Juna pulang tanpa firasat. Tiba di rumah, tubuh rasanya lelah sekali. Tapiia paksakan untuk duduk sambil menyandarkan punggungnya ke ranjang tempat tidur. Ia sedang apa?
Membuka email. Siapa tahu ada balasan dari gadis itu. Dan ya memang ada. Ia bertanya banyak hal untum sekedar memastikan. Meski mamanya menyarankan untuk bertanya lagi pada orang-orang yang mengenal gadis itu. Agar ia tak salah pilih. Wajar kan kalau orangtua bersikap seperti itu? Perkara menikah itu memang tak gampang.
Aku gak pernah pacaran. Dari sekolah dulu sampai kuliah hanya sibuk belajar. Gak ada waktu untuk mikirin cowok sampai akhirnya kamu yang datang.
Jawaban itu memang membuatnya tersenyum meski merasa agak ada yang ganjil. Ia akhirnya memutuskan untuk menelpon Farrel. Untuk apa? Bertanya. Farrel kan punya pengalaman taaruf dengan perempuan.
"Sorry ganggu, bro," ia nyengir.
Tapi Farrel tak keberatan. Ia sudah tiba di rumah tentunya. Istri dan bayi-bayinya sudah pulas. Ia keluar dari kamar agar tak berisik.
"Ada apa, Jun?"
"Mau tanya gue....eung...soal taaruf."
Farrel terkekeh. Yakin mau ia yang jadikan patokan? Hahahaha. Cerita taarufnya sungguh mengesankan. Karena perempuan yang menjadi istrinya sekarang sungguh menolaknya mati-matian. Benr-benar tak mau menerima jadi tak ada jaim-jaimnya deh.
"Tentang apanya?"
"Ya jawaban cewek. Memangnya kalo kita tanya soal sesuatu, mereka jawabannya akan menggoda gitu ya?"
Karena Juna merasa tergoda hanya dengan jawaban seperti itu. Jadi ya agak menganggu meski tak perlu dipermasalahkan juga. Mungkin ia hanya salah menanggapi.
Farrel terkekeh. Menggoda yang seperti apa? Astagfirullah. "Cewek umumnya kalo dia menjaga diri, dia agak menjaga kata-katanya juga."
Juna mengangguk-angguk. "Kalo lo dulu gimana?"
Farrel terkekeh. Serius mau tahu nih? Hahahaha. "Jawabannya makin membuat gue tertarik sih."
Juna ikut tertawa. "Tertarik yang seperti apa?"
"Gue kan taaruf hanya sekali. Itu pun sama bini gue. Kalo dulu, karena bini gue gak suka sama gue ya jawabannya yang bikin gue supaya gak mau sama dia. Cuma jadinya lucu menurut gue. Dia jujur kalo dia sebenarnya jahat lah, pokoknya keburukan yang dibuat-buat lah. Tapi bukan yang zinah atau apa. Karena bini gue gak gitu. Paling yang kayak jorok-jorok, suka ngupil, dan segala macam. Tapi kalo pun bener kan, masih bisa ditoleransi. Ya manusia mana sih yang gak suka ngupil?"
Juna tertawa mendengarnya. Ia memang sudah pernah mendengar sepintas bagaimana Farrel ditolak mati-matian dulu. Tapi lihat lah sekarang mereka sudah punya 3 anak. Hahaha.
"Sebenernya jawaban-jawaban dari perempuan itu jangan lo telan mentah-mentah, Jun. Karena kita gak tahu dia seperti apa. Yang tahu itu ya orang-orang yang deket sama dia. Cuma kalo keluarga terkadang bias. Karena mereka pasti pengennya lo sama dia. Ya lo tahu lah gimana mencari tahu sosok seseorang yang sebenarnya."
Ia terkekeh. Ya sih. Sepertinya ia akan mengirim beberapa orang untuk mengintai Ranee dan keluarganya. Hanya ingin tahu seperti apa sosok Ranee yang sebenarnya. Kalau ada yang jurang, itu sangat wajar. Karena bagaimana pun, Ranee juga hanya manusia biasa kan? Ia juga sama. Jadi ya untuk hal-hal semacam itu masih bisa ditoleransi. Tak harus menjadi bahan perdebatan pula.
Ia puas mendapatkan jawaban dari Farrel jadi enggan menganggunya lebih lama. Ia menutup telepon kemudian kembali membuka email. Ya menelaah jawaban-jawaban yang diberikan Ranee padanya. Isinya memang terlalu sempurna. Seolah menunjukan kalau ia adalah perempuan yang anggun, solehah, dan sempurna. Namun mengikuti kata Farrel, ia tak mau percaya terlalu muluk. Perlu konfirmasi dari pihak lain.
Yang sudah mengirim pesan padanya justru tak bisa tidur. Was-was dengan jawabannya sendiri. Ia sebenarnya menyimpan sesuatu dan takut kalau Juna jadi berekspektasi tinggi tentangnya. Tapi ia tak mau terlalu jujur karena apa? Karena takut Juna tak mau memilihnya. Namun di sisi lain, ia juga cemas. Sungguh tak nyaman hidup seperti ini.
"Udah lah. Lo tidur aja sih. Ngapain coba dipikirin?"
"Ya lo enak gak mikirin. Kan gue yang ngalamin tauk!"
Ia sampai menginap di rumah Rosi hanya untuk mengurus jawaban-jawaban taaruf ini.
"Yang penting nikah dulu, Raaan. Nanti kalo udah nikah dan dia tahu apa-apa yang gak lo katakan sekarang ya jujur aja nanti. Kalo udah nikah kan udah terlanjur. Dia gak mungkin cerain lo gitu aja. Di itu figur publik loh. Pasti ada rasa malu abis nikahin cewek eeeh dicerain."
Rosi mencoba menghiburnya namun ia tak terhibur sama sekali.
@@@
"Kamu terkadang membuatku bertanya-tanya, apa aku yang salah menilai kalau kamu menyukaiku?"
Kata-kata itu terus berputar di dalam kepalanya. Namun ia selalu menyangkalnya. Sejak kapan ia tertarik pada Arsen? Menurutnya tidak. Tidak sama sekali. Ia menarik nafas dalam.
Kini ya benar-benar harus meninggalkan Korsel. Padahal belum lama ia memulai di sini. Rasanya sih begitu. Meskipun waktu juga begitu cepat berlalu.
Keduanya keluar dari kamar. Narsha berjalan lunglai. Sungguh tak ingin pulang. Kedua orangtuanya pasti akan mengangkat topik pernikahan lagi kalau ia pulang. Sementara itu, ia tak mau. Lalu maunya apa? Ah entah lah. Ia juga tak paham.
Suara lift berdenting membuat Alfa menoleh. Tentu saja ia masih berada di gedung ini meski terus diawaai oleh beberapa orang berbaju hitam. Ia melihat Narsha yang keluar tak sendiri. Tentu saja bersama Arsen. Mereka mau ke mana? Ya pulang.
Ia berdiri dengan spontan. Ya berharap Narsha akan menyadsri keberadaannya yang sedari tadi duduk di atas sofa. Ya memang Narsha tahu juga. Ia juga melihat Alfa yang kini menatapnya. Namun tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Narsha sempat menghentikan langkah. Terpaku melihat Alfa yang masih menungguinya. Ia bisa merasakan kalau perasaan lelaki itu masih sama untuknya. Lantas apakah ia mau ambil resiko? Untuk kembali pada Alfa. Meski harus mengorbankan banyak hal?
Situasi kini memang jauh berbeda dengan dulu. Karena mereka sudah sama-sama jauh lebih dewasa. Sudah lebih bebas memutuskan. Meski itu tak berlaku bagi Narsha. Hidupnya tak ada yang berubah. Hanya deretan laki-laki yang dicoba untuk dijodohkan dengannya lah yang berubah.
Mata Narsha berkaca-kaca melihatnya. Ya tentu saja pilu dengan keadaan ini. Masih sama seperti yang dulu. Tak ada yang bisa diperjuangkan. Kabur dari rumah bukan pilihan untuk Narsha. Batinnya selalu bergejolak. Ia rela meninggalkan keluarganya demi seseorang yang bukan merawatnya sejak kecil?
Hanya dengan sepintas pemikiran itu, ia memalingkan wajahnya kembali ke depan. Baru sadar kalau Arsen sudah menatap tajam sedari tadi. Menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam mobil. Akhirnya lelaki itu yang menariknya untuk masuk. Melihat itu, justru membuat Alfa melompat. Tapi tentu saja tubuhnya tertahan para pengawal. Mobil itu pada akhirnya tetap melaju. Meski Narsha terus menatapnya dengan tatapan yang berkaca-kaca. Ia sdar kalau Narha sama sekali tak bahagia dengan pilihannya. Lalu untuk apa dipaksakan?
Ia mencoba berlari mengejar setelah melepaskan diri. Tapi tentu saja laju mobil itu jauh lebih cepat dibandingkan dengannya. Mobil itu sudah membawa Narsha pergi. Meski ia sepertinya bisa menerka. Gadis itu mungkin kembali ke Indonesia bukan?
Karena tak berhasil mengejarnya di sini, ia memutuskan untuk mengejarnya begitu kembali dari Indonesia. Ia memang pergi dari sana. Tidak menyusul ke bandara karena akan percuma. Akhirnya ya kembali ke kantor dan memulai hari seperti biasanya. Ya bekerja. Meski saat pulang, ia sengaja datang ke restoran halal itu. Untuk mencari orang-orang yang dikenalnya.
Tujuannya tentu saja Kim Jae In yang baru saja mengangkat kepalanya. Sadar kalau ada pengunjung yang wajahnya tak asing. Namun tampaknya tak dalam rangka ingin membeli sesuatu di sini. Lalu apa yang dicari?
"Bisa bicara sebentar?" tanyanya dalam bahasa Inggris.
Lelaki itu menatapnya dulu. Ya mungkin mencari jawaban untuk apa lelaki ini memerlukannya. Namun beruntungnya, disaat lelaki itu mengangguk, perempuan lain datang. Siapa?
Tentu saja A Yana yang kini ditatap oleh keduanya. Ia tadinya mengajak Jae In dan adiknya untuk membantu membereskan barang-barang Narsha. Meski tak tahu apakah Narsha akan kembali atau tidak. Yang jelas gadis itu sudah mengirim pedan kalau ia tak jadi menemuinya. Tampaknya usaha pelariannya gagal. Padahal dulu selalu berhasil. Tapi melihat kejadian kemarin, A Yana juga sadar kalau tampaknya Arsen sudah tak menanggapinya dengan santai seperti biasanya. Ya A Yana tahu memang itu salah Narsha. Namun ia juga tak mau menyalahkannya secara penuh. Narsha tentu punya pertimbangan kenapa ia melakukan hal-hal itu bukan?
"Narsha memang tak menyukainya."
Ya kalau cara ini bisa membantu Narsha untuk kabur dari Arsen selamanya, ia rela mengatakan segalanya dengan jujur pada lelaki ini.
"Dia terpaksa menjalani tunangan itu. Saya rasa, kamu pasti tahu juga soal ini. Karena bukan hanya sekali."
Ya. Pemaksaan pertunangan Narsha sudah terjadi sejak Narsha masuk kuliah. Mungkin karena orangtuanya tak ingin Narsha bersamanya. Tapi tampaknya Narsha kesulitan menghadapi Arsen yang jauh berbeda dengan lelaki-lelaki sebelumnya.
"Narsha masih mencintaimu."
Kata-kata itu membuatnya menoleh. Ya jelas kaget lah. Dari sekian banyak kata malah ini yang dikatakan A Yana. Ia percaya? Tentu saja ia akan percaya. Ia tahu kalau Narsha tampaknya dekat dengan A Yana. Gadis itu pasti bercerita banyak hal dengan A Yana bukan? Jadi informasinya tak perlu diragukan lagi.
"Saya bisa meminta nomor teleponnya?"
Tentu saja A Yana mengangguk. "Tapi setiba di Indonesia nanti, dia mungkin akan mengganti nomornya."
"Kalau begitu, beritahu nomormu juga."
A Yana mengangguk. Ia mengetik nomor ponselnya dan juga Narsha. Ya ia menaruh harapan besar bagi Alfa.
"Kalau Narsha pulang, artinya pernikahan mereka akan semakin dekat."
@@@
Lo gak akan kembali?
Sulit. Ia menemui jalan buntu. Ya jelas lah. Hidup menjadi muslimah itu ternyata tak mudah. Meski diam-diam ada beberapa orang yang masih mau membantunya. Tapi kalau sampai ketahuan bagaimana?
Sementara di depan pintu kamar, ada ketukan. Ia sudah mendengar suara keributan mereka. Tentu saja Rosi dan Ranee bukan? Dua perempuan yang menjadi sahabatnya sejak masuk islam. Yang membawanya pertama kali ke sini memang Ranee. Itu pun melalui perasaan yang tak sengaja.
"Lamaa amaat!"
Mereka kompak masuk ke dalam kamarnya. Lalu duduk di atas tempat tidurnya. Tak ada kegiatan hari ini di pesantren selain kegiatan rutin.
"Si Ranee mau nanya nih sama lo. Kan lo sempet tuh Li, dikenalin sama salah satu temennya Juna buat jadi istri kedua. Itu gimana sih lo taaruf sama dia?"
Ia menghela nafas. Mengorek masa lalu itu memang menyakitkan. Meski rasanya belum terjadi begitu lama.
"Gak sampai ke sana. Kan dia nolak lewat pak kyai."
"Gak jadi gitu?"
Ia mengangguk. Pertarungan alot dengan perempuan yang menjadi istrinya lelaki itu memang pada akhirnya ia yang kalah. Menjadi istri kedua bukan pilihan yang bijak. Apa bahagianya menikah di atas penderitaan orang lain? Begitu akhir-akhir ini ia pikirkan, ini memang sungguh t***l sekali. Ia saat itu terlalu dibutakan oleh lelaki yang ia anggap sempurna. Lelaki yang ia impikan bisa membimbingnya hingga ke surga. Tapi ternyata ia salah. Lelaki itu bukan lah lelaki yang ia butuhkan. Menurut Allah begitu. Mau ia memaksa sekeras apapun jika memang bukan takdirnya maka tak akan bisa melakukan apapun.
"Yaaaaaaah. Gak bisa nanya dong."
"Emangnya mau nanya apaan?"
Ia menatap kedua perempuan ini bergantian. Ranee sedang heboh karena taaruf dengan lelaki. Rosi sih hanya bisa menyimak saja. Barangkali nanti akan menular kebahagiaan itu padanya. Bagaimana rasnaya bisa bertaaruf dengan salah satu lelaki keren di Indonesia? Ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya.
"Jawaban-jawaban taaruf. Kita bingung gimana balasnya."
"Terus udah dibalas?"
Ranee mengangguk. Ia memperlihatkan isi emailnya melalui ponsel pada Lilian. Gadis itu mengerutkan kening.
"Ini beneran?"
Rosi tertawa. "Tauk nih orang. Takut jujur dia."
"Ya kan kalo dianya berubah pikiran gimana? Banyak tahu yang gak jadi nikah gara-gara itu."
Ranee jadi sewot. Tapi juga tak tenang di sisi lain.
"Tapi nanti pasti ketahuan juga," ucap Lilian pelan.
Ya mungkin kalau ia sih karena mualaf, jika dikorek urusan masa lalu, ia pasti akan jujur dan apa adanya. Tapi ia bisa memahami Ranee. Menilik ia adalah keponakan kyai terkenal di sini. Jadi ya kalau tak tampil sempurna rasanya juga sulit. Namun menurut Lilian, pada akhirnya juga akan ketahuan.
"Kamu boongnya keterlaluan deh," komentarnya.
Rosi terbahak sementara Ranee menyungut menyalahkan Rosi. Karena gadis itu yang menyuruhnya begitu.
"Terus ini beneran, kamu mau selesai skripsi secepat mungkin?"
Rosi terbahak lagi. Tentu saja lucu mendengar nada sangsi dari Lilian yang cenderung blak-blakan. Ya bagaimana ya? Ranee saja lebih banyak bermain di sini dari pada mengurus skripsinya. Banyak hal yang membuatnya syok saat membaca berbagai jawaban-jawaban itu. Ya mungkin akan terdengar masuk akal karena ia adalah keponakannya pak kyai. Tapi kalau ternyata gak seperti itu ketika menikah nanti bagaimana coba? Jadi menurut Lilian, kebohongan ini gak akan berguna. Pada akhirnya akan menyudutkan Ranee sendiri.
Ia mengembalikan ponsel itu pada Ranee lagi. "Kalo dia suka sama lo, dia pasti akan nerima lo apa adanya, Ran," ujarnya pelan. Menurutnya, seburuk apapun masa lalu seseorang kalau dikatakan dengan jujur dan berjanji sudah berubah ya untuk orang seperti Juna pasti akan menerima. Ia yakin. Karena dulu ia pernah bertanya soal masa lalu pada seseorang yang tidak jadi menikah dengannya itu.
Ranee menghembuskan nafas. Baginya terlalu takut untuk melakukan itu. "Gue akan berusaha kok," ujarnya. Ia yakin kalau orangtuanya pasti akan membantu. Ya dengan segala cara lah nantinya. Meski ia tak tahu juga.
"Kalo dia lelaki baik, dia gak akan menilai dari masa lalu lo, Ran. Tapi dari lo saat ini. Masalahnya, udah baik belum?"
Ini juga menjadi pengingat baginya.
"Tapi kalo soal itu, gue gak yakin deh, Li. Lo tahu sendiri, orang tahunya keluarga besar paman gue itu kayak apa. Jadi gak bakal dioleransi. Ya kalo elo sih gak masalah. Belum mualaf jadi belum tahu dan begitu mualaf juga seokah masih bersih. Beda sama gue."
Rosi menjitak kepalanya.
"Ya terus kalo udah tahu salah, ngapa lo lakuin heeeh?"
Ia diomeli Rosi. Lilian terkekeh. Yeah bebalnya gadis ini, hanya mereka yang tahu. Hanya mereka juga yang masih mau berteman dengannya disaat yang lain menghindar.
@@@
Sungai Han menjadi saksi kegalauannya. Ia harus memutuskan meski kali ini tak tahu ujungnya. Namun jika cinta, harusnya bisa bersatu bukan?
"Soo Jin memang memiliki ketertarikan dengan islam. Tapi ia masih belum ingin pindah. Karena ia takut jika melakukan itu untukmu. Bukan untuk dirinya sendiri. Beberapa bulan ini, ia banyak belajar tentang keislaman. Tapi lagi-lagi ia masih ragu. Aku tak mau memaksanya. Aku juga berharap kalau kamu begitu. Keislaman itu tak selayaknya dipaksakan."
Ya Alfa tahu. Ia juga tak punya rencana ke sana. Hanya saja, ia berharap kali ini usahanya akan berbuah hasil yang baik. Tidak lagi mentok seperti dulu. Dulu mereka masih sangat muda jadi belum begitu mandiri. Kalau sekarang? Mereka sudah sangat dewasa untuk memutuskan sebuah jalan yang ingin ditempuh bukan?
Ia beranjak pulang usai menikmati sungai indah itu. Yang mungkin hanya ia temukan di beberapa daerah di Indonesia. Ya untuk seukuran sungai besar. Misalnya sungai Musi di Kota Palembang. Kini ia berjalan sambil memutar banyak hal termasuk ketika pertama kali bertemu dengan Narsha.
"Itu yang gue bilaaang!"
Di mana-mana, cewek cantik memang selalu menjadi rebutan. Ya jadi pusat perhatian pula. Narsha itu bukan perempuan sembarangan ketika masuk ke sekolah mereka. Stelan seragam SMA putih abu-abu yang ia kenakan bahkan cukup ketat untuk ukuran anak SMA. Sepatu yang tak boleh berwarna selain hitam, ia justru mengenakan sepatu putih di hari pertamanya masuk sekolah. Ya memang anak pindahan dari Taiwan. Karena selama beberapa tahun terakhir, ia dan keluarganya tinggal di sana untuk mengembangkan bisnis orangtuanya. Begitu besar dan stabil, mereka pulang ke Indonesia dan memperlebar bisnis. Alih-alih masuk SMA swasta, ia malah mengambil sekolah negeri. Kenapa?
Mencari suasana baru. Sekolah swasta di sini menurutnya akan sama saja rasanya dengan sekolahnya ketika di Taiwan. Lantas penampilannya hari itu yang lebih mirip anak jalanan keren dengan motor gede, yeah agak-agak nge-rock, menjadi perhatian. Wajah cantik oriental mungkin biasa bagi orang-orang Indonesia. Namun wajahnya itu benar-benar tak membosankan bagi mereka yang melihat. Dan itu menjadi daya tarik besar para lelaki. Walau pembatas utama yang paling besar adalah agama. Ya tentu saja.
Demam K-pop atau Korean pop di Indonesia yang sebenarnya berpengaruh besar pada Narsha. Penampilannya memang lebih banyak meniru tapi ia menciptakan imejnya sendiri sebagai perempuan kuat yang ternyata tak bisa diluluhkan. Satu-satunya lelaki yang berani mendekatinya kala itu adalah salah satu kakak kelas. Namun sebenarnya banyak sekali yang berharap bisa mendapatkan perasaannya.
"Narsha Eleanora."
"Hanya itu?"
"Saya rasa, urusan pribadi lainnya tak perlu disebutkan di sini, pak. Bukan kah kelas akan mulai belajar?"
Anak-anak di kelas berseru keras waktu itu. Karena sikapnya yang sangat dingin bahkan pada guru-guru muda di sana. Ya menurutnya, mencari muka di depannya sangat membuang waktu. Ia bergerak mengambil duduk kala itu. Alfa menatapnya dari bangku paling belakang. Ya awalnya mungkin tertarik karena wajah. Itu wajar kan? Tapi yang membuatnya semakin tertarik pada Narsha itu ya karena sikapnya yang tak seperti kebanyakan perempuan. Mungkin ia adalah salah satu perempuan yang tak suka popularitas?
Lalu disaat pulang sekolah, gadis itu duduk di halte. Menunggu jemputan tentunya. Beberapa cowok di kelas barunya tentu saja mendatangi. Ya awalnya memang diladeni oleh Narsha dengan baik. Sangat baik. Alfa hanya mengamati dari seberang halte sekolah kala itu. Ya biasa yang namanya anak cowok seusianya yang suka nongkrong.
"Cowok?"
Narsha terkekeh pelan mendengar itu.
"Yaa pacar atau apa gitu, Nars. Masa gak paham sih? Iye gak? Iye gak?"
Ia meminta dukungan dua temannya. Ketiga cowok itu duduk di atas motor. Sementara Narsha duduk di bangku halte.
"Ooh mau tahu gitu?"
"Iya lah, Nars!"
Mereka riuh sekali. Narsha mengangguk-angguk.
"Ada."
"Ah seriusan, Nars? Koko-koko ya?"
Mereka penasaran. Meski di satu sisi, patah hati juga. Karena ternyata cewek yang satu ini punya pacar.
"Ya kurang lebih begitu."
"Emangnya gak suka yang lokal, Nars? Yang lokal kan berbeda, Nars. Lebih cakep kali. Kayak kita. Iye gak? Iye gak?"
Narsha menyemburkan tawanya. Tentu saja orang yang mengatakan itu ditoyor dua temannya.
"Sadar muka lu!"
Ya setidaknya ini cukup menghiburnya. Baru beberapa minggu di sini tapi sudah muncul tiga cowok lawak yang percaya diri mendekatinya. Untuk menjadi teman sih tak apa-apa.
"Ah berisik lu! Gue mau nanya nih!"
Ia jadi emosi. Kan tadi sedang bertanya pada Narsha karena saking penasaran.
"Boleh kan, Nars?"
Narsha mengangguk-angguk. "Boleh-boleh."
Ia tersenyum enteng. Ya namanya juga trio lawak. Pasti hanya ingin melucu bukan? Meski ada intrik merayu di baliknya.
"Cowok lo yang tipe-tipe itu kayak gimana, Nars?"
"Mau tahu?"
Mereka mengangguk-angguk. Maka jawabannya datang tak lama. Segerombolan motor gede mulai mendekati area sekolah mereka. Alfa dan kawan-kawan di warung seberang tentu saja langsung berdiri. Mau tawuran nih? Tapi seingatnya tak ada jadwalnya hari ini. Lalu apa?
Ohoo. Tentu saja gerombolan motor gede yang harganya di atas 70-an juta itu bukan untuk mengajak adu jotos. Melainkan berhenti di depan halte. Untuk apa? Menjemput Narsha.
Gadis itu segera berdiri dan berjalan dengan santainya menuju motor merah yang berhenti paling depan, tepat di depan haltenya. Begitu kaca helmnya dibuka....waaw. Wajahnya bukan koko-koko yang dibayangkan tiga orang itu. Melainkan blasteran yang begitu ganteng. Senyumannya membunuh tapi kalau mengendarai motor ya tampak sangar.
Narsha naik ke atas motor dengan santainya sedangkan lelaki yang memboncenginya jelas menoleh ke arahnya. Bertanya-tanya siapa tiga cowok cungkring yang bersamanya di halte sekolah siang ini.
"Mereka siapa?"
"Oh. Mereka mau kenalan sama kamu," ujarnya dengan senyuman yang tertuju pada tiga cowok yang syok parah. Takut dikeroyok sebetulnya. Kan tadi godain Narsha. Kalau pacarnya marah bagaimana? Mana kayaknya kepala geng motor pula. Hahaha.
"Stefan."
Ia mengenalkan diri. Bahkan mengulurkan tangannya. Narsha langsung terbahak melihat wajah pucat ketiga cowok itu. Bukan kah pacarnya ini sangat familiar di sini? Karena hampir seluruh SMA di Jakarta tahu siapa dia.
@@@