42

1126 Words
Kira-kira sudah lebih dari 200 meter Hayato berjalan menaiki gunung, napasnya mulai terengah-engah. Rasanya udara untuk bernapas mulai berkurang sedikit demi sedikit, jika benar begitu sekitar beberapa ratus meter lagi udara akan habis dan ia tak akan bisa bernapas. Tapi, ia tak mungkin kembali karena ia akan melanjutkan dirinya menguasai jurus-jurus baru. Mungkin juga itu ujian pertama untuknya, ujian itu yang di katakan Ishuke padanya. Dengan langkah yang terasa semakin berat Hayato menginjakkan kakinya di lerengan bukit yang tak begitu curam, sedikit merata bahkan. Rasanya ia ingin menyeret kakinya sampai di sana, jika pun ia seorang penyihir mungkin terbang adalah pilihan tepat, sebuah cerita pengatar tidur dari sang ibu dulu. Di gunung itu banyak tumbuhan seperti rumput dan pohon yang masih tumbuh dengan suburnya, bahkan banyak hewan yang sesekali terlihat matanya seperti kelinci juga monyet, padahal udara dan hawa di gunung itu tak cukup baik. Sudah setengah jam Hayato menaiki gunung itu, dan entah sudah berapa ratus meter jalan yang ia tempuh. Udara juga belum membaik, napasnya bahkan sekali berat. Kaki yang seharusnya melangkah berhenti sedikit demi sedikit, lalu ia memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya barang sebentar di batang pohon di depan sebuah kubangan yang mirip dengan danau. Entah bagaimana lubang sebesar itu bisa ada di sini. Saat ia tengah duduk, kabut-kabut berkumpul sedikit demi sedikit, rasanya semakin menebal bahkan membuat jarak pandangannya semakin berkurang. Apalagi malam sepertinya akan mulai datang. Kabut tebal di tambah gelapnya malam akan menyulitkan ia sampai di puncak gunung dengan cepat, tapi jika ia paksa itu akan membuat masalah baru. Bisa saja ia terjatuh ke dasar. Ketika pandangnnya tak lagi bisa melihat sekeliling, napasnya yang kian berat, kepalanya pun ikut pusing, Hayato serasa ingin pingsan. Pandangannya berkunang-kunang, tubuhnya pun mati rasa, rasanya benar-benar tak bisa di gerakkan. Apa yang terjadi padanya? Padahal ia yakin ia tak begitu kelelahan. Ia mencoba membuka mulutnya untuk sekedar bersuara lelah, tapi tak bisa. Pita suaranya tercekat bahkan untuk menelann air liur pun ia harus berjuang dengan keras. Lalu, siup perlahan mata Hayato menutup dan ia tak sadarkan diri. Lagi-lagi dalam hal itu ia memikirkan soal mati, tapi di lain pihak ia ingin membuat perhitungan pada Ishuke jika sampai ia mati di tempat ini. Ishuke berarti dalang dari kematiannya, atau ini memang rencana Ishuke untuk mengusirnya dari rumah karena di anggap ia tak bisa melakukan apapun dan hanya beban? Kemudian ia benar-benar tak sadarkan diri, ia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Pikirannya terhenti saat membayangkan Ishuke. Namun, entah sudah berapa jam ia berada di sana, tiba-tiba saja ia terbangun. Kabut tebal yang sempat ia lihat juga menghilang, napasnya kembali dengan normal. Kini ia mendudukkan dirinya sambil memandangi danau yang airnya tertampak bulan, sepertinya sudah dini hari karena bulan beringsut ke arah barat. Meski itu malam, tapi ada suatu sosok yang tengah berdiri di tengah danau sambil menatap Hayato lekat-lekat. Jarak ia dan sosok itu hanya 15 meter, Hayato berdiri tapi berusaha tak membuat gerakan aneh. Ia menangatur napasnya yang sempat lega tadi, membulatkan matanya sambil menelan air ludah. Sosok itu belum bergerak, tapi terus menatapnya tajam. Jika Hayato membuat gerakan aneh itu akan memancingnya, tapi meskipun hanya diam sepertinya sosok itu tak ingin diam. Kemudian... Dengan gerakan secepat kuda jantan, dan dengan tubuh setinggi pohon akasia berusia 10 tahun. Sosok itu berlari kearah Hayato, dirinya yang tertampak cahaya bulan kini menjelma menjadi seekor beruang. Hayato ketakutan lalu berlari, beruang itu mengejar dengan kencang. Bahkan tak begitu jauh dari Hayato. Hayato terus memacu tubuhnya yang sudah enak. Tiga meter, dua meter, satu meter. Kemudian, beruang itu mengayunkan tangan kirinya keatas, kuku kacarnya melayang merobek baju kulit punggung Hayato. Hayato jatuh tersungkur ketanah dan bagian depan kepalanya tertabrak pohon. Hayato merasakan perih yang teramat di punggungnya, meskipun tak bisa melihat tapi ia yakin itu tergores sampai kulit bagian dalam dan membuatnya berdarah. Hayato tak ingin terbaring lebih lama lagi di sana karena jika lebih lama beruang itu bisa mencabik-cabik tubuhnya, ia kemudian bangun dan beusaha memegang punggungnya tapi terlalu jauh, ia hanya bisa memegang pundaknya saja. Dan mencoba menekan rasa sakit itu. Hayato berdiri, bersandar di pohon yang tadi mengenai kepalanya. Di saat seperti ini ia berpikir, apa yang biasanya Shatoru, Ichimaru maupun Ishuke lakukan, kabur atau menghadapinya? Jika ia menghadapi, dengan apa? Ia hanya memiliki belati kecil. Seandainya ia bisa mengenai tengkuk belakangnya, mungkin ia bisa membunuh beruang itu. Berarti pilihannya ia harus menghadapi beruang itu. Di tahannya rasa sakit itu sampai tak terasa, lalu tangan kanannya berusaha meraih belati di belakang pinggangnya. "Aaaa!!!" teriak Hayato berlari kearah beruang itu, si beruang tak menghindar tapi terus mengayunkan tangannnya kearah Hayato. Hayato menghindari gerakan itu, tujuannya adalah arah belakang dari si beruang. Lalu ia menghadap arah belakang, dan melompat keatap lebih tinggi dari kepala si beruang turun tepat di kedua punggung beruang. Hayato menancapkan belatinya di tengkuk di beruang berulang kaki, dan tak lama beruang itu ambruk tak berdaya. Hayato mengatur napas leganya kemudian menjatuhkan dirinya sendiri di atas punggung beruang itu. Cahaya bulan mengenai wajah lelahnya, rasanya campur aduk. Apa ini juga termasuk ujian untuk melatih jurus baru? Atau bahkan itu adalah jurus baru? Tapi ia belum sampai puncak. Beberapa lama kemudian saat Hayato sudah tak begitu lelah, ia menguliti tubuh beruang itu dan mengambil dagingnya untuk ia makan. Karena sudah hampir satu hari ia tak makan apapun. Ia membawa daging dan kulit beruang itu ketepi danau, mencucinya dengan bersih. Dagingnya ia bakar dan kulitnya ia gunakan sebagai penghangat. Setelah merasa kenyang ia bergegas melanjutkan perjalanan, karena sepertinya saat pagi udara untuk bernapas lebih enak dan kabut juga tipis. Puncak gunung sudah terlihat di matanya, ia menyipitkan mata sambil meyakinkan bahwa ia akan sampai sebelum matahari terbit. Dan tak lama ia sampai di puncak, tepat saat matahari terbit dengan warna jingganya yang indah. Tak ada apapun di sana, bahkan ia tak bisa memandang apapun kebawah dari puncak sana. Haruskah ia turun dengan kosong? Atau menunggu sampai ada sesuatu yang membuatnya berpikir tentang hal baru? Seperti menunggu kawanan beruang lain yang balas dendam karena temannya ia bunuh misalnya. Hayato akan menunggu sedikit lama di sana, mungkin sampai ia bertemu dengan para Dewa karena rasanya gunung itu dekat dengan langit. Atau jika memang ia beruntung ia bisa bertemu dengan Amaterasu sang Dewi Matahari dan penguasa jagat raya. Karena menurut cerita dewi matahari Amaterasu yang terkejut oleh perilaku saudaranya Susanoo dan bersembunyi di gua, menyeret dunia dalam kegelapan sampai ia bersedia untuk muncul. Selain itu ia juga dalam kemarahan dengan suaminya Tsukuyomi sang dewa bulan, hal yang membuat siang dan malam berjauhan. Tapi, itu hanya dongeng belaka menurut Hayato, yang biasa sang ibu ceritakan padanya setiap sebelum tidur. Berjam-jam Hayato sudah berada di puncak, ia tak mendapatkan apapun dan akhirnya memutuskan untuk turun gunung. Kabut makin menipis karena matahari sudah merangkak naik keatas, sepertinya Hayato bisa lebih cepat sampai kebawah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD