Bab 11 : Jangan menangis, Vega

1079 Words
Lian berlari sekencang mungkin menyusul Vega yang sedang berada di tengah jalan. Pemuda itu berlari kencang tanpa memikirkan keselamatannya. Klakson-klakson dan juga bunyi ban berdecit tepat di depan kakinya. Namun itu tidak menyurutkan niatnya berlari ke arah Vega. Vega tersenyum lebar, tangannya melambai ke arah Lian. Kemudian lengan pemuda itu merengkuh bahu dan pinggangnya tepat sebelum sebuah mobil menyentuh kakinya. Kemudian mereka berdua jatuh, berguling ke aspal dengan keras. Gadis itu cepat tersadar setelah mendengar suara rintihan kesakitan Lian. Vega segera bangkit dari atas badan Lian. “Astaga, Lian!” pekiknya kaget. Vega menyentuh lengan Lian yang lecet dan berdarah. “Lian...” lirihnya. “Maaf... maafin aku,” tangisnya. “Gapapa. Udahlah...” balas Lian sembari menyingkirkan tangan Vega dengan gerakan ringan. Tangannya terasa sangat sakit karena harus menahan Vega saat mereka terguling lagi. Lian terus menangis ketika mencoba menggerakkannya. Sepertinya lengannya akan membengkak nanti. Beberapa orang yang ada di jalan pun berhenti dan menghampiri mereka berdua, menanyakan keadaan keduanya. Bahkan pengemudi mobil yang tadi hampir menabrak Vega pun mengajak mereka ke rumah sakit. Namun Lian langsung menolaknya. Lian mengajak Vega pulang. Dia merangkul gadis itu sembari terus menghibur Vega dengan mengatakan bahwa dirinya baik- baik saja karena Vega tak henti menangis. “Udah, gapapa kok. Ayo pulang!” Vega menggeleng saat Lian mengajaknya naik sepeda. “Apa kamu mau pulang naik taksi aja? Biar aku car-” Belum sempat pemuda itu melanjutkan ucapannya, dia dikejutkan oleh pelukan Vega padanya secara tiba-tiba. “Maafin aku, Li. Aku b**o banget karena nggak perhatiin jalan. Aku hampir buat kamu celaka." Lian tersenyum tipis. Diusapnya kepala gadis itu lembut. Vega terlihat gemetar. Gadis itu pasti syok karena kejadian berusan. “Gapapa, nggak usah minta maaf. Yang penting kamu baik- baik aja. Ngga usah nangis lagi, oke?” hiburnya. Vega melepas pelukannya. Gadis itu memandang Lian sedih. Matanya menatap tepat pada siku dan lengan Lian yang berdarah akibat bergesekan dengan aspal tadi. Jatuhnya tadi keras. Untung saja Lian menariknya cepat. Karena jika tidak, pasti dia yang mendapatkan luka itu. Atau bahkan mungkin Vega akan celaka. Dia merasa begitu bodoh. Karenanya Lian berulang kali terluka. Pemuda itu menghadapi bahaya karena dirinya. Belum sembuh luka akibat dihajar Mario saat itu, kini bertambah lagi lukanya. Vega membatu saat Lian menghapus air matanya dengan sapu tangan miliknya. “Nggak usah nangis lagi, oke? Aku gapapa kok,” ujarnya. "Kamu terus terluka karena aku." Lian menggeleng pelan. Pemuda itu memaksa senyumnya agar Vega tidak merasa bersalah. "Ini bukan luka berat, cuma lecet. Pasti aku akan segera sembuh. Jangan merasa bersalah karena ini." "Waktu itu kamu juga dipukul Mario karena aku." "Itu udah lalu, Ga. Itu bukan salah kamu," kata Lian dengan senyuman tulus yang langsung menghangatkan hati Vega yang sedang kacau. Gadis itu menatap Lian lama. Vega mengulurkan tangannya, membelai pipi Lian yang putih bersih namun sedikit kotor karena sehabis berguling di jalan. Gadis itu diam tak bersuara, seperti halnya Lian. Pemuda itu hanya berdiri layaknya patung saat Vega mengusap lembut pipinya. “Aku suka sama kamu, Li. Aku suka kamu.” Lian membatu saat Vega menjatuhkan diri ke pelukannya. Pemuda itu tidak bisa berpikir apa-apa. Kepalanya terasa kosong. Dia syok berat. Lian sama sekali tidak pernah membayangkan kalau kalimat itu akan diucapkan Vega padanya. Seperti mimpi, seorang tuan putri seperti Vega menyatakan perasaan padanya. Selama beberapa saat Lian tidak bernafas. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Mungkinkah ucapan gadis itu benar adanya? Rasanya tidak jika mengingat status Vega dan dirinya. Vega pasti berbohong lagi. Gadis sepertinya tidak mungkin menyukai Lian. Vega seperti itu pasti karena dia sedang membutuhkannya. Seperti saat yang lalu. Gadis itu memang hanya berniat memanfaatkannya. Lian tidak boleh tertipu lagi. Selamanya Vega tidak akan pernah menyukainya. Itu mustahil, gadis itu seperti bintang yang tidak mungkin dia raih. Kemudian pemuda itu tersadar. Dia segera melepas pelukan Vega padanya. “Ayo pulang,” ajaknya. Lian berbalik, hendak mengambil sepedanya namun Vega menahan lengannya. “Apa kamu suka aku juga, Li?” tanya Vega. Lian mendesah pelan, berusaha menahan perasaannya agar tidak lagi jatuh dalam kebohongan Vega. "sebaiknya aku antar kamu pulang.” "Apa kamu juga suka sama aku, Li?” tanya Vega lagi. Lian menepis tangan gadis itu. Lalu meraih setir sepeda miliknya dan memutarnya. Lian naik ke atas sepedanya dengan segera. “Ayo naik! Kita pulang!” Vega menggeleng. “Jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu suka ak-” “Vega!” potong Lian cepat. Pemuda itu menghela nafas panjang. Diraihnya tangan lembut Vega. “Kita berteman kan?” tanyanya. "Kamu adalah teman yang baik, Ga. Aku suka banget berteman sama kamu. Aku suka kamu.” Vega terdiam. “Tapi Li...” "Kalau ini karena kamu merasa bersalah karena kejadian tadi, kamu nggak perlu melakukan itu. Aku udah bilang kalau ini cuma luka kecil. Jangan merasa bersalah." “Ayo naik!” ajak Lian dengan bibir melengkung. Wajahnya memelas penuh harap, menyiratkan bahwa dia sangat ingin Vega memenuhi permintaannya. “Aku antar kamu pulang sekarang.” Vega menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Melihat senyuman Lian yang manis namun tidak mencapai matanya, ia tau jelas maksud Lian. Pemuda itu menolaknya, dia mengatakan hanya melihat Vega sebagai seorang teman. Mungkin dia memang menyukai Dinda. Karena itu dia menolaknya. Gadis itu mendengus pelan. Apa kelebihan seorang Dinda sehingga Lian menyukainya? Apa Lian pikir Dinda lebih baik darinya karena masalah dulu? Bukankah Vega sudah meminta maaf dan Lian juga sudah memaafkannya? Tidak bisakah Lian melupakan kebohongan Vega kala itu dan memulai awal yang baru? Mendadak hati gadis itu terasa perih. Lebih perih dibandingkan luka lecet di siku dan lututnya. Sepertinya kata- kata Lian tadi sudah menggores hatinya, membuatnya terluka. “Vega...” panggil Lian. "Jangan menangis," kata pemuda itu sedih. “Apa yang aku lihat selama ini salah?” lirihnya dengan suara bergetar. Gadis itu menepis satu tetes air matanya yang jatuh ke pipi. “Aku kira kamu juga suka sama aku.” Lagi, Vega menepis air matanya yang jatuh. “Aku ngerasa kamu ngeliat aku beda dari yang lain. Bahkan kamu tadi nyelametin aku. Kamu nggak mikirin diri kamu sendiri saat narik aku tadi. Padahal kamu bisa aja-” “Vega...” Lian menatap gadis itu sambil mendesah putus asa. Dia sedih dan tak tega melihatnya seperti itu. “Aku suka sama kamu sebagai teman, teman yang baik. Kamu gadis baik, Ga...” ujarnya. Vega menggigit bibirnya saat kata-kata Lian tersebut terdengar di telinganya, membuat hatinya seperti diremas-remas. Semua kalimat Lian selanjutnya tidak dia dengarkan. Vega mulai melangkahkan kakinya, menjauh dari pemuda itu. Dia terus berjalan, tak peduli meski Lian berteriak-teriak memanggilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD