14

1092 Words
Tengah malam, saat bulan beringsut kearat barat. Daimyo Kazuo Ishimura memanggil ke-15 Bunshi nya, pertemuan mendadak itu membuat mereka yang masih terjaga begitu bingung. Padahal biasanya mereka tak pernah mendapat panggilan mendadak dari sang Daimyo. Di ruangan khusus pertemuan, sang Daimyo daerah Iwabhana pulau Shimazen masih terdiam dengan wajah yang lesu, seperti ingin mengatakan hal yang tak ingin ia ucapan tapi harus. Tak ada yang ingin memulai pembicaraan lebih duku, karena akan terasa sulit jika sang tuan belum berucap. “Kalian dengar ini ..., aku baru saja mendapatkan surat dari Daimyo Kekaisaran yang mengharuskan aku melepaskan Iwabhana dan menggabungkan diri dengan Iwachi, dengan begitu aku juga di haruskan melepaskan gelarku sebagai salah satu Daimyo Shimazen,” ujar sang Daimyo, sontak saja hal itu membuat mereka bingung tak terkecuali Hideyoshi, ia pikir militer kekaisaran yang datang hanyalah tamu bulanan biasa yang membawa beberapa surat, tapi nyatanya itu malah surat yang tak biasa. “Apa maksud tuan?” tanya Tobio, salah satu Bunshi yang duduk tepat di samping kiri Hideyoshi, Tobio berusaha meyakinkan ucapan sang tuan. “Maksudku sudah jelas, tanpa sebuah daerah aku harus melepaskan gelarku dan juga kalian. Untuk saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka kalian bebas pergi kemanapun, kalian bukan lagi bawahan seorang Kazuo,” kata Daimyo Kazuo. “Tapi, kami harus kemana? Disini rumah kami,” tanya kembali salah satu Bunshinya yang bernama Hashimura. “Hasimura, kau bisa kembali ke kotamu menjadi seorang militer kakaisaran, atau kalian bisa menjadi seorang petani dan pekerja lainnya.” Setelah itu Kazuo melepaskan mereka, ke-15 bunshinya yang kini bergelar ronin pun harus melepaskan perlengkapan para samurai, karena mereka tak lagi bertuan, mau tak mau mereka harus tak memiliki tempat lagi. Hasimura, Tobio dan ke-12 teman lainnya berpamitan pergi dari sana, sementara Hideyoshi dengan mata yang masih berkaca-kaca masih di tempat yang sama. Ia tak mungkin meninggalkan Kazuo yang sudah merawatnya sejak remaja, juga meninggalkan Iwabhana tempat kelahirannya. Itu terasa sangat aneh. “Hide, kenapa kau tak pergi?” tanya Kazuo. “Kenapa kau tak mengatakan sejak awal jika ada masalah dengan Iwabhana, kenapa semuanya kau anggap seperti tak ada masalah,” ujar Hideyoshi masih dengan menunduk. “Aku pikir semuanya tak ada masalah, aku pikir semuanya baik-baik saja, aku sebagai seorang Daimyo, tapi nyatanya itu hanya aku yang berpikir. Tidak ada pilihan lain, aku harus melepaskan daerah ini, terlalu sulit aku pertahankan.” “Jika kau sulit mempertahakannya sendiri, biarkan aku yang membantumu, aku bunshimu dan akan terus begitu.” Hideyoshi begitu kekeuh mengatakan bahwa ia tak ingin melepaskan dirinya dan tuannya, karena hal itu sangat sulit. Bukan berarti ia takut jika harus menjadi ronin, yang memiliki gelar baru sebagai seorang sampah dan prajurit buangan, tapi baginya yang sulit jika harus memulai hidup baru di tempat yang baru bersama seorang Daimyo yang baru, yakni Tomoya dari Iwachi. Tomoya memang nampak bagi di mata para penduduk Iwachi, tapi baginya Kazuo tetap seorang tuan sejati yang memiliki segalanya. Satu hal yang membuatnya bingung, apa penyebab Daimyo kekaisaran membuat keputusan untuk menggabungkan Iwabhana dengan Iwachi yang keduanya memiliki daerah yang masing-masing begitu luas. “Hide, jika kau masih ingin menjadi bunshiku, maka aku akan memberimu satu misi lagi, jika aku tak mendapatkan kembali daerahku maka ini akan menjadi misi terakhirmu,” ucap Kazuo kemudian. Hideyoshi nampak begitu gembira mendengar ucapan Kazuo, dengan berharap ia mendengar ucapan Kazuo. “Bawa surat ini ke Edo, tunjukkan pada Daimyo kekaisaran, aku berpikir ini ada yang cukup aneh,” sambung Kazuo sambil memberikan surat itu pada Hideyoshi. Hideyoshi mengambil surat itu dengan cukup antusias, jika benar itu ada salah dalam penggabungan wilayah berarti ia memang harus meluruskannya. Hideyoshi berpikir bagaimana ia harus sampai di Edo tepat waktu sebelum penggabungan wilayah, Edo begitu jauh, jaraknya ribuan, bahkan kemungkinan memakan waktu lebih dari dua bulan. Keesokan paginya, Hideyoshi dengan sendiri memulai perjalanannya menuju Edo, tak ada yang tahu selain dirinya dan Kazuo, bahkan adik dan ibunya pun tak ia beritahu. Sayangnya kepergiannya di ketahui Tomoya, dan ia mengirimkan Ibhiki dan Noriraku, seorang bunshi terlatih yang menjadi mata-mata selama perjalanan Hideyoshi ke Edo. Perjalanan panjang mereka tempuh, banyak hal yang telah terjadi, hingga akhirnya Hideyoshi memasuki kota Sibichu dan terjebak di sana, barang-barang miliknya termasuk logi di rampok seseorang yang tak ia kenal, hanya tersisa dua bilah pedangnya, bahkan ia di tendang pemilik penginapan dan kelaparan. Untungnya ia bertemu dengan Hayato dan Shatoru yang begitu baik padanya, padahal awalnya ia tak yakin meminta bantuan pada mereka. Shatoru memberinya tempat dan makanan, mereka mengatakan ingin pergi ke desa Yondama, tak searah dengannya yang harus ke kota Bulan Sabit, yakni Tamimura. Beberapa ratus kilometer lagi ke Edo. “Kau belum tidur?” tanya Shatoru saat melihat Hideyoshi masih mengayunkan pedangnya di samping penginapan. “Aku terbiasa berlatih sebelum tidur, hanya pemanasan agar tak lupa setelah bangun nanti,” ujar Hideyoshi. “Kalau begitu biarkan aku membantumu berlatih,” “Kau bisa?” tanya Hideyoshi penasaran. “Hanya sedikit, seseorang pernah mengajariku saat aku masih remaja dulu.” “Baik lah.” Hideyoshi melemparkan salah satu pedangnya pada Shatoru. Shatoru menerima pedang itu dengan tepat, menaruhnya kesamping dan menekan gagangnya di bagian sarung pedang dan mengeluarkannya. Hideyoshi sudah siap dengan pertarungan pertama. Shatoru memulai melancarkan serangan pertamanya dengan gerakan atas, Hideyoshi menangkisnya yang memiringkan pedangnya kekiri. Begitu terus, kedunya saling melancarkan serangan kemudian bertahan, sampai tak ada yang mengalah, hingga keduanya lelah dengan sendirinya dan menjatuhkan tubuh di rerumputan. “Terima kasih atas jamuanmu, pedangmu begitu indah,” ujar Shatoru melemparkan pedangn milik Hideyoshi. “Teknik berpedangnya membuatku teringat seseorang yang dulu pernah menjadi gurunya, tapi ia pergi dari pulau kami saat aku menjadi seorang bunshi,” kata Hideyoshi. “Siapa namanya?” “Aku tak tahu namanya, aku selalu memanggilnya dengan sebutan paman,” Shatoru hanya mengangguk-angguk, ia pikir laki-laki yang di ucapkan Hideyoshi adalah orang yang selama ini ia cari, laki-laki yang membuatnya kembali teringat saat melihat Hayato, sayangnya sampai sekarang belum ada keterangan, dan ia tak mungkin bertanya terlalu jauh, itu akan mencolok. “Mari kita tidur,” ajak kembali Shatoru pada Hideyoshi. “Kau saja dulu, aku masih ingin di sini,” jawab Hideyoshi, Shatoru hanya mengangguk kemudian berlalu pergi menuju penginapan. Hideyoshi masih di sana, duduk di bawah sebuah pohon sambil menatap langit yang penuh dengan bintang. Pikirannya terus melambung, sudah hampir satu bulan ternyata ia pergi dari Iwabhana, daerah yang kini tengah kisruh antara ada atau tak ada. Ia tak mungkin secepat itu pergi ke Edo, apalagi kini ia harus mencari dulu surat penyatuan wilayah itu, jika ia tak membawa surat itu kemungkinan ia tak bisa menemui Daimyo kekaisaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD