Seberapa lama pun ia menunggu di sini, kenyatannya tak juga bertemu. Narsha tak di sana. Ia menarik nafas panjang. Akhirnya ya beranjak. Dari pada hanya duduk menunggu. Mungkin tak akan jauh. Gadis itu mungkin saja tinggal tak negitu jauh. Ya kalau melihatnya berjalan kaki kemarin. Padahal yang tak begitu dekat juga. A Yana dan Narsha harus berjalan sekitar 15 menit menuju ke rumah.
Disaat ia keluar dari restoran, disaat yang sama pula ia melihat A Yana, seorang lelaki, dan.....gadis yang meski mengenakan kerudung, masker, dan juga kacamata hitam, ia masih tetap bisa mengenalinya. Mungkin orang lain tidak. Tapi ia sudah lama mengenal Narsha. Itu jelas Narsha. Itu jelas fakta yang tak bisa terbantahkan. Itu benr-benar Narsha.
Ia segera maju beberapa langkah hingga menghadangnya. Narsha tergagap. Jae In buru-buru mengambil mobil karena tak banyak waktu. Banyak orang yang berkeliaran di sekitar sini dan mencari Narsha. A Yana sengaja berjalan agak menjauh karena tahu mungkin mereka memang perlu bicara.
"Ada apa?"
Ia tahu kalau Narsha sedang menghindari sesuatu. Hanya satu hal yang ia tahu sejak dulu adalah Narsha selalu menghindari para lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Namun setahunya, itu tak terjadi pada Arsen. Ia masih meyakini kalau khusus Arsen, ceritanya berbeda. Hingga ia bahkan tak bisa menyembunyikan rasa cemburunya.
"Gak. Gak ada apa-apa."
Ini masalahnya. Alfa tak perlu ikut campur. Namun lelaki itu menahan lengannya. Ia tahu pasti sedang terjadi sesuatu. Meski ia juga tak tahu apa.
"Jujur padaku supaya aku bisa bantu kamu!"
Ia tampak kesal dan frustasi. Tapi ia tak bisa melibatkan Alfa lagi seperti dulu. Mereka sudah tak ada hubungan. Namun bagi Alfa? Hubungan itu tak penting. Kalau Narsha sedang terlibat masalah, ia bisa membantu meski bukan teman.
"Al," ia mencoba menyingkirkan lengan itu. "Kita udah gak sama lagi."
Ia mengucapkan itu begitu lirih. Hingga berhasil menghantam Alfa. Jelas kecewa. Karena ini penolakan keduanya. Bahkan bantuan darinya pun ditolak ya?
"Apa harus sama untuk bisa nolong kamu?"
Narsha terdiam. A Yana mengalihkan tatapannya. Ia tampaknya terlalu kentara dalam hal menguping. Hahaha. Ia hanya tak bisa menahan rasa penasarannya. Tapi saat melihat wajah Alfa yang menatap Narsha, ia tahu kalau cowok itu juga memiliki perasaan yang sama dengan Narsha. Keduanya harus berpisah. Yang menghadang terlalu banyak. Tentunya selain tembok yang menjulang tinggi itu, kedua keluarga juga terlalu jauh. A Yana tentu tahu bagaimana keluarga Narsha. Benar-benar hubungan yang rumit. Bahkan ketidakrestuan itu tak hanya datang dari keluarga Narsha tapi juga keluarga Alfa. Keluarga Alfa sangat agamis. Apalagi ibunya juga cukup keras.
"Aku nolong kamu tan--"
"Soo Jin--aah!"
Tahu-tahu A Yana sudah memanggilnya. Ya mohon maaf kalau ia menginterupsi. Narsha harus ikut mereka sekarang dengan mobil. Karena Jae In sudah muncul dengan mobilnya. Cowok itu juga sudah memberi kode agar ia segera masuk. Bertahan di luar seperti ini jelas begitu berbahaya.
"Sorry...."
Alfa terpaksa melepaskannya. Meski kecewa karena bantuannya ditolak. Namun setidaknya masih ada yang mau menolongnya. Ia hanya bisa mengepal kedua tangan. Jelas marah. Tapi mau bagaimana lagi?
Sementara itu, Narsha sudah masuk ke dalam mobil. Jae In buru-buru mengendarai mobilnya. Ia juga was-was takut ada banyak polisi yang mungkin mulai berpatroli di sekitar sini. Meski apartemen Narsha tak begitu jauh juga.
Mobil mereka melaju. Ya setidaknya aman meski banyak ditatap oleh orang-prang berbaju hitam. Mseeka tentu saja mencarinya dan rasanya semakin banyak.
"Ya! Tunanganmu benar-benaaar!"
A Yana tak habis pikir karena begitu banyak orang yamg dikerahkan hanya untuk mengejar Narsha. Narsha menghela nafas. Ia berkesimpulan kalau ayahnya juga mungkin turun tangan. Meski ia juga tak yakin. Ia tahu kalau Arsen bukan orang yang akan meminta bantuan ayahnya untuk hal-hal semacam ini. Maksudnya, untuk hal-hal yang masih bisa ia lakukan sendiri. Tapi melihat begitu banyak orang....
A Yana buru-buru mendorong tubuhnya untuk membungkuk di bawah. Ia ber-aaw ria karena lengan kanannya terantuk sisi kursi. Ya mau protes juga tak biaa karena sedang dalam kondisi darurat begini. Bahkan...
"Kenapa mendadak macet begini? Biasanya tak pernah."
A Yana heran. Jalan menuju apartemen Narsha hanya lah jalan raya biasa dengan dua mobil. Ya seperti jalanan komplek. Tak pernah macet tapi mendadak begini. Ada apa?
@@@
"Tak bisa dihubungi sama sekali. Padahal aku sangat ingin bertemu dengannya."
Ya mumpung ia ada di Indonesia. Tampaknya ia harus kembali ke bandara. Ya untuk apa mampir kalau tak bisa bertemu dengan teman lama?
Ia juga sudah menghubumgi Ferril namun katanya tak bisa. Lelaki itu cukup sibuk. Jadi ya ia bergerak masuk ke dalam mobilnya.
"Lo gak balik?" tanyanya pada asistennya. Lelaki yang bekerja untuknya ini orang Indonesia. Kalau ia jelas blasteran. Ibunya orang Indonesia. Tapi tentu tinggal di Inggris dengan ayahnya.
"Tidak perlu kembali."
Ia juga tahu kalau ia pulang justru akan membuat abinya marah besar dan abangnya akan mengamuk. Lalu umminya? Akan menangis. Ia sudah lama tak ingin nertemu mereka lagi.
Bosnya mengangguk. Lelaki itu mengajaknya untuk segera berangkat ke bandara saja. Toh mereka naik pesawat pribadi yang bisa terbang kapan saja. Maka jadi lah lelaki itu dan beberapa asistennya masuk ke dalam mobil. Tak menunggu waktu lama untuk mobil itu melaju menuju bandara.
"Your brother?"
Ia memperlihatkan sebuah foto yang muncul di salah satu aplikasi berita. Asistennya melihatnya. Ia hanya berdeham. Dibalik lahan tambang yang berhasil direbut tentu saja ada kerja kerasnya. Ia memang sengaja membiarkan bosnya mengejar lahan itu. Karena ia tahu kalau Juna juga mengincarnya. Lalu apa masalahnya? Dendam?
Ia hanya muak. Kakak lelakinya itu selalu menjadi kebanggaan siapapun. Orang-orang terlalu mengagungkannya. Memangnya yang hebat hanya dia? Ia akan buktikan kalau ia juga bisa hebat.
"Gue heran aja. Kenapa lo lebih milih untuk kerja sama gue."
Ia tentu bertanya-tanya. Di sisi lain juga curiga. Bagaimana kalau ternyata lelaki ini agen ganda yang memang sengaja diutus untuk menjadi mata-mata? Meski lelaki yang menjadi asistennya ini terus menyangkal untuk hal yang sama.
Ia tak menjawab jawaban pasti. Karena....
"Urusan keluarga."
Ia enggan menjabarkannya. Memang ada sebab kenapa ia bertingkah seperti ini. Dan tak satu pun dari keluarganya yang memahami pemikirannya. Bahkan umminya sekalipun. Sebenarnya mungkin ia saja yang terlalu sempit dengan pemikirannya sendiri. Dan mungkin akan disesali nanti.
"Oke. Gue gak akan tanya lagi," ujarnya. Meski ia juga tak bisa percaya sepenuhnya. Ia tentu masih mencari alasan lelaki ini mau bekerja dengannya. Ia memberi kode pada salah satu asistennya yang lain. Mereka hanya perlu berjaga-jaga. Kita tak pernah tahu kalau orang mungkin berubah atau ia mungkin hanya menunjukan sisi aslinya yang selama ini tak pernah terbuka. Iya kan?
@@@
Alfa buru-buru berlari. Mobil yang tadi meninggalkannya itu ternyata tak bisa bergerak jauh. Malah ikut terjebak kemacetan. Dari kejauhan sana, Alfa bahkan bisa melihat banyak mobil polisi. Yang ia yakini, keluarga Narsha memang bisa menjadi semengerikan ini. Namun hal yang tak ia sangka adalah bisa terjadi di sini juga. Ya ia harusnya sadar dengan siapa ia berhadapan. Ia tahu kalau keluarga Narsha tak pernah main-main sejak dulu. Ia bahkan sudah pernah dipukul pengawalnya hingga hampir mati. Tapi ia rela agar bisa melindungi Narsha. Nanun itu selalu membuat Narsha lemah. Gadis itu tentu tak tega melihatnya terluka parah seperti itu.
Memang salah satu hal yang membuat Narsha meninggalkannya juga karena itu. Ia tak tega pada Alfa. Kalau cowok itu mati karenanya bagaimana? Keluarganya memang begitu kejam dan tak bisa bertoleransi dengan hal itu.
Alfa mengetuk-ngetuk kaca jendela tepat di sebelahnya. Narsha menoleh. Lelaki itu memintanya untuk segera keluar.
"Terlalu banyak polisi! Jangan di dalam mobil!"
Ia menatap A Yana. Ya Alfa benar. Terlalu banyak polisi di depan sana yang seperti ucapan Jae In, mulai memeriksa para penghuni mobil. Karena tak punya waktu banyak, ia akhirnya keluar. Alfa langsung menariknya untuk pergi dari sana.
"Ya! Terus kita bagaimana?"
"Cari jalan keluar. Narsha tak akan bisa berlari lama. Kau tahu dia tadi baru saja pingsan."
"Ah ya, benar juga."
Jae In merasa bodoh. Meski ia tetap melakukan mobilnya. Sebab memang tak ada pilihan lain kecuali maju untuk saat ini. Mereka mungkin akan keluar dulu dari area ini. Sementara itu, Narsha terpekur. Ia melihat tangannya yang digenggam begitu erat oleh Alfa. Ini masih sehangat dulu. Masih sama seperti dulu.
Dulu mereka juga sering berlari seperti ini. Karena Narsha selalu sikejar oleh para pengawal papanya atau ya sama seperti Arsen, dikejar juga oleh para suruhan lelaki itu. Memang jelas, berladi seperti ini sudah menjadi rutinitasnya sejak dulu. Alfa tahu pasti. Tampaknya papanya masih sama ya? Walau ia juga tak tahu. Untuk masalah apa kali ini?
Lima belas menit berlari, mungkin Narsha masih sanggup. Namun lebih dari itu, ia sudah nernar-benar tersengal. Benar-benar kelelahan. Sebab sebelumnya ia berlari kencang selama lebih dari satu jam tanpa henti. Hingga akhirnya pingsan. Tadi pun masih lemas. Kini?
Alfa ikut berhenti karena melihatnya kelelahan. Sungguh bukan Narsha. Karena Narsha yang ia kenal itu kuat. Apa karena sudah lama tak berlari? Ia bertanya-tanya.
"A-aku....," ia bahkan terlalu lelah berbicara. Alfa menariknya ke tempat yang agak tersembunyi. Di mana-mana memang tak ada yang aman. Kalau sudah begini, Narsha tahu kalau Arsen tampaknya sudah benar-benar marah karena terus ia abaikan. Ia ingin Arsen pergi. Namun cowok itu benar-benar tak menyerah. Itu yang membuatnya pusing juga. Di sisi lain, ia juga tak tega menyakitinya. Ia tahu kalau perasaan Arsen tulus padanya.
"Nars!"
Alfa menggoyangkan tubuhnya. Karena Narsha bahkan sampai memejamkan mata. Ya saking lelahnya. Kakinya benar-benar lemah hingga Alfa harus menopangnya. Gadis itu benar-benar tak sanggup menahan dirinya sendiri. Ia sudah benar-benar lelah. Dan melihat ini....Alfa terpaksa menarik kedua lengannya hingga melewati bahunya. Ya menggendongnya dengan punggungnya. Tak ada jalan lain. Meski Narsha tampaknya cukup berat.
Ia berjalan melewati g**g kecil yang sepi. Entah akan tembus ke mana, Alfa juga tak tahu. Ia hanya mencari jalanan yang sekiranya sepi agar Narsha juga aman. Memilih jalan raya hanya membuat mereka akan bertemu lagi dengan polisi dan orang-orang berbaju hitam.
Narsha benar-benar pingsan lagi. Ia bahkan belum makan dengan benar. Hanya makan seadanya di rumah Jae In tadi. Karena perutnya menolak makanan. Padahal benar-benar lapar sekali. Ia juga tak paham apa yang diinginkan perutnya.
Sementara itu, Alfa justru sedang bertanya-tanya. Apalagi yang dialami Narsha selama mereka tak bersama? Terpisah selama lebih dari 5 tahun. Ya putus. Tapi perasaan masih sama. Bukan kah itu menyedihkan?
"Kamu tahu, Nars? Aku masih mencarimu."
Ia memang belum bisa meluoakan Narsha. Gadis ini masih akan selalu di hatinya. Tapi rasanya sudah tak mungkin untuk bersama. Mungkin terlalu sulit bagi mereka? Ya dengan segala perbedaan yang begitu menjulang. Apa yang Alfa harapkan?
Sementara Narsha tak sadar. Benar-benar tak sadar. Ia tak mendengarkan apapun yang diucapkan Alfa. Hingga akhirnya tak sengaja berpapasan dengan mobil Jae In begitu Alfa keluar dari g**g kecil. Mobil itu buru-buru mundur lagi.
"Soo Jiiin--aah!"
A Yana panik melihatnya terkulai di atas punggung Alfa.
@@@
"Tapi belum naik ya ke pemberitaan?"
Keluarganya memang sangat heboh. Tak sabar dengan pernikahan yang mungkinnterjadi. Ia juga sama. Sudah sangat menantikan meski tampaknya masih lama. Karena kan baru pertemuan keluarga besar kemarin. Baru sekedar perkenalan. Namun ibunya sudah tak sabar. Ingin satu Indonesia tahu kalau anaknya akan menjadi istri Juna nantinya.
Sementara ia baru saja membuka email. Ia berhubungan dengan Juna melalui itu. Tidak dengan pesan. Karena tampaknya Juna tak mau. Maka jadi lah ia terus membuka email untuk memastikan tak ada pesan Juna yang terlewat. Dan kali ini memang ada satu pesan yang masuk dari Juna. Apa isinya?
Lelaki itu punya banyak pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja ingin tahu tentangnya. Bagaimana kesehariannya di sekolah atau di kampus. Apa saja yang pernah dialaminya. Hingga bertanya apakah ia pernah berpacaran atau tidak.
Yang ia tahu kalau Juna tak pernah berpacaran. Ya dari pemberitaan yang beredar begitu. Hidup Juna juga benar-benar lurus. Ia dibesarkan di pesantren hingga akhirnya memulai bisnis sambil kuliah di Malaysia. Dari Aceh kan dekat ke sana. Jadi ya mengambil ke sana. Tiketnya juga jauh lebih murah. Ia sempat terpekur melihat begitu banyak pertanyaan yang dikirimkan oleh Juna. Ia memikirkan dengan baik-baik dalam menjawabnya. Kalau salah kata atau tampak tak sempurna, ia takut Juna berubah pikiran. Ya karena ia sudah mantap dengan Juna. Ini hanya persoalan Juna. Apakah benar-benar mau serius dengannya? Hingga menikah?
Sementara itu, gadis lain sedang memantau. Ia tentu sudah mendengar kabar Ranee yang taaruf dengan Juna. Ia juga mekihat mobil Juna terparkir di halaman pesantrennya. Ia jyga masih membaca pesan-pesan kegirangan milik Ranee. Iri? Ya ada. Namanya juga manusia. Namun yang menjadi fokusnya bukan Juna. Melainkan lelaki lain yang masih ia cari. Tapi tentu saja ia tak akan berani menganggu lagi. Lan katanya jodoh akan kembali. Tapi kalau tidak?
@@@
Ia terus mendengar arahan dari kepolisian soal keberadaan Narsha yang berpindah-pindah. Hingga akhirnya disuruh memutar ke jalanan lain untuk menghindari beberapa jalanan yang padat. Dari pada terjebak dan membuatnya justru tak bisa keluar dari sana.
Ia benar-benar kehilangan kesabaran gara-gara Narsha. Bahkan mengemudikan mobilnya dengan begitu kencang meski jalanan tampak kecil. Tak sebanding. Belum lahi beberapa mobil yang ikut di belakangnya. Ada banyak sekali pengawalnya yang tentu saja menyita perhatian. Orang-orang yang dilewatinya tentu saja bertanya-tanya. Siapa ia? Hingga begitu banyak mobil yang mengikuti?
"Mereka sepertinya akan segera melintas. Sebaiknya segera berbelok ke kanan."
Ia bahkan tak mengerem. Mobilnya langsung berbelok ke kanan dan benar-benar hampir menabrak sebuah mobil yang terindikasi membawa Narsha. Ya benar. Beruntung Jae In sempat mengerem sehingga tak terjadi ciuman antara dua mobil. A Yana terkejut melihat Arsen muncul di depannya. Ia tak mengira akan ada Arsen. Biasanya hanya anak buahnya bukan?
Cowok itu berjalan dengan wajah tanpa senyum sama sekali. Ia menatap tajam ke arah dalam mobil. Tentu saja mencari Narsha. A Yana menyuruh Jae In untuk melaju tapi jelas mustahil. Begitu menoleh ke belakang, sudah banyak mobil yang turut menghadang. Mereka benar-benar terkepung.
"Open your door!"
Setidaknya Arsen masih meminta dengan baik. Meski belum sempat pintu mobil itu terbuka, dari kejauhan sana Alfa berlari. Lalu? Memukulnya begitu berada di dalam jarak ya dekat.
Arsen melangkah mundur dengan pipi yang ah jangan ditanya. Sekali pukul langsung ngilu rasanya. Para suruhannya jelas langsung bergerak untuk menahan tubuh Alfa yang mengamuk padanya. Tapi Arsen tak membalas. Cowok itu hanya menatap tajam. Tujuannya hanya Narsha. Ia tak perduli dengan yang lain.
Jae In dipaksa salah satu polisi untuk membuka pintu. A Yana tak tahu harus bagaimana. Yang jelas, mereka memang tak punya pilihan lain.
"Buka saja."
Ya ia yakin kalau Arsen tak akan menyakiti Narsha. Meski ia juga tak tahu. Ada kemungkinan ia tak bisa melihat Narsha setelah ini. Dan entah dalam jangka waktu yang berapa lama. Begitu pintu dibuka, Arsen sendiri yang menggendong perempuan itu. Bahkan dengan tubuh yang sudah lemas seperti itu saja masih ingin berlari. Ia jelas terheran-heran.
"Lepasin Narsha! Dia gak cinta sama lo!"
Alfa berteriak meski tubuhnya ditahan. Setidaknya Arsen tak menitahkan mereka untuk memukulnya. Tidak seperti dulu di mana Alfa sering berhadapan dengan hal ini. Namun tentu saja kalah. Kalah jumlah.
Meski Arsen sempat menghentikan langkahnya, ia tak menjawab apapun. Ia berkonsentrasi penuh membawa Narsha ke dalam mobilnya. Lalu pergi meninggalkan area itu bersama para orang-orang suruhannya. Termasuk polisi. Fokusnya hanya membawa pulang Narsha.
"Datang kan dokter ke apartemenku," ujarnya.
Ia tentu saja menghubungi seseorang. Lalu mengemudi secepat mungkin menuju apartemennya. Dan membawa Narsha ke sana bertepatan dengan datangnya seorang dokter. Narsha memang tak apa-apa. Hanya lelah. Iya kan terus berlari.
Dokter meresepkan beberapa vitamin. Ia juga diinfus agar segera masuk energinya ke dalam tubuh. Biar tak selemas tadi. Begitu dokter itu keluar dari apartemen, Arsen memukul tembok. Tentu saja marah sekali. Marah karena gadis ini mengorbankan tubuhnya untuk berlari darinya. Ya ia tahu kalau gadis ini tak mau. Ia selalu memaksa. Dan apa Narsha punya pilihan?
Satu jam kemudian, mata Narsha mulai membuka. Kepalanya tentu saja pusing. Tapi rasanya sudah tak selemas tadi. Ia melihat lampu dan atap yang berbeda dari apartemennya. Di mana?
Baru hendak memcari jawabannya eeh jawaban itu muncil dengan sendirinya. Ada sosok lelaki yang sibuk di meja kerja yang tak begitu jauh dari tempat ia berbaring. Maka bukan kah sudah jelas jawabannya? Arsen telah menemukannya. Ia bahkan tak tahu bukan?
"Sudah sadar?"
Sikapnya berubah. Meski masih ada kemarahan yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya. Ia meninggalkan pekerjaannya lalu mengambil makanan yang sudah ia beli untuk Narsha. Kemudian duduk tepat di samping tempat tidur gadis itu. Ia membuat tubuh Narsha agak sedikit duduk dengan menaruh beberapa bantal yang dijadikan sandaran punggungnya.
Arsen tak mengatakan apapun. Ia hanya menyodorkan sendok yang ada nasi dan daging itu ke mulut Narsha. Ini yang terkadang membuat Narsha bertanya-tanya, bukan kah ia seharusnya marah?
"Kamu boleh marah padaku setelah ini," ujarnya. Maksudnya, Narsha harus makan dulu. Tapi menurut Narsha, bukan kah seharusnya ia marah adalah lelaki ini?
"Kenapa kamu masih baik padaku?"
Ia malah bertanya begitu. Arsen menaruh mamgkuk itu di atas nakas. Lalu membalik badan sambil berkacak pinggang. Memangnya ia tak marah? Ia marah. Tapi ia tak mau menghadapi Narsha dengan cara kasar.
"Aku sudah memberikanmu waktu yang sangat lama."
"Kamu tahu kalau itu tak akan pernah cukup."
Arsen membalik badannya. "Ya," ujarnya. Ia kembali menatap Narsha. "Tapi bukan berarti aku akan menyerah."
Laki-laki ini memang sangat berbeda dari laki-laki yang sebelumnya dijodohkan dengan Narsha. Ia tak tempramental. Ia sangat baik memperlakukan Narsha meski Narsha terus menyakitinya. Tak sekalipun ia membalas semua hal itu. Kurang apalagi bagi Narsha? Cuma kurang perasaan Narsha untuknya. Hanya itu.
Arsen kembali duduk. Tentu saja kembali menyuapi Narsha dan gadis itu juga membuka mulutnya. Ini adalah sisinya yanh tak tega kalau Arsen masih sebaik ini memperlakukannya.
"Kamu masih ingin kabur dariku?"
Narsha terdiam. Ia juga tak mengerti kenapa ia ingin terus kabur seperti ini.
"Kalau masih ingin melakukannya, kamu harusnya membunuhku, Nars."
Narsha menoleh. Arsen berbicara dengan begitu serius. Ya kalau Narsha mau kabur darinya memang hanya itu satu-satunya jalan. Ia harusnya membunuh Arsen. Tapi itu jalam bodoh bagi Narsha. Karena kalau Arsen mati, pasti akan ada lelaki lain yang kembali dijodohkan oleh ayahnya. Dan ia tak yakin akan seperti Arsen. Ah sungguh kedilemaan ini menghantamnya.
Satu mangkuk setidaknya kosong tanpa ada perlawanan yang berarti. Narsha melihat Arsen yang beranjak. Lalu cowok itu mengambil satu paper bag yang berisi baju-baju baru untuk ia kenakan.
"Mandi lah. Aku bahkan bisa mencium bau ketekmu."
Tenru saja ia melotot. Tapi cowok itu dengan santainya berjalan menuju meja kerjanya. Ia tersenyum samar. Ya ia tak bisa marah dengan apa yang dilakukan Narsha padanya. Selalu seperti ini. Mendadak menjadi gila karena cinta. Melihat itu, selalu membuat Narsha terpaku. Kenapa lelaki baik itu harus mencintainya?
@@@