50. Masa Lalu (2)

2043 Words
"Lalu apa kau ... mencintainya?" tanya Tao secara tiba-tiba. Kedua mata Rhys berkedip, "Tu-tunggu, kenapa kau tiba-tiba menanyakan tentang hal yang seperti itu? Itu tak ada hubungannya sama sekali, Tao," jawabnya seraya tertawa pelan. "Kau begitu peduli padanya sejak awal, Rhys." "He-hei, memangnya jika peduli itu selalu diartikan sebagai rasa cinta, ya? Ka-kau ini jangan yang aneh-aneh. Semua mahluk hidup yang ada di dunia ini memang seharusnya seperti itu, kan? Bukankah kita semua memang diharuskan untuk saling tolong menolong? Astaga." Rhys tertawa. Tao menatap pria yang duduk di sebelahnya itu selama beberapa saat sebelum ia tersenyum tipis. "Tapi ... Gadis itu adalah gadis yang berbeda, kurasa. Mungkin kau benar, kalau gadis itu adalah gadis yang begitu kuat," ujarnya. *** "Sebuah ritual persembahan akan dilakukan ketika terjadinya gerhana matahari, kan?" Aric berujar. "Tapi, bukankah gerhana itu masih lama?" Kini giliran Herc yang menyahut. Kai membuang napasnya pelan, "Aku tahu itu. Dan justru itulah, permainan ini akan kembali dimulai nanti. Tentu saja semuanya akan menjadi lebih seru," ujar pria itu dan di detik berikutnya seulas seringaian tipis kembali tercetak di permukaan bibirnya. "Jadi maksudmu, kita akan tetap berdiam diri saja di sini selagi menunggu gerhana itu terjadi?" tanya Hugo. "Tentu saja tidak. Tao mungkin sudah memasang penghalang di hampir seluruh penjuru kota. Tapi kita masih bisa melakukan sesuatu. Bukankah begitu?" ujar Kai. "Kita masih bisa mengambil beberapa unsur alam yang ada di sini untuk diberikan pada Betelgeuse," lanjutnya seraya tersenyum miring. Semua teman-temannya kini berpandangan satu sama lain. Kai yang saat ini sudah benar-benar sulit untuk dihentikan dan pria itu juga sudah melangkah terlalu jauh. "Lalu gadis itu? Apa kau ... benar-benar akan membuatnya menjadi bahan ritual persembahan itu?" tanya Hugo. Ia berusaha berhati-hati mungkin ketika menanyakan hal itu, berjaga-jaga jika Kai akan murka kembali padanya dan semakin membuat kekacauan yang sangat merepotkan di sana. "Tentu saja. Semakin ke sini, aku merasa ada sesuatu kekuatan yang besar yang berada di dalam dirinya. Buku itu memang luar biasa. Dan kau tahu apa? Sebelum kita memusnahkan gadis itu nanti, kita akan memaksanya untuk membacakan isi dari buku itu, tanpa ada yang terlewat sedikit pun," ujar Kai. "Isi dari buku itu? Apa kau yakin, Kai?" ujar Denzel. "Tentu saja aku yakin. Aku bahkan merasa sangat yakin. Sebelum kita membunuh gadis itu, kita bisa memanfaatkannya dulu. Kalian sendiri tahu bukan, kalau Betelgeuse sejak zaman dulu memang menyimpan kekuatan yang begitu besar di dalamnya namun para leluhur sengaja menyembunyikannya agar tak pernah terjadi perang di antara semua orang." Kai menjelaskan. "Be-benarkah? Kupikir hal itu hanyalah sebuah mitos yang tak jelas keberadaannya karena aku sendiri tak pernah melihat ada yang benar-benar luar biasa di dalam Betelegeuse. Dan aku juga taj bisa merasakan keberadaan hawa kuat yang kau katakan itu." Aric menambahkan. "Kurasa tidak seperti itu, Aric. Kurasa para leluhur kita memang sengaja melakukannya. Dan di dalam buku itu, kemungkinan besar terdapat cara untuk mengaktifkan kekuatan besar yang tersembunyi entah di mana itu. Dan juga kemungkinan besar, Tao mengetahui soal ini karena seperti yang kita tahu, kalau selama ini dia memang bertugas sebagai sosok wadah untuk segel buku itu. Dia pasti tahu banyak hal dan juga raja banyak memberitahukannya soal hal itu dan menyuruhnya agar tetap menutup mulutnya. Bukankah begitu?" Kini Denzel yang angkat bicara. "Benar sekali. Dan itulah maksudku. Bukankah sangat menguntungkan, ketika kita berhasil membawa Betelgeuse ke dalam kehidupan yang normal lagi dan menyelamatkan Betelgeuse, kita juga akan mendapat segala kekuatan yang begitu luar biasa atas apa yang kita lakukan selama ini. Bukankah tak ada salahnya kita mendapatkannya? Anggap saja itu sebagai bentuk sebuah hadiah. Benar, kan?" Kai tertawa setelahnya. *** Rhys dan Tao menoleh pada Isla sesaat setelah gadis itu memegangi perutnya karena baru saja berbunyi. Gadis itu merutuk di dalam hatinya dan menatap Tao dan juga Rhys secara bergantian, lalu tertawa pelan dengan wajah yang perlahan memerah hingga ke telinga. Ia benar-benar malu sekali. "Kau lapar?" tanya Rhys. Isla tertawa renyah seraya menatap pria itu, sebelum akhirnya dengan nada pelan ia menjawab, "i-iya, begitulah, hehe. Ta-tapi aku bisa menahannya—" "Tao, ayo pergi mencari makanan," ujar Rhys setelahnya. Kedua alis Tao saling bertaut dan keningnya juga menjadi agak mengerut usai pria itu mendengar kalimat yang baru saja dikatakan oleh Rhys padanya. "Kenapa aku harus ikut denganmu? Kau bisa mencari makanan sendiri. Aku tidak mau ikut denganmu," tegas Tao. Rhys mengedipkan kedua matanya dua kali dan juga ia sudah bersiap dengan kedua tangan yang sudah berada di kedua sisi pinggangnya. "Astaga, anak ini. Kau dari dulu memang masih sama saja, ya, tak berubah sama sekali. Kau masih saja begitu menyebalkan. Ya sudah, aku akan pergi sendiri mencari makan untuk kalian. Tao, ingat, kau harus menjaga Isla selama aku pergi dan pastikan kalau gadis itu dalam keadaan baik-baik saja selama aku tidak ada di sini, awas saja kau kalau sampai terjadi sesuatu padanya saat aku kembali nanti." Rhys berujar dengan nada mengancam, seraya menatap Tao dengan cukup tajam. Namun Tao sama sekali tak berniat membalas ucapan Rhys. Dia terlalu malas untuk berdebat saat ini, dan lagi pula hal itu tak ada untungnya sama sekali buatnya jika berdebat dengan Rhys. Isla berkedip dua kali begitu mendengar sederetan kalimat yang keluar dari bibir milik Rhys. "Baiklah, Isla. Jika kau memang lapar, aku akan pergi untuk mencarikan makanan untukmu. Kau akan bersama dengan Tao selama aku pergi dan jika sesuatu terjadi dan dia tak bisa melindungimu, aku akan langsung memukul kepalanya dengan tongkat miliknya itu. Paham?" ujar Rhys. Isla berkedip selama beberapa kali. Gadis itu menatap Tao yang sudah membuang muka ke arah lain. Kemudian Isla segera menjawab, "i-iya, berhati-hatilah," ujarnya. Rhys tersenyum tipis dan pria itu sempat mengusap-usap puncak kepala Isla sebelum benar-benar pergi dari sana, membuat wajah Isla menghangat dan perlahan dihiasi oleh rona berwarna kemerahan. Ia menatap Rhys yang sudah bergerak menjauhinya dan Tao. Isla mengerutkan keningnya menatap punggung Rhys yang sudah menjauh itu, sebelum akhirnya gadis itu berujar, "Memangnya, dia mau mencari makanan ke mana?" tanyanya kemudian menolehkan kepalanya kepada Tao yang juga tengah menatap ke arah Rhys pergi itu. "Entahlah. Mungkin anak itu akan pergi ke kota dan berubah menjadi seorang pencuri," ujar Tao asal kemudian kembali membuang pandangannya ke arah lain. Ia menatap salah satu bagian langit yang dihiasi oleh awan-awan. *** Maria keluar dari mobilnya dan wanita itu berjalan memasuki rumah usai berbelanja di supermarket. Namun sebelum ia memasuki rumah, ia melihat seseorang yang berjongkok di depan gulungan selang air yang biasa ia gunakan untuk menyiram tanaman. "Rhys?" panggil Maria mencoba memastikan kalau penglihatannya itu tak salah. "Oh! Nyonya, Anda sudah pulang," Rhys berujar tanpa mengubah posisinya. Pria itu masih berjongkok di depan selang air yang ada di depannya. "A-apa yang kau lakukan di sini? Dan ... mana Isla? Apa kau pulang bersamanya?" tanya Maria. Rhys mendadak terdiam. "Ah, itu, maaf. Isla tak bisa ikut ke sini karena dia tak ingin membuat Anda semakin sedih dan malah semakin membebani Anda. Tapi akan aku pastikan kalau Isla akan kembali sesegera mungkin," ujarnya. Raut wajah Maria seketika berubah. Wanita itu terlihat murung, namun sesaat kemudian ia mencoba memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Baiklah, lalu sekarang ada apa kau tiba-tiba pulang?" tanyanya. "Ah, emmm ... itu, aku ... ingin membawa makanan. Isla sedang merasa lapar saat ini. Aku tidak bisa pergi ke kota dan mencuri makanan. Aku bisa saja menangkap beberapa ikan atau apapun di sana sih, tapi—" Maria tertawa pelan bahkan ketika Rhys belum menyelesaikan kalimatnya. "Baik, baik. Aku akan memasakkan sesuatu untuk kalian jika kalian memang bersedia menunggu," ujarnya. "Tidak perlu memasak," sela Rhys kemudian, yang membuat Maria mengerutkan dahi. "Hm? Lalu kau mau apa?" tanya wanita itu. "Hehe, aku ... ingin ayam goreng yang sama seperti yang pernah Anda belikan untukku." Rhys mengusap lehernya seraya tersenyum canggung. Maria berkedip dua kali dan kemudian wanita itu kembali tertawa pelan. "Haha, baiklah. Jika itu memang yang kau inginkan, aku akan membelikannya. Kau bisa ikut denganku dan kita juga akan membeli minuman," ujarnya. Kedua sudut bibir Rhys naik dan pria itu tersenyum lebar usai mendengar perkataan Maria. Pria itu kemudian berjalan mengekori Maria bak seorang anak yang tengah mengikuti langkah ibunya menuju mobil. "Tolong belikan minumannya tiga." Maria baru saja hendak membukakkan pintu mobilnya namun wanita itu mendadak berhenti dan menatap Rhys setelahnya. " Tiga? Kupikir hanya ada dua orang, hanya kau dan juga Isla," ujarnya. Rhys terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya pria itu berujar, "emmm ... kami memiliki seorang teman baru di sana, hehe." "Ah, begitu. Baiklah, ayo masuk. Kita akan membeli makanan untuk kalian." Rhys menganggukkan kepalanya dan ia segera ikut masuk ke dalam mobil milik Maria. "Oh, iya, apakah Isla benar-benar baik-baik saja?" tanya Maria usai ia menjalankan mobilnya hingga kembali keluar dari garasi." "Hm. Isla baik-baik saja saat ini. Dan ... maaf karena kemarin aku juga tak membawa Isla. Dia bisa saja ikut denganku tapi katanya dia tak tega jika harus kembali lagi meninggalkan Anda, jadi Isla menyuruhku untuk pergi sendiri dengan membawa bunga lavender itu kepada Anda dan juga temannya yang bernama Teresa." Maria menganggukkan kepalanya. Ia dan juga Rhys segera pergi ke sebuah toko yang minggu lalu ia datangi bersama Rhys untuk membeli ayam goreng. *** Suasana benar-benar hening ketika Rhys belum juga kembali. Isla yang masih menunggu Rhys itu sesekali melirik Tao yang tertidur tak jauh darinya. Awalnya dia berpikir kalau hanya Rhys yang menggunakan cara tidur untuk mempercepat pemulihan energinya. Tapi ternyata Tao juga sama dan hal itu rupanya menjadi hal yang cukup lumrah. "Dia benar-benar sudah menggunakan energinya terlalu banyak, ya," lirih Isla. Ia kemudian menggembungkan kedua pipinya lalu membuang napasnya pelan. Gadis itu kemudian berjalan memasuki hutan. "Rhys lama sekali. Padahal kupikir dia akan menangkap ikan atau semacamnya," ujar Isla. Gadis itu berjalan menyusuri hutan dan berharap menemukan sesuatu yang bisa dimakan di sana. "Oh! Ada beri!" Kedua mata Isla berbinar. Gadis itu kemudian memetiknya dan memakannya. "Ah, rasanya manis sekali." Ia kemudian beranjak dan kembali berjalan, berharap menemukan buah-buahan yang lain. Hingga akhirnya gadis itu menemukan sesuatu yang menarik di bawah salah satu pohon yang rindang. Isla lalu berjongkok, menatap buah yang menyerupai beri itu. "Apa ini ... bisa dimakan?" ujarnya dengan kedua mata yang berkedip dua kali. Ia memetiknya dan menatap buah berukuran kecil itu dengan saksama dan sudah bersiap dengan membuka mulutnya. Plak! Buah yang ada di tangan Isla seketika jatuh ke atas permukaan tanah saat seseorang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya. Isla lalu mendongak dan menatap Tao yang entah kapan sudah berada di sana. "Kau ... " "Itu beracun. Jadi kau jangan memakannya," ujar Tao. Pria itu kemudian melepaskan tangannya tidak lama setelahnya. "A-ah, benarkah? Aku tidak tahu." Isla menatap buah yang sudah tergeletak di atas permukaan tanah itu. Hampir saja dia membuat masalah lagi, dia benar-benar ceroboh. "Benar-benar merepotkan," ujar Tao. "Ayo kembali, aku sudah bisa merasakan keberadaan Rhys yang sudah semakin dekat." "Benarkah? Ah, baiklah. Aku sudah lapar sekali." Isla kemudian memutuskan kembali ke luar hutan bersama dengan Tao. "Kalian ... dari mana saja?" tanya Rhys yang ternyata sudah berada di sana. Pria itu menatap Tao dan juga Isla secara bergantian. "Aku mencari makanan ke dalam hutan selagi menunggumu dan hampir saja memakan buah yang beracun tapi untung saja Tao datang sebelum aku benar-benar memakannya," ujar Isla. Rhys memicingkan kedua matanya dan masih menatap dua orang yang ada di depannya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Benarkah?" Kedua mata Isla berkedip dua kali. "Astaga, tentu saja. Aku dan Tao juga tidak mungkin melakukan hal-hal aneh, kan? Astaga, kau ini kenapa." Ia berjalan mendekati Rhys dan terkejut melihat apa yang dibawanya. "Ini ... kau dapat dari mana?" "Hehe, aku menemui ibumu dan menyuruhnya membelikan ini. Maaf ya. Aku juga sedang ingin makan ini dan sudah tidak lama tak memakan ini." Rhys terkikih. Isla terdiam selama beberapa saat. "Apa ... ibuku baik-baik saja?" Rhys menganggukkan kepalanya. Ia dan Isla duduk di bergabung bersama Tao dan segera makan ayam goreng yang sudah dibelikan oleh Maria tadi "Hm. Ibumu baik-baik saja. Dia sudah sedikit lebih tenang karena tahu kalau kau memang baik-baik saja." Rhys berujar. "Hei, Tao, ayo makan. Aku tahu kalau kau juga pasti lapar. Tenanglah, ini enak sekali dan kau pasti akan sangat menyukainya sungguh. Ini benar-benar enak." Isla membuang napasnya pelan lalu segera mengambil sepotong ayam goreng dan memakannya. Ketiganya memakan ayam goreng yang Rhys bawa dan sesekali mengobrol, lalu tertawa, kecuali Tao yang memang agak pendiam seperti biasanya itu. —Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD