Sekitar pukul dua belas siang aku sudah sampai lebih dulu di pusat kuliner tempat janjian dengan Murti siang ini. Murti masih menitipkan anaknya pada salah satu saudaranya. Meski memiliki pengasuh, Murti tidak bisa meninggalkan anaknya tanpa pengawasan orang yang masih ada hubungan darah dengannya.
Syukurnya aku menunggu tidak terlalu lama. Tidak sampai lima belas menit kemudian Murti datang. Terlebih dulu kami mengisi perut masing-masing dengan menu makan siang, sebelum memulai pembicaraan yang sepertinya butuh konsentrasi tinggi saat menyimak. Sambil menikmati makanan masing-masing, Murti yang lebih banyak bercerita. Sementara aku lebih banyak diam dan mendengar ceritanya. Hal-hal yang kami obrolkan seputar hal-hal ringan saja. Selain itu Murti juga banyak bercerita tentang pengalaman masa kecil kami yang sebagian telah aku lupakan. Terlebih setelah nenek meninggal dan aku sudah tidak lagi tinggal di tempat itu.
Selesai makan Murti mulai menjabarkan secara detail soal bisnis clothing line. Dia yang akan mengurus semuanya. Mulai dari perizinan, mencari lokasi produksi produk kami nanti, mencari supplier untuk bahan baku dan merekrut orang-orang yang berada di dalam usaha itu nantinya. Aku nantinya hanya tahu terima beres saja. Terima beres di sini maksudnya aku tidak perlu repot-repot pergi ke sana kemari dan harus membuatku bertemu dengan banyak orang. Aku kebagian pekerjaan di belakang layar. Namun segala keputusan akan diambil bersama. Aku suka menjalin kerjasama dengan orang seperti Murti. Dia orangnya tegas dan tidak sungkan-sungkan mengajukan pendapatnya bila memang ada yang kurang tepat dengan pendapatku. Setelah mengambil beberapa keputusan untuk hari ini, kami berdua akan melanjutkan pertemuan kembali setelah Murti mendapatkan pilihan hal-hal yang kami butuhkan dan akan mengambil keputusan bersama-sama.
“Ketemuan lagi di mana enaknya, Mon?” tanya Murti setelah membereskan barang-barang miliknya yang tadinya berserakan di atas meja.
“Kamu punya tempat rekomendasi lain yang enak dijadikan tempat mengobrol secara tertutup nggak?”
“Bentar coba gue cari di internet ya. Kayaknya ada restoran nggak jauh dari sini punya vip room yang enak buat jadi tempat mengobrol secara privasi.”
“Boleh, tuh. Nanti kirim aja lokasinya,” jawabku antusias.
“Kamu masih belum bisa menerima orang lain ke wilayah pribadi, ya, Mon? Dalam arti rumah.”
“Bukan belum bisa, tapi memang aku selalu menghindari itu. Aku lebih suka ketemuan di luar rumah, Mur.”
Murti mengangguk paham. Setelah dirasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kami, aku dan Murti memutuskan untuk menyudahi acara pertemuan hari ini.
Setelah sampai rumah aku kembali dikejutkan oleh sesuatu. Ada satu tanaman lagi yang layu seperti tanaman tadi pagi. Kali ini aku tidak sesedih tadi. Aku segera mengambil gambar tanaman yang layu tersebut dengan kamera ponselku lalu mengirimnya pada Akhza. Tidak lama kemudian Akhza menghubungiku melalui panggilan telepon.
“Udah coba dibongkar lagi tanahnya?”
“Nunggu kamu aja, Za. Aku nggak kuat kalau harus membongkar tanamanku sendiri,” jawabku lesu.
“Ini masih jam setengah dua, Moni. Aku pulang jam lima, paling nyampe rumah jam setengah enam.”
“Ya, udah nggak apa-apa. Udah mati juga. Mau diapain juga nggak bakal bisa bikin hidup lagi.”
“Moni, kamu baik-baik aja, kan?”
“Aku baik-baik aja, Za. Kamu lanjut kerja lagi aja. Maaf, ya, ganggu.”
“Kenapa harus ngomong gitu, Moni? Aku sama sekali nggak keganggu, kok. Oh, iya, hasil pertemuannya dengan Murti, gimana?”
“Cerita nanti aja kalau kamu sudah di rumah.”
“Oke. Aku balik kerja lagi, ya, Moni.”
Aku lantas mengakhiri panggilan telepon dari Akhza. Tak memedulikan lagi kondisi tanamanku yang layu itu, aku memutuskan untuk masuk rumah.
Malam harinya setelah menikmati makan malam aku mulai presentasi proposal pengajuan bisnis clothing line buatanku di depan Akhza daripada membahas tanamanku yang tadi siang tiba-tiba mati. Dia mendengarkan secara keseluruhan tanpa melewatkan satu katapun dari penjelasanku. Wajahnya juga sangat menunjukkan khas Akhza ketika antusias pada sesuatu yang menurutnya benar versinya.
“Rencana mau dikasih nama apa brand clothing line kamu?” tanya Akhza di sela penjabaran soal detail jenis produk yang akan kami pasarkan.
“Maunya Go MM. Menurut kamu gimana?”
“Lucu juga. Mudah diingat. Tapi coba search di internet nama seperti itu sudah digunakan oleh orang lain tidak? Apa jenis usahanya sama, atau berbeda. Tapi sekalipun berbeda, saranku mending ganti nama. Khawatir aja, nama sebelumnya digunakan oleh produk yang memiliki stigma negatif dari lingkungannya. Kalaupun nggak punya latar belakang buruk, dan malan sebuah merek dagang populer, takutnya nanti kamu mendapat tuduhan telah melakukan plagiasi. Sanksi sosialnya lebih mengerikan daripada sanksi hukum.
“Iya, Za. Aku akan ingat kata-kata kamu. Makasih ya.”
Aku pamitan pada Akhza untuk menelepon mamaku, mau menyampaikan soal bisnis baruku yang akan datang. Aku sengaja menelepon di taman depan sekalian mencari udara segar. Aku merasa udara di dalam rumah seperti pengap. Aku mengajak Akhza duduk di teras depan untuk menemaniku. Namun dia menolak ajakanku dengan dalih banyak nyamuk. Dia memutuskan menungguku di ruang tamu sambil mengerjakan beberapa pekerjaannya yang tidak selesai di kantor karena buru-buru pulang untuk mengetahui kondisiku.
“Kamu mau bikin usaha clothing line? Nanti produk-produk kamu itu akan dijual secara offline? Ada tokonya?” tanya mamaku setelah aku menyampaikan secara singkat rencana usaha baruku.
“Iya, Mam. Produk merek dagang karyaku sendiri itu akan dipasarkan melalui distro (distribution outlet) atau FO (factory outlet),” jawabku.
“Jangan dilanjutkan, Monica!” ucap mamaku tegas.
“Loh, kenapa, Mam? Ini kesempatan besar buat aku. Kapan lagi dikasih rejeki sebegini besarnya? Kalau usahaku ini terus maju, produk-produkku nanti bisa masuk pasar sekelas pusat perbelanjaan. Produk standar akan berubah menjadi produk premium kalau sudah masuk pusat perbelanjaan, Mam.”
“Kamu nggak ingat yang dibilang sama Mbah Pur waktu kamu cari hari baik untuk membuka usaha online shop yang sekarang? Kamu boleh menjual produk jenis apa pun asal sarana pemasaran dan penjualannya hanya dilakukan secara online. Dengan begitu usaha kamu bisa maju dan kesuksesan kamu bertahan lama. Terbukti sampai sekarang setelah bertahun-tahun kamu menggeluti dunia online shop, bisnis kamu itu terus maju. Olshop-olshop lain yang merintis bareng kamu aja udah pada tumbang, loh, usahanya. Memangnya kamu mau menyusul jejak mereka?”
“Mama kenapa ngomong gitu. Itu sama aja kayak doain aku bangkrut.”
“Mama nggak doain kamu bangkrut, Mon.Tapi harusnya kamu mikir, pasti ada hal-hal yang nggak dipercaya orang lain sudah membantu perjalanan bisnis kamu hingga ke titik sekarang ini.”
“Tapi aku pengen banget punya usaha clothing line dari dulu, Mam. Aku pengen punya brand sendiri untuk produk-produk karyaku sendiri. Aku pengen punya distro maupun FO dengan brand karyaku sendiri.”
“Duh, Mama nggak tahu lagi, deh, gimana caranya ngomong sama kamu, Mon. Terserah kamu aja, deh. Nanti juga kalau ada sesuatu yang buruk terjadi dalam usaha kamu, ya, kamu sendiri yang nyesel karena nggak mau dengar omongan Mama.”
Aku berdecak kesal mendengar ucapan mamaku. “Doain yang baik-baik lebih enak, Mam. Daripada doa yang buruk-buruk kayak gitu,” ujarku.
“Abisnya kamu susah bener kalau diomongin. Oiya, kapan-kapan Mama ke rumah kamu, ya. Mama mau ambil tanaman monstera kamu yang waktu itu pernah kamu tawarkan ke Mama. Kemarin Mama dari rumahnya Bibi Daya. Dia punya tanaman kayak punya kamu. Bagus banget, Mama jadi pengen punya juga.”
“Monstera aku tinggal dua, Mam. Satunya belum besar, satu lagi baru beli.”
“Bukannya kamu punya banyak, ya?”
“Mati, Mam.”
“Kok, bisa? Bukannya kamu udah ahli banget merawat tanaman?”
“Nggak tahulah. Aku juga nggak ngerti. Padahal udah dirawat bener-bener. Padahal seger-seger tanaman aku sebelum mati. Tau-tau udah mati aja, Mam.”
“Ya, ampun. Sayang banget, ya, Mom. Padahal itu tanaman mahal.”
“Padahal kata Nisrina kalau pakek tanah khusus bisa bikin tanaman tumbuh subur dan cantik, loh, Mam.”
“Nisrina siapa? Tumben kamu mau dengerin omongan orang selain Akhza?”
“Ada pembeli yang datang langsung ke rumah karena kebetulan lewat depan rumahku.”
“Aduh, Moni. Bisa nggak, sih, sekali aja kamu itu dengerin omongan Mama. Sudah dibilangin juga jangan terima pembelian secara offline, Monica.” Aku dengar mamaku mengembuskan napas kasar. Sepertinya kali ini aku sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa ditolerir oleh batas kesabarannya.
“Namanya juga nggak sengaja, Mam.”
“Trus tanah khusus apa yang dia sarankan untuk tanaman kamu?”
Aku menimbang sejenak jawaban yang akan aku berikan pada mamaku. Akhirnya setelah Mama menanyakannya sekali lagi aku sudah tidak bisa mengelak lalu menjawab, “Tanah… eummhh… tanah kuburan, Mam.”
“Monica! Udah gilaaa!!! Kamu tahu fungsinya tanah kuburan itu selain untuk mengubur orang yang sudah meninggal? Untuk santet, tahu, nggak. Astagaaa… lama-lama Mama yang beneran gila…”
“Sabar, Mam. Kata Akhza tanaman aku mati karena jarang dijemur. Di sini sering mendung dan jarang ketemu matahari pagi udah beberapa hari ini. Matahari munculnya selalu di atas jam sebelas siang. Sore juga hujan deras.”
“Terserah kamu, aja, deh. Makan ati Mama ngomong sama kamu. Susah banget dibilangin.”
Mama mengakhiri panggilan teleponnya detik itu juga. Aku tidak masalah karena memang sudah tidak ada lagi hal yang perlu kami bicarakan. Selalu seperti ini. Setiap kali mengobrol lewat telepon dengan mamaku itu, pasti selalu berakhir dengan perdebatan seperti yang terjadi beberapa saat lalu.
~~~
^vee^