"Kau mondar-mandir begitu tak akan menyelesaikan kekhawatiranmu."
"Gimana aku tak khawatir?"
Ia jelas cemas sekali. Karena was-was dengan keadaan Narsha. Kalau Narsha dipukul bagaimana? Kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk dari itu bagaimana? Ia tak bisa membayangkannya sama sekali.
"Kita bahkan tak bisa melaporkannya pada polisi."
Ya memang benar. Itu sesuatu yang sulit dilakukan. Apalagi mereka melihat jelas apa yang terjadi kemarin. Karena polisi malah bekerja sama. Sementara itu, yang dikhawatirkan justru sedang berdiri menghadap ke balkon yang bisa terlihat jelas di balik pintu kaca. Ia menarik nafas dalam.
"Aku belum ingin pulang."
Begitu katanya begitu Arsen masuk. Lelaki itu sudah menduganya. Tak kan mudah berhadapan dengan Narsha.
"Lalu kau berharap aku akan melepaskanmu lagi, Nars?"
Arsen masih marah. Namun ia menahannya. Kesabarannya benar-benar diuji karena Narsha. Sulit sekali untuk meluluhkan hatinya bukan?
"Hanya beberapa hari, aku janji."
Arsen berdesis. Jelas saja marah meski hanya beberapa hari. Tak ada jaminan kalau Narsha akan kembali padanya. Gadis itu tak tertebak. Namun satu hal yang bisa ditebak oleh Arsen. Apa? Perasaan Narsha yang tidak tertuju padanya.
"Kamu mau bertemu mantanmu kan?"
Ia terdiam. Meski bingung kenapa Arsen bisa tahu. Apa lelaki itu melihatnya? Melihat Narsha diam seperti itu, ia sudah mengambil kesimpulan yang lebih dari cukup untuk tahu. Hubungannya dan Narsha memang selalu berkaitan dengan lelaki itu. Ia yang tahu bagaimana Narsha sering mencari lelaki itu meski sedang bersamanya.
"Kamu sudah tahu bagaimana ujung hubunganmu dengan lelaki itu."
Narsha menghela nafas. Ya memang. Tapi entah kenapa, ia masih ingin bertemu. Tak ingin berhenti untuk sekedar melihatnya. Dan rasanya permintaan ini benar-benar jahat bukan? Karena ia membuat perasaan lelaki ini terluka.
"Kita akan pulang besok. Aku gak mau dengar alasan apapun."
Ia tak perduli. Ia memilih masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Lalu keluar lagi. Ia merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Narsha menghela nafas. Arsen tak bisa diajak kompromi sama sekali. Ya siapa juga yang mau berkompromi dengannya untuk urusan masa lalu?
Sebenarnya Narsha hanya ingin menghabiskan sedikit waktu di sini. Ia harusnya berpamitan dengan benar. Tak enak hati pula orangtua A Yana yang sudah membantunya selama ini. Masa ia tak berpamitan dengan baik sih? Tapi memang bukan itu alasannya. Ia enggan meninggalkan negara ini bukan kah karena melihat lelaki itu ada di sini?
Bertemu dengannya akan jauh lebih sulit jika dilakukan di Jakarta. Karena ada banyak orang suruhan di sekitarnya. Ia takut mereka akan melukai Alfa nantinya. Makanya selama bertahun-tahun belakangan ia selalu menghindari Alfa. Apakah lelaki itu tahu? Mungkin.
Ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyalakannya dan tentu saja menghubungi A Yana. Gadis itu pasti khawatir sekali dengannya bukan?
Ia menutup pintu yang terhubung ke balkon agar tak menganggu Arsen. Ya khawatir akan didengar juga olehnya.
"Yaaak! Aku menunggu kau sejak tadi tau!"
Ia menghembuskan nafas. "Aku akan pulang besok."
"Yaaa! Apa?"
Ia tak mendengarnya dengan begitu jelas.
"Aku akan pulang besok."
"Yaaak! Dengan seenaknya kau pulang?"
"Kau tahu kondisiku."
A Yana berdecak. Ya memang.
"Baca pesanku," ujarnya.
Ia memang mengetik sesuatu. Terlalu sulit untuk mengatakannya. Ia yakin kalau Arsen belum tidur.
Bantu aku kabur besok. Tunggu aku di sekitar apartemen Honam.
A Yana berdesis usai membaca pesannya. Hari ini sudah membantunya kabur lalu besok akan membantunya kabur pula.
"Jadi kau tak mau pulang?"
Ia menghela nafas.
Kalau mau, aku tak akan mengatakannya padamu.
Ia membalas melalui pesan.
"Kau yakin bisa?"
A Yana sangsi. Ya tahu sendiri dengan apa yang terjadi hari ini bukan? Wajar rasanya kalau A Yana berpikir seperti itu.
Setidaknya kita harus mencobanya.
"Kau....," A Yana berdeham. "Tak mencoba untuk menemui mantanmu kan?"
Semua orang berpikir begitu. Rasanya wajar juga Arsen mengatakan itu.
Arsen melihatnya juga? Kau tahu?
"Yaaa! Tentu saja melihat. Dia bahkan mencoba untuk menyelamatkanmu. Tapi melawan semua pengawal tunanganmu itu bisa membuatnya segera mati."
Ya memang benar.
"Kau yakin?"
Narsha diam. Ia juga tak tahu dalam rangka apa menemui Alfa kembali. Tak ada. Ia hanya ingin melihatnya. Hanya itu. Pergerakannya tak akan bebas kalau sudah kembali ke Jakarta.
"Tunanganmu akan marah dan sakit hati."
A Yana memperingatkan. Ini pun sudah marah dan sakit hati. Ia benar-benar egois ya?
"Sebenarnya apa yang kau cari?"
Ia hanya penasaran. Karena kalau memang mau kembali ya putuskan saja tunangannya. Ambil resiko yang selama ini tak pernah berani untuk ia ambil. Ia takut meninggalkan Tuhannya. Ia juga takut meninggalkan keluarganya. Sungguh hal yang tak mudah bukan?
Ada banyak hal yang harus ia korbankan jika mau hidup bersama Alfa. Apakah ia yakin masih ingin mengambil resiko besar itu?
@@@
"Lo gila!"
Teman-temannya tercengang. Ia baru saja menceritakan sebuah pertemuannya dengan laki-laki berumur 40-an tahun. Meski masih terlihat begitu muda, semua orang tahu kalau lelaki itu sudah punya anak dan istri. Anaknya bahkan sudah belasan tahun. Hanya berbeda satu atau dua tahun dengannya. Ya memang hampir seumuran. Tapi anehnya ia tertarik pada ayahnya.
Berawal dari pertemuan ketika ia mengikuti audisi menyanyi diam-diam. Keluarganya tentu saja tak tahu. Karena abinya pasti akan menentangnya untuk menjadi artis bukan? Terbayang dibenak mereka bagaimana kehidupan menjadi artis itu dan baju-baju yang mereka kenakan. Meski ia berdalih akan tetap mempertahankan hijab yang setidaknya masih ia kenakan, semua orang sangsi. Bahkan termasuk abangnya sendiri.
"Terus dia mau?"
Ia mengangguk-angguk kegirangan. "Dia yang ngajak ketemuan sama gue."
Dua temannya ternganga bahkan sampai kehilangan kata-kata. Ya tak paham dengan apa yang ada di dalam kepalanya. Alma ini kan cantik meski bukan yang pintar-pintar amat. Ia juga berasal dari keluarga yang berada. Lalu untuk apa menemui lelaki 40-an tahun yang meski masih ganteng dan keren kan tetap saja sudah tua. Ia bisa memilih lelaki lain yang jauh lebih muda. Kenapa harus lelaki seperti itu?
"Lo tahu ada bininya kan?"
Ia mengangguk ceria. Seolah tak terganggu dengan hal itu. Ya mereka tahu sih kalau Alma memang agak-agak manja dan suka diperhatikan. Tapi ia kan bisa meminta perhatian itu pada keluarganya. Untuk apa coba meminta perhatiannya dari lelaki lain?
"Maaaa.....lo jangan aneh-aneh deh."
Ia terbahak. Puas menertawai dua temannya. Ia dilempari kertas setelah itu. Karena dianggap kalau candaannya begitu parah. Siapa yang tak percaya kalau ia berbicara begitu?
"Becandaan lo gak lucu taukk."
"Tauk ih....lo jangan ikut-ikut....," ia memelankan suaranya. "Si Ratih deh. Kalo dia, satu kampus juga tahu jadi baby sugarnya siapa."
Tentu saja dekan fakultas mereka. Hal umum. Semua dosen juga tahu. Yang dibicarakan baru saja melintas di belakang Alma. Ketiganya sedang duduk-duduk di bangku dekat bawah pohon. Sembari mengerjakan tugas ya bergosip ria.
Bagaimana? Setuju?
Ada pesan masuk ke ponselnya. Ia langsung sumringah. Kedua temannya tak memperhatikan karena sudah sibuk dengan laptop masing-masing.
Tergantung bagaimana abang menyiapkan dinner untuk aku malam ini
Ia membalas pesan itu. Ia tentu saja tak bercanda. Ia serius berkata seperti tadi. Tapi teman-temannya salah mengira. Ia hanya ingin tahu bagaimana pendapat mereka. Dan ternyata tak asyik ya? Mereka tak mendukung sama sekali. Ya orang mana yang akan mendukungnya untuk menjadi selingkuhan orang lain? Mau cowoknya secakep Nabi Yusuf juga, orang waras dan tahu agama akan berpikir kalau hubungam semacam itu ya zinah. Tapi gadis ini dan pola pikirnya sungguh berbeda. Baginya, itu tak berarti apa-apa. Toh meski ia mengenakan hijab, ini kan karena ia lama tinggal di Aceh. Meskipun setibanya di sini ya masih mengenakan karena faktor orangtua dan kakak pertamanya yang begitu protektif. Namun ketika ia di luar seperti ini, itu sama sekali tak ada pengaruhnya. Hidup itu harus dinikmati. Dan ia ingin menikmati hidup dengan caranya sendiri.
"Oke...gue udahan.....," tukasnya. Menilik ini sudah sore.
Dua temannya jelas menoleh.
"Lo udah selesai ngerjainnya?"
"Nanti aja," ujarnya. "Gue ada perlu. Bye!"
Ia malah pergi begitu saja. Kedua orang itu geleng-geleng kepala.
"Paling nanti dia bayarin siapa buat bikin tugasnya."
"Anak konglomerat emang beda."
"Kakaknya kali yang konglomerat."
"Ya iya sih. Tapi gue jadi penasaran. Kakaknya konglomerat siapa namanya?"
Juna terbatuk-batuk. Ia baru saja keluar dari urusan meeting dengan klien. Ada banyak sekali meeting-nya hari ini. Bahkan hanya bisa beristirahat saat jam makan siang tadi. Kini begitu semuanya selesai, ia sungguh lelah. Padahal hanya duduk, berbicara, dan menyimak. Seberat apa urusan itu? Berat mikir tahu. Ada banyak kerja sama yang ia buat artinya ada banyak pertimbangan dalam memilih.
"Pak Ferril sedari tadi menghubungi."
Asistennya melapor. Pasti karena ia tak kunjung mengangkat teleponnya, lelaki itu menghubungi para asistennya. Masalahnya, asistennya hari ini juga sibuk sekali. Jadi ketika kembali ke ruangan, ia menelepon cowok tengil yang belum lama menikah itu. Yah rasanya ekspedisi kemsrin juga masih terasa lelahnya.
"Lo nelpon gue, ada apa?"
"Ngajak makan malam. Biasa lah. Ada obrolan penting."
Ia mengiyakan. Kemudian menoleh ke asistennya yang menunggu di ambang pintu. Ini memang sudah waktunya pulang. Bahkan kurang dari satu jam, ia harus menemui Ferril dan yang lain.
"Pulang aja. Aku bisa urus sendiri."
Asistennya mengangguk lantas berpamitan. Ia bersiap juga untuk meninggalkan ruangannya. Kemudian pulang ke apartemen karena jauh lebih dekat. Umumnya kalau berkumpul dengan Ferril dan yang lain, akan lebih banyak dilakukan di Jakarta. Ya dibandingkan di Depok. Kadang ya di Bogor sekalian menepi dari keberisikan Jakarta.
Ia tiba di apartemen lalu buru-buru mandi dan memakai baju kokonya. Tak lupa membawa kemeja ganti untuk dibawa ke mobil. Ia solat di masjid yang berlokasi tak begitu jauh dari apartemennya. Selesai solat ya segera masuk ke dalam mobil lalu memakai kemeja. Baru kemudian ia mengemudikan mobilnya menuju restoran langganan Ferril. Yang jelas bukan restoran di mana Ferril dulu sering membawa perempuan. Mantan playboy itu tentu saja sudah tobat.
Ia tiba kurang dari 40 menit di parkiran sebuah hotel. Yeah tentu saja di restoran lantai teratas. Mereka tidak ke klub. Tentu saja turun di lantai yang berbeda dengan klub itu. Tiba di sana memang sudah banyak yang datang. Bahkan ada Farrel juga.
"Gue dapat informasi, mereka berencana ambil alih Won Shik Group."
"Gue udah nawarin pembelian saham dengan harga tinggi ke mereka."
"Ooh lo yang ambil Jun?"
Juna mengangguk. Tapi tentu saja masih menunggu tahap persetujuan. Ia sudah banyak mengambil alih perusahaan asing di Indonesia. Ya biar warga lokal bisa mendapatkan kesempatan bekerja yang lebih baik dan banyak tentunya. Ia memikirkan itu alih-alih keuntungan. Tapi tentu saja dengan banyak perhitungan. Ketika ia membeli saham di Indonesia maka sebelumnya ia pasti sudah membeli saham di luar negeri. Dan itu....
"Jangan bilang lo ambil saham juga dari Aeros, Jun?"
Ia terkekeh. Ya memang. Aeros adalah perusahaan pesawat terbang ternama di dunia. Ferril geleng-geleng kepala. Ya harusnya tak heran. Keuntungan besar tapi uang yang dikeluarkan juga besar.
"Bukan cuma gue. Abang lo tuh gak hanya punya saham yang lebih banyak dari gue di sana tapi juga pemasok tetap untuk perangkatnya. Gila gak tuh?"
Farrel hanya mengusap wajah disaat yang lain berwaw-waw ria. Posisinya sekarang sudah sama dengan Juna. Yeah posisi kekayaannya. Mereka bukan hanya pengusaha muda terkaya di Indonesia tapi juga se-Asia dan Eropa. Ya nama Farrel baru-baru ini juga booming di Eropa.
Mereka asyik tertawa-tawa mengobrolkan urusan bisnis dan pencapaian. Uniknya, tak ada yang saling iri dengan kekayaan masing-masing. Tahu kenapa? Karena rezeki itu kan Allah yang atur. Jadi selama berusaha ya jangan takut rezekinya tidak ada.
Suasana memang riuh di area outdoor restoran itu. Mereka sengaja mengambil semua kursi yang ada di luar dengan pemandangan langit Jakarta dan di bawahnya keriuhan jalanan. Sementara itu, satu orang sedang was-was. Ya kesal saja karena melihat sosok Juna di sana. Kok bisa abangnya di sini?
Ya bisa sih. Maksudnya, kok bisa bertepatan? Mana ia menunggu orang itu. Belum juga datang. Ia memang memunggungi mereka. Ia duduk di meja terdekat pintu restoran yang mengarah ke luar. Jadi kalau salah satu di antara mereka menoleh ke dalam restoran, tentu saja akan melihat punggungnya. Lantas apakah akan ketahuan?
Tergantung. Kalau ia sedang apes mungkin saja akan ketahuan bukan?
Ia terus mengirim pesan karena saking gelisahnya. Ya kalau tertangkap basah Juna ketika berjalan-jalan ke mall tanpa hijan itu sudah hal yang biasa. Tapi dengan lelaki? Ini bahkan pertama kalinya hendak berhubungan dengan seseorang. Selama ini?
Yang seumuran. Tapi menurutnya tidak menantang. Tidak seru. Kalau ini kan lebih berpengalaman. Ihiy.
Tak lama, orang itu memang datang dan dengan santainya duduk di depannya. Meski banyak yang melihat ke arah mereka. Ya kalau urusan keluarganya akan tahu? Ia tak masalah. Ini bukan yang pertama. Istrinya juga pasti akan tahu.
"Mau pesan sesuatu?"
"Bagaimana kalau kita pindah ke tempat lain?"
"Kamu tidak mau di sini?"
Ia tersenyum nakal. Lalu memajukan tubuhnya hingga berada dalam yang jarak yang dekat meski tentu saja terhalang meja. Tak bisa begitu dekat-dekat amat.
"Aku suka yang langsung."
Padahal ia hanya ingin kabur. Tapi toh, ujung-ujungnya akan ke kamar juga. Jadi keduanya segera beranjak. Berhubung ini memang gedung hotel ya langsung di-booking saja. Sudah hal umum kalau banyak yang datang ke simi untuk yang macam-macam.
Kalau kebanyakan orang melakukan ini untuk uang. Maka ia tidak. Ia tidak punya tujuan untuk melakukannya juga. Untuk apa? Entah lah. Ia hanya ingin menikmati hidup yang menyenangkan. Namun pasti ada alasan kenapa ia akhirnya menikmati ini bukan?
Ya ada.
Saat SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang lelaki yang tampak seperti Juna. Maksudnya dari sisi kealimannya. Tapi ternyata mengajaknya pacaran juga. Tapi ternyata sampai ke ranjang juga. Ia dijebak untuk datang dan tak bisa menolak karena saat itu ia terlalu buta. Ia takut diputuskan. Di sisi lain juga sudah terlanjur melakukan sesuatu yang melebihi batas dengan lelaki itu. Awalnya takut tapi lama-lama malah ia suka. Namun naasnya lelaki itu meninggal terlindas truk menjelang kelulusan SMA mereka. Ia sedih? Ya sangat. Tapi yang ia pikirkan adalah tak ada lelaki yang mau menyentuhnya lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih pula.
Lalu saat baru masuk kuliah satu tahun lalu, ia juga diajak oleh salah satu kakak tingkatnya. Katanya sebagai syarat untuk masuk organisasi mereka. Ia menurut? Ya. Karena hal itu sudah biasa ia lakukan. Ia bahkan sudah tidak perduli orang akan menganggapnya serendah apa. Lalu dengan lelaki ini?
Kali ini berbeda. Karena ini mengingatkannya dengan rasa tertarik yang sama seperti cinta pertamanya saat SMA. Sejauh ini, tak ada satu pun dari keluarganya yang tahu kalau ia seperti ini. Memilih hidup kos di Jakarta padahal rumah begitu dekat di Depok sana, bukan kah keluarganya harus curiga?
Tapi tidak. Ia masih pandai bersandiwara. Meski ia tak tahu lali ini hubungannya akan berakhir seperti apa.
@@@
Ia tidak bisa tinggal diam. Meski ia tak tahu di mana keberadaan Narsha dan Arsen. Namun satu-satunya cara yaa mendatangi gedung hotel termahal. Maka sejak pagi, ia sudah lakukan itu. Ia bahkan harusnya masuk bekerja. Tapi izin pula setengah hari. Karena ia berpikir, gadis itu mungkin akan dibawa pulang ke Indonesia. Kenapa ia ingin mengejarnya?
Ia merasa kalau ia tahu kenapa Narsha dikejar-kejar dan ditangkap oleh tunangannya sendiri. Bukan kah artinya, gadis itu tak bahagia sama sekali? Bukan kah masih ada kesempatan untuknya? Meski ia tak tahu akan seperti apa hubungan ini jika dipaksakan. Ia sudah tak mau perduli. Kali ini ia sungguh dibutakan oleh rasa cintanya pada Narsha. Jadi ia rela lakukan apa saja.
Ia pergi mendatangi semua hotel tapi tak menemukan nama Arsen di sana. Ia sudah mendatangi semua hotel mewah di Seoul. Ia tak yakin Arsen akan tinggal di hotel-hotel murah. Tapi tak ada. Akhirnya ia mencoba jalan lain. Ya kalau tak di hotel, ia akan coba apartemen. Kalau tak ada di apartemen? Kondomium atau sebagainya. Meski mustahil baginya untuk bisa masuk ke sana.
Ia bergerak menuju gedung-gedung apartemen mewah. Tentu saja tak mudah untuk sekedar masuk. Tapi ia setidaknya berhasil bernegosiasi. Namun untuk mempertanyakan nama Arsen ternyata tak mudah. Para pegawai juga enggan memberitahu. Ia benar-benar berjudi dengan nasib dan keberuntungan. Hingga saat hendak berbalik, ia justru melihat Arsen datang dari arah luar pintu. Pas sekali. Lelaki itu juga sudah melihatnya. Dan bukan kah lelaki itu sudah tahu niat ia datang ke sini? Lantas Arsen belum juga pulang?
Belum. Sialnya ia kecolongan. Narsha kabur tepat saat hendak berangkat. Ia yakin kalau gadis itu pasti masih ada di sekitar sini. Dan ia tak tahu apa maunya sebenarnya. Namun melihat ada Alfa di depan mata bukan kah ini bukan hanya sebuah kebetulan?
"Narsha mana?"
Tentu saja tunangannya yang ditanyakan. Arsen berdecih. Ia benar-benar benci dua orang ini.
"Masih ada urusan yang belum selesai sama lo?"
"Gue tanya, Narsha di mana?"
Arsen melirik ke sekitar. Di telinganya, baru saja ada pemberitahuan dari salah satu anak buahnya. Mereka menangkap keberadaan Narsha di CCTV.
"Tak jauh dari belakang anda, pak."
Ia tersenyum miring. Apa itu artinya, Narsha melihat Alfa? Maka jawabannya ya. Dan dalam waktu singkat, Arsen memberi kode pada para pengawalnya untuk menangkap Alfa. Tentu saja cowok itu kaget. Tiba-tiba kedua tangannya ditarik seolah-olah ia baru saja melakukan kejahatan. Tujuan Arsen memang itu. Karena sesuai dengan instingnya, Narsha keluar dari persembunyiannya. Tunagannya yang tentu saja membela sang mantan. Meski sakit, setidaknya ia mendapatkan Narsha.
"Stop it!"
Ia paling trauma melihat Alf a dipukul oleh segerombolan pengawal. Meski ini juga bukan pertama bagi Alfa. Tapi Narsha tak tega. Siapa juga yang akan tega?
"Aku mau pulang sama kamu tapi lepasin dia."
Arsen tersenyum kecil. Kalau tahu hanya perlu seperti ini, ia harusnya hanya membawa Alfa. Maka gantinya, Narsha yang dibawa Arsen menuju lift. Alfa tentu saja memanggil-manggil namanya. Namun gadis itu menghilang di balik lift bersama Arsen.
"Kamu tahu kalau aku benci sekali dengan lelaki itu? Karena kamu masih menangis untuknya."
Ia tampak kesal. Tapi ia selalu menahan amarahnya. Sementara di sampingnya, Narsha sesenggukan.
"Apa aku harus membunuhnya biar kamu gak pergi lagi, Nars?"
Narsha langsung menatapnya dengan tajam. "Kamu kejam."
"Kamu tahu kalau hidup denganku akan mudah. Lantas kenapa mencari jalan lain?"
Ia heran. Apa susahnya menerimanya? Tapi lagi-lagi Narsha tak menjawab. Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain sembari mengusap air matanya. Ia tak tahu seberapa dalam hati Arsen tersakiti karena hal ini. Lelaki itu menarik nafas dalam dan bersiap keluar dari lift.
"Pergi lah kalau begitu," ujarnya. "Kejar lelaki itu. Aku akan tetap menunggumu sampai kamu tak mendapatkannya."
Ia melenggang keluar begitu saja. Ia tahu kalau Narsha tak akan pernah bisa bersama lelaki itu. Perbedaan di antara mereka terlalu tinggi. Meski bisa jadi malah ada kesempatan. Namun Arsen sangat yakin. Narsha benar-benar gila kalau benar-benar mengejar lelaki itu.
"Kamu selalu begitu."
Langkahnya terhenti. Narsha sudah ikut keluar dari lift. Kini berdiri tak begitu jauh darinya.
"Kamu selalu berusaha keras mendapatkanku tapi begitu dapat, kamu lepaskan dengan cara seperti itu."
Arsen berbalik dengan cepat. "Aku tak melepaskanmu. Kamu tahu dan dengar kata-kataku tadi."
"Kamu tak menjaga dengan baik apa yang sudah kamu dapatkan."
"Kalau kamu membicarakan masa laluku, maka aku akan bilang kalau mereka yang memilih untuk pergi."
"Ya itu lah kenapa perempuan-perempuan itu pergi."
"Kenapa? Kamu kecewa? Karena kalau mereka tidak pergi, kamu mungkin tak akan di sini dan bersama lelaki itu?"
@@@