Mayang sang Cenayang

1412 Words
Aku sedikit menjauh dari keramaian acara itu. Mencari tempat yang bener bener pas buat menghabiskan menu nasi kotak ini. Selain itu aku juga enggan melihat sesuatu yang busuk tadi. Apalagi jika melihat para tamu undangan yang tanpa menyadari makanan yang mereka lahap. Jika ku beritahukan apa yang ku lihat jelas aku di anggap gila nantinya. Setelah merasa agak jauh dari kerumunan itu, barulah aku memulai memakan nasi kotak tersebut. Dan sebelumnya tentu saja mengucapkan doa makan dahulu. Ternyata inilah gunanya kita diajarkan orang tua ketika makan harus berdoa. Jika saja tadi aku lalai sudah pasti diri ini ikut merasakan makanan yang telah di kerjain oleh mereka. Sementara di tempat lain ada seorang gadis yang sangat pendiam sedang berkutat dengan dunianya. Ia hanya sendirian di kamar itu sedang mengobrol dengan cermin rias yang ada di kamar tersebut. Sekilas gadis ini memang sangat mirip dengan Riris. Mulai dari rambut yang hitam legam panjang terurai, kulit putih, wajah manis yang oval. Mungkin yang membedakan hanya dari sifat di antara keduanya. Nama gadis ini adalah Mayang. Kakak tertua dari Riris yang sudah duduk di bangku kuliah. Saat ini sudah menempuh semester 5 di sebuah kampus favorit di kotanya. Secara ilmiah memang Mayang lebih pintar ketimbang adiknya yang doyan berantem. Sifatnya yang pemalu membuat ia tidak banyak mempunyai teman dari pada adiknya si Riris. Namun di balik sifat pemalu tersebut ia adalah kakak terbaik buat Riris. Selalu ia yang dengan sabar menyelesaikan masalah yang di buat adiknya. Meski tau adiknya salah ia tak pernah lelah membelanya. Bahkan dalam keluargapun Mayang selalu membela adiknya. Meski terkadang juga Riris berlaku tak adil terhadap kakaknya tak pernah ia ambil hati dengan hal itu. Semua karena Mayang memang sangat sabar dan penyayang adiknya. Salah satu kelemahan Mayang adalah ia mudah tersentuh hatinya. Dengan sedikit perhatian dari seorang pria ia pasti mudah jatuh hatinya. Terkadang ia juga tidak bisa membedakan mana yang tulus dan hanya sekedar modus. Sejak duduk di SMA gadis ini selalu jadi korban lelaki buaya di sekolahnya. Tapi ia tak pernah lelah menjalani hidupnya. Baginya setiap kebohongan pasti akan ada ganjarannya di masa yang akan datang, hanya tinggal waktunya saja kapan harus terjadi. Berbeda dengan adiknya Riris, sejak kecil Mayang sudah memiliki kemampuan cenayang. Ia mampu melihat makhluk makhluk tak kasat mata sejak duduk di sekolah dasar. Setiap yang mengenalnya pasti menganggap anak ini aneh karena memiliki kemampuan seperti itu. Padahal semua kemampuan itu bukan karena kehendaknya. Seringkali ia merasa sakit ketika berinteraksi dengan dunia sebelah yang bukan dunia dia sebenarnya. Sewaktu SD paling sering ia izin tidak masuk sekolah karena sakit yang tiba tiba ia rasakan. Padahal saat itu ada makhluk yang memang memaksa ia untuk bermain dengannya. Saat ia menolak sudah pasti Mayang dibuat sakit. Kejadian begini selalu ia alami waktu SD dan orang tuanya tidak begitu saja mempercayainya. “Aku ga ingin bermain bersama kalian. Sekarang aku harus ke sekolah.” “Aku bisa kok buat kamu ga ke sekolah, jika kamu menolak.” “Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Mayang kecil pada sosok gadis kecil berkulit hitam itu. Meski wujudnya tidak utuh dan sangat menyeramkan, tidak membuat Mayang takut menghadapinya. Dahulu sewaktu awal kenal memang sempat ia merasa takut. Apalagi saat baru baru pertama bisa melihat sosok yang aneh. Kaget dan takutnya bukan kepalang lagi. Mayang kecil harus lari dan sembunyi di balik selimut di kamarnya. Meski ia sudah mengungkapkan kemampuan itu pada orang tuanya tetap saja mereka belum percaya. “Aku bisa mencelakakan adikmu.” “Tidak, aku tidak percaya kamu berani lakukan itu.” Segera ku pergi meninggalkan sosok itu meski ia terlihat senyum membalas kecuekanku. Baru saja aku menggerakkan kedua kaki beberapa langkah, nun jauh disana terdengar jeritan yang sangat aku kenal suaranya. Langsung ku balikkan badanku ke arah belakang. Ternyata benar adikku yang sedang tersungkur dengan sebuah motor juga ikut rebah di sisinya. Entah apa yang terjadi, aku langsung kalut mendatanginya. Setiap pergi berangkat ke sekolah aku selalu bareng dengan adikku Riris. Karena kesibukan kedua orang tuaku kami terpaksa harus berani pergi ke sekolah sendiri tanpa di antar oleh mereka. Hari itu entah kenapa si Riris tertinggal di belakang karena ia memang biasanya selalu santai jika pergi ke sekolah. Ada saja yang di lakukannya saat di jalan, ngobrol dan bermain dengan teman sebayanya lah, kadang mampir ke warung lah atau juga ada hal lain yang memang sengaja membuat aku jadi khawatir. “Kamu ga pa pa ding? Ada yang terluka ga?” “Huuuu huuuu huuuu …” segera ku cek semua anggota tubuh adikku. Sedikitpun tak ada yang berkurang atau terluka. “Udah ah ding, jangan nangis lagi. Ini lho ga ada apa apa kok.” “Sakit kak kakiku.” Sambil ia memegangi kaki kanannya yang seperti keseleo sedikit. Pengendara motor yang terjatuh juga terlihat baik baik saja. Untung saja orangnya juga baik malah bertanggung jawab dengan menghubungi bapak dan ibuku. Karena memang murni ini adalah kesalahan adikku jadi masalah inipun tidak diperpanjang. Alhasil aku pun terpaksa menggendong Riris hingga sampai di rumah pagi itu. Jadwal sekolahku hari ini terpaksa di liburkan. Dan aku mendapat siraman rohani pagi pagi dari sang ibu karena di anggap lalai menjaga sang adik. Sementara di sudut kamarku terlihat sosok gadis hitam tadi hanya tersenyum senyum. Ia sepertinya puas dengan kejadian yang hari ini terjadi. “Benar apa yang ku katakan tadi kan? Kamu sih ga mau main denganku.” “Hah, jadi itu benar ulahmu? Tolong jangan lakukan itu lagi pada adikku.” “Kalau gitu temani aku main sekarang ya.” Sementara adikku sedang tertidur pulas karena kelelahan setelah menangis tadi. Aku pun menemani gadis hitam bermain rumah rumahan dan mainan anak anak lainnya. Ibuku tak pernah menyadari jika aku tidak sedang bermain sendiri. Padahal terkadang ia melihat aku berkomunikasi dengan ruang hampa. Semenjak saat itu aku malah lebih intens melihat makhluk tak kasat mata. Berkali kali aku coba ungkapkan ke anehan ini tetap tak ada yang mau percaya. Mereka menganggap aku hanya halusinasi. Ya begitulah resiko yang harus ku terima jika masih usia anak anak. Apa yang kita ucapkan jarang di dengar padahal itu ungkapan yang tulus dari hati seorang anak yang masih kecil. Saat ini aku sedang berada di kamarku. Sendiri? Tentu saja tidak akan pernah sendiri. Hidupku takkan pernah sendiri. Selalu saja ada sosok sosok yang silih berganti yang hadir di hadapanku. Aku sudah biasa menghadapi mereka. Selama ini memang tidak ada yang mengganggu apalagi sampai menyakiti. Dan yang paling penting adalah tidak ada yang meminta macam macam. Sejak awal sudah ku peringatkan jika ingin berteman denganku tanpa harus meminta yang aneh aneh. Syukurnya merekapun bersedia menuruti keinginanku. “Hari ini aku mendapat sebuah kado dari seorang cowok. Dan dia juga mengungkapkan isi hatinya.” Sosok di depanku langsung ingin pergi dari hadapanku. “Eh mau kemana kamu, baru juga aku mulai cerita.” “Bosen aku neng dengernya, nanti ujung ujungnya kamu nangis juga.” Sosok itu membalas ucapanku. Ia memang hapal betul dengan kelakuanku yang tak pernah mendapat seorang yang benar benar tulus menyukaiku. Malah paling sering di permainkan. “Kamu itu cantik dan baik May. Seharusnya kamu bisa dapat yang lebih baik dari yang ada.” “Tapi hatiku ga bisa menolak Lin. Hatiku terbuka buat siapa saja dan sangat mudah tersentuh.” Nama sosok itu Marlina. Sosok yang mati penasaran karena sesuatu kecelakaan yang tidak ia inginkan. Ia tidak bisa benar benar mati secara sempurna. Sampai saat ini keluarganya tidak ada yang tahu dimana mayatnya berada. Bahkan ia tak pernah mendapatkan peristirahatan terakhir yang benar benar layak. Sehingga rohnya tetap berada di bumi menjadi roh yang penasaran. Beruntung takdir mempertemukan ia dengan Mayang si gadis cenayang. Sedikit banyak mengubah jalan kematiannya. “Nah itu lah kelemahan Mayang.” “Terus aku harus gimana Lin?” tanpa menjawab sosok Marlina hilang begitu saja dan meninggalkan asap putih. “Huh di ajak curhat malah kabur tu demit!” kesalku. “Lin dimana kamu, balik dong, aku butuh temen curhat nih.” Pintaku memelas mengharap Marlina kembali ke hadapanku. Lama ku tunggu ternyata benaran ia pergi. Aku di tinggalnya sendirian di kamar. “Yang, Mayang … makan dulu nak, itu sudah ibu siapkan makan malamnya.” Suara ibu memanggilku dari luar. Kebetulan banget perut ini sudah sedari tadi bunyi keroncongan. Bergegas ku keluar dari kamar menuju ruang makan. “Adik mana bu, kok dari tadi ga ada suara hebohnya terdengar.” Tanyaku karena melihat kursi di depanku kosong tanpa sosok dia. “Adikmu tadi ijin ke masjid katanya ada acara Ruqiah. Kayak ga tau kelakuan adikmu to?” “Hiiiissss satu itu ada ada aja kelakuannya. Ku susul ajakah nanti bu? Suruh dia pulang gitu.” “Ga usah nak, sudah ijin ke ibu juga kok, tadi janjinya ga terlalu malam kok pulangnya.” “Sekarang kamu aja makan dulu, jangan lupa sisakan adikmu lauknya, takut dia belum makan disana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD