Pelarian

3000 Words
Katanya kau mau ke sini heh? Soo Jin-iiii Soo Jin-aaaaah Tapi tak kunjung ada balasan. Ia terus mengecek ponselnya berulang kali untuk memastikan. Tapi tetap tak ada balasan. Bahkan pesannya tak kunjung dibalas. Ia menghela nafas. Akhirnya memilih untuk menyibukkan diri. Yeah menggambar baju untuk diproduksi. Ia punya butik di sini. Baju-baju yang ia jual sebagian memang desain sendiri. Meski ada beberapa baju lain yang ia ambil dari Turki, Indonesia maupun Malaysia. Ia jual di sini dan ternyata laku juga. Yang membeli tidak hanya yang berhijab. Tapi juga orang-orang lokal di sini. Kebanyakan yang berhijab di sini kan dari luar negeri. Tidak sepertinya yang memang sudah sedari kecil di sini. Ia sibuk menggambar hingga beberapa jam. Ternyata galauannya soal Jae In bisa terlupakan karena mendengar kegalauan Narsha. Ia tak terbayang bagaimana sulitnya Narsha untuk melupakan lelaki yang menurutnya terbaik yang pernah ia temui. Namun terlalu sulit untuk digapai jika harus berhadapan dengan Tuhan. Menjelang jam satu siang, ia beranjak untuk solat zuhur. Begitu selesai solat, ia mendapati banyak panggilan dari Kim Jae In. Aaargh. Ia jadi teringat lagi. Ia tak tahu siapa perempuan yang datang ke restoran Jae In kemarin. Maksudnya, hubungan mereka selain teman satu kampus. Namun melihat wajah Jae In yang merona begitu, ia bisa mengartikannya sendiri. Ya kan? Ia sebenarnya enggan untuk bertemu setidaknya selama beberapa hari ke depan. Karena perasaannya mungkin akan sakit. Tapi karena lelaki itu terus meneleponnya maka terpaksa ia mengangkatnya. "Wae?" "Ya! Aku telpon kau dari tadi!" "Waeeee?" Ia sedang tak ingin berbasa-basi. "Soo Jin di rumahku. Dia pingsan." "Waaaaaee?" Kali ini ia panik. "Dia dikejar beberapa orang. Mungkin mereka orang yang kau maksud tempo hari?" "Lalu di mana kau sekarang?" "Di rumah. Cepat lah datang." Ia mengiyakan. Dengan buru-buru ia mengambil tas seadanya. Sempat berteriak pula pada salah satu pegawainya kalau ia akan pulang. Ia buru-buru mencari taksi. Beberapa minggu ini, mobilnya menginap di bengkel. Memang sudah cukup tua dan sudah sepatutnya untuk diganti. Tapi ah entah lah. Ia juga belum berniat betul untuk mengendarai mobil lagi. Taksi membawanya begitu cepat menuju rumah orangtua Kim Jae In. Ia jelas panik. Ini bukan yang pertama. Tapi yang pertama terjadi di Seoul. Selain itu? Ia dan Narsha sudah pernah berulang kali berlari di Malaysia dan Singapura. Sampai akhirnya datang ke sini. Narsha mau ikut dengannya karena ya ia bisa mengupayakan persembunyiannya dengan lebih baik. Bahkan sampai legalitas hukum keberadaannya di sini. Ia keluar dari taksi. Lalu buru-buru masuk ke melewati gerbang. Ia bahkan bisa melihat banyak orang berbaju hitam yang berkeliaran di sekitar sini. Tampak mencari-cari sesuatu. Tentu saja ia tahu siapa yang dicarinya. Narsha kan? Ia masuk ke dalam rumah. Hanya ada Jae In di sana. Mungkin orangtuanya ada di restoran. "Mereka suruhan orangtuanya?" "Sepertinya tunangannya." "Tunangannya gangster?" "Bukan." "Lalu?" "Jajaran orang paling kaya di sebuah negara." Aaah. Jae In mengangguk-angguk. Ia belum tahu seberapa kayanya gadis yang ditolongnya. A Yana masuk ke dalam kamar adiknya Jae In. Ia membawanya ke sini. "Kau menolongnya?" Narsha tampak masih belum sadarkan diri. Ya agak khawatir sih. Tapi Jae In tadi sudah menelepon salah satu sepupunya yang merupakan dokter. Tampaknya hanya pingsan. Mungkin kelelahan. Ia juga kaget saat melihatnya tadi. "Ya. Dia hampir pingsan di depan pagar rumahku." Padahal Narsha tak begitu tahu rumah orangtua Jae In. Bisa kebetulan seperti ini? "Dia sungguh atlit lari yang baik," pujinya. Entah pujian macam apa ini. Tapi yang jelas, A Yana mengakui kecepatan Narsha dalam berlari. Mungkin karena sudah terlalu sering dikejar-kejar? Gadis itu menjadi terbiasa. "Kenapa dia melarikan diri dari tunangannya? Tunangannya jelek? Atau tua?" Jae In bawel. Cowok itu membawakan makanan yang baru saja ia buat. Tentu saja bukan untuk A Yana. Ia menaruhnya di atas nakas agar begitu bangun, Narsha bisa langsung menyantapnya. Sementara itu, A Yana mengetik nama Arsen di internet. Kemudian memperlihatkan gambar itu pada Jae In yang ber-ah ria. Mungkin kaget saking gantengnya. "Ya! Itu tak buruk sama sekali." "Ah. Kau tak paham perasaan perempuan." "Dia ganteng, kaya, lalu apa yang perempuan-perempuan seperti kalian ini pikirkan?" A Yana menarik lengan bajunya keluar dari kamar. Dari pada adu bacot mereka didengar oleh Narsha yang masih belum bangun. "Ya! Kau pikir menikah tanpa cinta itu akan indah?" "Kalian bisa belajar mencintainya." A Yana ingin sekali mencekiknya. Hahaha. "Ya! Cinta itu bukan sesuatu yang bisa kau rencakan. Memangnya kau bisa mengatur hati kau untuk jatuh hati pada siapa?" A Yana jadi kesal. Jae In terdiam. Ya benar juga. Sama lah dengan perasaan aku ini. A Yana mengeluh di dalam hatinya. Ia juga tak bisa mengatur perasaan yang ia pendam dalam-dalam untuk lelaki ini bukan? Padahal ada banyak lelaki di luar sana yang mau dengannya. Juga jauh lebih baik dari Jae In. Namun yang menjadi masalah adalah hatinya hanya ingin Jae In. Maka perkara ini pun sama dengan Narsha bukan? @@@ Padahal tadi Narsha sempat berhenti sebentar ketika ia menanjak jalanan menuju masjid besar Seoul. Sayangnya, karena lelah ia memilih berbelok dan entah apa yang terjadi selanjutnya, ia juga tak tahu. Padahal jaraknya tadi juga begitu dekat dengan lelaki yang baru keluar dari masjid. Ia melihat banyak lelaki berbaju hitam berkeliaran. Bahkan salah satunya berhenti di depannya. "Do you see her?" Bukan pertanyaannya yang ia gubris melainkan poster foto yang diberikan padanya. Foto itu jelas foto orang yang sangat ia kenal. Ada apa? Kenapa Narsha dicari-cari mereka? "What happen?" Ia tentu saja ingin tahu. Tapi lelaki itu tak menjawabnya. Malah mengulangi kembali pertanyaan sebelumnya. Apakah ia melihat Narsha? Tentu saja ia menggeleng. Sekalipun ia melihatnya, ia tak akan memberitahu. Ia berjalan menjauh dengan perasaan gamang. Tampaknya terjadi sesuatu dengan gadis itu. Tapi apa? Kalau dulu, hubungannya dan Narsha memang selalu ditentang oleh keluarga Narsha. Ya ia sadar diri kalau ia hanya lah laki-laki biasa. Mungkin tak sepadan dengan Narsha dan keluarganya. Tapi bukan kah cinta mereka begitu tulus satu sama lain? Kedua tangannya terkepal. Satu kesimpulan yang bisa ia ambil. Apa? Mungkin Narsha kabur dari orangtuanya. Ia ingat kalau selama mereka berpacaran pun, beberapa kali Narsha dijodohkan dengan beberapa laki-laki. Ya bukan hanya dengan laki-laki yang sekarang berstatus tunangannya Narsha. Ada banyak sebelumnya. Ia kerap berhadapan dengan mereka. Tentu saja membawa kabur Narsha saat diadakan pertemuan dengan mereka. Tapi sejak putus terakhir sudah tak pernah lagi. Bahkan ia juga kaget saat akhirnya mendapatkan kabar kalau Narsha sudah bertunangan dengan Arsen. Yeah lelaki yang punya segalanya. Ia juga banyak menemukan kebersamaan mereka. Nagaimana Arsen menatap Narsha. Bagaimana lelaki itu sangat mencintainya. Jelas saja membuatnya cemburu hingga nafasnya memburu. Maka ketika akhirnya tiba di apartemen? Ia menonjok dindingnya. Emosi. Kesal. Marah. Ia masih belum rela kalau Narsha dimiliki oleh lelaki lain. Lalu ada masalah apa sekarang? Narsha kabur dari siapa? Tunangannya? Benar kah? Ia mencoba mencari pemberitaan namun tentu saja tak ada. Lalu mencari akun media sosial Narsha. Tentu saja tak ada postingan apapun. Gadis itu tampaknya vakum dari sana. Ia juga mencoba mengecek postingan yang mungkin menandainya malah yang muncul postingan mamanya Arsen. Yeah ada foto bersama Narsha dan Arsen tentunya. Banyak orang yang mengelu-elukan kebersamaan mereka. Ia menarik nafas dalam. Apa yang ia mau? Narsha? Ajakannya kemarin saja ditolak. Bukan kah itu pertanda kalau gadis itu sudah tak ingin berhubungan dengannya? Jika harus berpisah maka harus berpisah dengan benar. Meski sulit. Ia sudah menangis di dalam sujudnya tadi bukan? Menangisi cinta yang tak mungkin bisa bersama. Kalau sudah tumpah semuanya, ia mau apalagi? Bukan kah jawabannya juga sudah sangat jelas? Tak ada jalan untuk mereka selain berpisah. Ya kan? Ia membasahi tubuhnya dengan air. Berharap menemukan ketenangan. Lalu berbaring dan merasakan perutnya begitu kosong. Ia lapar. Baru teringat kalau belum makan sama sekali. Lantas segera keluar. Teringat pula dengan restoran kemarin. Lokasinya tak begitu jauh dari apartemennya. Ia sengaja mencari apartemen di sana agar bisa mencari makanan halal dengan begitu mudah. Ia berjalan menuju ke sana. Hatinya ingin ke sana. Kakinya juga. Seluruh tubuhnya ingin ke sana. Harapannya begitu besar. Berharap akan menemukan gadis itu. Ya setidaknya berpapasan. Tapi tampaknya tidak ya? Karena begitu tiba di ambang pintunya saja, ia sudah tak melihat Narsha ada di sana. "Anyeong haseyo!" Sang pegawai sudah menyapanya begitu masuk. Ingin mundur tapi langkah kakinya terlalu kelu. Akhirnya malah masuk dan memesan makanan di sana. Ia bahkan sudah melupakan pesanan Febby. Ah sudah tak ingat lebih tepatnya. Semua pesan atau telepon yang masuk hari ini juga ia abaikan. Kinerja otaknya sedang tak sinkron hari ini. Ia sungguh kacau. Benar-benar kacau. @@@ Tentu saja Arsen marah besar. Satu perempuan pun tak dapat? Waaah. Apa susahnya? Ia tentu tak bisa berlama-lama di sini. Rasanya makin marah juga. "Cari sampai besok. Kalau besok tak juga ditemukan, jangan bayar!" Ia sudah habis kesabarannya menunggu. Sudah berhari-hari mencari satu perempuan masa tak bisa? Giliran hampir bertemu malah hilang. Ia heran. Memang secepat apa Narsha kabur dari mereka? Ia tampak kesal sekali. Ia beranjak dari kursi. Sudah sejak pagi, ia makan sendirian. Kini ia kehilangan nafsu makannya dan memilih pergi dari sana. "Kirim lokasi di mana dia hilang tadi." Ia akan mencoba mencarinya sendiri. Ia mengambil salah satu mobil. Meski terasa aneh karena bangku kemudinya tidak berada di sebelah kanan, ia tetap bisa mengemudikan mobil itu. Tujuannya tentu saja titik tadi. Ia yakin kalau Narsha pasti masih ada di sekitar sana. "Segera tambahkan personil di sekitar sana." Ia menugaskan banyak orang. Kali ini ia harus membawa Narsha pulang. Sudah tak ada toleransi lagi. Ia sudah menunggu cukup lama. Seperti yang pernah ia katakan. Narsha boleh pergi ke mana saja setelah ini usai ia nikahi. Ia mengemudikan mobilnya tanpa ampun. Ia akan dapatkan gadis itu. Ia yakin sekali. Narsha tak boleh menolaknya. Ia tak akan biarkan gadis itu menolaknya. Ia mengepalkan kedua tangannya. Tentu saja berefek pada setiran mobilnya. Ia melibas semua kendaraan hingga akhirnya tiba di sana sekitar setengah jam kemudian. Ini masih sekitar jam 3 sore. Ia memarkirkan mobilnya tak begitu jauh dari masjid besar Seoul itu. Ia juga sibuk menelepon beberapa orang untuk mengecek semua apartemen atau tempat tinggal apapun yang bisa digunakan oleh Narsha untuk tinggal. Lima menit kemudian sudah mendapatkan kabar. "Kami sudah mencari bahkan hingga ke seluruh Korsel, bos. Tapi tak ada penyewa atas nama nona Narsha." Jelas saja tak akan ditemukan. Narsha menggunakan nama A Yana di sini. Ia juga menyamarkan namanya menjadi Hong Soo Jin. Dengan wajahnya yang oriental itu, jelas saja tak akan ada yang tahu kalau ia bukan orang Korsel. Walau yah bahasa Koreanya masih agak payah. Namun ia mengakali dengan jarang berinteraksi. Karena kalau terlalu banyak yang mengenal, akan jauh lebih berbahaya. Lalu dengan poster tadi? Namanya dan wajahnya pasti sudah diketahui banyak orang. Arsen berdesis. Jelas saja ia kesal hari ini. Narsha tampaknya benar-benar ingin bersembunyi darinya. Tapi tidak akan bisa. Ia tak akan membiarkan itu terjadi lebih lama lagi. Sudah cukup. Sekarang benar-benar waktunya untuk pulang. Ia masuk kembali ke dalam mobil. Lalu tampak berpikir. Dalam beberapa detik langsung terlintas satu pikiran ketika ia tak sengaja melihat beberapa CCTV yang ada di sekitar jalan ini. Jadi ia buru-buru berangkat menuju kedutaan Indonesia. Ia punya relasi di sana dan juga menghubungi salah satu orang penting yang ada di Korsel. Ia perlu mengecek semua CCTV itu. Sialnya ide itu baru terpikir sekarang. Ia merasa bodoh sekali. Padahal ada kemungkinan akan mudah bukan? Jalan menuju kedutaan memang cukup lama. Tapi urusan di sana berjalan dengan sangat cepat. Apalagi banyak pejabat penting yang ia kenal. Berbekal itu, ia bisa mengakses data rekaman CCTV di seluruh Seoul hanya dalam sekejab. Meski tentu saja butuh waktu. Ia ikut ke kantor kepolisian untuk memantau hasilnya. Tentu saja akan lebih cepat bukan? Berdasarkan rentetan kejadian, Narsha ditemukan pertama kali di sekitar gereja Myeongdong. Maka rekaman hari ini langsung dilihat. Dalam beberapa menit, kehadiran Narsha memang tampak. Lalu ia masuk ke dalam gereja. Lalu? Menjelang siang, ia tampak keluar lagi. Di sini ia kabur. Bahkan kecepatan larinya dikagumi pihak kepolisian. "Bagaimana perempuan bisa berlari secepat itu?" Tapi bagi Arsen, itu jelas bukan sebuah prestasi. Melainkan olokan bagi timnya yang sangat payah. Mengejar satu perempuan saja tak berhasil. Hingga akhirnya ia menghilang di persimpangan. Yeah memang tak muncul. Polisi segera beralih pada rekaman CCTV lain, sialnya tak begitu jelas. Akhirnya ya mengirim anak buah untuk mencari CCTV rumahan di sekitar sana yang mungkin menangkap keberadaan Narsha. Lantas ketemu? Bukan dengan jalur itu. Karena salah satu polisi menemukan rekaman CCTV terbaru dan baru beberapa menit lalu. Rekaman apa? Narsha dengan seorang lelaki. Yang hanya sekali lihat saja, Arsen langsung tahu siapa lelaki itu. Ia menghubungi anak buahnya. Tentu saja tak akan langsung menangkap. Ia akan mengepung. Dan bekerja sama dengan pihak kepolisian agar terus mengirim posisi Narsha saat ini. Agar ia tak kehilangan lagi. @@@ Usai makan, masih dilanjutkan mengobrol. Juna tampak tenggelam dalam obrolan dengan para tetua di keluarga besarnya Ranee. Ya mereka baik. Setidaknya begitu yang ia tangkap. Meski beberapa kali, umminya tampak menahan senyum. Sedangkan Ranee tak bisa berhenti menatapnya. Ia sungguh girang saat pamannya bersedia mengenalkannya pada Juna. Memang sedari awal itu adalah permintaannya. Orangtuanya tentu saja girang bukan kepalang karena ia tertarik pada Juna. Satu jam kemudian, keluarga Juna berpamitan. Meang sudah cukup lama solaturahmi ini. Meski Ranee enggan berpisah ya anggap saja nanti kalau perkenalan ini lancar, ia akan segera bersama lelaki ini bukan? Tak akan berpisah? Juna masuk ke dalam mobil. Tak tersenyum sedikit pun ke arahnya. Menatap pun rasanya terlalu malu. Karena tentu saja bahagia bukan? Ia menemukan perempuan yang mungkin saja menjadi jodohnya nanti. Mobil keluarga Juna bergerak meninggalkan area pesantren itu. Juna tampak puas dengan pertemuan itu. Begitu pula dengan abinya. Umminya? "Kamu yakin dengan perempuan itu?" "Kenapa memangnya ummi?" "Hanya ingin bertanya." Juna mengangguk dengan senyuman kecil. Anaknya tampak bahagia. "Setidaknya sampai saat ini. Tapi kan belum tahu Allah bagaimana. Kalau memang yang terbaik ya bagus. Kalau pun bukan, abang yakin nanti ada penggantinya yang jauh lebih baik." Umminya mengangguk-angguk lalu menghela nafas berat. Ia tahu kalau anaknya juga belum tentu lebih baik. Ya apalagi anak ketiganya yang merupakan perempuan dan membuat sakit kepala. Namun melihat perempuan tadi, memang ada yang agak mengusiknya. Apa? Naluri ibu. Saat melihat perempuan itu, ada sesuatu yang begitu mengusiknya. Entah apa. Ia berharap salah. Ia tak berharap ada sesuatu yang buruk yang mungkin saja terjadi. Ia menarik nafas dalam. Juna tahu kalau ada hal yang mengganggu umminya. Apa? "Kenapa, um?" "Hah?" "Ummi kenapa? Kok gelisah?" Ia tentu saja bertanya-tanya. Umminya tak seperti biasanya. Ada apakah? "Enggak," ujarnya. Ia tidak akan protes selama itu baik dan anaknya suka. Ya jika memang jodoh, ia juga tak bisa apa-apa. "Hanya mungkin ummi boleh kasih saran?" "Ya. Apa, um?" "Abang sudah banyak bertanya soal kehidupannya?" Juna menggeleng. Memang oa juga sedang membuat beberapa daftar pertanyaan usai membaca CV perempuan itu. Nanti akan segera ia kirimkan juga untuk mendapatkan jawabannya. "Ummi hanya mu bilang kalo sebuah hubungan apalagi pernikahan itu harus dimulai dengan saling jujur dan terbuka. Hanya itu." Umminya tak mau ada sesal di lain hari. Juna mengangguk. Tentu saja. Ia juga ingin tahu lebih banyak dengan tentang keluarga gadis itu. Sementara itu, umminya tampak menatap jalanan kosong. Ah entah lah. Ia berharap salah menilai. Semoga memang baik. @@@ "Kau yakin?" Ia mengangguk lemah. Ia sebenarnya lelah. Tapi ia tak mungkin juga akan terus di sini. A Yana membantunya berjalan keluar dari kamar adiknya Jae In. Sungkan bagi mereka untuk tinggal di sini meski masa darurat. Jae In ikut dengan mereka. Ia keluar lebih dulu untuk memastikan kalau tak ada orang yang berbaju hitam yang mencari Narsha. Namun sialnya tentu saja ada. Akhirnya buru-buru masuk lagi. Narsha duduk di sofa. A Yana bergerak masuk ke dalam kamar adiknya Jae In. Untuk apa? Mengambil kerudungnya. Lalu ia kenakan pada Narsha. "Kau harus pakai ini!" tukasnya. Ia bahkan mengambil syal untuknya. Lalu dililitkan di leher. "Untung kau pakai baju sopan hari ini." Narsha tak bisa membalas omelannya karena masih agak lemas. Meski ia masih sanggup berjalan. Ya setidaknya berpindah tempat dulu. Kalau terus di sini malah akan terperangkap. Ketiganya kembali keluar. Jae In melihat sekitar untuk memastikan kalau tak ada orang. Baru kemudian ia memberi kode untuk Narsha dan A Yana mengikutinya. Ketiganya berjalan menyusuri g**g-g**g kecil di antara ruko-ruko. Begitu melihat jalanan besar di depan sana, Jae In spontan memundurkan langkah. Tentu saja karena ada beberapa orang berbaju hitam yang masih hilir mudik di seberang jalan. Meski ya aman juga. A Yana mengeluarkan kacamata hitamnya. Ada masker juga yang harus dikenakan Narsha. Ia persis orang penyakitan. Meski ya tertutupi kerudung yang dikenakan seadanya. Namun tubuhnya mendadak ditarik lagi oleh A Yana. Gadis itu benar-benar merapikan kerudungnya. "Berjalan lah dengan normal. Kau jangan berbuat sesuatu yang mencurigakan." Ia mengangguk. Maka ketiganya keluar dari g**g kecil itu. Berbelok ke kiri dan berjalan di atas trotoar. Narsha berjalan paling kiri. Ada A Yana di tengah. Lalu paling kanan tentu saja Jae In. Cowok itu terus memantau. Seharusnya tak ada yang curiga. Karena Narsha mengenakan kerudung. Pasti tak akan ada yang curiga bukan? Namun sialnya ketika mereka berbelok ke kiri, di depan sana ada beberapa lelaki berbaju hitam yang tentu saja membawa posternya. Langkah Narsha dengan otomatis terhenti. Tapi A Yana memegang tangannya. Maksudnya jangan sampai berhenti dan membuat mereka curiga. "Kita menyebrang saja." Kebetulan sekali, tak jauh dari sana ada penyebrangan jalan. Mereka hendak mengambil taksi. Tapi begitu aman menyebrang, di sebelah kiri Jae In, ia melihat di depan sana beberapa mobil taksi tampak diberhentikan. Lalu..... "Ya.....dia bekerja sama dengan polisi di sekitar sini?" A Yana jadi panik. Kalau mereka masuk taksi sekarang, Narsha bisa tertangkap. Maka terpaksa Jae In membatalkan taksi yang hendak mereka naiki. Lelaki itu melihst ke sekitar jam tampaknya jumlah lelaki berbaju hitam semakin bertambah. "Lebih baik kita ke restoranku sekarang." "Kau gilak?" Meski dekat namun berisiko. Ini saja sudah tak aman. "Kita jalan santai saja. Kau sendiri yang bilang begitu tadi. Aku harus mengambil mobil di sana. Kau pikir, akan lebih aman kalau naik taksi?" A Yana terdiam. "Kalau kalian diam di sini, semakin lama--aargh pergi sekarang," ajaknya. Dua gadis itu terpaksa mengikutinya. Tak bisa bersembunyi di dekat sini. Lebih baik mempercepat langkah menuju restoran Je In untuk mengambil mobil di sana. Dan Narsha tak tahu harus pulang ke mana setelah ini. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD