Kedua mata Isla perlahan terbuka dan ia masih mendapati dirinya di gua tempat semalam ia dan Rhys tempati.
"Kau sudah sadar?" Rhys menatap Isla yang baru saja terbangun.
"Kau ... tidak tidur?" ujar Isla yang mendapati Rhys masih terjaga.
"Aku tidak boleh tidur untuk memastikan kalau semuanya aman dan tidak ada serangan. Kita tidak tahu pergerakan Kai dan juga yang lainnya. Selain itu, ini adalah hutan dan kita tak tahu apa saja yang ada di sini," jelas Rhys.
Rhys terjaga semalaman demi keselamatan mereka dan itu membuat Isla merasa kalau dirinya hanyalah sebuah hambatan di sana. Ia merasa kalau keberadaannya di sana hanyalah akan menjadi sebuah beban.
"Aku tidak menganggapmu sebagai beban sama sekali, jadi tolong berhentilah berpikiran seperti itu."
Deg!
Kedua mata Isla membulat saat mendengar ucapan Rhys barusan. "Kau bisa membaca pikiranku?"
Rhys menghela napasnya pelan, "Maaf karena tidak memberitahumu," ujarnya.
Kedua mata Isla mengerjap beberapa kali. Ia tak menyadari hal itu sama sekali selama ini. Yang ia tahu Rhys bisa menggerakkan benda-benda dari kejauhan dari sebuah pengendalian pikiran.
Ah, benar. Tentu saja, Rhys adalah pengendali pikiran. Pria itu pasti akan dengan mudah membaca pikiran seseorang bahkan tanpa harus repot-repot mendekat pada targetnya, karena Rhys adalah salah satu tipe penyerang jarak jauh yang artinya pria itu bisa menyerang dari jarak yang jauh.
"Sekarang naiklah, kita harus melanjutkan perjalanan."
Isla menatap punggung Rhys selama beberapa saat dan sebelum naik, ia sempat memberikan pakaian milik Rhys namun pria itu menolaknya.
"Kau saja yang pakai. Pakaianku bisa tahan api dan juga panas, setidaknya kau akan terhindar dari luka bakar milik Hugo jika dia melakukan sebuah serangan," ujar Rhys.
"Lalu bagaimana denganmu? Kau juga akan membutuhkan ini," ujar Isla. Ia sempat khawatir jika Hugo akan menyerang Rhys secara tiba-tiba jika pakaiannya ia kenakan.
"Aku akan baik-baik saja." Rhys segera membawa Isla keluar dari sana. "Aku sudah memeriksa ke beberapa tempat tadi jadi kita bisa lewat dengan aman."
Di belakang, Isla mengeratkan kedua tangannya yang berada di kedua bahu kokoh milik Rhys.
Cuaca cerah pagi itu membuat Isla bisa melihat keadaan di sekitar. Ia dan Rhys berada di hutan yang entah di mana, namun kemungkinan besar mereka masih berada di bumi mengingat tujuan Rhys adalah mengejar Kai dan menghentikannya.
***
"Berita pagi ini, hujan salju lebat turun di wilayah Antartika setelah dua setelah dua ratus tahun tak turun salju di sana. Para peneliti berkata bahwa hujan salju ini kemungkinan disebabkan oleh pemanasan suhu di permukaan Bumi telah meningkatkan hujan salju ini. Sebab, semakin suhu menjadi hangat berarti semakin uap air di atmosfer. Hal ini akan meningkatkan presipitasi atau turunnya air dari atmosfer ke permukaan Bumi." Seorang pembawa berita menjelaskan.
"Sebelumnya, para peneliti tidak menyangka bahwa kenaikan curah hujan salju ini akan terjadi begini cepat. Kenaikan tingkat hujan salju tertinggi terlihat di sepanjang semenanjung Antartika. Kemungkinan penyebabnya adalah kombinasi dari meningkatnya suhu permukaan Bumi di sekitarnya dan mencairnya lapisan es di wilayah tersebut. Namun begitu, kenaikan hujan salju ini terukur juga di seluruh wilayah benua beku tersebut. Hanya saja saat ini wilayah Antartika mengalami kenaikan suhu permukaan secara drastis dan itu justru mempercepat pencairan gletser yang terdapat di sana."
"Ini buruk. Kenapa setiap harinya semua yang ada di bumi ini menjadi tidak normal?" Teresa menggigit bibirnya menatap berita yang masih ditayangkan di TV. "Aku harus mengatakan ini pada Isla saat di sekolah nanti." Ia dengan terburu-buru memakai tasnya dan bergegas berangkat ke sekolah.
Sementara itu di tempat lain, Maria terdiam menatap berita yang tengah disiarkan di televisi. Setelah hujan salju yang melanda kota Goteborg dan sekitarnya secara misterius di tengah pertengahan tahun di musim panas, kini hal serupa terjadi di Antartika, namun anehnya hujan salju itu turun bersamaan dengan kenaikan suhu di sana.
Tidak sampai di situ, karena setelahnya sebuah berita lain muncul.
"Seperti inilah kondisi Gurun Sahara yang berada di sekitar kota Ain Sefra, Aljazair yang diselimuti salju tebal sejak semalam dengan suhu di bawah titik beku, sekitar minus tiga derajat celcius.
Dilaporkan bahwa salju yang turun setebal empat puluh sentimeter, dan ini merupakan kejadian anomali yang terjadi di sana setelah tiga puluh tujuh tahun terakhir. Anomali salju tersebut dikabarkan muncul tiba-tiba pada saat dini hari tadi. Salju yang turun mengendap hingga cukup tebal bahkan meskipun ini adalah pertengahan tahun. Sementara di pusat kota, salju tampak terlihat hanya setinggi satu hingga dua inci, dan seketika mencair kurang dari dua puluh empat jam namun salju yang turun di sana seolah tak akan pernah berhenti dan terus bertambah.
Kota Ain Sefra sendiri berlokasi di ketinggian 3.280 meter di atas permukaan laut dan dikelilingi oleh pegunungan Atlas. Namun, lokasinya yang berada di ketinggian bukan berarti membuat anomali salju dimaklumi, karena suhu terendah pada musim dingin hampir tidak pernah berada di bawah sepuluh derajat Celcius."
Maria langsung mematikan televisi di depan sana dan wanita itu memijat pelipisnya. Isla dan Rhys bahkan belum kembali saat hari sudah menjelang siang, membuatnya semakin khawatir dan semakin dilanda perasaan tak tenang. Kejadian hilangnya putri semata wayangnya itu tak bisa langsung ia laporkan kepada polisi mengingat kejadian yang dialaminya semalam sudah cukup membuat bukti yang cukup gila dan tak akan dengan mudah dipercayai di tengah era modern ini. Maria hanya akan dicap sebagai wanita gila yang kehilangan anaknya secara misterius.
***
"Rhys, kurasa aku merasa ada sesuatu yang mengikuti kita," ujar Isla seraya menolehkan kepalanya ke belakang. Gadis itu menyipitkan kedua matanya, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Ia mencoba mempertajam penglihatannya saat samar-samar melihat adanya sesuatu yang mengikutinya dan Rhys dari belakang.
"Kau melihat sesuatu?" tanya Rhys. Ia harus mempercepat gerakannya. Apapun yang ada di belakangnya itu, pasti bukan hal yang bisa dianggap remeh. Ia mulai merasa kalau sesuatu yang buruk akan segera terjadi dan bersamaan itu, ia merasa udara di sekitarnya berubah menjadi dingin dan angin yang berembus semakin berubah kencang dengan sesuatu berwarna putih yang mengelilinginya.
Isla menatap awan berukuran besar yang bergerak dengan cepat ke arah mereka berdua, sebelum akhirnya ia melihat seseorang yang bergeran dengan cepat di belakang sana.
"Itu Aric! Di berhasil menemukan kita, Rhys!"
Di belakang sana, Aric mulai mengeluarkan batangan es dari dalam telapak tangannya dan melemparkannya ke arah Rhys dan Isla yang ada di depan sana.
"Sial. Salju ini lambat laun akan menghambat gerakanku," batin Rhys. Salju yang turun semakin lebat dan terus mengendap di permukaan tanah dan semakin menebal dan menghambat gerakan kakinya.
Ia tak ada pilihan lain selain melawan.
Kedua kaki Rhys berhenti dan ia langsung menurunkan Isla. "Pergilah sejauh mungkin. Cari tempat yang aman dan aku akan menyusulmu," ujarnya.
"Ta-tapi kau—"
"Cepat pergi, Isla!" Rhys menangkap satu es yang hampir saja melewatinya.
"I-iya!" Isla berusaha berlari sekuat tenaga dengan rasa sakit yang masih menyerang kakinya. Gadis itu menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Rhys yang melawan Aric sendirian dan segera berlari menjauh dari sana.
—TBC