“Kau hanya becanda saja, bukan? Bagaimana mungkin, kau tega meninggalkan seorang wanita di pinggir jalan, seperti ini?” Clara menatap Tabah tidak percaya.
Bukannya menjawab perkataan Clara, Tabah justru menjulurkan tangannya ke arah pegangan pintu sisi Clara dan mempersilakan kepadanya untuk keluar.
Dengan perasaan terhina dan takut Clara pun menerima uang yang diletakkan Tabah di atas dashboard mobil. Ia kemudian keluar dari mobil itu dan melangkah dengan takut di pinggir jalan.
Beruntungnya ia diturunkan Tabah di depan minimarket yang buka 24 jam dan ia langsung saja berjalan ke teras mini market tersebut, lalu masuk ke dalam.
Ia berjalan menuju rak yang menjual air mineral dan juga roti. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya Clara berjalan menuju kasir dan melakukan p********n.
Selesai membayar Clara bertanya kepada penjaga kasir alamat tempat ini. Kasir itu pun mengatakan, kalau dirinya berada di luar kota. Setelah mengucapkan terima kasih, Clara pun keluar dari mini market tersebut, lalu duduk di kursi yang ada di teras.
Bibir Clara yang kering, karena rasa haus yang dirasakannya dengan cepat Clara membuka tutup botol itu, lalu menenggak isinya. Kemudian, ia mengunyah roti yang ia beli untuk mengganjal perutnya yang mulai terasa lapar.
Ia kemudian menyalakan ponselnya dan membuka aplikasi layanan taksi online. Semoga saja ada mobil yang bisa disewanya, karena ia tidak mengetahui di mana stasiun bis dan juga ia takut, kalau berdiri di pinggir jalan sendirian.
‘Alhamdulillah! Ada juga taksi yang bisa membawaku pulang ke rumah dan semoga saja aku bisa melupakan kenangan pahit yang menimpaku beberapa jam yang lalu,’ batin Clara.
Clara lanjut memakan rotinya, sambil menunggu taksi yang dipesannya datang. Melului sudut mata Clara melihat ada seorang pria dengan jaket kulit, yang sesekali melirik ke arahnya.
Pria itu kemudian duduk tidak jauh dari tempat Clara. Dengan tatapan yang terarah kepada Clara membuatnya menjadi takut.
‘Ya, Tuhan! Jangan lagi aku bertemu dengan orang jahat. Cukup sudah apa yang menimpaku beberapa jam lalu,’ batin Clara. Ia berusaha menyembunyikan raut wajah takut.
Pria itu bangkit dari duduknya berjalan menghampiri meja Clara. Dan kemudian, pria itu berkata, “Permisi, ijinkan saya bergabung!”
Ia bahkan tidak menunggu persetujuan dari Clara langsung saja duduk di kursi samping Clara.
Keringat dingin jatuh membasahi wajah Clara, sekalipun udara malam itu begitu dingin ditambah dengan Clara yang tidak mengenakan jaket.
Namun, secara tak terduga sebuah suara dengan nada bariton mengejutkan mereka semua. “Apakah kau sudah lama menungguku?”
Clara langsung saja mendongak dan menatap tidak percaya kepada Tabah yang sudah berdiri tepat di depan mejanya. Rupanya, saking takut ia sampai tidak memperhatikan ketika ada sebuah mobil yang berhenti di parkiran.
Senyum terkembang di bibir Clara dengan perasaan yang campur aduk antara senang, sekaligus marah kepada Tabah.
Dengan cepat ia bangkit dari duduknya menghampiri Tabah, kemudian bersama-sama mereka menuju mobil Tabah.
“Bagaimana dengan taksi yang sudah kupesan?” Tanya Clara, begitu mereka berdua sudah duduk di dalam mobil pria itu.
Tabah melirik Clara sekilas dengan dingin ia berkata, “Kita tunggu taksi itu datang nanti aku yang menghampiri sopir taksi itu.”
Keduanya kemudian, duduk diam saja di dalam mobil sampai pada akhirnya taksi yang dipesan Clara datang.
Tabah turun dari mobilnya menghampiri taksi tersebut, dan Clara melihat pintu kaca mobil diturunkan. Tampak Tabah dan sopir taksi itu berbicara, kemudian Tabah mengeluarkan dompet dari saku celananya.
Ia mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah, lalu menyerahkannya kepada sopir taksi itu. Setelahnya Tabah berjalan kembali menuju mobil, lalu masuk dan duduk di balik kemudi.
“Aku lupa, ini uang yang kau berikan kepadaku tadi! Karena sekarang aku tidak memerlukannya kembali untuk membayar ongkos taksi, kukembalikan kepadamu! Aku meminjam uangmu 50.000, begitu tiba di rumah nanti aku akan menggantinya,” ucap Clara.
Tabah memandang uang yang disodorkan Clara, tetapi ia tidak mau mengambilnya. Ia menjalankan kembali mobil meninggalkan parkiran minimarket tersebut.
Clara meletakkan uang itu di dashboard mobil, sambil menghela napas. Ia menutup mulutnya tidak mau mengajak Tabah untuk berbicara lagi.
Tabah pun memang tidak mau membuka suaranya ia memutar musik dengan volume sedang, untuk mengusir kesunyian selama mengemudi.
Setelah beberapa jam lama tidak ada yang bersuara, Clara akhirnya tidak tahan juga untuk tidak bertanya.”
“Apa yang membuatmu memutar balik dan kembali mendatangiku? Apakah mendadak hati nuranimu mendapatkan teguran, karena meninggalkan seorang gadis di tengah malam sendirian?” Tanya Clara.
Tabah melihat Clara sekilas dengan mata yang menyorot tajam. Ia berkata, “Aku melakukannya, karena merasa kasian saja tidak lebih! Jangan berfikir aku peduli kepadamu!”
Clara mendengus mendengarnya. “Tentu saja aku tidak akan melakukannya!” Ia lalu menyenderkan punggungnya pada sandaran jok mobil. Namun, ia tidak mau memejamkan mata, yang bisa membuat Tabah marah kembali.
Dibukanya ponselnya dan ia baru menyadari ada banyak pesan dan panggilan tidak terjawab dari kedua orang tuanya. Begitupun, dengan beberapa orang sahabatnya di kampus.
Clara mengetikkan pesan ke nomor kontak Ayahnya, tetapi kemudian, ia urung mengirim. Pesan itu ia hapus dan ponselnya pun ia matikan.
Bukannya ia tidak ingin mengirimkan kabar kepada kedua orang tua dan teman-temannya. Hanya saja ia sedang tidak ingin menjawab banyak pertanyaan. Ia masih lelah secara fisik dan mentalnya.
“Kenapa kau tidak jadi mengirim pesan? Bukankah kau hendak mengadukanku kepada kedua orang tuamu!” ucap Tabah.
Clara mengembuskan napas dengan kasar, mengapa Tabah selalu saja menyebalkan.
Perjalanan kembali hening tidak ada yang membuka suara. Untuk mengusir kantuk Tabah terdengar sesekali ikut bersenanandung mengiringi lagu yang sedang diputarnya.
‘Ternyata merdu juga suara Tabah,’ batin Clara. Ia menikmati suara pria itu yang empuk didengar, walaupun ia membenci apa yang dilakukan Tabah kepadanya.
Tiba-tiba saja Tabah berhenti bersenandung. Ia melirik Clara sekilas. “Dengar, mengenai apa yang terjadi padamu, sebaiknya kau tutup mulut saja! Tokh, tidak ada hal yang buruk terjadi kepadamu!”
Mata Clara langsung melotot ia melihat Tabah dengan jengkel. “Enak sekali kau berkata, seperti itu! Aku memang tidak akan melaporkanmu kepada polisi, tetapi bukan berarti aku setuju dengan apa yang kau lakukan. Aku hanya tidak ingin memperpanjang masalah saja.”
“Dan mengenai pernikahan kita, aku akan datang lagi ke kampung itu untuk mencari tahu tentang sah atau tidaknya. Akan tetapi, aku tidak akan melakukannya dalam waktu dekat ini.” Tambah Tabah lagi.
Clara mengangguk ia berharap pernikahan mereka memang tidak sah dan seandainya sah. Ia akan meminta kepada Tabah untuk menyeraikannya.
Kantuk yang berusaha dilawan Clara tidak berhasil diusirnya. Ia pun tertidur kembali di mobil Tabah.
Rasanya baru saja Clara memejamkan mata, ketika ia dibangunkan dari tidurnya oleh Tabah. Dan ia tidak perlu merasa heran, ketika pria itu membangunkannya dengan kasar.
Dengan kepala yang sakit, karena dibangunkan secara tiba-tiba Clara menatap jengkel Tabah. Dengan suara serak ia berkata, “Semoga ini adalah pertemuan kita untuk yang terakhir kalinya!”
Setelah mengatakan hal itu, Clara dengan cepat membuka pintu mobil Tabah. Dan ia hampir saja jatuh terjungkal, karena kesadarannya yang masih separo.
Setelah berhasil menjejakkan kaki di tanah dengan sempurna Clara berjalan menuju rumahnya, yang tampak sunyi dari luar.
Berdiri di depan pintu rumahnya Clara diam sebentar, sambil memejamkan mata. Ia merasa bingung, jawaban apa yang nanti akan diberikannya kepada kedua orang tuanya, kalaub mereka bertanya.
Ia juga merasa bersalah dan takut, karena sudah mengecewakan dan membuat kedua orang tuanya menjadi bersedih, sekalipun itu hanyalah kesalahfahaman saja.
‘Semoga Ayah dan Ibu tidak menyalahkanku,’ batin Clara sedih.
Diberanikannya juga mengetuk pintu rumah dan sudah pasti ketukannya akan membuat penghuni rumah merasa heran. Bagaimana tidak, ini bukanlah jam yang wajar terdengar suara ketukan pintu.
Sementara itu, Tabah masih belum menjalankan mobilnya. Ia menunggu sampai Clara aman berada di dalam rumah barulah pergi.
Ketika dilihatnya pintu terbuka dan suara teriakan nyaring dari Ibu Clara melihat anaknya berdiri di depan pintu. Tabah merasa inilah saatnya baginya untuk menjauh dari sana.
Ibu Clara langsung saja memeluk Clara dengan erat, sambil menangis bahagia. “Kemana saja kamu? Mengapa kamu menghilang dan membuat kami semua menjadi cemas akan keselamatanmu?”
Dari belakang punggung Ibu Clara terdengar suara Ayahnya mengingatkan, agar mereka semua masuk ke rumah dan berbicara di sana.
Ibu Clara pun tersadar ia lalu melepaskan pelukannya di tubuh Clara. Dan menggandeng tangan anaknya itu masuk rumah.
Melihat wajah Clara yang tampak pucat, kedua orang tuanya batal meminta penjelasan dari Clara. Mereka mempersilakan kepada Clara untuk beristirahat, besok baru mereka akan berbicara.
Clara merasa lega ia kemudian, langsung berjalan masuk kamarnya den begitu sudah berada di dalam kamar. Ia langsung mengunci pintunya, karena tidak ingin diganggu.
Claraa menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur, lalu memejamkan mata. Perlahan air matanya kembali meleleh. Tangannya memutar cincin kawin yang melingkar di jarinya.
Cincin itu disematkan Tabah, setelah mereka dinyatakan sebagai, pasangan suami Istri.
‘Seharusnya Tabah tidak usah memakaikan cincin ini ke jariku. Tokh, pernikahan kami palsu,’ gumam Clara.
Lelah menangis, akhirnya Clara jatuh tertidur juga. Dan ketika bangun keesokan pagi Clara melihat pantulan wajahnya di cermin wastafel. Dapat dilihatnya matanya yang sembab dan berwarna merah.
Clara mencoba mengompres matanya dengan air hangat untuk mengurangi bengkak pada matanya.
Suara ketukan di depan pintu kamar membuat Clara kaget. Bergegas ia menuju pintu kamar dan membukanya.
Tampak berdiri di depan pintu Ibunya, dengan gurat lelah yang tampak di wajahnya, Clara langsung memeluk Ibunya, sambil menangis tersedu.
Ibunya yang merasa heran dengan apa yang dilakukan Clara. Menahan dirinya untuk tidak bertanya kepada Clara, wanita paruh baya itu mengusap punggung putrinya dengan rasa sayang.
Ia kemudian membimbingnya menuju meja makan. Clara pastil apar dan haus, setelah sedu sedannya selesai.
Dalam hati Clara merasa terharu dengan perngertian yang diberikan Ibunya kepadanya.
Mereka semua duduk di depan meja makan yang di atasnya tersaji makanan dengan menu sederhana, tetapi terasa nikmat karena dinikmati bersama dengan orang-orang tercinta.
Mata Ayah Clara menatap jari manis Putrinya itu, di mana di situ melingkar sebuah cincin polos yang menarik perhatiannya.
“Cincin siapa yang ada di jarimu, Clara? Itu bukanlah cincin biasa, Ayah dapat melihatnya, sebagai cincin kawin!” ucap Ayahnya mengagetkan Clara.