Flower-7

1027 Words
Aku memutuskan menunggu kedatangan Akhza sambil menonton televisi. Aku cukup terkejut saat melihat Akhza masih berpakaian kantor sudah duduk sambil rebahan menonton televisi. Namun dia tidak seperti biasanya pulang kerja langsung rebahan di depan televisi gini. Dia tidak menoleh saat aku membuka pintu kamar. Membuatku sampai harus menegur lebih dulu supaya merespon kehadiranku.  “Kamu kapan yang datang, Za? Kok, aku nggak kedengaran suara mobil?” tanyaku dari ambang pintu kamar.  Namun Akhza tidak bereaksi apa pun. Pandangannya menatap lurus ke televisi. Ada yang janggal juga pada diri Akhza. Selain menjadi begitu pendiam, seingatku tadi dia tidak pakai pakaian seperti ini pagi tadi. Karena penasaran Akhza tidak menjawab satupun pertanyaanku, aku memutuskan untuk menghampirinya. Ketika aku hendak melangkah untuk menghampiri Akhza, ponselku yang berada di dalam kamar terus berdering. Akhirnya aku masuk kembali untuk melihat siapa yang menghubungiku.  Bulu kudukku seketika berdiri melihat nama kontak My Hubby dengan emoticon love di layar ponsel sedang memanggil. Untuk apa Akhza menelepon sementara orangnya saja sedang menonton televisi. Aku berusaha berpikir positif, mungkin ponselnya tertinggal di kantor atau di tempat lain. Dan sekarang orang yang menemukan ponselnya sedang berusaha menghubungi untuk memberi kabar. Orang itu pasti melihat di panggilan cepat atau log panggilan terakhir makanya bisa menghubungi kontak panggilanku.  “Hallo?” sapaku sopan.  “Moni, maaf banget. Hari ini aku pulang agak terlambat dari biasanya. Aku masih ada meeting. Mulainya agak sore jadinya jam segini belum kelar.”  Napasku tercekat di tenggorokan mendengar suara Akhza dari speaker ponselku. Jelas-jelas kalau itu suara Akhza. Lalu yang di depan tadi siapa?  “Moni! Kamu masih di sana, kan?”  “Iya, Za.”  “Kamu kalau mau makan duluan aja. Aku baru sampai rumah mungkin jam setengah delapanan. Nggak apa-apa, ya?”  “Iya, nggak apa-apa.”  “Kok, lesu gitu jawabnya? Kamu kesel ya?”  “Ng…nggak, kok.”  “Nanti aku bawain martabak manis rasa coklat tiramisu kesukaan kamu, ya.”  “Iya, Za. Makasih. Kamu hati-hati di jalan ya.”  “Iya. Kamu juga baik-baik di rumah, ya, Moni.”  Setelah panggilan telepon diakhiri aku bergegas keluar kamar. Dan benar saja. Di luar tidak ada siapa-siapa. Ruang tengah kosong dengan televisi dalam keadaan mati. Karena aku memang ingat kalau tidak merasa menyalakan televisi sejak siang tadi. Aku masuk lagi ke kamar dan kemudian memeriksa seluruh rumah. Tidak ada satupun pintu maupun jendela yang terbuka. Tidak lama kemudian adzan magrib berkumandang dari arah masjid dekat rumah. Aku hanya bisa terduduk dengan tubuh lemas setelah mendapati peristiwa mencengangkan seperti ini.  Tak banyak yang aku lakukan sambil menunggu kedatangan Akhza. Mengunci pintu kamar dan meringkuk di balik selimut. Aku kembali dikejutkan saat ponselku kembali berdering. Dari layar ponsel bukan nama Akhza yang muncul di sana. Melainkan nama Murti, teman sekolah yang pernah bertemu denganku beberapa hari yang lalu.  “Kamu besok ada waktu nggak, Mon? Kita ketemuan, yuk,” ujar Murti setelah kami berdua saling bertanya kabar masing-masing.  “Besok jam berapa?”  “Pas makan siang gimana?”  “Oke, boleh. Ketemuan di mana enaknya?”  “Di food terrace yang kemarin gimana? Kalau siang di sana nggak terlalu ramai, jadi enak buat tempat ngobrol dan diskusi. Kita bisa ambil meja yang belakang atau di lantai atas. Aku masih ingat kalau kamu memang nggak terlalu keramaian, Mon.”  Aku tersenyum mendengar penjelasan Murti di akhir. “Ketemuan di sana? Atau gimana?” tanyaku lebih jelas.  “Aku jemput ke rumahmu aja gimana? Sekalian aku tahu rumahmu. Jadi kalau ada waktu aku bisa ajak anak dan suami silaturahmi ke rumahmu.”  Aku berpikir ulang kalau menyangkut tawaran Murti yang satu itu. Setelah beberapa detik berlalu aku pun menjawab, “Ketemuan di sana aja, Mur. Aku sekalian keluar, ada yang mau aku beli,” jawabku pada akhirnya. Aku tidak perlu merasakan sungkan. Karena menolak orang lain yang ingin mengunjungi rumahku merupakan hal yang biasa bagiku.  “Ya, sudah kalau kamu memang nggak mau dijemput. Aku nggak maksa.”  “Bukan nggak mau, Mur. Aku tadi bilang sekalian keluar tadi.”  “Iya, nggak apa-apa. Besok jam 12, ya, Mon. Aku tunggu.”  “Oke, Murti.”  Lalu suasana rumah tiba-tiba terasa begitu hening setelah Murti mengakhiri panggilan teleponnya. Aku melihat ke arah jam dinding yang ada di dalam kamar. Menunjukkan pukul setengah tujuh. Aku tidak mungkin menunggu kedatangan Akhza hanya dengan diam di kamar tanpa melakukan apa pun. Akhirnya aku memutuskan melangkah pelan keluar dari kamar.  Setelah merasa aman aku pun mulai melangkah keluar dari kamar. Aku memutuskan ke dapur untuk menyiapkan sajian makan malam. Jadi nanti ketika Akhza datang dia bisa langsung makan. Aku sendiri memutuskan untuk makan setelah Akhza datang saja.  Apa enaknya makan sendiri. Pikirku sederhana.  Meja makan sudah siap. Aku memandangi dengan puas hasil masakku hari ini. Meski hanya masakan sederhana, Akhza pasti suka. Sebelum meninggalkan ruang makan, tidak lupa aku menutup semua makanan dengan tudung saji.  Baru juga hendak kembali ke kamar, terdengar deru suara mobil memasuki halaman rumah. Aku lalu bergegas keluar untuk membuka pintu rumah. Saat aku membuka pintu rumah bersamaan dengan Akhza yang sedang berjalan semakin dekat dengan pintu.  “Hey,” sapanya sambil memberi kecupan sekilas di bibirku. “Lama banget nunggunya?” tanya Akhza sambil melangkah masuk rumah. Tak lupa dia menyerahkan sebuah kantong kresek berisi kotak di dalamnya. Dari aromanya aku tebak ada martabak manis yang dijanjikan Akhza di dalamnya.  “Lama nggak, cuma kerasa boring aja.”  “Kamu itu memang lucu. Di rumah sendirian boring, diajak keluar rumah pengen buru-buru pulang.”  “Ya, emang gitu kenyataannya, Za. Aku mau bilang apa.”  Akhza tersenyum. Dia melakukan aktivitas seperti biasa saat pulang kantor. Pandanganku tak putus dari menatapnya. Dan sepertinya Akhza merasa kalau aku terlalu intens menatapnya.  “Segitu kangennya sama aku, sampai ngelihatinnya nggak kedip,” canda Akhza setelah melilit pinggangnya dengan handuk.  “Tahu aja kalau aku kangen berat.”  Akhza tertawa mendengar jawabanku. Dia kemudian melangkah panjang menuju kamar mandi. Meninggalkanku yang masih tertegun menatap tubuh suamiku yang telah berada di balik pintu kamar mandi. Kalau aku cerita soal kejadian tadi pada Akhza aku tidak yakin dia akan mempercayai soal ceritaku. Jadi lebih baik aku menyimpan kejadian tadi di dalam memori otakku sendiri saja.  ~~~  ^vee^ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD