Jungkat-Jungkit Perasaan

2956 Words
Anne benar-benar fokus pada tujuan hidupnya, yaitu kuliah dan berkarir. Gadis itu hanya menyibukan diri dengan belajar dan akhirnya, memutuskan untuk mengundurkan diri setelah diterima menjadi anggota BEM. Entah kenapa ia begitu plin-plan dalam mengambil keputusan ini. Karena ternyata ia tidak sekuat itu. Meski ia sempat dimarahi beberapa kakak tingkatnya, ia diloloskan dengan surat sakit palsu yang dibuatnya bersama Hasan. Setengah mati ia membujuk Hasan agar mau memberinya surat sakit untuk alasan pengunduran diri ini. Alasan sakitnya? Sakit maag kronis dan tipus yang harus dirawat jalan. Entah ide sableng yang entah masuk akal atau tidak, yang jelas ia sangat berterima kasih dengan surat itu pada Hasan. Timbal baliknya, ia terpaksa mentraktir Hasan di kantin rumah sakit dan merogoh uang jajannya. Tapi tak masalah. Surat itu memang sangat membantu. Makanya, disaat anggota baru BEM sibuk dengan orientasi seminggu lalu, ia tidak terlihat sama sekali oleh Hamas. Lelaki itu mencoba mencari tahu dengan bertanya pada anak-anak BEM lain tanpa dicurigai. Akhirnya ia mendapat informasi kalau Anne menderita sakit yang menurutnya parah. Yeah, untuk ukuran sakit maag kronis dan tipus kan lumayan bahaya ya. Apalagi ia tahu kalau Anne punya alergi kucing yang menurutnya juga lumayan parah. Dan sudah seminggu ini, ia mencari-cari sosok Anne yang tak pernah terlihat oleh matanya. Kalau Anne sih sudah pasti melihatnya. Tapi gadis itu pandai bersembunyi darinya. Ia memang enggan berhadapan dengan Hamas. Bahkan hingga menjelas UAS ini pun, Hamas masih belum melihatnya. Lelaki itu sempat bertanya pada Jihan kenapa Anne sudah jarang main ke apartemen Jihan, Jihan hanya memberikan jawaban kalau mereka memindahkan posko berkumpul di apartemen Raina. Jihan juga bilang kalau Anne agak trauma dengan kucingnya. Meski agak aneh saat harus menjawab pertanyaan Hamas, Jihan tak bertanya balik pada Hamas. Ia tak mau curiga walau....sudah terlanjur berprasangka. Gadis itu juga memberitahu Anne tentang Hamas yang bertanya hal itu. Guna meneliti reaksi Anne. Jihan kan merasa aneh jadinya. Tapi respon Anne? "Ngapain dia nanya-nanya begitu, Ji?" ujarnya santai sambil terkekeh. Lantas geleng-geleng kepala. Anne tentu tak mau merasa besar kepala karena Hamas sampai sebegitu perhatiannya bertanya tentang dirinya pada Jihan. Ia tak mau baper alias bawa perasaan. "Tuh kan. Lu aja heran," tutur Jihan yang merasa bodoh telah mencurigai Anne yang punya hubungan dengan Hamas. Akhirnya gadis itu tak curiga lagi. Lalu siang ini, Anne mengakhiri tugasnya tepat jam satu siang. Ia belum solat Zuhur sementara Paijo sudah meneleponnya sejak tadi. Omong-omong, sejak menjadi pembicara di panti asuhan milik keluarga Paijo berbulan-bulan lalu, lelaki itu malah memintanya untuk sering datang ke sana. Karena banyak anak-anak asuhan yang suka padanya. Sudah dua kali ia datang ke sana dalam rangka bermain dan berbagi ilmu. Ini ketiga kalinya. "Bentar, Kak, Ann solat dulu," tuturnya tanpa menjawab salam Paijo dan tanpa menunggu jawabannya. Ia langsung menutup teleponnya dan berjalan keluar dari perpustakaan. Ia tiba di lobi perpustakaan, menyerahkan kartu mahasiswanya pada petugas kemudian mengambil barang-barangnya. Ia berjalan menuju sofa kosong di dekat sana, menaruh barang-barangnya ke dalam ransel baru yang sudah dipakai hampir dua bulan ini. Eh bukan baru lagi ya namanya kalau selama itu? Hihihi. Setelah itu, ia berjalan cepat menuju mushola fakultas untuk menunaikan solat Zuhur yang disambung zikir sebentar. Kemudian segera keluar dan..... "Long time no see," tutur lelaki yang saat keluar dari mushola malah melihat Anne masuk ke sana. Lelaki itu sengaja menungguinya karena sudah lama tak melihatnya. Juga tak sengaja melihat Anne. Anne yang tak berfirasat akan bertemu lelaki ini di sini, tentu saja kaget. Biasanya ia selalu waspada. Tapi berhubung dua minggu ini ia benar-benar tak melihat lelaki itu, ia menjadi santai dan berakhir lengah seperti ini. Oke, lain kali ia harus lebih hati-hati lagi pikirnya. "Oh, hai," dan Anne merasa bodoh dengan sapaannya barusan. Hamas tersenyum tipis. "Sibuk sekali," tuturnya yang melihat gerak tubuh Anne yang terburu-buru. Anne cuma menjawab dengan deheman. "Sehat, Ann?" "Alhamdulillah," tuturnya lantas, "misi, Kak," pamitnya dan bersegera kabur. Ia kira Hamas hanya akan diam di tempat tapi ternyata lelaki itu berhasil menjajari langkahnya. Heeiish! "Kalau masih mau jadi anggota BEM, aku bisa mengaturnya, Ann. Kalau cuma sakit maag dan tipus kan bisa ditoleransi. Gak harus mengundurkan diri." Lelaki itu malah membahas persoalan yang sudah lewat sebulan lalu. Sebetulnya Hamas sudah lama ingin membicarakannya kan? Tapi tak kunjung bertemu Anne. Baru kali ini ia kwmbali melihat Anns. Sementara bagi Anne, persoalan itu sudah selesai. Meski ia memang sempat membuat gaduh. Sebelum wawancara kala itu pun begitu. Anak-anak BEM awalnya menyalahkan Salsabila. Tapi kini malah berbalik membenarkan Salsabila. Padahal kala itu, memang Salsabila yang salah. Namun ya sudah lah. Anne tak perduli juga. Terserah opini orang terhadapnya. Yang tahu pasti memang cuma Allah kok. "Gak apa-apa, Kak. Memang aku ingin mundur. Ada banyak hal yang harus ku kerjakan. Kalau tidak pilih-pilih posisi dan sadar kesehatan, bisa darurat," tuturnya sambil melangkah cepat-cepat. Ia tentu sangat menghindari lelaki ini. Hamas mendesah. Ia tak ingin Anne mengundurkan diri. Entah mengapa. Mungkin itu menjadi satu-satunya cara agar dapat sering melihat Anne yang akhir-akhir ini menghilang. Anne susah sekali ditemukan. Ia sering melihat Jihan di kampus ini tapi tak pernah lagi melihat Anne. Padahal mereka satu jurusan juga sering satu kelas. Anne bagai hilang ditelan bumi. "Kalau hanya sakit maag--" "Aku gak hanya sakit maag, Kak," tuturnya. Kalau ini, ia memang tak bohong. Si tukang pilih-pilih makanan ini memang suka sakit maag. Sara saja sampai frustasi menyuruhnya makan sayur. Feri juga. Dan selalu berakhir dengan omelan panjang setelah itu kemudian ia terpaksa menelan semua makanan. "Sakit apalagi?" Sakit hatiiii begooo! Gara-gara eluuu! "Ada lah. Gak penting juga dibahas," tuturnya. "Kalau begitu, jaga kesehatan, Ann." Hamas berubah pikiran dengan cepat. Yah, dari pada Anne kenapa-napa, pikirnya. Ia teringat pada Anne yang ketakutan kala itu hanya karena Anggora yang begitu lucu. Mungkin memang lucu baginya tapi tidak dengan Anne bukan? Dan Anne hanya menjawabnya dengan deheman. Ia cukup berterima kasih pada sikap perhatian Hamas meski ia sedang mati-matian menahan diri agar tidak terlalu membawa perasaan obrolan ini. Cukup lah yang kemarin-kemarin. "Aaaaannn!" Dan Paijo sudah melambaikan tangannya dari atas motor. Lelaki itu sudah lama menunggunya di parkiran motor. Anne mengeluh dalam hati. Kenapa tuh orang malah bawa motor hari ini sih? Ia kira akan berangkat dengan mobil. "Duluan, Kak," pamitnya pada Hamas yang kini menghentikan langkah dengan tangan terkepal. "Pakek helm heh! Gue kagak mau ditilang yak!" ingat Paijo sambil memberikan helm pada Anne. Anne mendengus. Ini bisa merusak jilbabnya tapi ya sudah lah. Demi keselamatan bersama, pikirnya. "Iish! Mobil lo ke mana sih, Kak?" "Ada tuh di bengkel. Lo gak tahu aja, apa yang bokap gue lakuin pada mobil gue tadi pagi," tuturnya yang sekaligus curhat dan sudah bersiap menjalankan motornya. Paijo memang sering bertengkar lucu dengan Papanya. Anne sudah tak heran mendengarnya. "Doaaa, Ann!" teriaknya. "Kalau takut jatuh, pegang aja. Gue ikhlas," tambahnya sambil terkekeh. Anne langsung menoyor kepalanya yang tertutup helm itu. Enak aja! Emangnya Anne cewek apaan? Wayan merangkul bahu sahabatnya. Hamas masih menatap kepergian motor Paijo yang baru saja keluar dari gerbang kampus. Wayan tertawa begitu mengikuti arah tatapan mata Hamas yang menahan itu. "Cemburu lo?" tanyanya yang seharusnya ia sudah tahu jawabannya. Hamas hanya mendengus lantas melepaskan rangkulannya kemudian balik badan. Meninggalkan Wayan yang tertawa di belakang sana. Anne merasa beruntung sekali. Ia terlahir dari keluarga berada dan penuh cinta. Ya, dibanding anak-anak yang kini heboh bermain dengannya. Mereka bermain ular naga bersama sambil tertawa-tawa. Melupakan kejadian pahit yang pernah dialami dalam hidup. Ada yang terperangkap dalam penjualan anak. Sedari kecil dijual orangtua kepada para hidung belang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kadang Anne tak habis pikir dengan orangtua semacam ini. Kok bisa setega ini? Tega sekali menjual anak-anaknya padahal bukan kah kehadiran mereka itu yang ditunggu? Atau jangan-jangan kehadiran mereka memang tak pernah diharapkan? Orangtua yang seharusnya bertanggung jawab mencukupi nafkah, malah lepas tangan dan melempar tanggung jawab itu pada anak-anak mereka. Menyedihkan bukan? Lalu kenapa harus hamil jika akan seperti ini nasib anak-anak mereka. Kenapa harus membuat anak? Kenapa memikih menikah? Di mana hati nurani mereka? Lalu satu jam yang lalu, ada yang membuat Anne menangis. Ada salah satu perempuan seumuran Anne yang bahkan sudah memiliki tiga anak disaat Anne bahkan masih mengurusi kuliahnya. Tak punya suami pula si perempuan itu. Hamil sebagai akibat dari p*********n yang bahkan dilakukan keluarga sendiri. Mengerikan bukan? Anne beruntung dengan daddy-nya yang begitu menyayanginya hingga tak mungkin akan melukainya. Ia juga beruntung karena keluarganya paham aturan agama. Lah mereka? Pahit sekali. "Tak apa, Ann. Kau tak perlu menangis. Kau mau mendengar ceritaku saja, sudah sangat bersyukur." Tapi Anne tetap tak bisa berhenti menangis. Ia pilu saja memikirkan kehidupan mereka yang jauh dari kata beruntung. "Ann! Makan dulu yuk!" teriak Paijo. Cowok itu baru muncul lagi usai menjemput pacarnya, Tessa. Anne beranjak pamit pada anak-anak asuhan itu kemudian berjalan menyusul Paijo dan menyapa Tessa yang ternyata sudah sibuk membantu di dapur panti. Ada Mamanya Paijo juga. "Waah! Ada Ann!" seru perempuan itu. Anne tersenyum tipis lantas menyalaminya. Ia sering bertemu dengan perempuan yang satu ini ketika ikut daddy dan mommy-nya kondangan tapi baru kali ini ketemu di sini. "Bagaimana kuliahnya, Ann?" "Lancar Tante." "Syukur deh kalau begitu. Sekarang jadi sering ke sini, Ann?" "Jarang-jarang, Tante. Palingan kalau Ann ada waktu aja." "Dia sibuk soalnya, Ma!" potong Paijo. Mamanya terkekeh. Anne hanya menyumbingkan bibirnya. Ia tahu kalau sesungguhnya itu adalah sindiran. Buktinya, Tessa sampai tertawa. "Sudah punya calon belum, Ann?" Anne terbatuk-batuk mendengar pertanyaan itu. Ia bahkan baru semester tiga dan pertanyaan itu rasanya belum cocok untuk mahasiswa sepertinya bukan? "Ann banyak yang naksir tauk, Tan," tutur Tessa yang mengundang tawa perempuan paruh baya itu. "Iya lah! Secantik ini!" serunya. "Sayangnya Tante sudah gak punya anak lelaki lagi," candanya. "Kamu gak nawarin, Tes?" Tessa tertawa. "Takutnya gak satu selera sama Ann, Tan. Ann secantik ini pasti banyak yang antri juga." Anne menghela nafas saja. Sungguh aneh, pikirnya. Di rumah, tak akan ada yang menggodanya seperti ini. Daddy-nya hanya akan menceramahi agar fokus kuliah dan melupakan semua urusan asmara. Abangnya juga bilang begitu. "Tante kira, kamu akan nikah muda juga kayak abangmu itu," tutur si Tante disela-sela makan ditemani Anne dan juga Tessa. "Woaa! Abang Ann yang itu?" tanya si Tessa, kaget. Pasalnya, anak satu fakultas tahu wajah Ando meski gak tahu namanya karena sering datang menjemput Anne. Cowok ganteng itu langsung menyita perhatian. Saat Anne datang pada Ando, semua orang jadi tahu kalau itu adalah abangnya Anne. Dan gosip tentang Anne yang punya abang super ganteng pun menyebar. Begitu pula dengan Farras yang dikira juga kakak kandungnya. Kabar berita itu menyebar dengan cepat. Anne malah tak pernah tahu gosip-gosip itu. "Siapa Ann nama Abangmu itu?" tanya si Tante. Lupa-lupa ingat. "Ando, Tan." "Nah iya!" Sementara Tessa masih terperangah. Wah, akan jadi gosip besar lagi di kampus, pikirnya. Setengah jam kemudian, Anne pamit. Ia sudah terlalu lama di sini. Tadinya Paijo menawarkan untuk mengantarnya sampai ke stasiun. Tapi ternyata Anne sudah meminta Abangnya untuk menjemput. Toh Abangnya kebetulan tak ke kantor dan malah menemani kakak iparnya yang katanya baru selesai sidang akhir. Jadi mereka sekalian menjemputnya ke sini. Begitu melihat mobil Ando memasuki halaman panti, Anne langsung pamit pada Mamanya Paijo juga Tessa. Kedua orang itu masih sibuk membuat cemilan untuk anak-anak panti asuhan. Anne juga membantu tapi kini ingin pulang. "Widiiih!" seru Paijo. Pasalnya, cowok itu melihat Farras yang super cantik itu. Perempuan itu memanggil-manggil Anne. Paijo menyenggol lengan Anne. "Ann, kenalin gue dong sama kakak lo yang cantik itu." Anne memutar bola matanya. Ia masih sibuk mengikat tali sepatunya. "Udah kenal kali, Kak!" "Salamin deh! Titip salam yak?" Dengan kesal, Anne menoyornya menggunakan tas selempangnya. Paijo mendesis sambil mengelus kepalanya. Astaga! Teganya, Ann! keluhnya tapi gadis itu tentu tak mendengar. Dan kini sudah berjalan menuju mobil Ando. "Ann! Ann!" panggilnya tapi Anne baru saja membuka pintu mobil. Gadis itu berteriak, "KAK RAS, ADA SALAM TUH DARI KAK PAIJO YANG ITUUUU!" Farras terkekeh sementara Paijo rasanya ingin sekali menumpuk Anne dengan sesuatu. Kenapa harus berteriak begitu demi memberitahu Farras? Kan ada banyak cara lain yang lebih kalem kan? Ando tentu berdeham mendengarnya. Hal yang membuat Farras terkikik-kikik lantas mengelus pipinya. "Cuma Abi koook!" Dan Anne kepengen muntah mendengarnya. Menjelang UAS, banyak tugas yang darurat dan harus diselesaikan. Meski sudah dua malam, hampir tak tidur, ternyata masih belum cukup. Padahal sudah dua malam pula Anne menginap di apartemen Raina. Di malam ketiga ini, Raina tak ada di apartemen karena ia harus mengerjakan proyek BEM. Jadi gadis itu akan menginap di kampus. Alhasil, posko darurat Anne pindah ke apartemen Jihan. Ia sudah mewanti-wanti agar Jihan menyembunyikan kucingnya dan membersihkan kamarnya hingga benar-benar bersih. "Sejam lagi deh, Ann. Gue Masih nungguin petugasnya buat bersihin debu sama bulu-bulu," tutur Jihan ditelepon. Anne yang sudah tiba di depan gedung apartemennya malah melongo. Ia harus ke mana selama sejam ini? Salto di sini? pikirnya lantas terkekeh kecil menertawai pikiran absurd-nya. Akhirnya, ia memilih duduk di kursi yang ada di lobi usai mengintip-intip sekitar. Takutnya kan ada Hamas. Bagaimana pun ia tahu kalau lelaki itu juga tinggal di sini. Tapi setelah merasa aman, ia menghela nafas. Omong-omong, ini bisa dikatakan move on gak sih? Karena Anne selalu menghindari lelaki itu. Terakhir, ia masih bertemu Hamas beberapa hari setelah obrolan mereka sebelum Anne boncengan dengan Paijo. Tapi lelaki itu tak menyapanya apalagi mengajak bicara. Disitu, Anne tak tahu harus merasa senang atau sedih. Yaaah, walau hati kecilnya berkata, bukan kah itu yang ia ingin kan? Padahal Anne tak tahu saja bagaimana tatapan tajam Hamas saat melihatnya berboncengan dengan Paijo. Kesal juga cemburu tentunya. Padahal ia sudah pernah bilang pada Anne agar menjauhi lelaki itu. Tapi sepertinya, Anne tak terlalu perduli. Sekarang Anne sibuk memainkan ponselnya. Ia membuka i********: yang sudah lama tak dilihatnya. Bahkan akunnya sempat ia keluar kan. Sengaja. Agar ia bisa menahan jemarinya untuk tak mengintip isi postingan kedua orang itu. Hati Anne sedang picik dan sempit, ia tak mau lukanya malah membuatnya menambahkan dosa. Padahal dosanya saja sudah banyak. Kini ia malah baru masuk lagi ke akunnya setelah lama menimbang-nimbang. Omong-omong tahu gak kenapa Anne mengeluarkan akunnya? Itu gegara tiga hari yang lalu, si Nisa kembali meng-upload kebersamaan bersama Hamas dan keluarga lelaki itu. Yeah, berdasarkan gosip yang beredar itu adalah keluarga Hamas. Karena siapa pun mengenali ayah dari Nisa kan? Dan lelaki tua yang ada di foto Nisa itu bukan ayahnya. Ibunya juga bukan ibu Nisa. Jadi sudah positif memang keluarga Hamas. Bahkan gadis itu berdiri di samping Hamas dengan senyum cerianya. Haaaash. Anne tak mengerti sih. Kenapa dari sekian banyak lelaki, ia malah naksir pacar orang? As-ta-ga! Ia bukan penganggu hubungan orang. Beneran! Dan ternyata ini ya yang dinamakan dilema? Dilema karena punya perasaan tapi yang ditaksir kemungkinan besar adalah pacar orang. Menyedihkan sekali bukan? Abaaaaaang Ia merengek di w******p. Ando bukan menjadi curhatnya. Karena ia lebih suka curhat di atas sajadah. Hanya saja, kalau terjadi sesuatu yang tidak mengenakan, ia akan memanggil lelaki itu. Kenapa lagi? Ando yang sibuk bekerja tentu terheran dengan pesannya. Meski ia sudah sering menerimanya. Tapi ia tak pernah bertanya. Menurutnya, masing-masing orang punya privasi. Dan ia tak mau memaksa Anne untuk meniadakan privasi itu. Meskipun ia abangnya. Walau yah, Ando juga agak-agak curiga. Instingnya mengatakan hal ini berhubungan dengan lelaki. Entah lelaki yang mana, Ando pun tak tahu. Ann sayang bangeeeeet sama Abaaaaaang Ando terkekeh. Ia lebih sayang pada Anne, asal tahu saja. Tapi jangan menyuruhnya untuk memilih antara Anne dan Farras. Karena keduanya menempati kasih sayang di ruang yang berbeda di hatinya. Maka itu, ia tak akan pernah bisa memilih. Walau semakin ke sini, adik dan istrinya sudah jarang bertengkar. Mungkin karena Anne sibuk tenggelam dengan kuliahnya dan juga jarang di rumah. Anne memang lebih sering menginap di apartemen teman-temannya. Adek abang kenapa? Airmata Anne nyaris jatuh. Kenapa ia cengeng sekali? Anne juga tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Kadang ia semangat, kadang ia lesu. Dipagi hari mood-nya baik, disore hari tiba-tiba memburuk. Begitu lah yang terjadi selama berulang-ulang. Perasaannya dibuat naik dan turun bagai jungkat-jungkit. Ketika berada di atas, ia melayang. Ketika berada di bawah, ia jatuh berdebam. Sakitnya sampai ke tulang. Hal yang membuatnya bertanya-tanya. Kalau jatuh cinta sesakit ini, kenapa orang masih banyak yang tak kapok untuk merasakannya? Aaaan! Udah bersih! Buruan ke sini! Itu pesan w******p dari Jihan. Anne beranjak dari bangkunya, berjalan menuju toilet di dekat lobi. Hanya untuk melihat matanya dan wajahnya. Setelah aman, ia segera berjalan. Ternyata satu jam itu sebentar, pikirnya. Cukup membuat pikirannya memikirkan hal-hal pedih dan waktu ternyata berlalu sangat cepat. Anne harus kuat, putusnya. Anne tidak lemah, ingatnya. Jangan cengeng, ingatnya lagi. Tapi airmatanya malah jatuh lagi saat ia berada di dalam lift. Mungkin benar kata Ferril dan sepupu-sepupunya yang lain. Ia masih terlalu kecil untuk merasakan jatuh cinta yang sesakit ini. Dan ini membuatnya agak menyesali. Penyesalan yang sangat-sangat terlambat tentunya. Tapi, memangnya siapa yang bisa menahan hati agar tidak terpaut hah? Siapa yang bisa memilah-milah orang yang ingin dicintai atau tidak? Kita bahkan tak memiliki hak untuk itu karena kita menyuruh hati yang melakukannya. Dan hati melakukannya tanpa meminta persetujuan kita. Tahu-tahu sudah jatuh cinta. Tahu-tahu sudah patah hati. Tak pernah ada yang tahu kapan awal dan akhirnya. Untung lift sepi. Meski hanya ada dua orang dan Anne tidak mengenalnya. Ketika tiba di lantai apartemen Jihan, ia keluar dari lift. Ia berjalan dengan lesu sambil sesekali mengusap air matanya yang kini jatuh perlahan. Anne menarik nafas dalam. Ia mencoba menghentikan tangisnya atau nanti ia tak bisa menyembunyikannya di depan Jihan. Akhirnya ia menghentikan langkah sebentar lalu mendongak ke atas. Ia meleng ke kiri dan ke kanan. Setelah merasa bahwa air matanya tak akan jatuh lagi, ia kembali melihat ke depan. Namun baru satu langkah... Pintu di sebelah kamar Jihan terbuka. Dan Anne tak dapat mencegah dirinya untuk melihat ke arah pintu itu. Namun yang membuat kaget bukan pada apa yang terjadi pada pintu itu melainkan orang yang keluar dari sana..... Nisa. Perempuan itu terkekeh-kekeh sambil berjalan mundur. Tak lama, Hamas keluar sambil menutup pintu namun matanya malah menangkap Anne yang berdiri terpaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD