Flower-8

1301 Words
Hal lain yang aku ingin lihat untuk pertama kali ketika membuka mata di pagi hari selain Akhza adalah tamanku. Perlahan aku turun dari tempat tidur sambil mengikat rambut sebahuku. Saat menoleh ke samping kanan aku tersenyum melihat pria penting dalam hidupku sedang tertidur pulas hanya mengenakan kaus dalam. Wajahku menghangat melihat bekas merah hasil perbuatanku semalam di bawah tulang selangkanya. Seperti menyadari ada yang tengah memerhatikannya, Akhza bergerak dan mengganti posisi tidurnya. Dari yang awalnya telentang menjadi miring membelakangiku.  Aku menuju teras depan untuk melihat tamanku. Ketika aku membuka pintu ruang tamu hawa luar terasa cukup dingin tidak seperti biasanya. Sepertinya ini karena pengaruh hujan semalam dan langit pagi hari ini juga masih menyisakan mendung tapi tanpa rintik hujan. Sesaat setelah sampai di taman aku tertegun menatap kondisi tamanku. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku untuk memastikan bahwa apa yang sedang aku saksikan ini hanyalah ilusi semata. Beberapa tanamanku layu dan ada tiga jenis bunga yang bunganya rusak. Padahal jelas-jelas semalam mereka semua baik-baik saja.  Perlahan aku mencoba meneliti tanaman dan bunga yang bermasalah. Semalam memang hujan. Namun tamanku ini terlindung dari hujan. Sekalipun terkena angin ataupun karena hujan badai, harusnya hanya berantakan, bukannya layu dan bunga-bunganya menjadi rusak seperti ini. Dan lagi, harusnya tanaman yang paling berisiko terkena hujan badai bukanlah tanaman dan bunga-bunga yang kini dalam kondisi mengenaskan seperti ini. Harusnya tanaman-tanaman yang digantung dan yang ada di pinggiran tembok itu yang bermasalah.  Pagi-pagi aku sudah dibuat bersedih hingga menangis meratapi kondisi tanaman dan bunga-bunga milikku. Aku tidak beranjak sedikitpun dari taman. Ada sekitar tiga puluh menit lebih aku terdiam di taman buatanku ini tanpa berbuat apa pun selain menangis.  Tiba-tiba Akhza sudah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku. “Kamu kenapa pagi-pagi nangis, Moni?” tanyanya setelah aku menoleh.  “Lihat, deh, Za,” ucapku sambil menunjuk ke arah tanaman dan bunga-bunga yang bermasalah pada Akhza.  Aku lihat alis Akhza saling bertautan saat melihat ke arah telunjukku. “Tanaman kamu kenapa?” tanyanya dengan nada heran.  “Aku nggak tahu. Tadi waktu aku ke sini kondisinya udah kayak gitu, Za,” jawabku sambil sesenggukan.  “Keseringan disiram kali. Akarnya jadi busuk itu, makanya sampai rusak kayak gitu,” jawab Akhza.  Akhza kemudian masuk kembali ke dalam rumah. Tidak lama kemudian dia mengambil sekop kecil yang biasa aku gunakan untuk menanam atau memperbaiki pot-pot tanaman dan bunga di taman buatanku. Aku hanya bisa menyaksikan Akhza membongkar salah satu pot tanaman yang rusak dengan perasaan nelangsa. Tangisku memang sudah berhenti, tapi hati kecilku masih terus ingin meratapi kesedihanku ini.  “Benar, kan, dugaanku. Akarnya busuk,”  “Tapi aku nyiramnya udah sesuai aturan dan jadwalnya, kok.” Aku bertahan pada pendapatku yang sudah merasa benar merawat tanaman dan bungaku.  “Bisa jadi juga jarang kena matahari. Akhir-akhirnya sering hujan, kan? Mana kalau pagi kadang udah mendung, kayak sekarang ini.”  “Semalam itu nggak apa-apa, Za. Aku terakhir lihat itu waktu ngunci pintu ruang tamu. Aku sempetin ke taman untuk memeriksa kondisi mereka.”  “Sabar aja kalau gitu. Sekarang mau gimana. Tanaman kamu udah pada rusak gini. Nggak bisa diapa-apain lagi ini, Moni.”  Ucapan Akhza sukses membuat tangisku semakin pecah pagi ini. Akhza membawaku ke dalam pelukannya, lantas mencoba menenangkan dan meredakan tangisku lewat tepukan pelan di balik pundakku.  “Nanti kita beli tanaman baru yang sejenis sama semua tanaman ini,” ujar Akhza menghapus deraian air mata yang membasahi pipiku. “Jangan nangis lagi,” pintanya lembut.  Aku hanya mengangguk lemah. Akhza pun beranjak dari lantai taman. Dia memilih masuk ke rumah ketimbang melihat aku sesenggukan saat membereskan tanaman-tanaman dan bunga-bunga yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Sambil membereskan taman aku mencoba mengingat kembali kesalahan apa yang telah aku perbuat hingga berakibat fatal pada tanamanku. Namun semakin keras aku memikirkan soal itu, rasanya kepalaku ingin pecah.  Saat kembali masuk rumah, aku dengar Akhza sudah berada di kamar mandi. Suara shower menyadarkan bahwa sudah waktunya aku harus mulai beraktivitas seperti biasanya. Aku menarik napas panjang dan melepasnya secara perlahan. Setelah terasa nyaman aku menuju lemari untuk menyiapkan pakaian kerja yang akan dikenakan oleh Akhza hari ini. Hari ini adalah hari Jumat. Seragam yang digunakan oleh Akhza adalah kaus berkerah dengan warna dan logo perusahaan tempat kerjanya. Jumat merupakan hari seragam kasual, jadi aku memilih sebuah celana jeans warna blue jeans untuk dipadu padankan dengan kaus yang akan dipakai Akhza hari ini. Setelah beres dengan seragam Akhza aku menuju dapur sekaligus menyiapkan sepatu jenis sneakers yang juga biasa dikenakan Akhza hanya pada saat hari Jumat saja. Karena dari Senin sampai Kamis dia menggunakan sepatu jenis pantofel.  Sekitar pukul tujuh pagi Akhza sudah siap dengan menggunakan pakaian yang telah aku siapkan di atas tempat tidur saat dia mandi tadi. Dia duduk dengan sabar menanti aku menyajikan menu sarapan untuknya di atas meja makan. Meski hatiku sedang dilanda kesedihan tapi aku tetap berusaha menjalankan kewajibanku sebagai istri dengan baik. Sebenarnya Akhza mengerti posisiku, tapi aku juga tidak ingin kalau sampai dia sarapan di luar hanya gara-gara aku lalai menjalankan tugasku.  “Nanti siang aku janjian makan siang dengan Murti,” ceritaku saat menemani Akhza sarapan.  “Murti siapa?” tanya Akhza.  “Teman aku yang pernah ketemu kita di food terrace malam-malam itu, loh, Za.”  “Oh, yang anaknya nangis kejer itu?”  “Nah, iya bener. Murti yang itu. Dia mau menjelaskan soal kerja sama bisnis denganku.”  “Kerja sama bisnis macam apa?”  “Tentang pembuatan clothing line. Produksi produk konveksi sendiri, punya label sendiri dan dijual sendiri, intinya gitu.”  “Kayak garment gitu?”  “Iya, garment tapi ini versi kekiniannya. Udah dari lama banget aku pengen bisnis clothing line. Cuma nggak tahu mau mulainya dari mana.”  “Kalau kamu memang berminat, ya, coba aja ditekuni. Aku pasti akan kasih dukungan untuk kamu. Asal jelas manajemennya. Apalagi nantinya usaha itu akan dibangun oleh dua orang yang memiliki karakter berbeda. Jangan sampai terjadi kesalahpahaman di kemudian hari.”  “Oke, noted Bapak Banker,” ucapku.  Akhza tersenyum mendengar jawaban dariku. Dia kemudian segera menyelesaikan sarapannya karena jam dinding sudah hampir menunjukkan pukul setengah delapan. Sambil menunggu nasi di piring makan Akhza tandas, aku menuangkan air minum ke dalam gelas kosong milik Akhza.  “Hari ini kamu pulang terlambat lagi?” tanyaku setelah memenuhi gelas minum Akhza dengan air putih hangat.  “Semoga aja nggak. Aku akan minta anak buahku untuk membereskan pekerjaan mereka sebelum jam empat sore. Jadi nggak membuatku sampai pulang lebih sore gara-gara masih menunggu laporan harian mereka. Kenapa, Yank? Kamu mau ditemenin cari tanaman baru?”  Aku menggeleng pelan. “Perasaanku tiba-tiba nggak enak. Masa semalam aku kayak lihat kamu lagi nonton tv, padahal kamu masih di kantor,” ucapku lesu.  “Oh, ya?” respon Akhza tak percaya begitu saja.  “Iya, Za. Kelihatan seperti benar-benar nyata. Untungnya kamu telpon aku. Jadi bikin khayalanku buyar dan kesadaranku kembali kalau yang aku lihat itu cuma ilusi.”  “Jangan terlalu keras memikirkan aku, Moni. Aku baik-baik aja. Aku juga nggak melakukan perbuatan yang aneh-aneh di belakang kamu. Aku kerja, ya, kerja. Kalaupun pulang terlambat juga karena pekerjaan dan sebisa mungkin aku akan selalu ngabarin kamu kalau pulang terlambat.”  “Iya, Za. Aku ngerti soal itu. Aku memang selalu memikirkan kamu. Tapi bukan memikirkan hal-hal buruk yang nggak mungkin kamu lakukan di belakang aku. Yang aku pikirkan itu keadaan kamu, kesehatanmu, makanan dan minuman yang kamu konsumsi di luar rumah, terutama keselamatan kamu, Za. Hati dan pikiran aku bersih, kok, dari segala perkiraan buruk tentang kamu.”  “Makasih, ya, Moni. Aku janji akan baik-baik saja dan tentunya nggak berbuat hal-hal buruk yang akan menambah beban pikiran kamu.”  Aku mengukir senyum terbaik sebagai respon atas ucapan Akhza. Dalam hati kecil aku memohon, semoga rumah tanggaku selalu dijauhkan dari segala musibah dan dilindungi dari segala hal-hal buruk yang dapat menimpa rumah tanggaku.  ~~~  ^vee^ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD