Meski akan diadakan pertemuan penting di rumah, Akhza tetap pulang kantor di jam seperti biasanya. Aku telah membelikan keripik, kacang serta beberapa macam jajanan pasar sebagai sajian tambahan untuk menemani pertemuan yang akan diadakan di rumah. Serta membuat puding mangga sebagai kudapan pencuci mulut seusai makan malam nanti. Sementara untuk makanan beratnya aku menuruti saran Akhza memesan lewat aplikasi layanan pesan online. Tadi siang aku sudah bertanya pada Akhza soal menu makanan beratnya. Kami sepakat akan menyajikan menu seafood seperti cumi masak asam manis, udang masak asam manis dan ikan bakar. Restoran yang kami pilih juga tidak terlalu jauh dari rumah. Sehingga ketika makanan sampai rumah masih dalam keadaan seperti baru dimasak karena jarak antarnya tidak terlalu jauh.
“Teman kamu ke sini jam berapa, Za?” tanyaku setelah kembali dari ruang tamu untuk menyajikan beberapa toples camilan dan keranjang air mineral di meja ruang tamu.
“Sudah on the way. Tadi aku duluan supaya nggak begitu nunjukin kalau janjian di luar sama orang kantor yang lain.”
“Mau bahas apa, sih? Kayaknya rahasia banget sampai harus takut ketahuan orang kantor lain kalau kalian janjian bertemu di luar jam kantor,” tanyaku penasaran.
“Nanti kalau udah fix, pasti bagi ke kamu informasinya.”
“Ya, udah. Aku mau mandi dulu.”
Akhza mengernyit saat menatapku. “Tumben kamu belum mandi jam segini?” tanyanya heran. Mandi lewat dari pukul lima sore memang bukan kebiasaanku. Tidak heran sebenarnya kalau Akhza menanyakan soal itu.
“Tadi mager banget. Abis bikin puding aku tidur-tiduran, eh, ketiduran beneran. Tau-tau udah jam lima.”
“Jadi aku pulang kantor tadi, kamu baru banget bangun tidur?”
Aku mengangguk lalu menyeret langkahku ke kamar mandi. Badanku memang terasa berat dibawa aktivitas seharian ini. Seperti ada beban berat di punggungku. Padahal aku tidak sedang sakit apalagi baru melakukan aktivitas berat yang harus menggunakan energi lebih untuk melakukannya. Namun aku tidak menceritakan soal keluhanku ini pada Akhza. Yang ada dia pasti akan menyangka kalau aku sakit dan tidak akan segan membawaku ke dokter. Padahal akunya sendiri tidak merasakan sakit apa pun.
Terdengar suara ketukan pelan dari pintu kamar mandi. Tidak lama kemudian menyusul suara Akhza memanggilku. “Moni! Agak cepet mandinya, ya. Tamuku udah datang,” ujar Akhza.
“Iya, Za. Ini udah selesai. Lagi ngeringin badan.”
Tidak terdengar jawaban lagi dari Akhza. Mungkin dia sudah keluar kamar untuk menyambut tamunya. Aku mempercepat aktivitasku mengeringkan badan dengan handuk. Di depan lemari aku memilih pakaian yang tepat untuk menyambut teman-teman kantor Akhza. Aku memutuskan menggunakan setelan homewear polos warna mustard. Salah satu barang daganganku sendiri. Enaknya jadi pedagang konveksi itu, ya, seperti ini. Kalau ada jenis pakaian yang kita suka, bisa beli dengan harga grosir, satu untuk dipakai sendiri, sisanya dijual di lapak olshop pribadi.
Setelah menyemprotkan parfum di titik-titik tertentu tubuhku, aku bergegas keluar untuk menemui teman-teman kantor Akhza di ruang tamu.Ternyata di sana sudah ada dua orang yang belum pernah aku kenal sebelumnya.
“Septa,” ucap salah satu teman Akhza menyebutkan namanya.
“Devi,” ucap satunya lagi.
“Monica,” balasku menyebutkan namaku.
Aku nimbrung obrolan di ruang tamu. Namun tidak sampai lama karena aku memang tidak bisa berlama-lama berinteraksi dengan orang baru. Dan Akhza paham soal itu. Dia sama sekali tidak keberatan saat aku pamitan mau ke dapur padahal baru sepuluh menit aku berada di tengah-tengah mereka bertiga.
Di dapur aku membuatkan minuman untuk teman-teman Akhza. Hanya teh dan kopi. Kata Akhza masih ada dua orang lagi temannya yang akan datang. Jadinya aku membuatkan lima minuman sekaligus supaya tidak keluar masuk lalu mengganggu obrolan mereka.
Ketika aku mengantarkan minuman ke ruang tamu, di sana sudah datang dua orang lagi. Kami berkenalan seperti yang aku lakukan sebelumnya pada dua teman Akhza. Namanya Akmal dan Hera. Sama seperti teman sebelumnya temannya yang baru datang ini juga laki-laki dan perempuan. Akhza memintaku duduk sebentar di sampingnya saat aku mengambil aba-aba kembali ke dalam. Dia memintaku untuk menemani teman-temannya ini mengobrol sebentar karena dia mau ke kamar hendak mengambil laptopnya.
Berbeda dengan teman perempuan Akhza yang sebelumnya, Hera ini terus menatapku dengan tatapan tidak menyenangkan. Namun ketika aku balik menatapnya, wanita itu segera membuang muka dan memalingkan wajahnya. Beruntung Akhza tidak perlu berlama-lama meninggalkanku dengan teman-temannya. Sehingga aku bisa segera meninggalkan ruang tamu.
Sepertinya Akhza sudah mulai berbincang membahas hal yang serius dengan teman-temannya. Aku mengambil kesempatan ini untuk memesan menu masakan yang sudah aku dan Akhza sepakati bersama sore tadi. Jadi saat pesanan selesai bertepatan dengan waktu jam makan malam. Aku juga memikirkan kondisi kesehatan Akhza soal makanan. Dia tidak bisa terlambat makan karena memiliki riwayat gerd, akibat terlalu keras dalam bekerja dari sebelum menikah, sampai sering mengabaikan waktu makannya. Setelah terkena gerd satu setengah tahun yang lalu, barulah Akhza sadar pentingnya makan tepat waktu.
Akhza itu selalu mengingatkanku soal makan dan istirahat untuk menjaga kesehatan. Sementara dia sendiri suka lalai menjaga kesehatannya sendiri. Kalau diingatkan soal itu, dia selalu menjawab, “kalau aku sakit ada kamu yang akan merawatku dengan sepenuh hati. Sedangkan kalau kamu yang sakit, aku bakal bingung setengah mampus karena harus melakukan apa-apa seorang diri.” Oleh karena itulah, dia lebih suka menjaga kesehatanku agar aku tidak sampai jatuh sakit.
Sambil menunggu pesananku datang, aku memutuskan untuk rebahan sebentar. Supaya Akhza tidak perlu repot-repot memanggilku ke kamar, aku memutuskan rebahan di ruang tengah. Televisi aku biarkan menyala dengan volume lirih.
Aku merasa ada yang mengguncang tubuhku. Susah payah aku membuka mata. Setelah berusaha akhirnya kedua mataku terbuka juga. Sepertinya aku tertidur saat menunggu pesanan. Setelah kesadaranku utuh aku menoleh ke samping kananku. Akhza sedang duduk sambil memangku sebuah toples. Melihat yang tengah terapit di antara jari telunjuk dan ibu jarinya, toples itu berisi keripik.
Malas-malasan aku menarik tubuhku ke posisi duduk. Sambil memijat punggung dan pundak yang terasa pegal, aku menoleh lagi ke arah Akhza untuk menanyakan kenapa dia ada di ruang tengah di tengah acara pertemuan penting dengan teman-teman kantornya. Namun saat Akhza menoleh tiba-tiba dia menyeringai lebar, semakin lebar dan mulutnya terus melebar mengerikan. Darah bercucuran di sekitar bibirnya yang bukannya lebar lagi bentuknya, tetapi sudah dalam keadaan seperti baru saja dikoyak. Detik itu juga aku berteriak histeris. Aku berteriak sekencang yang aku bisa. Apalagi ketika sesuatu yang aku kira tadi adalah Akhza, kini sedang merangkak ke hadapanku. Sudah tidak terhitung seberapa kencang teriakanku. Akhirnya aku pasrah saat makhluk yang telah berubah warna menjadi kebiruan itu sudah berada di depan mataku dengan mulut bersimbah darah. Aku memilih menutup mata dan meredam tangis dalam isakanku. Di saat yang sama aku merasa ada yang menarik pundakku cukup keras hingga aku seperti terpental. .
Aku lalu membuka mata dan mendapati aku masih berada di tempat tadi aku memutuskan untuk rebahan sambil menunggu makanan yang aku pesan datang. Aku memerhatikan sekitarku. Aku masih berada di ruang tengah dengan kondisi tv menyala. Samar-samar aku mendengar suara tawa Akhza dan teman-temannya yang lain. Tidak lama kemudian Akhza muncul dari pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah sambil membawa beberapa kantong kresek. Dari aromanya pasti makanan yang aku pesan beberapa saat yang lalu.
“Kenapa bengong?” tanya Akhza sambil meletakkan bungkusan yang dibawanya tadi di atas meja bundar di hadapanku ini.
“Aku ketiduran lama banget ya?” tanyaku bingung.
Akhza tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya. “Aku aja nggak tahu kalau kamu di ruang tengah. Kirain lagi tiduran di kamar. Itu pesanannya udah datang,” jelas Akhza santai, seperti tidak sedang terjadi apa-apa beberapa saat yang lalu.
“Kamu nggak dengar aku teriak, nggak, Za?”
“Nggak, Moni. Suara tv nya aja sama sekali nggak kenceng gitu. Masa iya aku lagi di ruang tamu sampai nggak denger suara kamu teriak di ruang tengah ini.”
Aku mendesah pasrah lalu bangkit dari sofa kecil yang aku tiduri beberapa saat yang lalu. Berarti aku cuma mimpi. “Makan malamnya aku siapin sekarang?” tanyaku sebelum Akhza meninggalkan ruang tengah.
“Iya, boleh. Makasih, ya, Moni,” ucap Akhza kemudian melanjutkan langkah kembali ke ruang tamu.
Penasaran seberapa lama aku tertidur, aku memeriksa ponsel dan masuk ke aplikasi layanan pesan makanan. Aku mengira-ngira tertidur setelah mengkonfirmasi pesanan dan membayar menggunakan e-wallet yang tersedia di aplikasi. Diperkirakan dari jam makanan sampai, aku tertidur lebih kurang hanya sekitar dua puluh menit. Tidak lama sebenarnya. Namun rasanya seperti aku tidur selama berjam-jam.
Sepertinya ada yang tidak beres pada tubuhku. Apa aku perlu mengikuti saran Akhza untuk memeriksakan diri ke dokter ya? Sungguh hal ini mulai mengganggu aktivitas sehari-hariku. Belum lagi ditambah dengan munculnya makhluk-makhluk aneh dan mengerikan di dalam mimpi sesaatku. Hal itu sungguh sangat menyiksaku.
~~~
^vee^