Flower-6

2167 Words
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian-kejadian aneh yang menimpaku selama dua malam berturut-turut. Aku bersyukur sampai detik ini kejadian buruk itu tidak berulang. Aku kembali menjalani aktivitas seperti biasa tanpa gangguan melihat makhluk mengerikan lagi di sekitarku.  “Sibuk apa?” tanya Akhza menyusulku ke teras. “Aku kesepian di dalam.”  “Ini lagi ambil tanaman. Mau aku pindah ke pot baru.”  “Oh,” jawab Akhza singkat. Dia lalu kembali berkutat membaca berita online lewat ponselnya.  Akhza memang seperti itu. Dia memang selalu bertanya apa pun kegiatanku. Namun sekadar bertanya, setelah aku menjawab maka dia tidak akan mencari tahu lebih jauh lagi.  “Za?” panggilku karena Akhza tak lagi bersuara setelah sepuluh menit berlalu.  “Hmm?” jawabnya dalam gumaman.  “Lihat, deh! Bunga dan tanaman aku makin subur dan cantik-cantik, ya?” ucapku penuh semangat.  Akhza mengangkat kepala meninggalkan layar ponsel untuk menatapku. “Dari dulu juga anak-anak kamu itu tumbuh dengan subur dan cantik-cantik, Moni,” komentarnya.  Aku tergelak kemudian pura-pura cemberut. “Lihat dulu makanya. Jangan asal komentar,” ucapku pura-pura kesal.  “Iya, iya, ini dilihat,” ujarnya kemudian matanya melihat ke seluruh tanaman dan bunga-bungaku. “Masih cantikan kamu,” ucap Akhza sambil berdiri, dia mengecup bibirku kemudian meninggalkan teras untuk kembali ke dalam rumah.  Saat akhir pekan seperti ini Akhza memang lebih suka menghabiskan waktu lebih banyak di rumah ketimbang keluar untuk sekadar nongkrong dengan teman-teman kantornya. Bosan katanya di kantor juga sudah sering ketemu. Maka dari itu dia lebih suka menghabiskan banyak waktu di rumah bersamaku yang katanya tidak akan pernah ada bosannya. Dia memang paling bisa kalau disuruh mengambil hatiku.  “Malmingan, yuk, Za,” ujarku ikut bergabung dengan Akhza di ruang tengah. Dia sedang menonton televisi.  “Malmingan itu di luar rumah, Moni. Memangnya kamu mau?”  “Iya, pengen. Sekali-kali aja.”  “Oke! Kamu pengen malmingan di mana?” tanya Akhza antusias.  “Dekat perumahan ini ada food terrace baru buka. Makan di situ, yuk.”  “Oh, itu kalau nggak salah punya salah satu nasabah di kantorku.”  “Ya, udah di sana aja nggak apa-apa?”  Akhza tersenyum menyenangkan. “Iya, kalau buat kamu apa yang nggak, Sayang?” rayunya.  Aku lalu meminta Akhza untuk mandi dan bersiap terlebih dulu. Karena sebelum ke tempat makan yang aku maksudkan tadi, rencananya kami akan berkeliling mengitari pusat kota terlebih dulu. Tentu saja Akhza dengan senang mengantarku melakukan kegiatan seperti ini. Karena merayuku mau diajak keluar rumah menjadi pekerjaan yang sulit dilakukan oleh orang multitalenta seperti Akhza. Merayu aku supaya mau diajak nongkrong mungkin akan menjadi satu-satunya pekerjaan yang pernah gagal dalam kehidupan Akhza, mengingat dia mampu melakukan banyak hal serta aktivitas penuh manfaat dan mendatangkan keuntungan secara finansial tentunya. Akan berhasil kalau memang akunya sendiri yang mau nongkrong, bukan karena bujuk rayu dari orang lain.  Sekitar pukul setengah tujuh malam kami berdua meninggalkan rumah. Mengenakan pakaian casual tapi tetap terlihat rapi untuk digunakan di tempat-tempat umum. Ketika mobil Akhza sudah melaju membelah jalan raya, aku memintanya untuk mengantar ke sebuah toko bunga yang lokasinya searah dengan lokasi tujuan kami saat ini.  “Nggak di rumah, di luar rumah, bunga terus, ya, yang ada dalam pikiran kamu,” cibir Akhza.  Aku sama sekali tidak marah atau tersinggung pada ucapannya, karena memang realitanya seperti itu. Tangan Akhza terulur untuk mengusap kepalaku. Cara dia mengambil hatiku supaya tidak memasukkan ke hati setiap kata-katanya. Love language Akhza memang physical touch. Dia lebih suka mengungkapkan apa pun lewat sentuhan ketimbang kata-kata manis. Sekalinya dia berkata manis jatuhnya malah seperti remaja puber baru belajar merayu perempuan.  Di toko bunga aku benar-benar antusias memilih beberapa jenis bunga dan tanaman yang menarik perhatianku. Setelah berkeliling dan bertanya pada pemilik toko bunga segar yang sedang aku kunjungi ini, aku memutuskan mengambil dua pot tanaman monstera dan satu pot bunga anggrek. Aku sedang belajar menanam jenis bunga yang katanya cukup sulit perawatannya itu. Setelah itu Akhza segera membawaku keluar dari toko bunga, karena kalau tidak, aku bakalan lupa pada tujuan awalku keluar rumah malam ini.  “Pundak sama punggung kamu masih gampang pegel?” tanya Akhza setelah kami sudah kembali di dalam mobil menuju tempat makan yang hendak kami datangi malam ini.  “Masih, tapi nggak separah beberapa hari yang lalu.”  Akhza mengangguk sambil mengusap pelan punggungku tanpa meninggalkan fokusnya dalam mengemudi. Rasanya sangat nyaman melebihi apa pun. Jalanan cukup padat malam minggu seperti ini. Terutama tepat di pusat kota. Akhza sampai harus menghentikan mobilnya beberapa kali karena mobil di depan kami berhenti secara mendadak.  Pada saat Akhza menghentikan laju mobil di perempatan lampu merah karena lampu lalu lintas juga sedang menyala merah, aku melihat sosok yang tidak asing di mataku. Dia sedang duduk di pinggiran trotoar taman kota seorang diri.  “Nisrina?” ucapku sambil terus memerhatikan sosok yang tengah menatap lurus ke arah jalan raya tersebut.  “Kenapa, Yank?” tanya Akhza, sepertinya dia mendengarkan suaraku saat menyebutkan nama Nisrina.  “Kayak kenal sama orang yang lagi duduk di pinggiran trotoar itu,” ujarku menunjuk ke arah samping kiriku.  Bertepatan dengan itu Akhza kembali melajukan mobilnya karena lampu lalu lintas menyala hijau. “Mana ada orang, Moni? Nggak ada siapa-siapa yang duduk di pinggiran trotoar. Ketahuan petugas Satpol PP diusir, kalau nggak, ketangkap disangka gelandangan atau orang gila,” komentar Akhza.  “Ada, Za. Aku tadi lihat perempuan itu, kok. Dia pernah beli beberapa potong dagangan aku.”  “Kok, kamu bisa kenal? Bukannya kamu nggak jualan offline ya?” tanya Akhza heran.  “Iya, emang. Cuma hari itu dia sampai datang ke rumah dan maksa banget. Aku bisa bilang apa? Kamu sendiri yang bilang, rejeki itu nggak boleh ditolak,” ujarku memberi penjelasan pada Akhza.  Akhza hanya mengangguk paham. Namun pada saat aku menoleh Nisrina sudah tidak ada tempatnya tadi duduk. Mungkin dia sudah beranjak pergi entah ke mana. Kota ini juga tidak terlalu luas sebenarnya. Jadi kemungkinan bertemu dengan seseorang yang kita kenal di jalan adalah hal wajar terjadi.  Setelah berjuang melewati kemacetan di pusat kota sampailah di pusat kuliner yang menjadi tempat tujuan kami berdua menghabiskan waktu malam mingguan. Aku dan Akhza berkeliling untuk memilih menu makanan dan minuman yang kami inginkan. Akhza bukan tipe yang ribet soal makan, jadi dia menyerahkan sepenuhnya pilihan menu makan malamnya padaku. Aku memilih lalapan ceker goreng tanpa tulang, minumannya coffee latte. Sedangkan Akhza soto babat dan es teh. Sesederhana itu suamiku. Untuk minuman pendamping air mineral saja. Dan makanan pencuci mulutnya es teler yang menyegarkan di tengah cuaca kota sedang hangat tak peduli meski hari sudah malam.  Beruntung kami menemukan tempat duduk. Situasi pusat kuliner malam ini cukup padat. Mengingat malam ini malam minggu dan cuaca sangat cerah mendukung untuk keluar rumah.  Saat aku sedang duduk menunggu pesananku datang, ada seorang anak kecil sepertinya baru bisa belajar jalan mendekat ke arahku. Anak kecil yang aku perkirakan mungkin usianya sekitar satu tahunan itu menarik-narik rok plisket selutut yang tengah aku kenakan saat ini.  “Ma…” katanya.  Aku tersenyum dan sedikit menundukkan kepalaku untuk melihat anak kecil itu lebih dekat. Namun tiba-tiba anak kecil itu menangis histeris hingga membuat semua pasang mata kini tertuju ke arah mejaku.  “Kenapa, Yank?” tanya Akhza yang duduk di seberang mejaku.  Aku menggeleng tidak mengerti. “Nggak tahu. Tiba-tiba aja nangis,” jawabku merasa bersalah.  Tidak lama kemudian ada seorang perempuan muda mendekat ke arah mejaku. Di badannya terlilit gendongan kain motif batik. Mungkin ibunya. Karena ketika anak kecil itu digendong perempuan tersebut seketika menghentikan tangisnya.  “Maaf, ya, Mbak. Tadi saya masih antri di kasir. Anak saya minta turun dari gendongan,” jelas perempuan muda tersebut.  “Iya, nggak apa-apa. Saya hanya kaget karena tiba-tiba aja nangis. Padahal tadi ketawa-ketawa sambil narik rok saya.”  Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki mungkin sebaya Akhza menghampiri perempuan tersebut bersama seorang anak lagi yang usianya lebih besar dari sebelumnya.  “Dedek nangis. Tatut sama Tate itu, Pah,” jelas anak tersebut sambil menunjuk ke arahku. “Kakak uga tatut, Pah.” Dia sendiri kemudian mengernyit takut dan bersembunyi di belakang kaki laki-laki yang aku tebak papanya.  “Tantenya nggak nakal, kok, Kak. Kakak nggak perlu takut, ya,” ujar sang ibu berusaha menenangkan kedua anaknya, sambil mengangguk sungkan padaku. “Maaf, ya, Mbak. Omongan anak kecil tolong jangan diambil hati.”   “Iya, Mbak. Saya nggak masalah, kok.”  “Terima kasih, ya, Mbak. Maaf mengganggu.”  Kemudian keluarga kecil tersebut pergi dari hadapanku. Aku lihat Akhza tidak terlalu ambil pusing pada kejadian yang baru saja terjadi di depan kami. Setelah pesanan kami satu persatu dihidangkan di atas meja, kami berdua makan dengan tenang. Sesekali di selingi dengan obrolan ringan membahas topik yang sedang hangat-hangatnya terjadi di jagad media sosial.  Saat menikmati hidangan pencuci mulut ada seseorang dari belakang Akhza menyapaku. “Loh… Monic? Kamu Monica Ruslan, kan?”  Orang yang menyapaku adalah seorang perempuan mungkin sebayaku. Sepertinya dia teman lama karena dia menyebutkan nama sekolah serta nama desa tempat dulu aku tinggal bersama nenekku.  “Iya, benar aku Monic,” jawabku sambil berusaha mengingat sosok perempuan yang kini sudah duduk di bangku kosong di sampingku. “Maaf, Anda siapa? Saya sudah lama meninggalkan desa itu,” jawabku.  “Aku Murti Hanum. Teman sebangku kamu. Ingat?”  Aku benar-benar tidak bisa meraba memoriku yang telah berlalu sejak berpuluh tahun silam. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah meninggalkan desa nenekku. Begitu tidak inginnya aku kembali ke desa itu, aku berusaha keras melupakan siapapun dan apa pun yang sudah pernah terjadi di sana. Jadi ketika perempuan yang mengaku bernama Murti Hanum ini terus membantuku supaya mengingat siapa dirinya, aku masih kesulitan meraba wajahnya dulu ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Herannya bagaimana bisa dia bisa mengenaliku dengan sangat baik, ya, sementara kami sudah tidak pernah bertemu lagi selama puluhan tahun silam.  “Kalau kamu benar-benar nggak ingat, jangan dipaksain, Yank,” ujar Akhza akhirnya, menengahi Murti yang masih terus berusaha membuka tabir ingatanku di masa silam.  “Maaf, ya. Tapi terima kasih banyak kamu masih mengingat saya dengan baik,” ucapku merasa tidak enak pada Murti.  “Nggak masalah, Mon. Tapi kamu kelihatannya sehat-sehat aja, ya. Kata ibuku waktu kecil itu kamu kurus banget, sering sakit-sakitan. Kasihan nenek kamu kalau udah kebingungan karena kamu suka tiba-tiba sakit gitu. Nggak ada angin, nggak ada hujan tahu-tahu panas tinggi. Aku tahu informasi itu karena beberapa waktu yang lalu kami berdua sempat membicarakan kamu. Entah kenapa seperti tiba-tiba aja ingat sama kamu. Ternyata kita memang mau dipertemukan di sini, ya.”  Aku hanya mengangguk paham mendengar penjelasan Murti. Tidak lama kemudian datang seorang pria sambil menggendong balita perempuan yang begitu lucu ke dekat mejaku. Murti lalu memperkenalkan pria tersebut sebagai suaminya padaku dan Akhza.  “Ini anakku, Mon. Namanya Andin,” ujar Murti menerima balita bernama Andin itu dari tangan suaminya.  “Lucu banget, ya,” ucapku tulus.  Ketika Andin menoleh ke arahku, balita itu sesenggukan lalu kemudian menangis hebat sambil berteriak histeris. Persis seperti yang terjadi pada anak kecil sebelumnya. Bedanya kali ini Andin tidak bisa didiamkan oleh ibunya. Barulah setelah suami Murti kembali mengambil alih Andin ke dalam gendongannya, balita itu mengakhiri tangisnya. Meski meninggalkan masih isak tangis sambil memeluk dan merebahkan kepala di atas pundak sang ayah, setidaknya balita yang tadinya menangis histeris itu sudah kembali diam.  “Kamu itu nggak berubah, ya, Mon. Selalu bikin anak kecil nangis kejer kalau ada di dekat kamu. Adikku dulu takut banget deket-deket sama kamu. Padahal kamunya nggak ngapa-ngapain. Dia yang usil sama kamu, malah dianya yang nangis, kamu cuma diam aja nggak marah meski diisengin.”  Soal informasi yang diberikan oleh Murti memang satu memori yang sampai detik ini belum bisa aku lupakan. Hal itu jugalah yang menjadi dasar aku tidak pernah meminta pada Tuhan untuk segera diberi momongan. Karena aku takut anakku nanti takut padaku seperti anak-anak lain yang ketakutan saat melihatku.   “Kamu berdua aja sama suami kamu, Mon? Anak kamu nggak ikut?” tanya Murti seperti tanpa beban.  “Saya belum ada anak, Murti,” jawabku diakhiri senyum tenang.  “Oh, gitu. Maaf ya, pertanyaan aku udah lancang banget.”  “Nggak apa-apa. Saya sudah terbiasa dengan pertanyaan itu.”  “Kamu sibuk apa, Mon?” tanya Murti lagi.  “Usaha online shop pakaian perempuan.”  “Oh, ya? Kebetulan banget. Aku juga lagi nyari partner untuk bikin usaha clothing line.”  Aku dan Akhza saling pandang mendengar ucapan Murti. Ketika Murti hendak menjelaskan tentang usaha yang kedengarannya cukup menarik itu, Andin yang sedang digendong oleh ayahnya menoleh ke arah Murti dan tidak sengaja tatapan mata mungilnya bertemu dengan tatapanku yang sedang melempar pandangan ke segala arah. Balita itu tiba-tiba kembali menangis dan merangkul leher ayahnya seperti anak sedang ketakutan pada sesuatu hal.  “Aduh! Andin nangis lagi. Itu anak kenapa, sih? Padahal tadi ketawa-ketawa. Kayaknya ngantuk. Dia suka rewel memang kalau udah ngantuk berat,” jelas Murti.  “Mending digendong aja dulu. Kasihan nangis sampai sesenggukan gitu,” ucapku.  Murti mengangguk paham. Sebelum Murti pergi kami sempat bertukar nomor kontak ponsel untuk mengobrol soal bisnis clothing line.  ~~~  ^vee^ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD