"Isla, saat besar nanti, kau harus selalu menolong teman-temanmu yang sedang kesulitan, ya?" Seorang pria yang berusia sekitar empat puluh tahun itu berujar dengan nada yang begitu lembut. Suaranya yang khas selalu menjadi favorit Isla kala itu, bahkan hingga detik ini gadis itu masih memfavoritkannya.
"Kenapa, Ayah?" Gadis kecil dengan jepit rambut yang berbentuk bunga itu berujar.
"Jika kau ingin memiliki teman dan juga ditolong oleh orang-orang yang ada di sekitarmu, kau harus berbuat baik kepada mereka semua. Kalian tidak boleh saling membenci dan ingat, jika kau berbuat baik kepada mereka, maka mereka juga akan berbuat sama baiknya padamu." Pria itu mengusap puncak kepala Isla dengan lembut seraya tersenyum.
***
Kedua mata Isla seketika terbuka. Gadis itu langsung mendudukkan tubuhnya dan ia mendapati jubah milik Rhys yang menutupi tubuhnya, sepertinya pria itu memakaikannya beberapa saat yang lalu saat dirinya sudah tertidur.
"Kau terbangun?"
Isla langsung menolehkan kepalanya dan menatap Tao yang duduk di tak jauh darinya, tepatnya berseberangan dengannya yang hanya dibatasi oleh api unggun kecil di sana. Hal itu dilakukan setidaknya untuk menjauhkan beberapa hewan liar yang mungkin akan mendekat.
"I-iya. Kau ... juga terbangun?" tanya Isla.
"Hm. Aku tidak begitu mengantuk," ujar Tao. "Kau sendiri sebaiknya kembali tidur, ini masih malam." Ia melempar beberapa kayu ke dalam api agar api itu tetap menyala.
"Kau ... " Isla tiba-tiba berujar namun gadis itu menggantungkan kalimatnya, membuat Tao menatapnya.
"Ada apa?" tanya pria itu.
"Aku beberapa kali memperhatikanmu dan kurasa akhir-akhir ini kau sering sekali menatap langit dengan tatapan yang begitu sedih. Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu. Tapi jika menurut yang kulihat, kau pasti sedang sangat merindukan tempat tinggalmu. Kau pasti merindukan keluargamu, iya, kan?" ujar Isla.
Tao tersenyum tipis. "Aku akan kembali ke sana lagi nanti saat urusan di sini sudah benar-benar selesai," ujarnya. "Bagaimana lukamu? Apa masih terasa sakit?" tanyanya kemudian seraya menatap Isla.
"A-ah, ya, masih terasa sedikit sakit tapi sudah baik-baik saja. Kurasa besok luka ini akan cepat mengering, hehe." Isla tertawa pelan.
"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
"Hm? Soal apa?" ujar Isla.
"Bukankah ... kau seharusnya tak berbalik menolongku? Kau harusnya berlari membantu Rhys dan bukannya malah melawan Aric sendirian. Bahkan kau sendiri tahu kalau kekuatanmu sangat jauh berbeda dengan kekuatan yang dimiliki oleh Aric." Tao berujar.
Mendengar itu, Isla terdiam selama beberapa saat hingga gadis itu akhirnya tertawa pelan. "Begitu, ya? Maaf saja, Tao. Aku akui kalau kau terkadang agak menyebalkan. Tapi meskipun begitu, aku bukanlah manusia yang akan pergi begitu saja saat melihat ada seseorang yang terluka. Jika aku tak bisa membantunya sama sekali, setidaknya aku harus berusaha agar tidak membebaninya, kan? Itu akan sedikit lebih baik walaupun semua yang kulakukan itu seolah menjadi tak berarti sama sekali karena aku sendiri pun bahkan sudah tahu dengan hasil akhirnya yang akan seperti apa," jelas Isla.
"Aku bukannya tak ingin berniat membantu Rhys. Tapi aku percaya dia adalah sosok yang kuat dan tak akan dengan mudah bisa dikalahkan oleh siapapun dan Rhys itu bisa diandalkan. Aku tahu, kau mungkin jauh lebih lama mengenal Rhys maka dari itu aku yakin kalau kau sendiri pun bisa mengerti, kalau Rhys memang sosok yang tak akan bisa dengan mudah dikalahkan dengan begitu mudah, termasuk oleh Kai," lanjut Isla. Gadis itu kemudian menatap Rhys yang tampak masih tertidur di sebelah Tao. Pria itu pasti merasa begitu kelelahan.
"Jadi untuk itulah kenapa aku lebih memilih untuk membantumu, setidaknya aku tak ingin semakin membebanimu. Walaupun hanya sedikit sekali, tapi setidaknya tidak ada salahnya aku mengumpulkan semua keberanianku dan menyingkirkan segala ketakutanku terhadap kematian itu sendiri. Semua mahluk yang ada di dunia ini pada akhirnya akan mati, kan? Jadi tak ada yang perlu ditakutkan karena pada dasarnya takdir kita semua memanglah sama." Isla melanjutkan. "Dan kurasa itu adalah keberanianku yang benar-benar luar biasa, bukankah begitu, haha." Gadis itu tertawa pelan seraya menggaruk lehernya yang tak gatal sama sekali.
Tao menatap gadis itu selama beberapa saat dan tanpa sadar kedua sudut bibirnya perlahan naik ke atas.
***
Air yang jernih itu ... Bukan berarti tak bisa menenggelamkan sama sekali. Bahkan sesuatu yang dari luar tampak begitu tenang itu tidak menutup kemungkinan menyimpan sesuatu yang mengerikan di dalamnya.
Sekolah sudah mulai aktif kembali namun Isla tak kunjung kembali. Sudah seminggu berlalu dan gadis itu sama sekali tak mendapatkan kabar apa-apa. Para petugas yang bertugas untuk mencari keberadaan Isla hanya bisa pasrah saja dan bahkan satu per satu mulai menyerah sebelum misteri kasus menghilangnya salah saru murid SMA yang bernama Isla itu benar-benar ditutup nantinya.
Teresa sudah beberapa kali pergi mengunjungi rumah Isla dan ia hanya bertemu dengan Maria yang terlihat begitu kelelahan. Wanita itu sudah dipastikan kurang tidur dan juga pola makannya sedikit menjadi agak berantakan semenjak putrinya menghilang tak ada kabar.
Suasana di kota pun perlahan mulai kembali normal. Kedua kaki milik Teresa berhenti saat lampu lalu lintas berganti. Gadis itu kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu kedua matanya menatap langit di atas sana yang berwarna biru bersih di salah satu sisi, sementara sisi yang lain terlihat awan-awan yang perlahan berterbangan karena terpaan angin yang ada di atas sana, seolah saling berlomba memasuki bagian langit yang masih bersih itu.
"Bukankah ... ini hanya sebuah mimpi buruk?" batin Teresa. Gadis itu kemudian menundukkan kepalanya, menatap sepasang sepatu miliknya. Bahkan ketika lampu lalu lintas itu sudah kembali berganti warna, Teresa masih belum menggerakkan kedua kakinya untuk pergi dari sana. Gadis itu seolah benar-benar mengabaikan orang-orang yang sudah terlebih dahulu berjalan menyeberangi jalan, namun gadis itu seperti tak peduli sama sekali.
Namun ketika ia hendak melangkahkan kedua kakinya beranjak dari sana, setangkai lavender tiba-tiba saja jatuh tepat di depan kedua ujung sepatu miliknya. Teresa berkedip dua kali dan gadis itu meraih bunga yang jatuh entah dari mana itu. Ia menolehkan kepalanya ke berbagai arah namun tak menemukan seseorang yang membawa lavender. Gadis itu tersadar kalau ada secarik kertas berukuran kecil terselip di antara tangkai lavender itu.
"Apa ini?" Teresa perlahan membukanya.
'Hai, Teresa. Ini aku. Aku baik-baik saja dan maaf karena tak bisa langsung menemuimu. Aku tak berjanji, tapi akan aku usahakan kalau aku akan kembali sesegera mungkin dan bertemu lagi denganmu. Isla.'
Kedua mata Teresa perlahan membulat. Tulisan yang tertulis di kertas itu, tak lain adalah tulisan tangan Isla. Benar-benar tulisan tangan dari gadis itu. Pandangan Teresa perlahan mengembun dan gadis itu kembali mengedarkan pandangannya ke berbagai arah, berharap menemukan seseorang namun ia tak menemukannya sama sekali.
Lampu lalu lintas sudah kembali berubah dan kendaraan pun berhenti tepat sebelum zebra cross. Teresa bisa saja langsung melangkahkan kedua kakinya untuk menyeberangi jalanan di depannya namun gadis itu memilih memutar kembali tubuhnya dan berlari ke arah yang sebaliknya. Dengan air mata yang sudah luruh, gadis itu berlari menyusuri salah satu jalanan Goteborg dengan setangkai lavender dan juga secarik kertas di tangannya, seraya sesekali menghapus air matanya, namun kedua sudut bibirnya perlahan naik ke atas. Setidaknya walaupun sedikit, ia mendapatkan jawaban dari semua kekhawatirannya selama ini. Isla baik-baik saja, dan Teresa tahu itu. Gadis itu tak pernah menyerah akan keselamatan sahabatnya. Dia akan terus menunggu, hingga Isla benar-benar akan kembali datang menemuinya.
***
Setangkai bunga lavender jatuh begitu saja saat Maria sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya. Wanita itu mematikan air yang keluar dari selang itu dan segera mengambil setangkai lavender yang jatuh tak jauh dari posisinya.
"Apa seseorang menjatuhkan ini?" ujar Maria. Ia membuka secarik kertas yang terselip di antara dahan lavender itu dan kedua matanya membulat. Selang yang berada di tangannya seketika jatuh ke atas permukaan rumput halaman rumahnya.
"Ini ... " Suaranya mendadak bergetar dengan kedua matanya yang mulai terasa mengembun. "Ini tulisan tangan putriku. Isla masih hidup," lirihnya. Bahkan tangan yang memegang setangkai lavender dan juga kertas itu pun tampak bergetar pelan, seakan tak percaya dengan apa yang ia terima. Wanita itu menatap ke sekitar dan juga melihat ke atas sana, berharap menemukan seseorang yang sudah mengirimkannya kedua benda itu namun ia sama sekali tak menemukan siapapun di sana.
"Isla." Maria menggigit bibir bawahnya dan air matanya benar-benar sudah tak bisa dibendung lagi. "Ibu yakin kalau kau baik-baik saja. Ibu yakin kalau kau pasti akan segera kembali," lirihnya.
Dan bersamaan dengan itu, Maria mendengar adanya suara derap langkah kaki memasuki halaman rumahnya dan saat wanita itu menoleh, ia melihat Teresa yang berlari hingga napas gadis itu terputus-putus. Maria juga melihat kalau Teresa menerima setangkai lavender dan juga kertas yang sama dengannya.
"Tante juga menerimanya?" tanya Teresa seraya berjalan mendekati Maria.
Maria mengangguk dengan air mata yang masih membasahi permukaan kedua pipinya.
"A-apakah menurut Tante, Isla benar-benar baik-baik saja sekarang?" tanya Teresa.
Maria menganggukkan kepalanya.
"Jadi itu artinya Isla akan segera kembali?" Teresa kembali bertanya.
Maria kembali menganggukkan kepalanya, kali ini dengan seulas senyuman. Wanita itu langsung membuka kedua tangannya dan membiarkan Teresa memeluknya dan bahkan menumpahkan air matanya di sana. Ia tahu dengan betul, kalau Teresa pasti sangat mengkhawatirkan Isla selama ini apalagi gadis itu adalah orang yang terakhir bersama dengan Isla. Dia berkali-kali meminta maaf pada Maria dan merasa begitu menyesal mengenai apa yang sudah terjadi pada Isla. Namun, kini Teresa bisa sedikit bernapas lega walaupun Isla belum sepenuhnya kembali. Entah ada di mana sahabatnya itu dan entah apa yang gadis itu lakukan di sana, tapi Teresa akan terus berdoa agar Isla bisa kembali lagi dengan selamat.
***
"Kau sudah memberikannya?" tanya Isla begitu melihat Rhys yang sudah kembali ke sana.
"Hm. Aku menemukan temanmu yang bernama Teresa itu di pinggir salah satu jalan yang ada di kotamu. Dia terlihat sedih sekali. Lalu aku memberikan yang satu lagi pada ibumu. Dia sedang menyiram tanaman yang ada di halaman rumah," ujar Rhys.
"Ah, benarkah? Sayang sekali karena aku tak bisa bertemu dengan mereka langsung. Tapi aku lega karena setidaknya sudah memberikan sedikitnya kabar kepada mereka," ujar Isla.
"Kau harusnya tadi ikut dengan Rhys," sambung Tao.
Isla menatap pria itu selama beberapa saat kemudian ia menggembungkan kedua pipinya sebelum akhirnya membuang napasnya secara perlahan.
"Aku tahu itu, aku memang ingin sekali ikut dengan Rhys dan menemui mereka berdua tapi rasanya aku tak bisa. Jika aku menemui mereka kali ini, maka aku tak akan sanggup pergi meninggalkan mereka lagi. Urusanku belum selesai di sini," ujar Isla. "Ah, iya. Dan Tao, aku benar-benar berterimakasih padamu karena kau sudah memasang penghalang di kota. Aku benar-benar berterima kasih," lanjutnya.
"Hm. Aku tak masalah sama sekali dengan hal itu," ujar Tao.
"Aku pasti akan mencoba membantu kalian berdua," ujar Isla. Gadis itu membuang napasnya kembali kemudian tersenyum lebar seraya menatap Tao dan juga Rhys secara bergantian.
"Oh, iya, Isla. Ngomong-ngomong kenapa kau hanya mengirimkan bunganya pada dua orang? Bukankah harusnya tiga?" ujar Rhys.
Mendengar itu, kedua alis Isla mendadak saling bertaut. "Tiga? Untuk siapa? Memangnya siapa yang kau maksud?" tanyanya.
"Bukankah pria yang waktu itu juga temanmu? Yang pernah datang ke rumah dan mengajakmu pergi itu."
"Hah?" Isla tampak mengingat-ingat teman pria mana yang sedang Rhys bicarakan. "Siapa itu? Aku tak pernah menyuruh teman pria pergi menemuiku ke rumah jika tak ada hal yang benar-benar penting," ujarnya.
"Pria yang waktu itu, yang pernah memberikanmu bunga di hari pertamamu kembali ke sekolah!" ujar Rhys.
Kedua mata Isla seketika melotot. "Ma-maksudmu Alex? Astaga, Rhys. Kau pasti sudah gila. Aku tidak pernah menyukai Alex, asal kau tahu saja! Dan lagi pula dia yang menyukaiku terlebih dulu, dan bukannya aku. Aku sendiri sama sekali tak merasakan perasaan apa-apa padanya." Isla mendengkus pelan.
"Ah, benarkah?"
"Tentu saja. Aku masih terlalu waras untuk menyukainya dengan mudah. Dia bukan tipeku, kau paham?" Isla berdecak pelan seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Dia juga aneh. Dia pernah berkata kalau dia melihatku sedang bersama dengan seorang pria lain dan mengira kalau itu adalah pacarku. Apa mungkin dia melihatku saat aku pergi denganmu ke taman kota, Rhys?" ujar Isla.
"Entahlah, aku tak begitu memperhatikan keadaan di sekitar pada saat itu karena di sana situasinya sedang cukup ramai dengan banyak orang," jawab Rhys.
"Pria yang menyukaimu?" Tiba-tiba Tao menyahut, membuat Rhys dan Isla seketika menatap ke arahnya.
"Kurasa ... aku juga pernah melihatnya."
"A-apa?" Kedua mata Isla berkedip dua kali. "Kau ... pernah bertemu dengan Alex? Kau bertemu dengannya di mana?"
"Saat aku menemuimu di dalam bus. Saat kau hendak berangkat ke sekolah," ujar Tao.
"Be-benarkah? Oh, astaga, jadi pria yang dikatakan oleh Alex beberapa minggu lalu itu adalah— kau?" tunjuk Isla pada Tao dengan kedua mata yang menatap pada pria itu setengah tak percaya.
Kepala Tao mengangguk secara perlahan. "Aku tidak sengaja melihatnya saat sedang mengobrol denganmu. Dan dia juga sepertinya menyadari kalau kita sedang duduk bersama saat itu," ujarnya.
"Astaga, kupikir siapa yang dimaksud oleh Alex itu. Tapi tak apa, itu tak jadi masalah sama sekali buatku." Isla mengangkat kedua bahunya seolah ia merasa tak peduli sama sekali akan hal itu.
Di saat yang bersamaan, angin bertiup cukup kencang di sana hingga lavender-lavender itu saling menari satu sama lain. Isla yang melihat itu segera berlari memasuki hamparan lavender itu dengan begitu bersemangat.
"Hei, lihatlah! Mereka semua terlihat cantik sekali, dan ... begitu wangi." Isla menghirup aroma lavender di sana dan hal itu membuatnya menjadi merasa lebih tenang.
Tao dan Rhys menatap Isla yang ada di depan sana. Mereka berdua terlihat seperti dua orang pria yang tengah menjaga adik kecilnya yang tengah bermain.
"Kau ... mengenal Isla sudah begitu lama," ujar Tao tanpa melepaskan pandangannya dari Isla yang berada di depan sana.
"Hm. Dia ... datang menolongku sewaktu masih berada di hutan yang bernama Trollehallar waktu itu," jawab Rhys.
"Menurutmu ... gadis seperti apa Isla itu?"
Mendengar pertanyaan yang dilayangkan oleh Tao, Rhys langsung menatap ke arah pria yang duduk di sebelahnya itu. "Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal seperti itu?" ujarnya.
"Hanya ingin tahu, dia sosok seperti apa di dalam pandanganmu."
Rhys masih menatap Tao selama beberapa saat sebelum akhirnya ia juga beralih menatap Isla yang ada di depan sana. Pria itu tidak langsung menjawab dan terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia menghela napasnya pelan dan kemudian berkata, "Yah, seperti yang kau tahu, Tao. Isla itu gadis yang begitu kuat. Aku akui terkadang gadis itu berubah menjadi sosok yang begitu rapuh dan juga lemah, tapi aku tak pernah mempermasalahkan hal itu sama sekali karena bagaimana pun memang seperti itulah sifat manusia pada dasarnya. Tapi dia benar-benar gadis yang luar biasa. Meskipun aku beberapa kali membawanya ke dalam bahaya dan bahkan hingga mengancam nyawanya, Isla tak pernah sedikit pun berubah. Aku yang awalnya tak berani menunjukkan wujud asliku karena takut tak diterima keberadaanku, tapi Isla dan bahkan ibunya dengan senang hati mampu menerima keberadaanku dengan begitu tulus dan banyak membantuku tentang beberapa hal," jelas Rhys. Pria itu benar-benar merasa beruntung sekaligus merasa berhutang budi pada Isla dan juga ibunya. Pria itu juga selalu menanamkan di dalam dirinya agar ia selalu bisa bertahan demi selalu melindungi Isla dan terus berada di sebelahnya apapun yang terjadi nanti, sebahaya apapun itu. Isla sudah banyak berkorban dan juga melakukan banyak hal untuknya. Jadi, setidaknya Rhys harus memberikan balasan yang setimpal yang layak gadis itu dapatkan atas semua yang pernah gadis itu lakukan padanya.
"Lalu apa kau ... mencintainya?" Kini Tao beralih menatap Rhys yang duduk di sebelahnya.
Deg!
Pertanyaan Tao yang barusan benar-benar membuat Rhys semakin kehilangan kata-katanya. Ia benar-benar tak pernah berekspetasi sama sekali tentang hal yang satu itu. Ia hanya berniat menjaga Isla dan melindunginya, berada di sisi gadis itu ke mana pun gadis itu pergi.
Apakah dia bisa dibilang ... mencintainya?
—TBC