Tak Sepenuh Hati

3078 Words
"Kamu ini. Mama cari yanh terbaik buat kamu loh. Pokoknya mau gak mau denger. Kalau sudah balik lagi ke sini, kamu harus kenalan sama si Syifa." Telepon itu tentu saja dimatikan. Untuk apa mamanya repot-repot mencarikan perempuan? Sedangkan ia sudah punya pilihan sendiri meski ya sangat terjal jalannya. Perlu waktu yang banyak untuk mengejar cintanya Narsha lagi. Perlu waktu juga untuk mengendalikan keadaan. Memangnya bisa? Riza yang ia telepon saat kegalauannya jelas makin pusing lah. Ya tahu sih kalau kegalauan Alfa tak akan jauh-jauh dari urusan dengan Narsha. Lalu? "Lo ketemu di sana? Gilak. Dunia sempit banget." Alfa bahkan tak perlu menjawab, ia pun sudah tahu. Karena Alfa tak mungkin galau tiba-tiba kalau tak bertemu Narsha. Saat kabar tunangan Narsha terdengar sampai ke telinganya saja, Alfa seperti orang yang kehilangan arah. Benar-benar kehilangan arah. "Lo tolongin gue lah." "Lo minta tolong apaan dulu nih? Kalo susah-susah, gue juga gak sanggup, bro." Dari dulu, memang Riza yang banyak membantunya dan Narsha entah kabur atau urusan apapun yang berkaitan dengan keluarga Narsha. Yang jelas, sungguh berat sekali urusan itu. Seperti akan mati setiap saat. Dari zaman SMA sampai zaman kuliah. Tentu saja Riza akan terus teringat karena kejadian demi kejadian bersama mereka adalah masa-masa di mana ia sedang sakratul maut berkali-kali. "Tolong beliin bunga. Tarus kirim ke rumahnya dia. Ntar gue ganti duit lo." "Lo transfer sekarang aja dah." Ia tak mau rugi. Hahaha. Riza setengah tertawa sih mengatakannya. Tapi Alfa yang sedang galau itu langsung mengiyakan. Patuh sekali sama apapun yang ia pinta. "Tapi lo harus anter sendiri." "Lo gilak apa?" Ia bisa tewas dikejar anjing dan satpam di rumah Narsha. Sudah pernah dulu kan? Kalau anjing-anjing Narsha ternyata masih anjing yang sama dengan dulu dan masih mengenal baunya bagaimana? Satpam-satpamnya juga. Kalau orangtua Narsha sih mungkin agak-agak woles lah. Karena sudah lama mungkin tak begitu ingat lagi dengan mukanya. Ini pertaruhan hidup dan mati dong. "Gue tau lo bisa!" "Yee lo enak cuma nyuruh gue doang haah!" Alfa tersenyum kecil. Satu-satunya pengantar pesan terbaik ya Riza. Dulu kalau mereka bertengkar, Riza juga yang paling direpotkan. Disuruh membujuk lah. Macam pembantu disuruh majikannya. Nasib jomblo. Hihihi. "Tolong gue. Sekali ini doang deh." "Gak yakin gue." Alfa terkekeh kecil. Setidaknya ia masih bisa tertawa. Tapi Riza tak pernah bisa menolak. Ya walau takut juga. "Intinya lo mau apa dengan ke rumah Narsha?" "Lo ngomong sama dia." "Ngomong apa?" "Lo yang paling tauk, Za, gimana kehidupan gue sekarang tanpa Narsha." Riza terdiam. Ya pahit sih. Sekaligus bertanya-tanya juga. Kok sahabatnya ini susah sekali move on-nnya. Kalau sedang bercanda, biasanya Riza akan mengoloknya susah move on karena tak ada perempuan secantik Narsha lagi yang mau padanya. Hahaha. Padahal banyak kok yang suka. Bahkan sahabay mereka saja suka. Si Febby tuh. Sudah anak orang kaya, punya karir mentereng. Derajat Alfa juga bisa naik kalau menikah dengan Febby. Tapi sayangnya, rasa sayang itu hanya sebatas bersahabat. Tak lebih dari itu. Sementara itu, Syifa baru saja pulang dari salah satu rumah muridnya yang tak begitu jauh dari rumah orangtuanya Ranee. Ia biasanya paling enggan lewat di depan rumah itu. Tahu kenapa? "Syifaaa!" Baru juga diucapkan di dalam hati. Ia harusnya memasang mantra agar tak dipanggil. Ibunya perempun itu hanya memanggilnya untuk pamer. Ia sudah bosan san san mendengarnya. Lalu kali ini apa? "Udah ada calon belum?" Tuh kan. Baru saja dua minggu yang lalu bertanya saat ia juga melintas di sini. Dua minggu ini kan ia memang kosong mengajar. Ia hanya nyengir kalau ditanya begitu. Yeah ujung-ujungnya bukan untuk mencarikannya jodoh kok. Lalu untuk apa? "Oh belum ya? Si Ranee udah mau lamaran tuh nanti," ujarnya. Tuh kaan. Ia bilang juga apa?! Heiiish. Lain kali ia akan membawa motor ayahnya deh kalau ke sini. Biar tak dipanggil untuk mampir. Untuk apa coba kalau hanya untuk.... "Oh ya, tan? Sama siapa?" Padahal harusnya ia bilang saja kalau mau pulang ya? Biar gak basa-basi terlalu panjang. Mana dalam hati juga memaki. Kan nambah-nambahin dosa aja ini orang. "Itu loh, hafiz Quran yang terkenal dan pengusaha juga. Yang orang Aceh itu. Tahu gak kamu? Namanya Juna! Sini deh sini...." Ia ditarik masuk ke dalam rumah. Niat sekali untuk menunjukan wajah Juna yang sempurna. Ya siapa yang tak iri sih? Ia juga ingin mendapatkan yang seperti itu. Tapi sadar diri. Gak akan pantas. Masih ada yang kau juga sudah bersyukur kok. "Aah....ya....tau, tante." Jelas lah ia bahkan sudah tahu sejak awal. Tapi pura-pura tak tahu saja. "Ganteng yah? Mana baik, soleh, pengusaha lagi. Cocok banget sama anaknya tante." Pengucapan pada kata-kata 'anaknya tante' bahkan penuh dengan tekanan. Syifa hanya bisa tersenyum tipis saja mendengar nasehat yang keluar dari mulutnya. Katanya kalau mau mencari calon ya harus seperti ini. Seperti Juna. "Apalagi kan ayahmu punya pesantren juga ya? Masa gak ada kenalan orang sokeh yang terkenal atau minimal ustad lulusan Al Azhar gitu? Eh iya, lupa tante kalo yang ngajar di pesantren ayah kamu juga hanya lulusan SMA yah?" Ia kehilangan senyumnya. Ingin membalas tapi perempuan ini adalah orangtua yang harus dihormati. Akhirnya ya berpamitan setelah mendengar hinaan itu. Asal tahu saja, ayahnya tak membangun pesantren yang besar untuk menggaet banyak anak-anak orang kaya bersekolah di sana. Ayahnya membangun pesantren itu agar orang-orang yang tak mampu juga bisa menikmati pendidikan islam gratis. Pesantren ayahnya mungkin belum lama berdiri. Tapi beberapa santrinya berhasil kok dikirim ke gontor terkenal di Jawa yang bahkan tak memungut biaya. Padahal sangat susah untuk bisa masuk ke sana. Ayahnya juga membantu mereka tanpa mengharapkan pamrih. Ia selalu ingin menangis tiap mendengar hinaan yang tertuju pada ayahnya. Padahal hidup di dunia itu hanya sementara. Kenapa hanya harta yang dipikirkan? Ia menarik nafas dalam setelah setetes air mata jatuh ke tanah. Kedua tangannya terkepal. Ingin seklai membalas bacotannya itu. Memangnya anaknya sudah pantas dengan Juna? Ingin sekali ia berkata begitu. Tapi tak ada gunanya juga. Untuk apa? Disaat ia hendak menyebrang menuju komplek rumahnya, Ranee muncul dari arah kirinya. Gadis itu sendirian dengan membawa dua plastik besar. Jangan kan menyapa, menoleh pun tidak ke arahnya. Padahal dulu mereka bersahabat sangat dekat. Lantas kenapa sekarang bahkan seperti orang asing yang tak saling mengenal? Sementara itu, di seberang jalan, seseorang sedang berdiri dan melaporkan apa-apa saja informasi yang ia dapat dalam satu hari ini. Hanya berbekal gerobak bakso yang sengaja melipir ke area komplek sini demi mencari tahu sosok Ranee dan keluarganya. "Yakin bos mau dengar?" "Kenapa? Bukan kabar bagus?" @@@ Selama di pesawat, tak ada yang mereka bicarakan. Narsha sibuk dengan urusan pikirannya sendiri. Arsen sibuk dengan pekerjaan. Awal pertemuannya dengan Arsen terjadi semasa ia kuliah di UI. Ya waktu menjadi sarjana. Arsen tak kuliah di sana. Cowok ini sekitar 3 tahun di atasnya. Ya bahkan sekarang sudah 30-an kan. Tapi masih sangat muda. Pertemuan mereka kala itu terjadi di salah satu rumah konglomerat Cina yang ada di Hongkong. Saat itu, seingat Narsha ya masa-masa liburan kuliah tahun-tahun pertama. Ia juga kurang ingat persisnya. Yang jelas, perjodohan demi perjodohannya yang gagal tak membuat orangtuanya menyerah. Begitu melihat sosok Arsen yang sudah sukses kala itu, tentu saja orangtuanya tertarik. Kesan Narsha saat melihatnya? Ya ganteng. Seperti deretan mantannya. Namun lelaki itu berbeda. Ia tak begitu memperlihatkan ketertarikannya pada Narsha. Bahkan diawal mereka dikenalkan, Arsen juga tak begitu menggubrisnya. Mungkin karena tahu kalau Narsha akan besar kepala? Setiap lelaki yang hendak dikenalkannya pasti akan sangat antusias. Tapi lelaki itu tidak. Ia bahkan mengakhiri pertemuan mereka dalam waktu kurang dari 20 menit. Narsha ternganga saat itu karena ditinggalkan lebih dulu. Hal yang sebenarnya tak disadari Narsha kala itu adalah ia merasa sangat terganggu dengan sikap Arsen yang seperti itu. Lantas apa Arsen punya maksud? Cowok itu berpikir jauh lebih sederhana. Diusianya yang saat itu bukan belasan tahun seperti Narsha, ada banyak hal yang harus ia pikirkan. Bukan sekedar mengurus urusan pertunangan dengan Narsha. Ia tak menolak perjodohan kala itu karena ya toh tak ada perempuan lain juga yang membuatnya tertarik. Bahkan sejak awal bertemu Narsha, ia memang sudah suka. Namun ia tak mau jujur. Ia seolah bisa membaca karakter Narsha. Gadis itu pemberontak namun ia sangat suka diperhatikan. Sialnya bertemu Arsen yang cuek dan tak pernah ambil pusing dengan segala perdemoannya menolak tunangan mereka kala itu. Jadi, Narsha terkadang bertanya-tanya, apa lelaki ini mencintainya? Karena sikap yang ditunjukkannya jelas berbeda. Narsha dan Arsen memang dua karakter yang sangat berbeda. Namun Arsen yang dewasa sangat mampu mengimbangi Narsha dalam segala hal. Lalu bagaimana dengan Alfa? Mereka adalah pasangan yang bisa saling mengerti. Alfa sangat memahami apa maunya Narsha dan mau melakukan apa saja. Sebaliknya juga begitu. Tapi itu dulu. Sekarang mereka sudah sama-sama dewasa dan apakah itu masih sama? Dia meminta nomormu jadi ku berikan. Begitu pesan A Yana yang sempat ia baca sebelum penerbangan. Masih ada harapan kalau ia mau bersama Alfa. Karena apa? Karena Alfa masih memiliki perasaan yang sama dengannya. Meski waktu telah berubah, mereka masih sama. Ya perasaan mereka masih sama dalamnya seperti dulu. Narsha menghela nafas. Ia beranjak begitu pintu pesawat dibuka. Arsen sudah menariknya menuju keluar. Ia pikir akan keluar dengan cara yang normal seperti orang lain. Eeh ia malah langsung masuk ke dalam mobil begitu keluar dari pesawat. Tampaknya lelaki ini benar-benar tak mau kehilangannya kali ini. "Ya, tan." Pasti mamanya. Ia bahkan hampir tak pernah menghubunginya sama sekali. "Ya. Kami baru saja keluar." Narsha mendengus. Ia tampaknya akan terkunci lagi seperti dulu. "Akan Arsen antar langsung ke rumah," tambahnya. Lalu tak lama ia menutup telepon. Narsha melengos. Sebal sekali. "Kamu harusnya menghubungi mamamu." Ia bahkan tak akur dengan orangtuanya. Lalu bagaimana harus menghubungi? Yang adaalah dipaksa menikah dengan lelaki ini. Kenapa hidupnya sedari dulu harus diatur hingga begini? Ia heran. Tapi bertanya juga percuma. Ia tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Orangtuanya selalu memakai caranya sendiri. Satu jam kemudian, mobil memasuki gerbang rumah Narsha. Yeah jarak dari gerbang menuju teras rumahnya saja sangat jauh. Mobil mengelilingi air terjun dan taman yang dibuat di tengah-tengah halaman depan rumah. Sengaja dibuat melingkar dan seharusnya tampak indah bagi orang-orang yang datang. Meski sudah lama tak tinggal di sini, Narsha merasa bosan. Tiba di depan teras, mobil berhenti. Arsen tentu saja ikut keluar dan..... "Oooh Arseeen!" Lihat lah perempuan itu. Ia bahkan lebih antusias menyambut kedatangan Arsen dibandingkan dengan anaknya sendiri. Narsha mendengus jengkel melihatnya. "Baik sekali kamu mau membawa pulang Narsha," ujarnya. Narsha hendak melenggang masuk ke dalam rumah tapi Arsen menahan tangannya. Narsha menoleh ke arahnya. Apa yang diinginkan lelaki ini? "Besok malam, aku akan ajak kamu dinner." Oh oke. Pencitraan? Hahaha. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Memangnya ada pilihan lain? Mamanya tentu saja sangat antusias melihat Arsen tampak begitu lembut di hadapannya padahal sepanjang penerbangan hingga menuju ke rumah, ia bahkan tak diperdulikan lelaki ini. "Ooh so sweet. Besok tante akan temani Narsha mencari baju yang pas untuk dinner kalian," ujar mamanya. Tentu saja mamanya yang paling antusias untuk urusan ini. "Peluk dong peluk. Tante mau lihat." Kalau urusan kemesuman, mamanya memang nomor satu. Ya tentu saja Arsen mengabulkan permintaannya. Cowok itu bahkan tak hanya memeluknya tapi juga mencium keningnya. Ini hal biasa dulu. Narsha sudsh sering akting bukan? "Aaaah. Jadi pengen lihat kalian di altar!" Tuh kan. Mamanya heboh. "Arsen pulang, tante." Akhirnya cowok itu berpamitan. Narsha yang hendak berjalan masuk, kali ini ditahan mamanya sendiri. Dipelototi juga. Masa Arsen pulang tak dilihat? Ia mendengus. Memang tak bisa melawan kalau urusannya dengan perempuan yang satu ini. Begitu mobil Arsen menghilang dari gerbang, mulutnya tak berhenti mencerocos. "Berhenti bersikap kekanalan. Kamu gak kasihan Arsen nungguin kamu bertahun-tahun hah?" Tuh kan. Ia bahkan sangat malas mendengarnya. Omelan itu tak akan berhenti bahkan hingga ia masuk ke dalam kamar. "Kamu dan Arsen itu sudah sepantasnya menikah. Apalagi kalian juga udah lama tunangan." Ya dari masa ia lulus kuliah sarjana kan? Tak begitu lama putus dari Alfa. Haaah. Salah satu alasannya memutuskan Alfa memang urusan perbedaan yang menjulang. Yang sangat sulit untuk disatukan. Di sisi lain, ia juga tak mau menyakiti karena memang akan ada bertunangan dengan Arsen kala itu. Sesuatu yang memang sudah lama disiapkan kedua orangtua mereka. Alfa pasti tahu kenapa ia melakukan itu bukan? Pasti tahu juga kalau ia terpaksa menjalani ini semua bukan? Tak sepenuhnya dari hati. @@@ Kedua orang itu duduk. Yang satu di atas tempat tidur sambil memegang selimut untuk menutupi bagian dadanya. Yang lain hanya mengenakan baju handuk sambil duduk di kursi yang membelakangi jendela kamar hotel dan menatap ke arah perempuan muda yang terus menemaninya sejak semalam. "Jadi dia kakakmu?" Mereka sedang membicarakan Juna karena tadi tak sengaja muncul di televisi. "Ya. Kaget?" "Lumayan." "Tak perlu mengindahkannya. Dia juga hanya peduli dengan hidupnya." Lelaki itu tersenyum kecil. Sebagai orangtua yang juga punya anak, ia tentu memahami perempuan muda di depannya ini. Haus perhatian dan ingin hidup dengan bebas tanpa aturan. Tapi ia tak mau. Hidup yang dikekang itu benar-benar tak nyaman. Ia suka begini. Hidup sesuka hati. Ia harusnya tinggal di luar negeri saja. Yang jauh dari aturan agama. Tapi tak mendapatkan izin untuk melanjutkan pendidikan di sana. Ia benar-benar berada di bawah pemantauan. "Aku baru teringat sesuatu. Kita tak memakai pengaman." "Aku sudah memakainya." Ia sudah lama tak asing dengan barang-barang semacam itu. Ya berawal dari pacar pertama hingga bablas sekarang. "Sesuai kesepakatan kita, dua kali seminggu." "Lebih dari itu, aku tak masalah." Ia justru senang. Bukan karena uangnya. Tapi entah kenapa, ia malah nyaman dengan lelaki ini. Lelaki itu mengangguk-angguk. "Kapan pun aku menghunungimu, kamu harus datang." Ia mengangguk. Lalu lelaki itu beranjak. Obrolan selesai karena katanya hendak pergi. Ia bahkan sudah selesai mandi tadi. Sementara perempuan ini mssih begah berada di tempat tidur tanpa mengenakan apa-apa. Ia benar-benar shka kebebasan. Ia membaringkan tubuhnya. Kadang juga bertanya-tanya, apa ini yang ia inginkan? Baru mau memejamkan mata, ponselnya bergetar lagi. Ya sejak pagi juga sudah bergetar. Ia kira mungkin abangnya atau umminya. Namun ternyata? Kakak tingkatnya. Orang yang sangat sulit berlepas diri darinya. Lelaki itu pasti akan mengancamnya kalau ia tak datang. "Aku lagi capek, kaaak." "Di mana kamu?" Nada itu terdengar galak. Ia tak menganggapnya pacar tapi lelaki ini menganggapnya begitu. Pacar. Ya sejenis pacar yang hanya dibutuhkan untuk hubungan tertentu. Karena lelaki ini juga punya pacar yang benar-benar bisa disebut pacar. "Aku ke kos kamu dan kamu gak balik. Kamu juga gak ke kelas tadi pagi." Ia memang bolos. Sudah ia kabarkan pada dua sahabatnya. Ya demi absen. "Aku di rumah," bohongnya. Ia tak mungkin bilang ada di hotel kan? "Depok?" "Ya." "Video call sekarang. Cepat terima." Ia berdesis. Buru-buru berlari ke kamar mandi dan masuk ke dalam bak mandi. Sengaja ia abaikan panggilan video itu. Lebih baik berendam di sana. Lelaki itu hanya ingin m***m dengannya. Kalau menolak? Tentu saja ada konsekuensinya. Apa? Malam-malam di kosan lelaki itu, tak mungkin tak ada dokumentasinya bukan? Apalahi saat dulu ketika ia diperkosa beramai-ramai oleh lelaki itu dan teman-temannya. Ia sebenarnya malu tiap lewat di depan mereka. Karena mereka sudah tahu bagaimana tubuhnya. Tapi ia dengan sekuat tenaga melawan semua tatapan itu dengan ketidakperduliannya. Kalau kamu gak angkat, aku sebar foto kamu! Dan ancamannya selalu sama. Kalau sudah seperti ini, maka ia tak punya pilihan lain kecuali menurutinya. @@@ "Lo ada nelepon Al?" Ia bahkan baru sampai di rumah dan gadis ini sudah bertanya tentang Alfa. "Lo datang ke sini cuma buat nanyain Alfa doang hah?" Ia pura-pura jengkel. "Ayolah, Riiiz. Lo tahu kalo Alfa suka cuek kalo lagi dinas keluar." "Biasanya juga cuek." Ia mendengus. Ya tahu sij .ereka bersahabat dan tak semua hal harus dibagi. Tapi Febby hanya ingin tahu kok. Sudah lama ia tak mendapatkan kabar dari Alfa. Bahkan saat basa-basi menanyakan pesanannya pun tak dibalas Alfa. Ia bingung saja. Ada apakah dengan lalu itu? Kok cuek banget.? "Riizzaaaaa!" "Gue mau ganti baju heh! Jangan masuk sembarangan!" Febby cemberut. Mamanya Riza sudah bawel memanggil agar ia ikut ke dapur. Yeah membantu menyiapkan makan malam sekalian makan malam di sini. Ia sudah biasa di sini. Memang jauh lebih nyaman di rumah Riza dibandingkan rumahnya Alfa. Mamanya Alfa itu kalau sudah ngomong ya pedas sekali rasanya. Perih hatinya. Persoalan agama dan hijab pasti selalu dibawa-bawa. "Si eneng geulis, biarin itu si Riza ganti baju sama mandi dulu. Sekalian biar solat di masjid." "Masih susah disuruh solat di masjid, tan?" "Ya gitu lah. Masuk kuping kanan terus keluar kuping kiri. Padahal kalo gak mau solat di masjid ya jadi perempuan aja biar solatnya di rumah." Febby tertawa. Ini enakya mamanya Riza. Tak pernah menghakimi orang lain hanya karena tak sama dengannya. Andai ibunya Alfa seperti ini, ia pasti akan datang setiap hari. Untuk apa? Ya merecokinya lah. Biar bisa dekat kan? Ia tentu saja masih punya keinginan untuk mendapatkan Alfa. Tapi Riza ya jangan. Karena ia juga tahu, Alfa masih belum bisa melupakan Narsha bukan? Rasanya kisah cinta mereka sudah lama berakhir. Ia mengira kalau akan ada kesempatan. Nanun ternyata perkiraannya masih saja salah ya? Ia masih ingat dulu di mana Riza memberitahunya untuk pertama kali kalau Alfa sudah punya pacar. Awalnya, ia tak percaya. Karena Alfa tak terlihat seperti punya pacar dimasa itu. Tapi ternyata, pacarnya justru perempuan teranyar yang masuk deretan mahasiswi cantik di kampus mereka. Padahal belum lama juga sempat bertemu dengannya beberapa kali. Sungguh kaget karena ternyata perempuan itu menjadi pacarnya Alfa yang tergolong biasa-biasa saja. Ya meski Alfa biasa-biasa saja, nyatanya ia juga tertarik kan? Sekian tahun berlalu, ia tahu kenapa banyak perempuan yang bukan hanya ia dan Narsha menyukai Alfa. Kenapa? Karena Alfa tak seperti laki-laki pada umumnya. Bahkan sulit bagi Febby untuk mendeskripsikan bagaimana sosok Alfa yang ia kenal dari zaman kuliah dulu hingga sekarang. @@@ Dikala teman-temannya heboh melihat Narsha berboncengan dengan ketua geng motor yang paling ditakuti pada masa itu, ia justru merasa tertarik. Kenapa perempuan seperti Narsha memilih yang berandal seperti itu? Maksudnya, Narsha cantik. Dia punya segalanya. Dia bisa mencari cowok yang lebih baik. Lantas kenapa harus Stefan? Yang menurutnya terlalu berbahaya. Tahu alasannya? Tidak. Ia tidak tahu. Setidaknya sampai ia benar-benar mengenal Narsha. Narsha itu sangat suka tantangan. Meaki gadis itu mundur saat ia mencoba mendekatinya. Kapan ia mulai mendekatinya? "Uppps sorry." Alfa menoleh ke belakang saat merasakan sebuah bola mendarat ke kepalanya. Narsha muncul untuk mengambil bola itu. Biasanya kalau cowok-cowok lain akan membantu mengambilkan bola untuknya. Tapi Alfa? Justru baru saja berlari menuju teman-temannya yang hendak mengambil permainan voli. Ini kan jam olahraga. Sementara Narsha justru berdiri melihat punggungnya yang menjauh. Memangnya ia tak tahu kalau cowok ini terus memerhatikannya sejak kemarin? Ia sadari saat pulang sekolah kemarin karena Alfa tepat berada di seberang jalan, duduk bersama yang lain, namjn matanya tak mungkin berbohong tak menatap ke arahnya. Lalu kenapa ia tak digubris sama sekali sekarang? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD