara duduk di kursi yang ada di tengah panggung. Keduanya mendapatkan sorakan dari mereka yang memang sengaja datang untuk melihat keduanya mendapatkan hukuman.
Clara menundukkan kepala ia merasa malu dan air matanya pun mengalir dengan deras. Ia ketakutan dan marah, semua itu bercampur menjadi satu.
Mengapa ia mendapatkan masalah bersama dengan pria yang bersama dengan pria yang dingin dan tidak punya hati, seperti Tabah.
Bukankah, seharusnya pria itu merasa bersalah dan meminta maaf, karena sudah membuatnya berada dalam situasi yang memalukan dan menegangkan begini? Namun, apa yang terjadi pria itu justru bersikap tidak peduli dengan perasaannya.
Tampak lima orang pria dengan pakaian yang rapi dan, sepertinya mereka merupakan orang yang dihormati di kampung tersebut. Berjalan menaiki panggung, kemudian duduk di belakang kursi Tabah dan Clara.
Tiba-tiba saja, keriuhan di sekitar tempat tersebut menjadi hening. Terdengar suara, melalui pengeras suara yang mengatakan, kalau mereka akan memberikan hukuman kepada dua orang pendatang, yang sudah berlaku tidak sopan di kampung mereka.
Jemari Clara yang berada di atas pahanya saling bertautan, dengan gemetar di tubuhnya yang tidak berhenti. Ia bahkan tidak berani melirik Tabah, apalagi melihat ke depan di mana kerumunan massa menonton mereka.
Pria itu melanjutkan kembali pengumumannya dengan mengatakan, kalau dua orang yang sekarang ini duduk di dekat mereka semua, akan dinikahkan pada malam itu juga.
Sontak saja Tabah dan Clara menjadi terkejut. Keduanya langsung mengangkat kepala mereka dan kompak berseru. “Apa! Kami tidak mungkin menikah!”
Namuan, keputusan sudah diambil dan tidak bisa diganggu gugat. Pernikahan dilakukan demi menjaga kampung tersebut, agar tidak terkena bala.
Clara menggelengkan kepalanya dengan panik. Ia lalu berteriak histeris, “Tolong, jangan nikahkan kami! Kami tidak melakukan apapun juga. Biarkan kami pergi dari kampung ini!”
Terdengar suara yang menyoraki Clara dan mereka ramai berteriak, setelah ketahuan baru menangis dan minta maaf. Dasar pezina!
Terdengar nada suara bariton yang memerintahkan kepada semua yang hadir untuk diam. Dan begitu mendengar hal itu, suasana yang tadinya riuh menjadi hening kembali.
Dua orang pria berjalan mendekati meja Tabah dan clara, kemudian mereka duduk di hadapan keduanya.
Salah seorang dari pria itu memperkenalkan dirinya sebagai penghulu, sementara satunya sebagai wali hakim untuk menikahkan mereka berdua.
“Bisakah hal ini ditunda? Kami tidak memiliki cincin dan bahkan saya tidak membawa mahar untuk calon istri saya,” ucap Tabah mencoba untuk mengulur waktu.
Dengan tegas pria yang berdiri di samping keduanya, sambil memegang mikrophone mengatakan tidak bisa. Dan jangan coba untuk menawar, karena mereka sudah mendapatkan hukuman yang ringan.
Tabah menahan amarahnya dalam hati. Ia juga menyesalkan keputusannya menyembunyikan Clara di kampung ini. Seharusnya ia dapat mengurung Clara di apartemennya yang mewah.
Beberapa saat kemudian, pelaksanaan pernikahan antara Clara dan Tabah pun tidak dapat dielakkan.
Dan Tabah dengan lancar mengucapkan ijab qobul. Sampai terdengar suara yang menyatakan, kalau pernikahan keduanya sah.
Clara mendongak menatap netra Tabah, begitu ijab qabul di antara mereka berdua selesai dilaksanakan. Dapat dilihatnya, kalau mata itu menyorotkan amarah dan kebencian yang dalam.
Setelah akad nikah tersebut acara pun bubar. Tabah dan Clara dipersilakan untuk kembali ke tempat mereka tadi.
Langsung saja Clara dan Tabah meninggalkan tempat tersebut. Sepanjang perjalanan pulang tidak ada yang membuka suara.
Clara berjalan dengan terpincang, karena kakinya yang sakit terkena batu, karena tidak semua jalan yang mereka lalui di aspal.
Dalam hati Tabah berfikir, kalau pernikahannya dengan Clara tidaklah sah, sehingga ia tidak memiliki keterikatan apapun juga dengan Clara.
Tanpa terasa, setelah beberapa menit berjalan kaki keduanya pun sampai juga di rumah yang disewa Tabah.
Clara masuk ke rumah itu hanya untuk mengambil ponselnya saja, begitupula dengan Tabah. Ia juga mengambil ponsel dan kunci mobil yang tertinggal di meja yang ada dalam rumah tersebut.
“Aku hanya akan mengantarkanmu di pinggir jalan raya, kau bisa pulang dengan naik taksi atau apalah aku tidak peduli!” ucap Tabah.
Clara yang sudah lelah dan hanya ingin istirahat di rumahnya. Langsung menatap Tabah dengan sorot mata marah.
“Apakah kamu takut, kalau kedua orang tuaku mengetahui bahwa kamulah yang sudah membuatku menghilang? Dan apakah kau tahu, kalau penjahat yang kau sewa tidak membiarkanku untuk mengambil dompetku terlebih dahulu!” sahut Clara.
Tabah tersenyum sinis ke arah Clara. Ia lalu keluar dari rumah tersebut dan disusul oleh Clara yang berjalan tepat di belakangnya.
Keduanya kemudian, masuk mobil Tabah dan setelah mereka berdua memasang sabuk pengaman Tabah menjalankan mobilnya meninggalkan rumah tersebut.
Kelelahan yang dirasakan Clara membuat ia tertidur dan melupakan ancaman Tabah yang aan menurunkannya di pinggir jalan.
Melihat Clara yang tidur dengan nyenyaknya Tabah menggerutu kesal. ‘Enak sekali dia tidur, sementara aku menyetir!’
Tabah mengerem mendadak, sehingga membuat Clara bangun dari tidurnya dengan terkejut. Ia memandang Tabah dengan mata yang masih mengantuk.
“Mengapa berhenti mendadak? Apakah ada sesuatu yang terjadi?” Tanya Clara.
Tabah hanya diam saja dan menjalankan kembali mobilnya menuju jalan utama. Selama perjalanan selanjutnya Clara tidak berani memejamkan mata, ia merasa, kalau apa yang dilakukan Tabah tadi adalah caranya untuk membangunkannya.
Beberapa jam kemudian, Tabah kembali menghentikan mobil dan melihat ke arah Clara. “Silakan turun! Aku sudah berbaik hati dengan menurunkanmu di tempat yang ramai. Dan kurasa uang ini cukup untukmu sampai rumah, bahkan lebih!”