Flower-10

1214 Words
Semenjak aku mulai sibuk mengurusi segala keperluan persiapan launching clothing line yang sudah sepakat aku kasih brand GO MM, online shop aku jadi keteteran. Banyak barang-barang tawaran dari supplier yang tidak aku hiraukan. Belum lagi reseller-reseller aku pada kabur mencari supplier baru. Kata Akhza memang begitu. Aku harus mengorbankan salah satunya. Terlepas dari Mama yang tidak mendukungku, ada Akhza yang selalu setia di memberi dukungan padaku dalam bentuk apa pun, termasuk dukungan berupa finansial. Akhza mengizinkan aku menggunakan dana darurat untuk modal usaha clothing line. Urusan online shop tidak masalah yang penting sebentar lagi aku akan punya brand dan produk sendiri. Aku akan mulai menarik reseller-reseller yang masih bertahan mengambil barang di tempatku untuk menjadi reseller GO MM. Karena aku jarang di rumah akhir-akhir ini, membuat tamanku jadi kurang terawat. Beberapa tanaman dan bunga-bungaan silih berganti mati tanpa sebab. Akar busuk padahal sebelum mati tanaman-tanaman dan bunga-bungaan itu baik-baik saja. “Tanaman kamu ke mana perginya? Perasaan kemarinan aku lihat masih penuh tamannya?” singgung Akhza pagi itu, saat aku menyempatkan diri untuk mengatur jarak pot-pot besar yang ada di lantai taman buatanku. Sudah terlalu banyak pot yang tidak digunakan lagi karena penghuninya pergi. Sehingga membuat jarak antar pot jadi terlihat sangat renggang. Hal itu yang mungkin mencuri perhatian Akhza. “Tahu sendiri pada mati,” jawabku malas. “Kalau udah nggak ada waktu buat ngerawat tanaman mending tanaman-tanaman yang tersisa sekarang kamu hibahkan ke orang lain. Mama kamu juga kayaknya mulai hobi tanaman itu,” komentar Akhza membantuku mengangkat pot besar berisi tanaman keladi raksasa. “Mama nggak mau sama tanaman aku, Za.” “Kenapa? Kamu suruh ganti duit?” “Nggaklah. Ngapain juga. Mama itu nggak mau karena tahu kalau aku pernah taruh tanah kuburan di tanah-tanah tanaman aku.” Alis Akhza saling bertaut mendengar jawabanku. “Tanah kuburan? Kamu dapat dari mana?” tanyanya ragu. “Kamu ingat Nisrina yang pernah aku ceritain dulu. Yang belanja secara offline di rumah. Dia nyaranin aku pakai tanah kuburan kalau mau tanaman aku tumbuh subur. Dia yang ngumpulin tanah tujuh kuburan dari tujuh penjuru mata angin,” jelasku. Akhza tertawa kecil lalu melanjutkan aktivitasnya mengangkat pot besar berikutnya. “Mama kamu ada-ada aja. Emang apa hubungannya tanah kuburan dengan tanaman, sampai nggak mau dikasih tanaman gratisan. Padahal Mama kamu juga tahu, kan, kalau tanaman-tanamanmu nggak ada yang murah?” “Tahu bangetlah. Mama selalu nyari informasi soal harga setiap kali ada tanaman atau jenis bunga baru di taman. Kalau tahu mahal pasti Mama ngotot untuk minta. Pas tahu aku taruh tanah kuburan, jangankan gratisan, dibayarpun Mama nggak mau.” “Melewatkan kesempatan emas, tuh.” “Katanya tanah kuburan dipakai orang untuk menebar ilmu hitam ada orang lain, bisa juga untuk menutup pintu rejeki di tempat usaha orang lain.” “Ini jaman serba digital dan Mama kamu, kamu juga, masih aja percaya sama hal begituan.” “Aku bisa tebak, respon kamu pasti kayak gini. Makanya aku malas cerita -cerita sama kamu kalau mau bahas sesuatu yang menurut kamu adalah hal yang nggak wajar.” “Iya, iya, maaf. Bunga melatinya lebat banget. Nggak ada niat mau dipanen, trus kasih sama nenek-nenek yang jualan bunga di ujung jalan sana?” saran Akhza. Aku mengangguk setuju saran dari Akhza. Setelah selesai urusan taman. aku masuk ke dalam untuk mengambil keranjang dan sekantong kresek berukuran sedang. Aku buru-buru memetik bunga melati yang tumbuh subur di pohonnya, supaya harumnya tidak menyiksa hidungku. Dari hasil memetikku menjelang siang seperti ini, Aku sudah mendapatkan sekantong kresek bunga melati di dalamnya. Tanpa mengganti pakaian aku berjalan santai menuju lapak penjual bunga di pinggir jalan. Sebenarnya tidak hanya nenek itu yang berjualan bunga di sekitar sini. Ada beberapa stand meja yang menjual bunga tiga dan tujuh rupa. Di dekat sini memang ada kompleks pemakaman umum. Setiap hari Kamis seperti sekarang ini pasti cukup banyak pengunjung yang ingin mengunjungi makam keluarga dan teman mereka. “”Apa, ini, Jeng?” tanya nenek-nenek itu melihat bungkusan kresek hitam berisi bunga melati hasil panenku. “Bunga melati, Nek.” “Tapi saya punya. Kalau saya mau nyekar tinggal ngambil aja di rumah. Rumah saya juga dekat-dekat sini, Jeng.” “Nenek nggak perlu bayar. Cukup terima pemberianku aja aku udah seneng, kok, Nek.” “Kamu baik banget. Coba sini lihat kreseknya. Biar Nenek satuin sama melati yang lain.” Aku menyerahkan kantong kresek berwarna hitam yang kubawa dari rumah pada Nenek. Namun aku dikejutkan oleh sesuatu yang sama sekali tidak masuk di dalam otakku. Bagaimana bisa jelas-jelas aku mengisi kantong kresek hitam itu dengan bunga melati yang baru petik dari pohonnya. Saat aku bawa tadi bunganya masih segar, bahkan masih basah oleh sisa air hujan semalam. Namun kini bunga-bunga melati itu berubah menjadi bunga melati yang sudah layu, menguning bahkan banyak yang sudah hampir busuk dalam waktu kurun waktu kurang dari satu jam. “Maaf, ya, Jeng. Kalau bunga melati seperti ini tidak bisa Nenenk terima. Tidak mungkin Nenek menjual bunga melati yang sudah rusak dan hampir busuk ini,” kata Nenek tersebut dengan sabar. “Tapi, Nek… Saya baru saja memetik bunga melati itu di rumah sendiri sebelum dibawa ke sini. Bagaimana mungkin bisa bunga melati layu secepat ini?” ucapku gemetaran. “Duduk dulu, Jeng,” ucap Nenek sambil memberikan kursi plastik padaku. Mungkin Nenek bisa melihat kalau saat ini tubuhku sedang gemetar hebat. Namun aku menolak ketika Nenek menyodorkan gelas berisi air putih padaku. Ketika mencoba berdebat dengan nalarku dari persimpangan ada iring-iringan jenazah dari kampung lain menuju tempat pemakaman umum yang berada tak jauh dari tempatku sedang duduk. Akhirnya dengan berat hati berkata, “Maaf, ya, Nek. Saya sama sekali tidak berniat untuk menipu. Saya sendiri juga nggak habis pikir bagaimana semua ini bisa terjadi.” “Ya, sudah tidak apa-apa, Jeng.” Aku merogoh kantong piyamaku mencari uang berapapun yang bisa aku berikan pada Nenek sebagai ganti rugi karena aku telah melukai perasaannya. Namun ternyata kosong. Akhirnya aku beranjak berdiri dari kursiku untuk kembali ke rumah, mengambil uang dan kembali lagi ke tempat ini. Namun ketika melihat aku hendak meninggalkan tempat, Nenek itu melarangku dengan menahan bahuku supaya berhenti melangkah. “Tunggu dulu, Jeng. Masih ada iring-iringan jenazah. Kalau mau pergi nunggu kerandanya lewat. Menghormati yang sudah meninggal tidak ada ada salahnya. Meskipun kita tidak kenal satu sama lain dengan orang yang meninggal tersebut,” jelas Nenek atas alasannya menahan aku pergi. Akhirnya aku duduk kembali di kursi plastik yang aku duduki beberapa menit terakhir. Aku memanjatkan doa tulus pada orang yang meninggal itu supaya diampuni segala dosanya, diterima amal ibadahnya semasa hidup di dunia dan dilapangkan kuburnya. Tepat saat itu aku melihat dengan mata kepalaku sendiri beberapa orang tampak berjalan tergesa sambil menggotong keranda. Dan jelas-jelas aku melihat ada seorang ibu-ibu tiduran di atas keranda yang sedang bergerak tanpa takut terjatuh. Ibu-ibu tersebut melihat ke arahku. Wajahnya pucat tanpa senyum dengan mata yang terus melotot ke arahku. Seperti terhipnotis oleh tatapannya, aku terus menatap bola mata itu sampai iring-iringan jenazah tadi telah melewatiku. Entah apa yang dilakukan oleh almarhumah semasa hidupnya sampai dia tiduran seperti itu di atas kerandanya sendiri. Aku hanya bisa terdiam di tempat dudukku tanpa tahu mesti berbuat apa. Kakiku bahkan terasa begitu lemas untuk dibuat berjalan saat ini. Aku harus menunggu waktu untuk pulang ke rumah sampai energiku kembali. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD